Orang yang tepat di waktu yang salah adalah gambaran yang tepat untuk hubungan Edwin dan Fibi. Bagaimana tidak? Saat keduanya bersama, mereka sama-sama tak peka akan perasaan masing-masing dan terlalu nyaman dengan hubungan sahabat. Ketika akhirnya Edwin menyadari perasaannya, Fibi justru jatuh hati dan terjebak dalam hubungan merugikan dengan rekan kerjanya sendiri. Fibi disibukkan dengan hubungannya dan mengabaikan Edwin. Namun saat Edwin jauh dan kembali dekat dengan Aliyah, Fibi jadi kesal sendiri. Jadi, siapa yang diinginkan Fibi sebenarnya? Edwin, sang sahabat yang tak pernah absen berada di sisinya? Atau Kevin, rekan kerja yang kini menjelma menjadi pacarnya?
View MoreSejak pulang dari Surabaya, Fibi tak beranjak dari kasur sama sekali. Dia masih betah rebahan sambil memeluk Beom. Satu tangannya sibuk bermain ponsel. Dia tertawa keras ketika muncul video lucu, tiba-tiba menjadi serius ketika muncul video edukasi, lalu bisa senyum-senyum tidak jelas ketika muncul video idol Korea. Yang jelas, hari ini Fibi benar-benar tidak ingin diganggu dan tidak ingin memikirkan pekerjaan. Kemarin Fibi tiba di rumah pukul enam, dan sejak itu sampai sekarang dia masih betah berada di kamarnya.Tiba-tiba ponselnya berdering. Fibi memutar matanya kesal saat melihat nama Edwin muncul. Tentu saja bukan tanpa alasan Fibi kesal dengan sahabatnya itu. Sejak dia naik pesawat sampai pagi ini, Edwin sama sekali tak bisa dihubungi. Hanya Tante Anya yang kemarin menjemputnya di Bandara.Karena kesal, Fibi pun mematikan panggilan telponnya lalu kembali asyik berselancar di media sosial. Namun, telpon dari Edwin kembali masuk. Beberapa kali Fibi menolak, telpon itu kembali masu
Jangan ditanya bagaimana perasaan Fibi sekarang. Sejak semalam, senyum tak pernah luntur dari bibirnya. Bahkan mungkin, dalam tidurnya pun dia tersenyum. Pagi ini begitu bangun di kamar hotelnya, Fibi memutar lagu cinta untuk menemaninya bersiap-siap pulang.Fibi sudah selesai mandi, dan sekarang tengah mengepak barang-barangnya ke dalam koper. Tiket kepulangannya masih nanti sore, tapi Fibi sudah berkemas sekarang karena tak ingin terburu-buru dan berakhir ada yang tertinggal. Sampai kegiatan berkemasnya harus terhenti sejenak karena suara ketukan pintu.“Iya, sebentar,” ucap Fibi yang segera berjalan membukakan pintu. Wajahnya seketika memanas saat melihat Kevin dengan celana pendek dan kaos putih polos berada di depan kamarnya sambil tersenyum.“Ayo sarapan! Abian, Sheila, sama Raka udah nunggu,” ajak Kevin. Fibi pun mengangguk lalu mengambil ponselnya.“Ayo, Mas,” ucap Fibi setelah mengunci pintu kamarnya. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju restoran hotel. Berada di dekat Ke
Sudah ke sekian kalinya Edwin melihat ponselnya, menunggu pesan dari Fibi. Namun, gadis itu tak ada menghubunginya sejak berpamitan untuk memulai pekerjaannya tadi pagi. Apa dia sangat sibuk?Jika diingat lagi, ini pertama kali dia berjauhan dengan Fibi. Biasanya, keduanya selalu lengket seperti perangko. Ke mana Fibi pergi, Edwin akan ikut. Begitu pun sebaliknya. Sekarang saat berjauhan begini, rasanya ada yang berbeda.Sejak pagi, Edwin berusaha menyibukkan dirinya dengan berbagai pekerjaan. Untungnya juga, dia memang benar-benar memiliki pekerjaan untuk dilakukan. Namun walau begitu, di saat senggangnya dia akan tetap melihat ponselnya. Barangkali ada pesan dari Fibi.Edwin menghela napas. Sudah pukul sembilan, tidak ada kabar dari Fibi, dan sekarang saatnya Sunrise tutup. Edwin pun keluar dari kantornya dan memilih membantu pegawainya untuk menutup kafe.“Baru aja mau gue panggil,” ucap Aliyah saat melihat Edwin.“Udah selesai semua?” tanya Edwin pada pegawainya. Mereka semua meng
