Fibi gelagapan. Sedangkan Kevin justru memamerkan senyum manis, seakan menggoda Fibi yang kini tengah kebingungan mencari jawaban.
“Saya cuman bercanda. Saya ngerti maksud kamu kok,” ucap Kevin dengan tertawa pelan, membuat Fibi akhirnya menghela nafas lega.
“Kamu lucu kalau panik.”
Blush.
Wajah Fibi seketika merona. Gila, ini benar gila. Baru dipuji sedikit oleh Kevin saja dia sudah memerah seperti tomat. Apalagi jika suatu hari dia benar-benar bisa mendapatkan laki-laki itu? Fibi sepertinya sangat tergila-gila pada Kevin.
“Permisi, mau antar pesanan. Satu Spaghetti Carbonara, satu Mac and Cheese, satu Ice Americano, dan satu Matcha Latte less sugar,” ucap Dhea sambil menata makanan di meja.
“Pesanan sudah lengkap ya? Jika ada yang perlu dibantu lagi bisa pencet tombol ini. Saya permisi, selamat menikmati,” ucap Dhea lagi sambil menyerahkan sebuah tombol yang bertuliskan ‘Dhea’.
Fibi dan Kevin mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sejenak, keduanya hening.
“Kamu udah lama temenan sama Edwin?” tanya Kevin di sela-sela kegiatan makannya.
“Eum, berapa lama ya? Sejak SMP kelas dua pokoknya.” Fibi mengingat kembali awal pertemuannya dengan Edwin yang cukup lucu.
Saat itu hari ketiga masuk sekolah setelah libur semester. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sedang ada parade ekstrakurikuler untuk anak-anak baru. Fibi yang baru saja selesai dengan penampilan singkatnya dengan tim teater segera berlari keluar lapangan, bersamaan dengan tim basket dan para pemandu sorak memasuki lapangan. Entah bagaimana, tiba-tiba saja sebuah bola basket melayang mengenai punggung Fibi yang hampir sampai di samping lapangan.
Bagian lucunya adalah karena bola itu, Fibi jatuh tertelungkup mengenai Edwin yang tengah duduk di depannya. Kepala keduanya terbentur cukup keras sampai mereka sama-sama berteriak kesakitan. Kejadian itu memicu tawa di sekitar mereka. Sedangkan Fibi dan Edwin justru sibuk mengusap-usap dahi mereka yang kemerahan.
Sejak saat itu, teman-teman Edwin selalu menggoda Fibi setiap kali mereka tidak sengaja bertemu. Hingga tiba-tiba saja, Edwin datang menemuinya dan bilang kalau salah satu temannya menyukai Fibi. Edwin membantu temannya mendekati Fibi sampai akhirnya jadian. Selama proses pendekatan itu, Fibi justru merasa sangat nyaman mengobrol dengan Edwin, begitu pun sebaliknya. Sampai Fibi jadian dengan temannya, Edwin pun setia menjadi teman curhat Fibi. Mereka menjadi semakin dekat seiring berjalannya waktu. Bahkan saat Fibi putus, pertemanan Fibi dan Edwin masih berlanjut hingga saat ini.
Fibi tersenyum tipis saat kembali mengingat setiap momennya bersama Edwin. Tiba-tiba, ponsel Kevin berbunyi.
“Sudah sampai? Masuk aja. Aku di meja nomor 15,” ucap Kevin sambil matanya menatap ke arah pintu masuk. Fibi sedikit mengernyit heran. Siapa yang mau datang?
Kevin melambai pada seorang perempuan yang baru saja masuk. Perempuan itu tampak sangat elegan dan cantik. Fibi menyipitkan matanya, dia seperti mengenal perempuan itu. Semakin dekat, Fibi akhirnya ingat. Perempuan itu, Sarah Anjali, seorang model yang cukup terkenal.
Mata Fibi membelalak saat Sarah dan Kevin saling bertukar kecupan di pipi. Keduanya saling melempar senyum manis, yang membuat Fibi berpikir keduanya memiliki hubungan spesial.
“Tidak mungkin mereka pacaran, kan?” batin Fibi.
