Pagi itu, matahari bersinar cerah, dan angin berembus lembut. Suasana di rumah Laras terasa hangat. Suara tawa anak-anak yang bermain di halaman depan terdengar mengisi udara, membawa kebahagiaan sederhana di pagi yang damai itu.
Laras sedang di dapur, sibuk mencuci piring sisa sarapan sambil sesekali melirik keluar jendela, melihat anak-anak yang bermain dengan tawa riang. Ada perasaan tenang yang mengalir dalam hatinya, perasaan puas dan bahagia. Semua tampak sempurna.
Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, mengusik ketenangan pagi itu. Laras mengerutkan kening, sedikit terkejut. Dia tidak mengharapkan tamu di pagi hari seperti ini. Siapa yang datang?
Laras mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan menuju pintu depan, sambil berharap itu mungkin tetangganya yang datang untuk sesuatu yang sepele. Tapi ketika ia membuka pintu, dia dihadapkan pada pemandangan yang benar-benar tak terduga.
Di depan pintu berdiri seorang wanita muda, mungkin sekitar akhir dua puluhan. Wajahnya tegas, dengan mata yang menatap Laras lurus tanpa keraguan. Pakaiannya rapi, dan meskipun dia tampak tenang, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Laras merasakan firasat aneh.
“Selamat pagi, Mbak Laras,” sapanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.
Laras mengangguk sopan, mencoba tersenyum meski hatinya mulai diliputi pertanyaan. “Pagi. Maaf, ada yang bisa saya bantu? Kita… kenal?”
Wanita itu tersenyum kecil, senyuman yang terlihat kaku dan datar. “Saya Nina. Nina… kenalan Mas Dimas.”
Mendengar nama suaminya disebut, Laras merasa jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia mencoba tetap tenang dan tidak menunjukkan keterkejutannya. “Oh, iya? Mas Dimas tidak ada di rumah sekarang, mungkin nanti sore baru pulang. Ada pesan yang mau dititipkan?”
Nina menggeleng, tapi matanya tak lepas dari wajah Laras. “Tidak, Mbak. Sebenarnya, saya datang… untuk bicara dengan Mbak Laras, bukan dengan Mas Dimas.”
Laras terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Untuk bicara dengannya? Tapi mereka tidak pernah saling mengenal sebelumnya.
Pikiran Laras berusaha mengingat apakah ia pernah mendengar nama ‘Nina’ dari Dimas atau orang lain, namun hasilnya nihil. Wanita ini adalah sosok asing yang tiba-tiba muncul di hadapannya dengan maksud yang tak jelas.
Laras melirik anak-anak yang masih bermain di halaman, lalu kembali menatap Nina. Mungkin ini hal serius yang sebaiknya tidak dibicarakan di depan anak-anak. “Kalau begitu, masuk dulu,” ajaknya sambil memberi isyarat pada Nina untuk mengikutinya ke ruang tamu.
Nina mengangguk pelan dan melangkah masuk. Mereka duduk di sofa berhadapan, dan Laras bisa merasakan hawa ketegangan yang mulai memenuhi ruangan. Ia menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman kecil, mencoba terlihat tenang meski pikirannya dipenuhi tanda tanya.
Setelah beberapa detik hening, Laras membuka pembicaraan. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Nina?” tanyanya dengan nada sopan tapi tegas.
Nina menghela napas dalam, seolah-olah sedang mencari kekuatan untuk mengatakan sesuatu yang berat. Tatapannya tetap terfokus pada Laras, penuh dengan ketegasan yang sulit dijelaskan. Setelah menarik napas panjang, Nina mulai berbicara, suaranya terdengar rendah tapi jelas.
“Mbak Laras, saya mohon maaf harus datang ke sini. Saya tahu ini pasti mengejutkan, tapi… saya nggak punya pilihan lain. Ada hal yang harus saya sampaikan. Sesuatu yang harus Mbak tahu.”
Laras merasa napasnya tertahan. “Apa maksudmu?” tanyanya, mencoba menyembunyikan nada gugup dalam suaranya.
Nina menunduk sejenak sebelum melanjutkan, wajahnya tampak sedikit berubah, seakan merasa bersalah. “Saya… saya kenal Mas Dimas, dan hubungan kami… lebih dari sekadar teman biasa.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu besar di dada Laras. Ia merasa lemas, seolah seluruh tenaganya hilang dalam sekejap. Matanya memandang Nina, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Namun, kata-kata itu terus berputar di kepalanya, menyesakkan perasaannya.