“Masih di sini? Ayo ikut keluar!” ajak Kevin saat mendapati Fibi masih berada di ruang make up sendirian. “Malu, Mas. Rame banget di luar,” jawab Fibi. Saat ini dia hanya mengenakan kaos polos yang dipadukan dengan blazer navy dan celana kain hitam. “Udah mulai sepi kok. Ayo! Sama saya.” Kevin mengulurkan tangannya pada Fibi. Gadis itu menimbang sebentar, sebelum akhirnya menerima uluran tangan Kevin. Begitu keluar dari ruang make up, Fibi disambut dengan keramaian acara Sheila dan Abian. Yang menurut Kevin sudah sepi ternyata masih cukup ramai untuk Fibi. Apalagi, dia tidak mengenal siapa pun di sini. Sheila yang kini berada di pelaminan pun melambaikan tangan begitu melihat Fibi. “Mau foto?” tawar Kevin. “Boleh?” Kevin mengangguk dan langsung membawa Fibi untuk foto bersama Sheila dan Abian. Keduanya tampak senang menyambut Fibi, sementara Fibi malah kikuk. Dia berdiri di samping Sheila, sedangkan Kevin berdiri di samping Abian. Mereka pun mengambil beberapa foto dengan b
“Aku udah sampai,” ucap Fibi ketika panggilan videonya sudah terhubung dengan Tante Anya. Fibi memamerkan kamar hotel yang dipesankan Sheila khusus untuknya pada Tante Anya.“Emang beda ya kalau orang kaya yang nikah. MUA-nya aja sampai dipesenin kamar hotel sendiri,” ucap Tante Anya. Fibi pun mengangguk setuju. Memang, ini pertama kali bagi Fibi mendapat banyak fasilitas saat menjadi MUA. Padahal harusnya kan dia yang memberikan fasilitas pada kliennya.“Benar. Makanya aku berusaha buat kasih yang terbaik,” balas Fibi. Ya, meskipun sikap Sheila sangat menyebalkan, tapi Fibi tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk kliennya itu. Sheila sudah memberikan banyak fasilitas untuk Fibi, jadi rasanya tidak pantas jika Fibi masih menuntut lebih.“Edwin udah pulang?” tanya Fibi.“Tadi dia langsung balik ke Sunrise sih. Katanya ada janji sama orang. Sibuk banget ya temanmu itu akhir-akhir ini.”Fibi merebahkan tubuhnya di kasur, lalu berkata, “Sunrise mau buka lantai dua, Tan. Makanya dia s
“Biar aku aja yang cuci piringnya, Mas,” ucap Fibi saat Langit akan membawa piring-piring mereka ke dapur. Dia lalu mengambil alih piring di tangan Langit dan membawanya ke dapur.Benar kata Edwin. Fibi tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Malam ini berjalan dengan sangat baik-baik saja. Langit bisa membaur di antara Fibi dan Tante Anya. Laki-laki itu bahkan sama sekali tidak mempermasalahkan sikap Fibi yang kadang kelepasan.Langit justru sangat bisa mengimbangi Fibi dan Tante Anya. Dia menanggapi semua guyonan Fibi yang terkadang terdengar aneh. Wajahnya tidak sekalipun menunjukkan tidak nyaman.“Sini, Fib!” panggil Tante Anya saat Fibi sudah selesai dengan cucian piringnya. Dua orang itu kini tengah asyik menikmati es krim sambil mengobrol. Begitu Fibi datang, Langit langsung membukakan satu kotak es krim vanila dan memberikannya pada Fibi.“Khusus buat kamu. Anya bilang, kamu doyan banget sama es krim ini. Jadi, aku beli yang besar,” ucap Langit sambil tersenyum. Fibi pun tanpa ra
