Share

Bab 2: Mimpi yang Terwujud

“Mas, pernah nggak kamu mikir kalau hidup kita bakal kayak gini?” Laras bertanya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Dimas. Mereka duduk di sofa ruang tamu, menikmati ketenangan pagi sementara anak-anak bermain di halaman depan.

Dimas menoleh ke arah istrinya, tertawa kecil. “Maksudnya? Hidup sederhana ini?”

Laras tertawa juga. “Nggak, bukan cuma itu, Mas. Semua ini… kamu, anak-anak, rumah kecil kita. Rasanya semua terlalu sempurna untuk dipercaya.”

Dimas menatap dalam-dalam ke mata Laras, sambil menggenggam tangannya. “Aku juga kadang merasa ini semua seperti mimpi. Kadang, aku masih nggak percaya kamu bisa jatuh cinta sama aku dulu.” Ia menambahkan dengan nada bercanda, membuat Laras tertawa kecil lagi.

Mata Laras menerawang ke jendela, menembus pemandangan yang kini tak terlihat, ingatannya kembali ke tahun-tahun lampau. Dia mengingat pertama kali bertemu Dimas, di sebuah kafe kecil dekat kampus.

Laras masih menjadi mahasiswi akhir saat itu, sibuk dengan skripsi dan tugas-tugas yang terus mengejar. Sementara Dimas baru saja menyelesaikan kuliahnya dan sedang bekerja paruh waktu di perusahaan kecil.

Pagi itu, Dimas datang dengan senyumnya yang hangat, membawa secangkir kopi yang ia berikan langsung pada Laras. “Mbak, ini pesanannya.”

Laras mengerutkan kening, merasa ada yang salah. "Saya belum pesan kopi, deh."

Dimas tertawa, memperlihatkan senyum lebarnya. "Saya tahu. Tapi saya pikir Mbak kelihatan capek. Kopi ini biar Mbak tambah semangat, ya?”

Laras terkejut sekaligus tersipu. Tidak biasanya ada orang asing yang begitu perhatian. Dia meraih cangkir kopi itu sambil menatap Dimas dengan pandangan bingung bercampur malu. “Terima kasih,” katanya pelan.

Saat itu, dia tidak menyadari bahwa lelaki di depannya akan menjadi bagian besar dari hidupnya, bahwa senyuman kecil di pagi itu akan membawanya ke hari-hari yang penuh cinta dan kebahagiaan.

Perkenalan mereka berlanjut dengan percakapan-percakapan ringan di kafe yang sama, sampai suatu hari Dimas memberanikan diri mengajak Laras makan malam. Laras ingat betul perasaan gugupnya saat menerima ajakan itu.

Mereka makan malam di warung kecil dekat kampus, dengan hidangan yang sederhana. Namun, malam itu terasa begitu berkesan. Percakapan mereka mengalir seperti sungai yang tenang, tanpa hambatan, tanpa beban.

Dari hobi, pandangan hidup, sampai impian mereka di masa depan. Semuanya terasa selaras, seperti dua kepingan puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.

Saat itu, Dimas mengungkapkan harapannya untuk memiliki keluarga yang hangat, rumah kecil yang nyaman, dan seorang istri yang bisa diajak berjuang bersama. Laras hanya tersenyum dan mengangguk pelan, tanpa tahu bahwa harapan Dimas itu kelak akan menjadi kenyataan mereka.

“Dan sekarang, lihat kita, Mas. Semua yang dulu cuma impian, sekarang jadi nyata. Kita punya anak-anak yang lucu dan rumah yang… ya, mungkin kecil, tapi selalu terasa hangat,” gumam Laras sambil menatap Dimas dengan tatapan penuh cinta.

Dimas mengangguk, tersenyum puas. “Aku juga selalu percaya, selama kamu ada di sampingku, nggak ada yang nggak mungkin, Ras. Kamu adalah kekuatanku.”

Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam kenangan yang muncul kembali seperti film yang diputar ulang.

Laras mengingat bagaimana setelah beberapa bulan mereka bersama, Dimas melamarnya dengan cara yang begitu sederhana namun tulus. Di bawah pohon besar di taman kota, Dimas berlutut, memandanginya dengan mata berbinar. “Laras, maukah kamu menikah denganku?”

Waktu itu, hati Laras penuh dengan rasa bahagia yang sulit dijelaskan. Tanpa ragu, dia menganggukkan kepala dan berkata, “Ya.” Hanya itu. Tanpa banyak kata, mereka tahu mereka telah menemukan satu sama lain.

Setelah pernikahan mereka, hidup tidak selalu mudah. Dimas memulai karirnya dari bawah, dan Laras bekerja paruh waktu untuk membantu memenuhi kebutuhan. Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil yang sempit, tapi penuh kehangatan. Meski fasilitas terbatas, mereka saling mendukung dan menguatkan.

Laras teringat saat pertama kali mengetahui dirinya hamil. Dia menunggu Dimas pulang dari kantor dengan perasaan yang campur aduk antara bahagia dan gugup.

Ketika Dimas pulang dan melihat test pack di tangannya, ekspresi wajahnya berubah menjadi keterkejutan yang lucu. Lalu, dengan senyuman lebar yang tak bisa disembunyikan, Dimas memeluknya erat, penuh kegembiraan.

Malam itu, mereka merayakan dengan makan malam sederhana di rumah, sambil membayangkan kehidupan mereka yang akan berubah dengan kehadiran seorang bayi.

“Kamu masih ingat waktu tahu aku hamil Sarah?” tanya Laras sambil tertawa kecil.