“Hubungan… lebih dari teman biasa?” Laras mengulangi dengan suara bergetar. Tatapannya kosong, seolah sulit menerima kenyataan yang baru saja didengarnya.
Nina menatap Laras dengan raut wajah yang sulit diartikan—seperti campuran antara penyesalan dan keteguhan. “Maafkan saya, Mbak. Saya tahu ini berat untuk didengar, tapi… saya datang ke sini bukan untuk menyakiti. Saya hanya ingin menyampaikan kebenaran, dan… ada hal lain yang harus Mbak tahu.”
Hati Laras seperti dihancurkan. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di benaknya, tapi mulutnya kelu. Apakah ini benar? Apakah Dimas benar-benar melakukan ini? Selama ini, ia percaya sepenuhnya pada suaminya, percaya pada komitmen dan cinta yang mereka miliki.
Nina melanjutkan, suaranya sedikit bergetar, tapi tetap tegas. “Mbak… saya… sedang mengandung. Anak yang saya kandung… adalah anak Mas Dimas.”
Mendengar pengakuan itu, Laras merasa tubuhnya membeku. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Dunia di sekitarnya terasa berputar, namun ia tetap diam, menatap Nina dengan tatapan hampa. Kata-kata itu seolah-olah mengiris hatinya, meninggalkan luka yang begitu dalam.
Air mata mulai menggenang di mata Laras, tapi ia menahannya. Dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, ia mencoba menguasai diri dan menatap Nina, mencoba mencari kejujuran dalam tatapan wanita muda itu.
“Kamu… kamu serius?” Suara Laras terdengar pelan, nyaris berbisik, namun penuh dengan perasaan yang tak terbendung.
Nina mengangguk pelan. “Saya tahu ini sulit, Mbak. Tapi saya rasa Mbak berhak tahu. Saya… saya tidak datang ke sini untuk menuntut apa-apa, saya hanya ingin Mas Dimas mengakui anak ini. Saya ingin anak saya mendapatkan pengakuan yang layak.”
Laras terdiam, pikirannya kacau balau. Seakan ada gelombang emosi yang menghantamnya berulang kali, membawa berbagai perasaan yang bercampur aduk—marah, terluka, kecewa, dan bingung. Wajah Nina tetap tenang, meski ada sedikit rasa penyesalan di matanya.
Dalam hatinya, Laras ingin berteriak, ingin meluapkan semua kemarahan dan kesedihannya. Tapi ia hanya diam, mencoba menguasai diri, meski seluruh tubuhnya terasa lemas.
Ia mengalihkan pandangan ke arah luar jendela, melihat anak-anaknya yang masih bermain dengan riang di halaman. Mereka sama sekali tak menyadari badai besar yang sedang menghantam hati ibu mereka.
“Laras… saya tahu ini berat,” suara Nina terdengar lagi, lembut tapi penuh ketegasan. “Saya tidak bermaksud merusak rumah tangga Mbak, tapi saya juga tidak bisa membiarkan anak saya hidup tanpa pengakuan. Ini adalah hak anak saya.”
Laras menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Lalu, apa yang kamu inginkan dari saya?” tanyanya dengan suara yang hampir bergetar.
Nina menunduk sejenak, lalu kembali menatap Laras dengan sorot mata tegas. “Saya ingin anak saya mendapatkan haknya sebagai anak dari Mas Dimas. Itu saja, Mbak.”
Laras hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini, ia menganggap hidupnya sempurna, keluarganya utuh dan bahagia. Tapi kini, segalanya berubah dalam sekejap mata.
Wanita di depannya ini membawa kenyataan yang menghancurkan segala keyakinannya, membuatnya merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Dengan sisa-sisa tenaga yang tersisa, Laras mencoba menutup pertemuan itu. “Baik, Nina. Aku… aku akan bicara dengan Dimas. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya,” katanya dengan suara lirih.
Nina mengangguk, berdiri perlahan. “Terima kasih, Mbak. Saya… saya tahu ini sulit, tapi saya hanya ingin yang terbaik untuk anak saya.”
Laras mengangguk pelan, meski pikirannya masih terpaku pada kenyataan pahit yang baru saja ia dengar. Tanpa menunggu lebih lama, Nina berbalik dan pergi, meninggalkan Laras yang masih terdiam, mematung dalam ketidakpastian yang menggerogoti hatinya.
Ketika Nina sudah benar-benar pergi, Laras merosot di sofa, matanya kosong menatap langit-langit rumah. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya mengalir deras di pipinya. Seluruh tubuhnya gemetar, seolah tak mampu menahan luka yang begitu mendalam.