Kevin memberikan satu cup es teh yang baru dibelinya pada Fibi. Keduanya kini berada di taman dekat kantor mereka. Karena hari sudah sore, suasana taman cukup ramai orang. Fibi dan Kevin duduk di bawah sebuah pohon yang cukup jauh dari keramaian pengunjung lain.“Saya capek, Fib,” ucap Kevin setelah keduanya saling diam untuk waktu yang cukup lama.“Istirahat, Mas.”Kevin tertawa pelan mendengar jawaban Fibi. Yang sebenarnya, Fibi menjawab dengan sungguh-sungguh. Dia tidak sedang bercanda.“Benar kan, Mas? Kalau capek itu istirahat. Jangan dipaksakan. Jangan berjalan dalam keadaan lelah, Mas. Karena nanti pas sampai di tujuan, Mas bukannya menikmati tapi malah mati,” sambung Fibi sambil memainkan rumput di sekitarnya.“Saya udah di tahap capek sampai mau berhenti aja, Fib. Saya nggak bisa nerusin lagi. Terlalu melelahkan.”“Mas yakin?” tanya Fibi.“Kemarin pas di Surabaya, saya sengaja matiin ponsel dan nikmati waktu saya di sana sambil bantuin Abian. Dan anehnya, saya merasa lebih te
Fibi mengeratkan pelukannya pada boneka beruang yang beberapa hari lalu dia dapatkan dari Edwin. Boneka itu kini menjadi penghuni tetap kasurnya, menjadi teman tidurnya, dan sesekali menjadi teman curhatnya. Fibi bahkan berpikir membuatkan baju untuk si Beom, panggilan untuk boneka beruangnya.“Ya ampun, anak gadis hampir seperempat abat, tapi masih nguyel-nguyel boneka.” Tante Anya kini bersedekap di depan pintu kamar Fibi sambil melihat Fibi yang masih sangat nyaman berada di atas kasurnya.“Masih pagi ini, Tante,” jawab Fibi sambil mengusapkan wajahnya pada Beom.“Libur kamu?” tanya Tante Anya sambil berjalan masuk ke kamar Fibi, lalu duduk di kasur Fibi.“Nanti jam sepuluh aku berangkat. Hari ini cuman training junior, aku kebagian habis makan siang,” jawab Fibi. Tante Anya tersenyum lalu mengusap kepala Fibi.“Keponakan Tante udah gede ternyata. Udah bisa training juniornya.”Mengingat bagaimana kehidupan mereka sebelumnya, Tante Anya benar-benar merasa bangga pada Fibi. Gadis it
“Ed, manggil gue?” ucap Aliyah begitu memasuki ruangan Edwin. Gadis itu langsung duduk di sofa Edwin dengan nyaman.“Duduk sini, Al,” ucap Edwin sambil menunjuk kursi di depannya. Aliyah pun menurut, walaupun agak heran karena biasanya Edwin akan membiarkannya duduk di mana pun yang dia inginkan.“Jadi? Ada apa? Lo mau curhat soal Fibi?” tanya Aliyah dengan santai.“Hari ini gue lihat lo telat? Shift lo harusnya jam sembilan, tapi lo baru datang jam sepuluh?”Aliyah seketika menegakkan badannya. Keningnya sedikit mengerut, heran. Biasanya Edwin tidak pernah membahas masalah pekerjaan.“Sorry, tadi ada kendala dikit di jalan. Ada yang ngaduin ya?”“Gue lihat sendiri. Kebetulan gue udah di sini sejak jam sembilan.” Aliyah seketika terdiam mendengar jawaban Edwin.“Lo manggil gue buat negur karena gue telat?” tanya Aliyah.“Nggak cuman itu.” Edwin menautkan jari-jarinya. Sesungguhnya, ini hal yang tidak mudah untuknya. Walau bagaimana pun, Aliyah adalah temannya. Edwin sangat berharap ag
“Terima kasih tumpangannya, Mas,” ucap Fibi setelah selesai mengemasi barangnya di bagasi mobil. Pria di dalam mobil, Kevin, adalah rekan kerjanya. Keduanya bekerja di sebuah agensi jasa make up artist, fotografer, dan model yang bisa disewa satu paket ataupun secara terpisah. Kali ini, sebuah brand meminta tiga MUA dan satu fotografer untuk pemotretan produk baru mereka.“Hati-hati di jalan, Mas.” Fibi melambaikan tangan, mengiringi mobil Kevin yang semakin menjauh, lalu menghilang di tengah keramaian jalan raya. Dia tersenyum lebar sambil memegang dadanya yang dari tadi berdetak tak karuan.“Udah ilang itu mobilnya, Neng. Masih aja dilihatin!” ucap seseorang dari dalam rumahnya. Tanpa menoleh, Fibi sudah sangat tahu siapa orangnya, dia sudah sangat hapal dengan suara itu. Siapa lagi kalau bukan sahabat baiknya, Edwin Kalandra. Satu-satunya orang, selain tantenya, yang bisa masuk ke rumah Fibi dengan leluasa.“Iri ya? Yang habis dicuekin crush-nya!” ucap Fibi sambil menjulurkan lidah...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments