Laras duduk diam di ruang tamu, pandangannya kosong. Ruangan yang biasanya terasa hangat dan nyaman itu kini terasa asing, dingin, seolah tak lagi menjadi bagian dari kehidupannya.
Kata-kata Nina masih terngiang di telinganya, menghantam jiwanya berulang kali, mengoyak perasaannya hingga tak tersisa.
Anak-anak sudah tidur siang, tertidur lelap di kamar mereka setelah pagi yang penuh dengan permainan dan tawa. Tapi Laras tidak bisa merasakan kebahagiaan dari suara tawa mereka kali ini. Di dalam dirinya hanya ada kekosongan, kehancuran, dan rasa sakit yang tak tertanggungkan.
Pintu depan terdengar terbuka. Langkah-langkah Dimas mendekat, terdengar biasa dan tenang, tanpa ia tahu badai besar yang tengah menghancurkan kehidupan mereka. Laras menoleh perlahan, melihat suaminya berdiri di depan pintu, menatapnya dengan senyuman kecil seperti biasanya.
“Hai, Ras… Kok bengong?” Dimas menyapa dengan nada ringan. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika melihat ekspresi wajah Laras yang dingin dan kaku.
Laras menatap Dimas tanpa berkata apa-apa. Ia menahan napas, berusaha mengendalikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Meski tubuhnya terasa lemas, ia tahu saat ini adalah saat untuk mencari kebenaran.
“Kamu selingkuh, Mas?” tanya Laras akhirnya, suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik. Namun, di balik nada lembut itu, ada kemarahan yang terpendam, ada luka yang tak tertutupi.
Dimas tertegun, seolah tak percaya dengan pertanyaan itu. Wajahnya memucat seketika. Ia menatap Laras dengan mata membulat, mencoba mencari kepastian apakah istrinya serius atau hanya bercanda. Namun, tatapan Laras yang dingin membuatnya sadar bahwa ini bukanlah sekadar pertanyaan iseng.
“Laras… Kamu… kenapa tanya seperti itu?” suaranya terdengar bergetar, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai menguasai dirinya.
Laras tetap diam, menatap Dimas dengan tatapan tajam yang penuh rasa sakit. Hatinya mendesak untuk mendapatkan kebenaran, meski ia tahu kebenaran itu akan menghancurkan segalanya.
“Ada seorang wanita… datang ke sini tadi pagi. Namanya Nina,” lanjut Laras, suaranya sedikit bergetar. “Dia bilang… dia kenal baik sama kamu. Lebih dari sekadar kenal biasa. Dan sekarang dia… dia sedang mengandung anakmu.”
Mata Dimas melebar, tubuhnya seolah kehilangan keseimbangan. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, seolah mencoba menghindar dari kenyataan yang tengah dihadapinya.
Laras mengamati perubahan ekspresinya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apakah Dimas akan berbohong atau akhirnya mengakui kesalahannya. Tapi satu hal yang pasti: ia membutuhkan jawaban, sekarang juga.
Dimas mengangkat wajahnya, matanya terlihat penuh rasa bersalah. Ia membuka mulut, tapi tak satu pun kata yang keluar. Wajahnya memerah, dan ia mencoba mencari kata-kata yang tepat, meski tahu bahwa tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit yang Laras rasakan.
“Maaf, Laras… Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana,” bisiknya pelan, suaranya nyaris patah.
Kata-kata itu adalah konfirmasi yang Laras tak pernah ingin dengar. Tubuhnya bergetar, matanya mulai panas, dan air mata mengalir deras di pipinya. Seluruh hidupnya, cinta yang ia percaya, janji-janji yang mereka ikrarkan, semua terasa hancur dalam sekejap.
“Kamu… beneran?” suaranya lirih, penuh ketidakpercayaan. “Kenapa, Mas? Apa aku kurang? Apa keluarga ini kurang buat kamu?”
Dimas menggeleng, wajahnya penuh penyesalan. “Laras, bukan begitu… Kamu nggak kurang, kita… kita sempurna. Tapi aku… aku yang salah. Aku… tergoda dan aku nggak bisa menahan diri.”
Laras tertawa pahit, meski air matanya terus mengalir. “Jadi, kamu menghancurkan semua ini… cuma karena godaan sesaat?” Ia menggeleng, tak mampu memahami alasan yang terdengar begitu sepele untuk sebuah pengkhianatan yang menghancurkan hidup mereka.