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang semakin keras. Namun perasaan itu begitu kuat, menghancurkan segala harapan dan kebahagiaan yang ia bangun selama ini. Laras merasa seolah-olah dunianya runtuh, cinta yang ia percaya selama ini hancur berkeping-keping.
Anak-anak masih bermain di luar, tertawa tanpa tahu apa yang sedang terjadi pada ibu mereka. Laras berusaha untuk tetap tenang, menatap wajah mereka dari balik jendela. Mereka adalah alasan ia bertahan, alasan ia menanggung semua rasa sakit ini.
Di dalam hati, Laras tahu bahwa ia harus menghadapi ini semua, meski tak tahu bagaimana. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menangis, membiarkan semua perasaan yang menyesakkan itu keluar. Dunia yang sempurna yang selama ini ia miliki kini retak, dan ia tak tahu bagaimana cara memperbaikinya kembali.
Hanya ada satu hal yang pasti: hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah pagi ini.
Laras duduk diam di ruang tamu, pandangannya kosong. Ruangan yang biasanya terasa hangat dan nyaman itu kini terasa asing, dingin, seolah tak lagi menjadi bagian dari kehidupannya.Kata-kata Nina masih terngiang di telinganya, menghantam jiwanya berulang kali, mengoyak perasaannya hingga tak tersisa.Anak-anak sudah tidur siang, tertidur lelap di kamar mereka setelah pagi yang penuh dengan permainan dan tawa. Tapi Laras tidak bisa merasakan kebahagiaan dari suara tawa mereka kali ini. Di dalam dirinya hanya ada kekosongan, kehancuran, dan rasa sakit yang tak tertanggungkan.Pintu depan terdengar terbuka. Langkah-langkah Dimas mendekat, terdengar biasa dan tenang, tanpa ia tahu badai besar yang tengah menghancurkan kehidupan mereka. Laras menoleh perlahan, melihat suaminya berdiri di depan pintu, menatapnya dengan senyuman kecil seperti biasanya.“Hai, Ras… Kok bengong?” Dimas menyapa dengan nada ringan. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika melihat ekspresi wajah Laras yang dingin
Laras berdiri di depan meja makan, memandangi Dimas yang duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ruangan yang biasa dipenuhi canda tawa anak-anak kini terasa begitu sunyi, seolah menyisakan hanya keheningan yang menyakitkan.Laras meremas jemarinya, mencoba menahan diri, mencoba menenangkan kemarahan yang membakar di dalam dadanya. Tapi kesabarannya semakin menipis.“Jadi, kamu benar-benar nggak ada hubungan apa-apa dengan Nina?” Suaranya terdengar dingin, namun setiap kata mengandung kemarahan yang tertahan. Matanya menatap Dimas tajam, tak memberi ruang bagi suaminya untuk berkelit.Dimas mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan Laras. Dia menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Laras… Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Tidak seperti yang kupikirkan?” suara Laras meninggi, penuh nada sarkasme yang tajam. “Kamu bahkan nggak tahu apa yang aku pikirkan, Mas! Aku ingin mendengar kebenaran. Cuma itu.”Dimas menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Laras, dengar d
Laras duduk sendirian di kamar, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong. Hatinya terasa begitu hampa, seolah-olah semua emosi dan rasa bahagia yang pernah ada dalam dirinya lenyap begitu saja.Semenjak pengakuan Dimas tentang perselingkuhannya dengan Nina, segalanya berubah. Hidup yang selama ini terasa penuh warna kini tampak buram, kehilangan makna dan tujuan.Malam itu terasa sunyi. Biasanya, ia menikmati saat-saat setelah anak-anak tidur dengan perasaan tenang, saat ia dan Dimas bisa berbicara tentang apa saja—mengenai hari mereka, anak-anak, atau mimpi-mimpi kecil yang ingin mereka capai bersama.Tapi malam ini, ruang itu terasa kosong dan dingin, dan Laras hanya bisa menatap tembok tanpa tujuan, pikirannya bercampur aduk.Pikirannya kembali pada momen pertama kali ia bertemu Dimas, pada bagaimana cinta mereka berkembang dari sekadar perkenalan menjadi sebuah ikatan yang ia pikir akan abadi.Mereka berdua saling mengisi, saling mendukung, membangun kehidupan bersam
