Share

Bab 3: Hadirnya Tamu Tak Diundang

Pagi itu, matahari bersinar cerah, dan angin berembus lembut. Suasana di rumah Laras terasa hangat. Suara tawa anak-anak yang bermain di halaman depan terdengar mengisi udara, membawa kebahagiaan sederhana di pagi yang damai itu.

Laras sedang di dapur, sibuk mencuci piring sisa sarapan sambil sesekali melirik keluar jendela, melihat anak-anak yang bermain dengan tawa riang. Ada perasaan tenang yang mengalir dalam hatinya, perasaan puas dan bahagia. Semua tampak sempurna.

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, mengusik ketenangan pagi itu. Laras mengerutkan kening, sedikit terkejut. Dia tidak mengharapkan tamu di pagi hari seperti ini. Siapa yang datang?

Laras mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan menuju pintu depan, sambil berharap itu mungkin tetangganya yang datang untuk sesuatu yang sepele. Tapi ketika ia membuka pintu, dia dihadapkan pada pemandangan yang benar-benar tak terduga.

Di depan pintu berdiri seorang wanita muda, mungkin sekitar akhir dua puluhan. Wajahnya tegas, dengan mata yang menatap Laras lurus tanpa keraguan. Pakaiannya rapi, dan meskipun dia tampak tenang, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Laras merasakan firasat aneh.

“Selamat pagi, Mbak Laras,” sapanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.

Laras mengangguk sopan, mencoba tersenyum meski hatinya mulai diliputi pertanyaan. “Pagi. Maaf, ada yang bisa saya bantu? Kita… kenal?”

Wanita itu tersenyum kecil, senyuman yang terlihat kaku dan datar. “Saya Nina. Nina… kenalan Mas Dimas.”

Mendengar nama suaminya disebut, Laras merasa jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia mencoba tetap tenang dan tidak menunjukkan keterkejutannya. “Oh, iya? Mas Dimas tidak ada di rumah sekarang, mungkin nanti sore baru pulang. Ada pesan yang mau dititipkan?”

Nina menggeleng, tapi matanya tak lepas dari wajah Laras. “Tidak, Mbak. Sebenarnya, saya datang… untuk bicara dengan Mbak Laras, bukan dengan Mas Dimas.”

Laras terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Untuk bicara dengannya? Tapi mereka tidak pernah saling mengenal sebelumnya.

Pikiran Laras berusaha mengingat apakah ia pernah mendengar nama ‘Nina’ dari Dimas atau orang lain, namun hasilnya nihil. Wanita ini adalah sosok asing yang tiba-tiba muncul di hadapannya dengan maksud yang tak jelas.

Laras melirik anak-anak yang masih bermain di halaman, lalu kembali menatap Nina. Mungkin ini hal serius yang sebaiknya tidak dibicarakan di depan anak-anak. “Kalau begitu, masuk dulu,” ajaknya sambil memberi isyarat pada Nina untuk mengikutinya ke ruang tamu.

Nina mengangguk pelan dan melangkah masuk. Mereka duduk di sofa berhadapan, dan Laras bisa merasakan hawa ketegangan yang mulai memenuhi ruangan. Ia menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman kecil, mencoba terlihat tenang meski pikirannya dipenuhi tanda tanya.

Setelah beberapa detik hening, Laras membuka pembicaraan. “Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Nina?” tanyanya dengan nada sopan tapi tegas.

Nina menghela napas dalam, seolah-olah sedang mencari kekuatan untuk mengatakan sesuatu yang berat. Tatapannya tetap terfokus pada Laras, penuh dengan ketegasan yang sulit dijelaskan. Setelah menarik napas panjang, Nina mulai berbicara, suaranya terdengar rendah tapi jelas.

“Mbak Laras, saya mohon maaf harus datang ke sini. Saya tahu ini pasti mengejutkan, tapi… saya nggak punya pilihan lain. Ada hal yang harus saya sampaikan. Sesuatu yang harus Mbak tahu.”

Laras merasa napasnya tertahan. “Apa maksudmu?” tanyanya, mencoba menyembunyikan nada gugup dalam suaranya.

Nina menunduk sejenak sebelum melanjutkan, wajahnya tampak sedikit berubah, seakan merasa bersalah. “Saya… saya kenal Mas Dimas, dan hubungan kami… lebih dari sekadar teman biasa.”

Kata-kata itu jatuh seperti batu besar di dada Laras. Ia merasa lemas, seolah seluruh tenaganya hilang dalam sekejap. Matanya memandang Nina, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Namun, kata-kata itu terus berputar di kepalanya, menyesakkan perasaannya.

“Hubungan… lebih dari teman biasa?” Laras mengulangi dengan suara bergetar. Tatapannya kosong, seolah sulit menerima kenyataan yang baru saja didengarnya.

Nina menatap Laras dengan raut wajah yang sulit diartikan—seperti campuran antara penyesalan dan keteguhan. “Maafkan saya, Mbak. Saya tahu ini berat untuk didengar, tapi… saya datang ke sini bukan untuk menyakiti. Saya hanya ingin menyampaikan kebenaran, dan… ada hal lain yang harus Mbak tahu.”

