“Mas, pernah nggak kamu mikir kalau hidup kita bakal kayak gini?” Laras bertanya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Dimas. Mereka duduk di sofa ruang tamu, menikmati ketenangan pagi sementara anak-anak bermain di halaman depan.
Dimas menoleh ke arah istrinya, tertawa kecil. “Maksudnya? Hidup sederhana ini?”
Laras tertawa juga. “Nggak, bukan cuma itu, Mas. Semua ini… kamu, anak-anak, rumah kecil kita. Rasanya semua terlalu sempurna untuk dipercaya.”
Dimas menatap dalam-dalam ke mata Laras, sambil menggenggam tangannya. “Aku juga kadang merasa ini semua seperti mimpi. Kadang, aku masih nggak percaya kamu bisa jatuh cinta sama aku dulu.” Ia menambahkan dengan nada bercanda, membuat Laras tertawa kecil lagi.
Mata Laras menerawang ke jendela, menembus pemandangan yang kini tak terlihat, ingatannya kembali ke tahun-tahun lampau. Dia mengingat pertama kali bertemu Dimas, di sebuah kafe kecil dekat kampus.
Laras masih menjadi mahasiswi akhir saat itu, sibuk dengan skripsi dan tugas-tugas yang terus mengejar. Sementara Dimas baru saja menyelesaikan kuliahnya dan sedang bekerja paruh waktu di perusahaan kecil.
Pagi itu, Dimas datang dengan senyumnya yang hangat, membawa secangkir kopi yang ia berikan langsung pada Laras. “Mbak, ini pesanannya.”
Laras mengerutkan kening, merasa ada yang salah. "Saya belum pesan kopi, deh."
Dimas tertawa, memperlihatkan senyum lebarnya. "Saya tahu. Tapi saya pikir Mbak kelihatan capek. Kopi ini biar Mbak tambah semangat, ya?”
Laras terkejut sekaligus tersipu. Tidak biasanya ada orang asing yang begitu perhatian. Dia meraih cangkir kopi itu sambil menatap Dimas dengan pandangan bingung bercampur malu. “Terima kasih,” katanya pelan.
Saat itu, dia tidak menyadari bahwa lelaki di depannya akan menjadi bagian besar dari hidupnya, bahwa senyuman kecil di pagi itu akan membawanya ke hari-hari yang penuh cinta dan kebahagiaan.
Perkenalan mereka berlanjut dengan percakapan-percakapan ringan di kafe yang sama, sampai suatu hari Dimas memberanikan diri mengajak Laras makan malam. Laras ingat betul perasaan gugupnya saat menerima ajakan itu.
Mereka makan malam di warung kecil dekat kampus, dengan hidangan yang sederhana. Namun, malam itu terasa begitu berkesan. Percakapan mereka mengalir seperti sungai yang tenang, tanpa hambatan, tanpa beban.
Dari hobi, pandangan hidup, sampai impian mereka di masa depan. Semuanya terasa selaras, seperti dua kepingan puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.
Saat itu, Dimas mengungkapkan harapannya untuk memiliki keluarga yang hangat, rumah kecil yang nyaman, dan seorang istri yang bisa diajak berjuang bersama. Laras hanya tersenyum dan mengangguk pelan, tanpa tahu bahwa harapan Dimas itu kelak akan menjadi kenyataan mereka.
“Dan sekarang, lihat kita, Mas. Semua yang dulu cuma impian, sekarang jadi nyata. Kita punya anak-anak yang lucu dan rumah yang… ya, mungkin kecil, tapi selalu terasa hangat,” gumam Laras sambil menatap Dimas dengan tatapan penuh cinta.
Dimas mengangguk, tersenyum puas. “Aku juga selalu percaya, selama kamu ada di sampingku, nggak ada yang nggak mungkin, Ras. Kamu adalah kekuatanku.”
Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam kenangan yang muncul kembali seperti film yang diputar ulang.