Dimas hanya menunduk, tak bisa menatap wajah Laras. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk dimaafkan, dan ia tidak punya alasan yang cukup kuat untuk membela diri. Saat ini, hanya ada penyesalan yang begitu dalam.
Laras menatapnya, mencoba menemukan sedikit kejujuran di dalam sorot matanya. “Kamu bilang… kita sempurna, tapi ternyata kamu masih memilih untuk mengkhianati aku, mengkhianati anak-anak kita.”
Dimas menahan napas, mengumpulkan kekuatan untuk bicara. “Aku… aku nggak pernah berniat menyakiti kamu, Laras. Aku sendiri nggak tahu kenapa bisa sampai sejauh ini.”
Laras menggeleng dengan tatapan kecewa. “Kamu nggak pernah berniat menyakiti aku? Apa kamu pikir kata-kata itu bisa menghapus rasa sakit ini, Mas? Kamu menghancurkan kepercayaanku, kepercayaan yang aku bangun dengan susah payah.”
Dimas hanya bisa diam. Kata-kata Laras begitu tajam, menusuk ke dalam hati dan perasaannya. Ia tahu semua ini salahnya, namun ia tetap tak bisa membayangkan kehilangan Laras, kehilangan keluarganya.
“Aku nggak tahu harus bilang apa lagi, Laras… Selain minta maaf. Maaf untuk semua ini. Aku tahu aku nggak pantas dimaafkan,” Dimas bergumam, nadanya begitu putus asa.
Laras terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri meski hatinya terasa sesak. Ia menatap Dimas, wajahnya penuh luka yang dalam. “Maaf? Kamu pikir maaf itu cukup, Mas? Maaf nggak akan mengubah apa pun. Maaf nggak akan menghapus rasa sakit ini.”
Dimas menunduk, rasa bersalah meliputi dirinya. Laras tak tahu harus berkata apa lagi. Hatinya begitu hancur, kepercayaannya terkoyak. Ia merasa seperti berada di tengah badai besar, kehilangan pegangan, tanpa tahu ke mana harus pergi.
Laras menatap Dimas lagi, kali ini dengan pandangan yang penuh kegetiran. “Aku ingin tahu satu hal lagi, Mas… Apakah kamu pernah berpikir tentang aku? Tentang anak-anak? Saat kamu bersama dia?”
Pertanyaan itu membuat Dimas terdiam, wajahnya memucat. Ia tak bisa menjawab, hanya menunduk, tak sanggup menatap mata Laras. Itu adalah jawaban yang lebih dari cukup bagi Laras.
Dimas tak perlu mengucapkan kata apa pun; ketidaksanggupannya untuk menatap Laras saat itu adalah pengakuan yang cukup menyakitkan.
“Aku nggak percaya… kamu melakukan ini kepada aku. Kepada keluarga kita,” bisik Laras, suaranya penuh kepedihan.
Dimas mencoba meraih tangan Laras, namun Laras segera menarik tangannya, menolak untuk disentuh. “Jangan, Mas. Jangan sentuh aku,” katanya dengan suara bergetar.
Dimas menghela napas dalam, tatapannya putus asa. “Laras, aku tahu ini sulit. Tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita tetap bersama, untuk anak-anak.”
Laras tertawa kecil, tawa yang pahit dan penuh luka. “Bersama? Kamu pikir kita masih bisa bersama setelah semua ini? Kamu pikir aku bisa melihat wajahmu tanpa mengingat setiap pengkhianatan yang kamu lakukan?”
Dimas terdiam, wajahnya penuh kepedihan. Laras merasa hatinya semakin hancur melihat suaminya yang tampak menyesal, namun ia tahu penyesalan itu datang terlambat.
“Aku butuh waktu, Mas,” Laras akhirnya berkata, suaranya penuh kelembutan yang bercampur dengan rasa sakit. “Aku nggak tahu apa aku bisa memaafkan kamu. Aku nggak tahu apa aku bisa mempercayai kamu lagi.”
Dimas mengangguk, meski wajahnya penuh kepedihan. “Aku mengerti, Laras. Aku akan menunggu. Aku akan menunggu apa pun keputusanmu. Tapi, tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku menyesal.”