Fibi melihat bagaimana Kevin memperlakukan Sarah. Sangat manis dan lembut. Kevin menarik kursi kosong di antara mereka, lalu mempersilakan Sarah duduk.
“Halo! Fibi kan? Kamu masih ingat saya?” ucap Sarah begitu menyadari keberadaan Fibi.
Fibi mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja Fibi ingat. Selain model yang cukup terkenal, Sarah adalah klien pertama Fibi. Saat itu baik Sarah maupun Fibi masih sama-sama merintis karir.
“Kamu ingat nggak kalau lusa kita ada pemotretan sama brand pakaian olahraga?” tanya Kevin yang dijawab anggukan oleh Fibi.
“Nah, Sarah ini modelnya. Waktu saya bilang kalau MUA-nya kamu, dia langsung excited bilang kalau kenal sama kamu. Jadi ya sudah, sekalian aja saya ajak dia ketemu kamu,” ucap Kevin yang menjawab rasa penasaran Fibi atas alasan kenapa Sarah di sini.
“Senang ketemu kamu lagi, Fibi. Saya nggak pernah lupa nama kamu karena unik.” Sarah tersenyum riang, seakan sudah sangat lama menunggu pertemuan ini.
“Senang juga ketemu sama Mbak lagi. Saya juga nggak pernah lupa sama klien pertama saya,” balas Fibi sambil tersenyum. Rasanya masih sangat aneh. Tadinya, Fibi pikir malam ini hanya antara dia dan Kevin. Namun kali ini? Jujur saja, Fibi sedikit kecewa.
“Kalau sama Fibi, aku percaya deh, Vin. Waktu pertama kali dirias sama dia aja aku udah puas banget. Dia bisa menyesuaikan wajah dan riasan kliennya. Apalagi sekarang ya? Pasti jauh lebih bagus hasilnya. Pinter kamu pilih partner,” ucap Sarah sambil menepuk tangan Kevin.
“Aku emang selalu suka kerja sama Fibi. Selalu memuaskan hasilnya.”
Sedari tadi, Fibi memperhatikan gesture Sarah dan Kevin. Keduanya tampak dekat. Kevin yang biasanya bersikap formal, jadi tampak lebih santai dengan Sarah. Bahkan cara mereka berbicara sangat manis satu sama lain. Membuat pemikiran Fibi tentang keduanya pacaran semakin kuat.
“Oh iya, kamu mau pesan apa? Biar aku panggilkan pelayannya ya?” ucap Kevin sembari memencet tombol yang tadi diberikan Dhea.
“Wahh, canggih. Aku sering dengar kafe ini, tapi baru pertama kali ke sini. Di sini sering rame dan full kan? Kok kamu bisa dapat tempat? Apalagi ini malam minggu.”
“Orang dalam,” jawab Kevin sambil melirik pada Fibi.
“Ada yang bisa saya bantu?” ucap Dhea yang sudah datang sebelum Sarah sempat bicara lagi.
“Kamu mau pesan apa jadinya?” tanya Kevin.
“Salad aja deh. Aku lagi diet. Minumnya air putih aja ya, Mbak,” ucap Sarah pada Dhea.
“Baik, mohon ditunggu pesanannya.”
“Fibi, kamu kenal sama yang punya kafe ini? Atau jangan-jangan, kamu yang punya?” tanya Sarah begitu Dhea pergi.
“Kafe ini punya sahabatku, Mbak. Tiap malam minggu aku selalu ke sini. Kadang sendiri dan ikut bantu-bantu. Kadang sama tanteku. Aku udah minta sisain tempat sama dia kemarin,” jawab Fibi.
“Sahabatmu cewek?” tanya Sarah lagi.
“Cowok, Mbak. Namanya Edwin. Itu dia orangnya,” ucap Fibi sambil menunjuk Edwin yang ada di belakang kasir.
“Ganteng, Fib. Sahabat apa sahabat?” goda Sarah. Fibi tertawa pelan. Godaan seperti ini sudah sangat sering dia dengar ketika mengenalkan Edwin pada temannya.