Laras duduk di sofa ruang tamu yang tampak sunyi. Pikirannya terasa berat, seperti berada di antara dua jurang yang keduanya tampak tak terelakkan.Ia memandang ke arah anak-anaknya yang sedang bermain di halaman, tawa mereka mengisi udara dengan keceriaan yang dulu terasa menyenangkan, namun kini menyisakan perasaan pedih di hatinya.Hidup Laras seolah terpecah menjadi dua: di satu sisi, ia memiliki anak-anak yang membutuhkan ayah dan ibu yang utuh, dan di sisi lain, ia merasa tersakiti, dikhianati oleh lelaki yang dulu menjadi cinta sejatinya.Setiap kali ia menatap wajah anak-anaknya, hatinya semakin berat. Keputusan apa pun yang ia ambil akan meninggalkan luka, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak.Pagi ini, ia memutuskan untuk bertahan. Bukan karena rasa cinta atau kepercayaan yang dulu ada pada Dimas, melainkan demi anak-anak mereka.Laras tahu bahwa keputusan ini mungkin tak akan membuatnya bahagia, namun ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anak jika tiba-tiba
Matahari mulai terbenam ketika Laras duduk di bangku taman yang sedikit berdebu, menatap lurus ke depan sambil menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Andi duduk diam, menunggunya dengan sabar.Mereka telah memilih tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, taman kecil yang biasa mereka datangi sewaktu kuliah dulu. Di sini, Laras merasa aman, merasa bisa melepaskan beban tanpa merasa dihakimi.Selama beberapa minggu terakhir, Laras merasa hidupnya seperti bergantung pada tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ia menjalani hari-hari dengan perasaan yang tumpul, seolah-olah dikelilingi kabut yang menyelimuti setiap langkahnya.Di dalam rumah, ia hanya tersenyum untuk anak-anak, melakukan segala kewajiban dengan rutinitas tanpa perasaan. Namun, di luar itu, ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan. Bertahan atau pergi?Andi menatap Laras dengan ekspresi lembut, memahami bahwa sahabatnya itu membutuhkan waktu untuk mulai bicara.Sejak mereka kuliah, Andi telah me
Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi keheningan di dalam rumah terasa begitu menusuk.Laras sudah lama naik ke kamar, tak lagi ada percakapan-percakapan malam yang dulu selalu menghangatkan mereka.Dimas menghela napas panjang, merasa dunia yang pernah ia bangun bersama Laras kini bagaikan cermin pecah—memantulkan serpihan-serpihan kenangan indah yang tak mungkin lagi utuh.Sejak pengakuannya, Dimas telah mencoba segalanya untuk memperbaiki keadaan. Ia mengurangi jam kerja, meluangkan lebih banyak waktu untuk membantu Laras mengurus anak-anak, dan menunjukkan perhatian yang selama ini mungkin ia anggap sepele.Namun, setiap usahanya terasa sia-sia. Laras tetap dingin, menjaga jarak seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.Dimas sering kali berusaha memulai pembicaraan, mencoba merengkuh Laras dalam kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, setiap kali ia mendekati Laras,
Malam itu, hujan turun deras di luar, menciptakan suara gemerisik yang memenuhi ruang tamu. Dimas duduk di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah-olah berat dari kesalahan yang telah ia lakukan menekannya.Di seberangnya, Laras duduk dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Mereka telah berada dalam keheningan selama beberapa menit, hanya ditemani suara hujan yang menghantam jendela.Dimas menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Selama berminggu-minggu terakhir, ia telah mencoba membuktikan niat baiknya, menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki segalanya.Namun, ia tahu bahwa tidak ada tindakan yang bisa sepenuhnya menghapus luka yang telah ia berikan pada Laras.“Laras…,” ia memulai dengan nada pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu mungkin ini terdengar kosong bagimu, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku menyesal, Laras. Aku benar-benar menyesal.”Laras menghela napas panjang, menatap Di
Hari demi hari berlalu dalam keheningan yang dingin di rumah itu. Meskipun Dimas dan Laras tinggal di bawah atap yang sama, mereka seakan terjebak dalam dua dunia yang berbeda, masing-masing membangun tembok tinggi untuk melindungi diri dari rasa sakit yang tak kunjung reda. Laras merasa setiap langkahnya kini harus penuh kehati-hatian, seolah-olah segala hal yang ia lakukan bisa saja membuka luka yang masih basah di hatinya.Setiap pagi, Laras berusaha bangun lebih awal, menyiapkan sarapan dan bersiap untuk menghadapi hari bersama anak-anak. Ketika Dimas turun ke ruang makan, ia memastikan dirinya sudah berada di dapur atau sibuk mengurusi anak-anak di kamar. Mereka hampir tidak pernah berhadapan langsung, seolah-olah ada kesepakatan tak tertulis untuk menghindari satu sama lain.