Laras menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah dinding, tak mampu menatap Dimas. Hatinya terasa begitu lelah, begitu berat dengan rasa sakit yang kini menguasai dirinya. Segala mimpi dan harapan yang pernah ia miliki kini terasa hancur, tersapu habis oleh pengkhianatan yang tak termaafkan.
Ia menundukkan kepala, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku nggak tahu, Mas. Aku… aku nggak tahu.”
Dimas tetap diam, menunggu dengan sabar meski hatinya dipenuhi dengan ketakutan. Ketakutan bahwa ia akan kehilangan segalanya, kehilangan orang yang paling ia cintai.
Keheningan melingkupi mereka, seolah waktu berhenti. Dalam keheningan itu, Laras tahu bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi. Kepercayaan yang selama ini ia berikan kepada Dimas kini terkoyak, dan ia tak tahu apakah bisa diperbaiki.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Laras merasa bahwa kebahagiaan yang ia miliki hanyalah ilusi. Ilusi yang kini hancur berkeping-keping, tak tersisa.
Laras berdiri di depan meja makan, memandangi Dimas yang duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ruangan yang biasa dipenuhi canda tawa anak-anak kini terasa begitu sunyi, seolah menyisakan hanya keheningan yang menyakitkan.Laras meremas jemarinya, mencoba menahan diri, mencoba menenangkan kemarahan yang membakar di dalam dadanya. Tapi kesabarannya semakin menipis.“Jadi, kamu benar-benar nggak ada hubungan apa-apa dengan Nina?” Suaranya terdengar dingin, namun setiap kata mengandung kemarahan yang tertahan. Matanya menatap Dimas tajam, tak memberi ruang bagi suaminya untuk berkelit.Dimas mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan Laras. Dia menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Laras… Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Tidak seperti yang kupikirkan?” suara Laras meninggi, penuh nada sarkasme yang tajam. “Kamu bahkan nggak tahu apa yang aku pikirkan, Mas! Aku ingin mendengar kebenaran. Cuma itu.”Dimas menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Laras, dengar d
Laras duduk sendirian di kamar, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong. Hatinya terasa begitu hampa, seolah-olah semua emosi dan rasa bahagia yang pernah ada dalam dirinya lenyap begitu saja.Semenjak pengakuan Dimas tentang perselingkuhannya dengan Nina, segalanya berubah. Hidup yang selama ini terasa penuh warna kini tampak buram, kehilangan makna dan tujuan.Malam itu terasa sunyi. Biasanya, ia menikmati saat-saat setelah anak-anak tidur dengan perasaan tenang, saat ia dan Dimas bisa berbicara tentang apa saja—mengenai hari mereka, anak-anak, atau mimpi-mimpi kecil yang ingin mereka capai bersama.Tapi malam ini, ruang itu terasa kosong dan dingin, dan Laras hanya bisa menatap tembok tanpa tujuan, pikirannya bercampur aduk.Pikirannya kembali pada momen pertama kali ia bertemu Dimas, pada bagaimana cinta mereka berkembang dari sekadar perkenalan menjadi sebuah ikatan yang ia pikir akan abadi.Mereka berdua saling mengisi, saling mendukung, membangun kehidupan bersam
Laras duduk di sofa ruang tamu yang tampak sunyi. Pikirannya terasa berat, seperti berada di antara dua jurang yang keduanya tampak tak terelakkan.Ia memandang ke arah anak-anaknya yang sedang bermain di halaman, tawa mereka mengisi udara dengan keceriaan yang dulu terasa menyenangkan, namun kini menyisakan perasaan pedih di hatinya.Hidup Laras seolah terpecah menjadi dua: di satu sisi, ia memiliki anak-anak yang membutuhkan ayah dan ibu yang utuh, dan di sisi lain, ia merasa tersakiti, dikhianati oleh lelaki yang dulu menjadi cinta sejatinya.Setiap kali ia menatap wajah anak-anaknya, hatinya semakin berat. Keputusan apa pun yang ia ambil akan meninggalkan luka, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak.Pagi ini, ia memutuskan untuk bertahan. Bukan karena rasa cinta atau kepercayaan yang dulu ada pada Dimas, melainkan demi anak-anak mereka.Laras tahu bahwa keputusan ini mungkin tak akan membuatnya bahagia, namun ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anak jika tiba-tiba