“Sahabat kok, Mbak.”
“Masa sih? Agak kurang percaya yaaa.”
Fibi menyesap minumannya, lalu berkata, “Mbak bukan orang pertama yang bilang gitu.”
“Karena memang sangat jarang ada persahabatan antara cewek dan cowok. Yang awalnya cuma kenalan biasa aja bisa jadian, apalagi sahabatan lama. Aku yang awalnya cuma rekan kerja sama Kevin aja bisa jadian,” ucap Sarah sambil menatap Kevin dengan senyum manisnya. Mendengar ucapan Sarah, seketika hati Fibi retak. Runtuh sudah harapannya memiliki Kevin. Tidak mungkin dia bersaing dengan Sarah yang nyaris sempurna, kan?
“Emang cuma sahabatan kok, Mbak. Kebetulan aku sama Edwin cocoknya jadi sahabat aja. Nggak lebih,” jawab Fibi sambil mengontrol nyeri hatinya. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Fibi sudah lama menyukai Kevin. Bisa dibilang, Fibi jatuh cinta pada pandangan pertama. Sosok Kevin yang tampan, tegas, ramah, dan mengayomi membuat Fibi menaruh hati padanya. Di tambah saat kenal lebih dekat, Kevin benar-benar memperlakukan Fibi dengan baik. Sikapnya yang hangat dan perhatian membuat Fibi semakin jatuh hati.
“Aku ke toilet sebentar ya,” pamit Fibi. Dia tak tahan lagi melihat Kevin dan Sarah yang tampak mesra. Tadinya, Fibi biasa saja. Namun begitu mendengar fakta mereka pacaran, setiap gerakan mereka jadi tampak memuakkan di mata Fibi.
“Udah selesai kencannya?”
Begitu Fibi keluar, dia melihat Edwin sudah menunggunya di depan pintu toilet. Fibi yang tadinya berusaha baik-baik saja, kini tampak seakan ingin menangis di hadapan Edwin.
“Mau pulang,” ucap Fibi dengan suara serak menahan tangis. Edwin mendekat lalu menepuk kepala Fibi pelan.
“Balik ke meja sana! Jangan nangis dulu!” ucap Edwin. Fibi menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Dia mencoba mengontrol emosinya. Tidak mungkin dia menangis sekarang. Bisa-bisa Kevin dan Sarah akan kebingungan.
“Sana!” ucap Edwin sambil mendorong pelan Fibi.
“Maaf ya lama,” ucap Fibi begitu sampai di meja. Kevin dan Sarah mengangguk untuk menanggapi.
Keduanya kembali mengobrol asyik, sedangkan Fibi memilih untuk diam dan mendengarkan. Sesekali dia menjawab saat ditanya. Fibi mengaduk spaghettinya tanpa selera. Nafsu makannya sudah hilang sejak tahu Kevin pacaran dengan Sarah.
“Permisi, maaf mengganggu.”
Fibi mendongak menatap Edwin yang tiba-tiba muncul di sana.
“Maaf mengganggu waktu kalian, tapi sepertinya saya harus membawa Fibi pulang.” Edwin menatap Fibi, lalu berkata, “Dicariin Tante Anya, katanya penting!”
“Yah, sayang banget kamu pulang duluan, Fib,” ucap Sarah dengan wajah kecewanya.
“Maaf ya, Mbak, Mas. Tanteku kayaknya butuh bantuan. Aku pulang duluan ya? Sampai jumpa lusa!” Fibi mengambil tasnya lalu melambai pada mereka. Baru tiga langkah, dia tiba-tiba berhenti.
“Spaghetti gue?”
“Lagi patah hati masih sempet-sempetnya mikir makanan lo! Nanti gue bungkus, ayo!” Edwin menarik tangan Fibi keluar dari kafe.
Keduanya menaiki motor Edwin. Entah mau ke mana, yang jelas Fibi ingin menjauh dari Kevin dan Sarah. Hatinya sakit, tapi hubungan Kevin dan Sarah memang tampak masuk akal untuknya. Seorang model terkenal dan fotografer terkenal. Keduanya sepertinya ditakdirkan bersama. Sedangkan dirinya? Hanya seorang MUA yang bahkan tidak bisa dibilang terkenal.