Dimas mengangguk. “Waktu itu aku panik. Sebenarnya aku belum siap jadi ayah, tapi waktu lihat wajahmu, aku langsung yakin semuanya akan baik-baik saja.”

Laras tersenyum. Begitu banyak momen-momen kecil yang penuh makna di dalam hubungan mereka. Ketika Sarah lahir, mereka berdua belajar menjadi orang tua bersama.

Setiap malam, Dimas selalu membantu Laras menjaga bayi mereka, meski keesokan harinya ia harus berangkat kerja pagi-pagi. Rasa lelah seolah hilang ketika mereka melihat wajah kecil Sarah yang tertidur lelap.

Perlahan-lahan, kehidupan mereka mulai membaik. Dimas mendapatkan pekerjaan yang lebih stabil, dan mereka bisa pindah ke rumah yang lebih besar, meski masih sederhana. Namun, bagi mereka, rumah itu adalah segalanya.

Mereka menghias rumah itu bersama-sama, melukis dinding, memilih furnitur yang sederhana namun nyaman. Setiap sudut rumah itu dipenuhi dengan cinta dan kerja keras mereka.

Dimas selalu punya cara untuk membuat Laras tersenyum, bahkan di saat-saat tersulit. Ketika Naya lahir, Dimas membelikannya boneka kecil yang ia temukan di pasar malam. “Ini buat anak perempuan kita yang kedua. Semoga boneka ini bisa jadi teman bermainnya nanti,” katanya sambil tersenyum hangat.

Mereka berdua menyaksikan anak-anak mereka tumbuh dengan penuh kasih. Setiap langkah pertama, setiap kata pertama, setiap hari ulang tahun mereka rayakan dengan kebahagiaan sederhana.

Rumah mereka selalu penuh tawa dan kegembiraan. Raka, si bungsu, datang melengkapi keluarga mereka. Kehadirannya membawa warna baru, membuat rumah mereka semakin hidup.

“Kita dulu nggak pernah punya apa-apa, tapi ternyata kita punya segalanya sekarang,” gumam Laras pelan sambil menatap Dimas dengan penuh cinta. “Kamu dan anak-anak adalah segalanya untukku.”

Dimas menggenggam tangan Laras erat-erat. “Aku selalu tahu, kita nggak perlu banyak untuk bahagia. Yang penting kita punya satu sama lain.”

Laras menghela napas dalam-dalam, merasa terharu. “Mas, kadang aku takut. Takut kalau kebahagiaan ini hilang begitu saja. Seperti mimpi yang tiba-tiba selesai.”

Dimas menatap Laras dalam-dalam, lalu menggenggam kedua bahunya. “Kita nggak akan membiarkan itu terjadi, Laras. Aku janji, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini untuk kamu dan anak-anak.”

Air mata menggenang di mata Laras, namun ia mencoba menahannya, merasa tersentuh oleh kata-kata suaminya. Dimas memang bukan tipe lelaki yang banyak berkata-kata romantis, tapi ia selalu tahu cara membuat Laras merasa dicintai.

Mereka duduk bersama, dalam keheningan yang nyaman, menikmati pagi yang perlahan mulai berlalu. Di luar, suara tawa anak-anak mereka terdengar, memenuhi halaman rumah dengan kegembiraan.

“Kamu tahu, Mas? Waktu aku pertama kali bertemu kamu, aku nggak pernah menyangka kita bisa sampai sejauh ini. Aku pikir, kamu cuma akan jadi kenangan kecil di hidupku. Tapi lihat kita sekarang, aku punya suami yang luar biasa dan anak-anak yang mengisi hidupku setiap hari,” kata Laras dengan senyum lembut.

Dimas tersenyum, lalu merangkul Laras erat. “Aku juga merasa beruntung, Ras. Hidup kita memang nggak selalu mudah, tapi dengan kamu di sampingku, aku merasa bisa menghadapi apa saja.”

Mereka berdua terdiam sejenak, terbenam dalam kenangan dan rasa syukur. Setiap detik, setiap langkah yang mereka ambil bersama, telah membawa mereka pada kehidupan yang mereka impikan. Hidup mungkin tidak sempurna, tapi bagi mereka, kebahagiaan sederhana ini adalah segala-galanya.

Laras menatap Dimas, merasa bahwa meski mereka tidak memiliki segalanya, cinta dan kebersamaan telah membuat hidup mereka sempurna dengan caranya sendiri. Mereka bukan pasangan yang sempurna, tapi mereka adalah pasangan yang saling melengkapi, saling mendukung, dan saling mencintai.

“Mas, terima kasih karena kamu selalu ada untukku,” bisik Laras, menyandarkan kepalanya di bahu Dimas.

“Selalu, Laras. Selalu untukmu dan anak-anak kita,” jawab Dimas sambil mencium puncak kepalanya.

Mereka berdua duduk berdua dalam keheningan, memandangi halaman rumah yang penuh tawa anak-anak mereka. Di tengah semua kebahagiaan ini, mereka tahu bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang tak akan pernah mereka tukarkan dengan apapun di dunia ini.

Hari itu, mereka duduk bersama, merasakan kehangatan cinta yang pernah mereka impikan kini menjadi kenyataan. Tak peduli apa yang mungkin akan terjadi di masa depan, mereka tahu mereka akan selalu bersama, melindungi dan mendampingi satu sama lain, menjaga cinta mereka tetap hidup.

Hidup ini memang tidak sempurna, tapi di dalam ketidaksempurnaan itulah mereka menemukan kebahagiaan sejati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status