Laras mengingat bagaimana setelah beberapa bulan mereka bersama, Dimas melamarnya dengan cara yang begitu sederhana namun tulus. Di bawah pohon besar di taman kota, Dimas berlutut, memandanginya dengan mata berbinar. “Laras, maukah kamu menikah denganku?”
Waktu itu, hati Laras penuh dengan rasa bahagia yang sulit dijelaskan. Tanpa ragu, dia menganggukkan kepala dan berkata, “Ya.” Hanya itu. Tanpa banyak kata, mereka tahu mereka telah menemukan satu sama lain.
Setelah pernikahan mereka, hidup tidak selalu mudah. Dimas memulai karirnya dari bawah, dan Laras bekerja paruh waktu untuk membantu memenuhi kebutuhan. Mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil yang sempit, tapi penuh kehangatan. Meski fasilitas terbatas, mereka saling mendukung dan menguatkan.
Laras teringat saat pertama kali mengetahui dirinya hamil. Dia menunggu Dimas pulang dari kantor dengan perasaan yang campur aduk antara bahagia dan gugup.
Ketika Dimas pulang dan melihat test pack di tangannya, ekspresi wajahnya berubah menjadi keterkejutan yang lucu. Lalu, dengan senyuman lebar yang tak bisa disembunyikan, Dimas memeluknya erat, penuh kegembiraan.
Malam itu, mereka merayakan dengan makan malam sederhana di rumah, sambil membayangkan kehidupan mereka yang akan berubah dengan kehadiran seorang bayi.
“Kamu masih ingat waktu tahu aku hamil Sarah?” tanya Laras sambil tertawa kecil.
Dimas mengangguk. “Waktu itu aku panik. Sebenarnya aku belum siap jadi ayah, tapi waktu lihat wajahmu, aku langsung yakin semuanya akan baik-baik saja.”
Laras tersenyum. Begitu banyak momen-momen kecil yang penuh makna di dalam hubungan mereka. Ketika Sarah lahir, mereka berdua belajar menjadi orang tua bersama.
Setiap malam, Dimas selalu membantu Laras menjaga bayi mereka, meski keesokan harinya ia harus berangkat kerja pagi-pagi. Rasa lelah seolah hilang ketika mereka melihat wajah kecil Sarah yang tertidur lelap.
Perlahan-lahan, kehidupan mereka mulai membaik. Dimas mendapatkan pekerjaan yang lebih stabil, dan mereka bisa pindah ke rumah yang lebih besar, meski masih sederhana. Namun, bagi mereka, rumah itu adalah segalanya.
Mereka menghias rumah itu bersama-sama, melukis dinding, memilih furnitur yang sederhana namun nyaman. Setiap sudut rumah itu dipenuhi dengan cinta dan kerja keras mereka.
Dimas selalu punya cara untuk membuat Laras tersenyum, bahkan di saat-saat tersulit. Ketika Naya lahir, Dimas membelikannya boneka kecil yang ia temukan di pasar malam. “Ini buat anak perempuan kita yang kedua. Semoga boneka ini bisa jadi teman bermainnya nanti,” katanya sambil tersenyum hangat.
Mereka berdua menyaksikan anak-anak mereka tumbuh dengan penuh kasih. Setiap langkah pertama, setiap kata pertama, setiap hari ulang tahun mereka rayakan dengan kebahagiaan sederhana.
Rumah mereka selalu penuh tawa dan kegembiraan. Raka, si bungsu, datang melengkapi keluarga mereka. Kehadirannya membawa warna baru, membuat rumah mereka semakin hidup.
“Kita dulu nggak pernah punya apa-apa, tapi ternyata kita punya segalanya sekarang,” gumam Laras pelan sambil menatap Dimas dengan penuh cinta. “Kamu dan anak-anak adalah segalanya untukku.”