Matahari mulai terbenam ketika Laras duduk di bangku taman yang sedikit berdebu, menatap lurus ke depan sambil menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Andi duduk diam, menunggunya dengan sabar.Mereka telah memilih tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, taman kecil yang biasa mereka datangi sewaktu kuliah dulu. Di sini, Laras merasa aman, merasa bisa melepaskan beban tanpa merasa dihakimi.Selama beberapa minggu terakhir, Laras merasa hidupnya seperti bergantung pada tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ia menjalani hari-hari dengan perasaan yang tumpul, seolah-olah dikelilingi kabut yang menyelimuti setiap langkahnya.Di dalam rumah, ia hanya tersenyum untuk anak-anak, melakukan segala kewajiban dengan rutinitas tanpa perasaan. Namun, di luar itu, ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan. Bertahan atau pergi?Andi menatap Laras dengan ekspresi lembut, memahami bahwa sahabatnya itu membutuhkan waktu untuk mulai bicara.Sejak mereka kuliah, Andi telah me
Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi keheningan di dalam rumah terasa begitu menusuk.Laras sudah lama naik ke kamar, tak lagi ada percakapan-percakapan malam yang dulu selalu menghangatkan mereka.Dimas menghela napas panjang, merasa dunia yang pernah ia bangun bersama Laras kini bagaikan cermin pecah—memantulkan serpihan-serpihan kenangan indah yang tak mungkin lagi utuh.Sejak pengakuannya, Dimas telah mencoba segalanya untuk memperbaiki keadaan. Ia mengurangi jam kerja, meluangkan lebih banyak waktu untuk membantu Laras mengurus anak-anak, dan menunjukkan perhatian yang selama ini mungkin ia anggap sepele.Namun, setiap usahanya terasa sia-sia. Laras tetap dingin, menjaga jarak seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.Dimas sering kali berusaha memulai pembicaraan, mencoba merengkuh Laras dalam kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, setiap kali ia mendekati Laras,
Malam itu, hujan turun deras di luar, menciptakan suara gemerisik yang memenuhi ruang tamu. Dimas duduk di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah-olah berat dari kesalahan yang telah ia lakukan menekannya.Di seberangnya, Laras duduk dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Mereka telah berada dalam keheningan selama beberapa menit, hanya ditemani suara hujan yang menghantam jendela.Dimas menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Selama berminggu-minggu terakhir, ia telah mencoba membuktikan niat baiknya, menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki segalanya.Namun, ia tahu bahwa tidak ada tindakan yang bisa sepenuhnya menghapus luka yang telah ia berikan pada Laras.“Laras…,” ia memulai dengan nada pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu mungkin ini terdengar kosong bagimu, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku menyesal, Laras. Aku benar-benar menyesal.”Laras menghela napas panjang, menatap Di
Hari demi hari berlalu dalam keheningan yang dingin di rumah itu. Meskipun Dimas dan Laras tinggal di bawah atap yang sama, mereka seakan terjebak dalam dua dunia yang berbeda, masing-masing membangun tembok tinggi untuk melindungi diri dari rasa sakit yang tak kunjung reda. Laras merasa setiap langkahnya kini harus penuh kehati-hatian, seolah-olah segala hal yang ia lakukan bisa saja membuka luka yang masih basah di hatinya.Setiap pagi, Laras berusaha bangun lebih awal, menyiapkan sarapan dan bersiap untuk menghadapi hari bersama anak-anak. Ketika Dimas turun ke ruang makan, ia memastikan dirinya sudah berada di dapur atau sibuk mengurusi anak-anak di kamar. Mereka hampir tidak pernah berhadapan langsung, seolah-olah ada kesepakatan tak tertulis untuk menghindari satu sama lain.
Malam itu, Laras tengah membereskan kamar tidur anak-anak ketika Sarah, putri sulungnya yang berusia tujuh tahun, tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan wajah ragu. Mata kecilnya yang biasanya penuh semangat terlihat muram, seolah menyimpan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan. Laras langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda pada anak sulungnya malam itu.“Mama…” suara Sarah terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seolah-olah takut mengganggu keheningan.Laras menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Sarah. “Ada apa, sayang? Kok belum tidur?”Sarah mendekat, langkahnya perlahan, dan akhirnya berhenti di samping tempat tidur. Ia menatap Laras dengan wajah polos tapi penuh keraguan. “Mama… kenapa Mama sama Papa serin