“Nangis aja, nggak usah ditahan!” ucap Edwin. Fibi mengeratkan pelukannya sambil menyenderkan kepalanya di punggung Edwin. Untung saja, dia punya Edwin. Sahabat yang selalu ada di hari baik ataupun buruknya.
“Makasih selalu ada di setiap momen patah hati gue,” ucap Fibi sebelum akhirnya menangis sesenggukan.
Fibi menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke lokasi pemotretan hari ini. Benar, hari ini adalah jadwal pemotretan bersama Sarah dan Kevin. Jika biasanya dia berangkat dan pulang dengan Kevin, kali ini tentu berbeda. Kevin jelas bersama Sarah.“Selamat pagi,” sapa Fibi begitu masuk ke dalam ruangan. Tampak beberapa staff tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Fibi pun segera ke meja rias, menyiapkan semua peralatan rias yang dibutuhkan.“Fibi!” sapa Sarah yang baru datang sambil menggandeng Kevin. Tampaknya mereka datang lebih dulu, terlihat dari Sarah yang sudah siap dengan baju pemotretannya.“Aku bantu siapin set pemotretan dulu ya.” Kevin mengecup kening Sarah sebelum bergabung dengan staff lain.“Ayo duduk, Mbak. Kita mulai riasnya,” ucap Fibi. Dengan senang hati, Sarah pun duduk di depan meja rias.“Tantemu kemarin ada perlu apa? Sayang banget loh kamu pulang. Padahal aku baru datang,” ucap Sarah saat Fibi mulai fokus memoles wajahnya.“Bukan apa-apa, Mbak. Cuman ada
Setelah mengantar Fibi pulang dengan selamat dan memastikan gadis itu tidak kelaparan, Edwin pun kembali ke kafe. Dia melihat Aliyah masih duduk di salah satu bangku kafe, menunggunya. Edwin menarik napas sebentar, lalu berjalan mendekat.“Sorry lama,” ucap Edwin sambil menarik kursi di depan Aliyah. Gadis itu tersenyum tipis sambil menyesap es coklatnya.“Fibi apa kabar? Udah lama aku nggak ketemu dia,” ucap Aliyah.Ya, mereka bertiga memang saling mengenal, sangat dekat pula. Aliyah adalah mantan Edwin. Keduanya memulai hubungan saat kelas dua SMA. Edwin pun mengenalkan Aliyah pada Fibi dan berakhir mereka menjadi teman baik.Aliyah adalah satu-satunya cewek Edwin yang bisa dekat dengan Fibi. Biasanya, pacar-pacar Edwin akan memberi sinyal permusuhan ketika mengenal Fibi, tapi Aliyah tidak. Gadis itu justru menyambut hangat Fibi.Hubungan mereka berjalan baik, sangat baik. Aliyah tak pernah mengeluhkan apa pun dalam hubungan mereka. Aliyah selalu pengertian dan sabar. Sikap Aliyah m
“Siap?” ucap Edwin begitu Aliyah duduk di motornya.“Kita jalan-jalan dulu, ya? Aku pengen ke warung sate biasanya, mau nggak?” ucap Aliyah.“Ini udah malam, orang tua kamu nggak nyariin?” Bukannya menolak, Edwin hanya tidak ingin Aliyah kena marah karena pulang terlalu malam.“Nggak pa-pa, aku udah izin pulang malam kok.”Mendengar ucapan Aliyah yang meyakinkan, Edwin pun mengangguk setuju. Sebenarnya, dia pun rindu pada Aliyah. Namun bagaimana lagi? Fibi sedang sangat kacau, sedangkan Tante Anya harus tetap bekerja. Edwin hanya takut, jika Fibi sendirian gadis itu akan melakukan hal yang berbahaya.“Pak, dua porsi sate kayak biasa ya!” pesan Edwin pada penjual sate. Keduanya memang sudah sangat sering sekali ke sana. Penjual satenya pun sudah tidak asing dengan mereka.“Tumben lama nggak ke sini, Mas. Tak kirain udah nemu tukang sate lain,” ucap penjual sate itu yang membuat Edwin tertawa.“Lagi ada urusan sih, pak. Lagian, nggak ada yang bisa ngalahin sate buatan bapak kok.” Keduan
Sudah satu jam, dan Edwin masih setia menatap langit-langit kamarnya. Setelah pulang dari kafe tadi, Edwin langsung membersihkan tubuhnya lalu merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya tak diam, bahkan saat dia dalam perjalanan pulang tadi. Percakapan singkat dengan Aliyah berhasil membuat Edwin kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dari lama dia kubur, “Apa benar aku menyukai Fibi?” Nyatanya, Edwin sama sekali tak bisa menyangkal setiap hipotesa yang diucapkan Aliyah. Bahkan saat Aliyah memintanya membayangkan pernikahan Fibi dengan orang lain, hatinya jadi sakit. Namun, apa itu cukup untuk menjadi bukti kalau Edwin menyukai Fibi? Mungkin saja dia hanya sakit hati karena ditinggal nikah oleh sahabat baiknya, kan? Edwin sering lihat, banyak yang seperti itu. Sedih bukan karena suka, tapi karena ditinggalkan. “Kalau nggak suka ngapain sedih pas ditinggal?” gumam Edwin tanpa sadar. Dia seketika bangun dan mengacak rambutnya frustrasi. Tidak mungkin dia benar menyukai Fibi, kan? Di s
“Oke, terakhir. Satu, dua, sip.” Sementara Kevin melihat hasil pemotretan, Sarah berjalan menuju ruang make up. Di sana dia melihat Fibi tengah tidur di sofa dengan menggunakan paha Edwin sebagai bantal.“Kamu masih di sini, Ed?” tanya Sarah sembari menarik kursi terdekat untuk duduk.“Hari ini saya full time nemenin Fibi. Perlu saya bangunin Fibi, Mbak?”“Nggak usah. Ini sudah selesai kok.”Edwin mengangguk lalu kembali fokus pada ponselnya. Sesekali Fibi bergerak dalam tidurnya, tapi Edwin dengan cepat menepuk puncak kepala Fibi untuk membuat gadis itu tenang. Sarah yang melihat keduanya pun tersenyum. Dia lalu mendorong kursi yang dia duduki mendekat ke Edwin.“Kalian yakin cuma sahabatan?” tanya Sarah dengan wajah penuh penasaran. Pasalnya, menurut Sarah, Edwin dan Fibi terlalu dekat untuk disebut hanya sahabat. Edwin yang mendengar pertanyaan Sarah pun hanya mengangguk sambil tersenyum.“Saya nggak percaya. Pegang kata-kata saya! Kalian bakalan jadi pasangan nanti!” ucap Sarah la
Fibi tak berhenti tersenyum sejak bertemu kembali dengan Aliyah. Sekarang, mereka bahkan tengah asyik bercerita di ruangan Edwin setelah kafe tutup. Edwin pun hanya diam sambil mendengar celotehan mereka, yang terkadang membuatnya tertawa juga.“Kayaknya seru banget di Kalimantan. Kapan-kapan ajakin gue ke sana dong, Al!” ucap Fibi setelah mendengar cerita Aliyah tentang Kalimantan.“Boleh. Lo atur aja mau kapan berangkatnya. Nanti gue ajakin keliling tempat-tempat yang bagus, terus gue kenalin ke teman-teman gue di sana. Siapa tahu lo ada kecantol sama cowok Kalimantan,” ucap Aliyah sambil mengerlingkan matanya.“Iya ya? bisa jadi agenda buat gue move on juga,” balas Fibi. Mendengar jawaban Fibi, Aliyah pun melirik ke arah Edwin yang tampak masih santai saja. Lebih tepatnya, pasrah.“Lo suka sama orang, Fib?” tanya Aliyah.“Ada. Tapi dia udah punya pacar ternyata. Makanya gue patah hati. Ah, nanti deh kapan-kapan gue ceritain. Lagi males ngomongin patah hati nih gue,” ucap Fibi. Aliy
“Ini loh, Ed. Lihat deh pengikutnya! Jutaan, Ed! Dan gue bakal jadi MUA dia pas wedding!” ucap Fibi dengan semangat menggebu-gebu.“Iya, Bi, iya. Dari tadi lo udah lihatin itu mulu. Iya, iya, selamat ya, Fibi,” jawab Edwin sambil mengacak rambut Fibi. Jika biasanya Fibi akan marah atau memberengut kesal, kali ini dia sama sekali tidak protes. Sejak pulang kerja tadi, Fibi terus saja tersenyum. Saat mampir ke Sunrise pun dia senyum-senyum dan tentu dengan semangat menceritakan berita baik hari ini pada Aliyah dan Edwin. Bahkan sekarang saat sudah di rumah pun dia masih menceritakan hal yang sama.“Bangga nggak lo? Bangga nggak sama gue?” tanya Fibi sambil menyenggol lengan Edwin.“Udah, Ed, bilang aja bangga gitu. Dia tuh belum puas kalau belum dipuji sama kamu,” ucap Tante Anya yang baru saja keluar dari kamarnya. Mendengar ucapan Tante Anya, Fibi justru tersenyum sambil mengangguk setuju.“Atutu, bangga banget gue sama lo, Fibi Lianita. Lo emang terbaik, MUA terbaik, pokoknya paling
“Hai, Fib!” sapa Sarah yang baru saja masuk bersama Kevin. Hari ini Fibi memang ada pekerjaan bersama Kevin. Dan malangnya, hari ini Sarah ikut menemani Kevin karena kebetulan jadwalnya kosong.“Hai, Letta!” sapa Sarah juga pada model yang akan dirias Fibi. Keduanya saling berpelukan dan berbincang sebentar sebelum Letta akhirnya duduk di depan meja rias.“Oke, saya mulai ya mbak Letta,” ucap Fibi yang dijawab anggukan oleh Letta. Kali ini klien meminta riasan dengan karakter peri karena pemotretan kali ini bertemakan negeri dongeng yang berpusat ke peri. Dua malam Fibi mencari referensi dan mempelajari tentang tema riasan kali ini. Dan hari ini, tentunya dia sudah sangat siap menggarap tema peri ini. Dia akan menyulap Letta menjadi peri cantik yang memukau semua orang.“Ini pertama kalinya kamu dapat tema gini ya, Fib?” tanya Sarah saat Fibi tengah fokus merias bagian mata Letta.“Kalau temanya, iya baru pertama kali, Mbak. Kalau jenis riasannya, aku udah beberapa kali dapat,” jawab
“Tante,” panggil Fibi ketika melihat Tante Lisa ternyata sudah pulang. Tante Lisa tersenyum melihat Fibi.“Edwin rewel?” tanya Tante Lisa.“Lumayan. Tante pulang dari tadi? Kok nggak bangunin Fibi?”“Baru saja kok. Nggak tega mau bangunin kamu. Lagian, lenganmu juga dipakek guling sama si Ed,” ucap Tante Lisa sambil tertawa pelan. “Iya, sampek pegel tangan Fibi. Oh iya, tante katanya pulang jam tujuh? Sekarang masih jam empat,” ucap Fibi sambil berjalan mendekat.“Tante ambil izin, dan untungnya boleh karena kerjaan tante udah selesai. Kamu mandi dulu sama! Tadi tante bawain baju gantimu. Tumben juga Tantemu di rumah jam segini,” ucap Tante Lisa sambil tangannya masih aktif mengiris bawang.“Tante Anya di rumah? Tadi pagi perasaan kerja deh,” gumam Fibi.“Mungkin pulang cepat juga. Udah sana mandi dulu! Bajunya di kamar tante ya.”Fibi pun menurut. Dia mengambil baju gantinya di kamar tante Lisa lalu membawanya ke kamar mandi. Sementara Fibi mandi, Tante Lisa masih asyik dengan kegia