Dimas menggenggam tangan Laras erat-erat. “Aku selalu tahu, kita nggak perlu banyak untuk bahagia. Yang penting kita punya satu sama lain.”
Laras menghela napas dalam-dalam, merasa terharu. “Mas, kadang aku takut. Takut kalau kebahagiaan ini hilang begitu saja. Seperti mimpi yang tiba-tiba selesai.”
Dimas menatap Laras dalam-dalam, lalu menggenggam kedua bahunya. “Kita nggak akan membiarkan itu terjadi, Laras. Aku janji, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini untuk kamu dan anak-anak.”
Air mata menggenang di mata Laras, namun ia mencoba menahannya, merasa tersentuh oleh kata-kata suaminya. Dimas memang bukan tipe lelaki yang banyak berkata-kata romantis, tapi ia selalu tahu cara membuat Laras merasa dicintai.
Mereka duduk bersama, dalam keheningan yang nyaman, menikmati pagi yang perlahan mulai berlalu. Di luar, suara tawa anak-anak mereka terdengar, memenuhi halaman rumah dengan kegembiraan.
“Kamu tahu, Mas? Waktu aku pertama kali bertemu kamu, aku nggak pernah menyangka kita bisa sampai sejauh ini. Aku pikir, kamu cuma akan jadi kenangan kecil di hidupku. Tapi lihat kita sekarang, aku punya suami yang luar biasa dan anak-anak yang mengisi hidupku setiap hari,” kata Laras dengan senyum lembut.
Dimas tersenyum, lalu merangkul Laras erat. “Aku juga merasa beruntung, Ras. Hidup kita memang nggak selalu mudah, tapi dengan kamu di sampingku, aku merasa bisa menghadapi apa saja.”
Mereka berdua terdiam sejenak, terbenam dalam kenangan dan rasa syukur. Setiap detik, setiap langkah yang mereka ambil bersama, telah membawa mereka pada kehidupan yang mereka impikan. Hidup mungkin tidak sempurna, tapi bagi mereka, kebahagiaan sederhana ini adalah segala-galanya.
Laras menatap Dimas, merasa bahwa meski mereka tidak memiliki segalanya, cinta dan kebersamaan telah membuat hidup mereka sempurna dengan caranya sendiri. Mereka bukan pasangan yang sempurna, tapi mereka adalah pasangan yang saling melengkapi, saling mendukung, dan saling mencintai.
“Mas, terima kasih karena kamu selalu ada untukku,” bisik Laras, menyandarkan kepalanya di bahu Dimas.
“Selalu, Laras. Selalu untukmu dan anak-anak kita,” jawab Dimas sambil mencium puncak kepalanya.
Mereka berdua duduk berdua dalam keheningan, memandangi halaman rumah yang penuh tawa anak-anak mereka. Di tengah semua kebahagiaan ini, mereka tahu bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang tak akan pernah mereka tukarkan dengan apapun di dunia ini.
Hari itu, mereka duduk bersama, merasakan kehangatan cinta yang pernah mereka impikan kini menjadi kenyataan. Tak peduli apa yang mungkin akan terjadi di masa depan, mereka tahu mereka akan selalu bersama, melindungi dan mendampingi satu sama lain, menjaga cinta mereka tetap hidup.
Hidup ini memang tidak sempurna, tapi di dalam ketidaksempurnaan itulah mereka menemukan kebahagiaan sejati.
Pagi itu, matahari bersinar cerah, dan angin berembus lembut. Suasana di rumah Laras terasa hangat. Suara tawa anak-anak yang bermain di halaman depan terdengar mengisi udara, membawa kebahagiaan sederhana di pagi yang damai itu.Laras sedang di dapur, sibuk mencuci piring sisa sarapan sambil sesekali melirik keluar jendela, melihat anak-anak yang bermain dengan tawa riang. Ada perasaan tenang yang mengalir dalam hatinya, perasaan puas dan bahagia. Semua tampak sempurna.Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, mengusik ketenangan pagi itu. Laras mengerutkan kening, sedikit terkejut. Dia tidak mengharapkan tamu di pagi hari seperti ini. Siapa yang datang?Laras mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan menuju pintu depan, sambil berharap itu mungkin tetangganya yang datang untuk sesuatu yang sepele. Tapi ketika ia membuka pintu, dia dihadapkan pada pemandangan yang benar-benar tak terduga.Di depan pintu berdiri seorang wanita muda, mungkin sekitar akhir dua puluhan. Wajahnya tegas, deng
Laras duduk diam di ruang tamu, pandangannya kosong. Ruangan yang biasanya terasa hangat dan nyaman itu kini terasa asing, dingin, seolah tak lagi menjadi bagian dari kehidupannya.Kata-kata Nina masih terngiang di telinganya, menghantam jiwanya berulang kali, mengoyak perasaannya hingga tak tersisa.Anak-anak sudah tidur siang, tertidur lelap di kamar mereka setelah pagi yang penuh dengan permainan dan tawa. Tapi Laras tidak bisa merasakan kebahagiaan dari suara tawa mereka kali ini. Di dalam dirinya hanya ada kekosongan, kehancuran, dan rasa sakit yang tak tertanggungkan.Pintu depan terdengar terbuka. Langkah-langkah Dimas mendekat, terdengar biasa dan tenang, tanpa ia tahu badai besar yang tengah menghancurkan kehidupan mereka. Laras menoleh perlahan, melihat suaminya berdiri di depan pintu, menatapnya dengan senyuman kecil seperti biasanya.“Hai, Ras… Kok bengong?” Dimas menyapa dengan nada ringan. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika melihat ekspresi wajah Laras yang dingin
Laras berdiri di depan meja makan, memandangi Dimas yang duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ruangan yang biasa dipenuhi canda tawa anak-anak kini terasa begitu sunyi, seolah menyisakan hanya keheningan yang menyakitkan.Laras meremas jemarinya, mencoba menahan diri, mencoba menenangkan kemarahan yang membakar di dalam dadanya. Tapi kesabarannya semakin menipis.“Jadi, kamu benar-benar nggak ada hubungan apa-apa dengan Nina?” Suaranya terdengar dingin, namun setiap kata mengandung kemarahan yang tertahan. Matanya menatap Dimas tajam, tak memberi ruang bagi suaminya untuk berkelit.Dimas mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan Laras. Dia menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Laras… Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Tidak seperti yang kupikirkan?” suara Laras meninggi, penuh nada sarkasme yang tajam. “Kamu bahkan nggak tahu apa yang aku pikirkan, Mas! Aku ingin mendengar kebenaran. Cuma itu.”Dimas menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Laras, dengar d
Laras duduk sendirian di kamar, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong. Hatinya terasa begitu hampa, seolah-olah semua emosi dan rasa bahagia yang pernah ada dalam dirinya lenyap begitu saja.Semenjak pengakuan Dimas tentang perselingkuhannya dengan Nina, segalanya berubah. Hidup yang selama ini terasa penuh warna kini tampak buram, kehilangan makna dan tujuan.Malam itu terasa sunyi. Biasanya, ia menikmati saat-saat setelah anak-anak tidur dengan perasaan tenang, saat ia dan Dimas bisa berbicara tentang apa saja—mengenai hari mereka, anak-anak, atau mimpi-mimpi kecil yang ingin mereka capai bersama.Tapi malam ini, ruang itu terasa kosong dan dingin, dan Laras hanya bisa menatap tembok tanpa tujuan, pikirannya bercampur aduk.Pikirannya kembali pada momen pertama kali ia bertemu Dimas, pada bagaimana cinta mereka berkembang dari sekadar perkenalan menjadi sebuah ikatan yang ia pikir akan abadi.Mereka berdua saling mengisi, saling mendukung, membangun kehidupan bersam