Hati Laras seperti dihancurkan. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di benaknya, tapi mulutnya kelu. Apakah ini benar? Apakah Dimas benar-benar melakukan ini? Selama ini, ia percaya sepenuhnya pada suaminya, percaya pada komitmen dan cinta yang mereka miliki.

Nina melanjutkan, suaranya sedikit bergetar, tapi tetap tegas. “Mbak… saya… sedang mengandung. Anak yang saya kandung… adalah anak Mas Dimas.”

Mendengar pengakuan itu, Laras merasa tubuhnya membeku. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Dunia di sekitarnya terasa berputar, namun ia tetap diam, menatap Nina dengan tatapan hampa. Kata-kata itu seolah-olah mengiris hatinya, meninggalkan luka yang begitu dalam.

Air mata mulai menggenang di mata Laras, tapi ia menahannya. Dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, ia mencoba menguasai diri dan menatap Nina, mencoba mencari kejujuran dalam tatapan wanita muda itu.

“Kamu… kamu serius?” Suara Laras terdengar pelan, nyaris berbisik, namun penuh dengan perasaan yang tak terbendung.

Nina mengangguk pelan. “Saya tahu ini sulit, Mbak. Tapi saya rasa Mbak berhak tahu. Saya… saya tidak datang ke sini untuk menuntut apa-apa, saya hanya ingin Mas Dimas mengakui anak ini. Saya ingin anak saya mendapatkan pengakuan yang layak.”

Laras terdiam, pikirannya kacau balau. Seakan ada gelombang emosi yang menghantamnya berulang kali, membawa berbagai perasaan yang bercampur aduk—marah, terluka, kecewa, dan bingung. Wajah Nina tetap tenang, meski ada sedikit rasa penyesalan di matanya.

Dalam hatinya, Laras ingin berteriak, ingin meluapkan semua kemarahan dan kesedihannya. Tapi ia hanya diam, mencoba menguasai diri, meski seluruh tubuhnya terasa lemas.

Ia mengalihkan pandangan ke arah luar jendela, melihat anak-anaknya yang masih bermain dengan riang di halaman. Mereka sama sekali tak menyadari badai besar yang sedang menghantam hati ibu mereka.

“Laras… saya tahu ini berat,” suara Nina terdengar lagi, lembut tapi penuh ketegasan. “Saya tidak bermaksud merusak rumah tangga Mbak, tapi saya juga tidak bisa membiarkan anak saya hidup tanpa pengakuan. Ini adalah hak anak saya.”

Laras menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Lalu, apa yang kamu inginkan dari saya?” tanyanya dengan suara yang hampir bergetar.

Nina menunduk sejenak, lalu kembali menatap Laras dengan sorot mata tegas. “Saya ingin anak saya mendapatkan haknya sebagai anak dari Mas Dimas. Itu saja, Mbak.”

Laras hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini, ia menganggap hidupnya sempurna, keluarganya utuh dan bahagia. Tapi kini, segalanya berubah dalam sekejap mata.

Wanita di depannya ini membawa kenyataan yang menghancurkan segala keyakinannya, membuatnya merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Dengan sisa-sisa tenaga yang tersisa, Laras mencoba menutup pertemuan itu. “Baik, Nina. Aku… aku akan bicara dengan Dimas. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya,” katanya dengan suara lirih.

Nina mengangguk, berdiri perlahan. “Terima kasih, Mbak. Saya… saya tahu ini sulit, tapi saya hanya ingin yang terbaik untuk anak saya.”

Laras mengangguk pelan, meski pikirannya masih terpaku pada kenyataan pahit yang baru saja ia dengar. Tanpa menunggu lebih lama, Nina berbalik dan pergi, meninggalkan Laras yang masih terdiam, mematung dalam ketidakpastian yang menggerogoti hatinya.

Ketika Nina sudah benar-benar pergi, Laras merosot di sofa, matanya kosong menatap langit-langit rumah. Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya mengalir deras di pipinya. Seluruh tubuhnya gemetar, seolah tak mampu menahan luka yang begitu mendalam.

Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang semakin keras. Namun perasaan itu begitu kuat, menghancurkan segala harapan dan kebahagiaan yang ia bangun selama ini. Laras merasa seolah-olah dunianya runtuh, cinta yang ia percaya selama ini hancur berkeping-keping.

Anak-anak masih bermain di luar, tertawa tanpa tahu apa yang sedang terjadi pada ibu mereka. Laras berusaha untuk tetap tenang, menatap wajah mereka dari balik jendela. Mereka adalah alasan ia bertahan, alasan ia menanggung semua rasa sakit ini.

Di dalam hati, Laras tahu bahwa ia harus menghadapi ini semua, meski tak tahu bagaimana. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menangis, membiarkan semua perasaan yang menyesakkan itu keluar. Dunia yang sempurna yang selama ini ia miliki kini retak, dan ia tak tahu bagaimana cara memperbaikinya kembali.

Hanya ada satu hal yang pasti: hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah pagi ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status