Fibi langsung menuju ruangan Edwin begitu sampai di Sunrise. Di sana dia mendapati Edwin yang tengah terbaring lemah sendirian. Fibi meletakkan tasnya di meja, lalu mengambil kotak P3K di laci meja Edwin.“Ed, ukur suhu dulu,” ucap Fibi sambil menggoyang pelan tubuh Edwin. Laki-laki itu pun mengamit termometer yang diberikan Fibi di ketiaknya. Tidak lama, termometer pun berbunyi.“Tiga delapan. Lo udah makan?” tanya Fibi sambil menyimpan kembali termometer ke kotak P3K.“Nggak nafsu,” jawab Edwin. Dia lalu dengan manja memeluk tangan Fibi.“Antar gue pulang,” pinta Edwin.“Iya, ini gue udah pesen taksi online.” Fibi membuka ponselnya, dilihatnya taksi online yang dia pesan masih dalam perjalanan. Sembari menunggu, dia pun menelpon mamanya Edwin.“Halo, Tante. Fibi mau ngabarin, ini si Ed badannya panas,” ucap Fibi saat panggilan telpon tersambung.“Loh, tadi pagi kayaknya baik-baik saja. Demam berapa derajat, Fib?” tanya Tante Lisa.“Tiga delapan, Tan. Ini mau Fibi antar pulang ke rum
“Fibi!”Fibi menoleh dan mendapati Sarah yang kini menunggunya di mejanya. Fibi yang baru saja dari kantin pun berlari menghampiri Sarah.“Mbak, ada apa? Ada jadwal pemotretan kah?” tanya Fibi begitu sampai di depan Sarah.“Nggak. Aku lagi nyari Kevin. Kamu tahu nggak dia di mana?”“Loh, Mas Kevin kan di Surabaya, Mbak,” jawab Fibi.“Hah? Kapan? Ngapain?”“Semalam berangkat. Katanya dia bantu urus nikahan temennya,” jawab Fibi. Sarah seketika terdiam untuk beberapa waktu. Fibi yang melihat wajah Sarah pun bingung. Apa dia salah bicara?“Nikahan temannya?”“Iya. Mas Abian sama Mbak Sheila.”“Abian sama Sheila nikah?” gumam Sarah. Beberapa saat kemudian, dia kembali berkata, “Tunggu, kok kamu kenal mereka?”“Aku bakal jadi MUA-nya Mbak Sheila, Mbak.”“Terus, kenapa kamu masih di sini?” tanya Sarah lagi.“Ya, acaranya masih dua minggu lagi.”Sarah terdiam. Dia sama sekali tidak tahu jika Abian dan Sheila akan menikah. Dia bahkan tidak tahu Kevin sedang di Surabaya. Dia tidak tahu apa-apa
Pukul sebelas malam, mobil Kevin berhenti di pinggir jalan. Setelah memastikan mobilnya terparkir dengan aman, Kevin dan Fibi pun keluar. Di seberang jalan ada sebuah warung makan yang sangat ramai. Fibi bilang, warung ini memang khusus buka di jam-jam malam.Begitu masuk ke dalam, Kevin dan Fibi disuguhkan dengan berbagai macam olahan makanan yang tampak menggugah selera. Kevin sampai kebingungan memilih menu.“Cumi hitamnya juara sih, Mas,” ucap Fibi yang sudah menentukan pilihan lebih dulu. Sementara Kevin masih melihat-lihat. Kebanyakan lauk memang berupa olahan seafood. Namun masih ada beberapa lauk lain seperti ayam, daging, ampela, sampai babat.“Kamu sudah pernah coba semua?” tanya Kevin.“Nggak sih. Setiap kesini aku paling pesen cumi hitam atau babat. Kalau Ed, dia suka udang asam manisnya,” jelas Fibi.Setelah dilanda kebimbangan memilih menu, Kevin akhirnya menjatuhkan pilihannya pada gulai daging. Setelah mendapatkan makanan dan minuman, keduanya pun mencari tempat duduk.