Laras duduk di sofa ruang tamu yang tampak sunyi. Pikirannya terasa berat, seperti berada di antara dua jurang yang keduanya tampak tak terelakkan.Ia memandang ke arah anak-anaknya yang sedang bermain di halaman, tawa mereka mengisi udara dengan keceriaan yang dulu terasa menyenangkan, namun kini menyisakan perasaan pedih di hatinya.Hidup Laras seolah terpecah menjadi dua: di satu sisi, ia memiliki anak-anak yang membutuhkan ayah dan ibu yang utuh, dan di sisi lain, ia merasa tersakiti, dikhianati oleh lelaki yang dulu menjadi cinta sejatinya.Setiap kali ia menatap wajah anak-anaknya, hatinya semakin berat. Keputusan apa pun yang ia ambil akan meninggalkan luka, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak.Pagi ini, ia memutuskan untuk bertahan. Bukan karena rasa cinta atau kepercayaan yang dulu ada pada Dimas, melainkan demi anak-anak mereka.Laras tahu bahwa keputusan ini mungkin tak akan membuatnya bahagia, namun ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anak jika tiba-tiba
Matahari mulai terbenam ketika Laras duduk di bangku taman yang sedikit berdebu, menatap lurus ke depan sambil menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Andi duduk diam, menunggunya dengan sabar.Mereka telah memilih tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, taman kecil yang biasa mereka datangi sewaktu kuliah dulu. Di sini, Laras merasa aman, merasa bisa melepaskan beban tanpa merasa dihakimi.Selama beberapa minggu terakhir, Laras merasa hidupnya seperti bergantung pada tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ia menjalani hari-hari dengan perasaan yang tumpul, seolah-olah dikelilingi kabut yang menyelimuti setiap langkahnya.Di dalam rumah, ia hanya tersenyum untuk anak-anak, melakukan segala kewajiban dengan rutinitas tanpa perasaan. Namun, di luar itu, ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan. Bertahan atau pergi?Andi menatap Laras dengan ekspresi lembut, memahami bahwa sahabatnya itu membutuhkan waktu untuk mulai bicara.Sejak mereka kuliah, Andi telah me
Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi keheningan di dalam rumah terasa begitu menusuk.Laras sudah lama naik ke kamar, tak lagi ada percakapan-percakapan malam yang dulu selalu menghangatkan mereka.Dimas menghela napas panjang, merasa dunia yang pernah ia bangun bersama Laras kini bagaikan cermin pecah—memantulkan serpihan-serpihan kenangan indah yang tak mungkin lagi utuh.Sejak pengakuannya, Dimas telah mencoba segalanya untuk memperbaiki keadaan. Ia mengurangi jam kerja, meluangkan lebih banyak waktu untuk membantu Laras mengurus anak-anak, dan menunjukkan perhatian yang selama ini mungkin ia anggap sepele.Namun, setiap usahanya terasa sia-sia. Laras tetap dingin, menjaga jarak seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.Dimas sering kali berusaha memulai pembicaraan, mencoba merengkuh Laras dalam kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, setiap kali ia mendekati Laras,
Malam itu, hujan turun deras di luar, menciptakan suara gemerisik yang memenuhi ruang tamu. Dimas duduk di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah-olah berat dari kesalahan yang telah ia lakukan menekannya.Di seberangnya, Laras duduk dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Mereka telah berada dalam keheningan selama beberapa menit, hanya ditemani suara hujan yang menghantam jendela.Dimas menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Selama berminggu-minggu terakhir, ia telah mencoba membuktikan niat baiknya, menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki segalanya.Namun, ia tahu bahwa tidak ada tindakan yang bisa sepenuhnya menghapus luka yang telah ia berikan pada Laras.“Laras…,” ia memulai dengan nada pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu mungkin ini terdengar kosong bagimu, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku menyesal, Laras. Aku benar-benar menyesal.”Laras menghela napas panjang, menatap Di