Fibi menghela napas setelah mendengarkan pesan suara yang dikirim Sheila. Pesan suara itu berisi do and don’t untuk riasan Sheila bulan depan. Saat pertama bertemu Sheila, Fibi kira gadis itu adalah tipe yang menyenangkan dan santai. Fibi sama sekali tidak menyangka jika Sheila adalah tipe gadis yang sangat cerewet dan banyak mau.Selama ini, Fibi sudah bekerja dengan cukup banyak model. Biasanya Fibi hanya akan menerima konsep riasan yang diinginkan dan selebihnya terserah bagaimana Fibi mengkreasikannya. Paling sering, Fibi hanya diminta untuk tidak menggunakan merk tertentu karena si model tidak cocok.Tidak dengan Sheila. Gadis itu memberi Fibi list produk yang harus Fibi pakai, dan semua harus baru. Belum lagi permintaannya untuk warna, bentuk, dan yang lainnya. Yang jelas, Sheila ada klien paling ribet yang pernah ditemui Fibi. Untungnya saja, bayaran dari Abian bisa dibilang tidak sedikit.“Mukamu kenapa ditekuk gitu, Fib?” tanya Raka yang baru keluar dari ruang photography sam
“Kamu belum pulang, Fib?” sapa Kevin yang baru akan keluar dari kantor. Kantor mereka sudah sepi karena ini sudah pukul sembilan malam. Jika pun ada yang masih bekerja, mereka jelas bekerja di luar kantor.“Aku baru selesai pemotretan sama brand, Mas. Ini balik ke kantor soalnya charger-ku ketinggalan,” ucap Fibi sambil memperlihatkan charger yang dari tadi dicarinya.“Mas Kevin sendiri? Kok belum pulang?” tanya Fibi sambil merapikan mejanya dan memasukkan charger-nya ke tas.“Ini baru mau pulang. Baru selesai beresin file foto yang harus dikirim besok,” jawab Kevin.“Mau bareng aja sekalian? Kamu nggak bawa motor kan?” tawar Kevin. Fibi memang tidak membawa motor hari ini, tadi dia kembali ke kantor menggunakan ojek online.“Boleh, kalau nggak ngerepotin,” jawab Fibi. Kevin pun tersenyum lalu mengajak Fibi keluar bersama.“Kamu sudah makan?” tanya Kevin. Fibi yang ditanya pun menggeleng.“Mau makan bareng sekalian? Saya juga belum makan,” tawar Kevin lagi. Setelah menimbang untuk beb
Kevin berhenti tepat di depan rumah Sarah. Hari ini mereka sengaja bertemu untuk menyelesaikan masalah, tapi yang terjadi justru perdebatan panjang yang tidak ada ujungnya. Sarah masih tetap pada pendiriannya, dan begitu pun Kevin. Kini, keduanya saling diam di mobil.“Kamu sayang sama aku, Sar?” tanya Kevin memecah keheningan.“Kamu perlu tanya itu?”“Kamu mau nikah sama aku, Sar?” tanya Kevin lagi. Kini Sarah yang tadinya membuang muka pun berbalik menatap Kevin.“Pertanyaanmu itu, kamu udah tahu jawabannya, Vin. Aku sayang kamu, aku mau nikah sama kamu.” Sarah mengambil jeda sejenak sebelum kembali berucap, “Tapi bukan berarti aku harus korbanin diriku dan karirku. Kamu tahu aku sangat mencintai dunia model, Vin. Kamu tahu, menjadi model itu impianku.”“Dan kamu juga tahu aku nggak mungkin ngelawan orang tuaku! Mereka orang tuaku, Sar. Keluargaku. Mereka ada buat aku jauh sebelum kamu hadir di hidupku!” sahut Kevin.“Lalu? Karena aku orang baru, aku yang harus mengalah?” jawab Sara
Fibi menatap Tante Anya dengan penuh harap. Beberapa saat lalu, Fibi sudah membicarakan tentang pekerjaan yang ditawarkan Kevin dengan Tante Anya. Setelah menjelaskan semua yang diperlukan, kini Fibi menunggu jawaban dari Tante Anya.Sebelumnya, Fibi memang sudah berjanji pada Edwin untuk tidak dekat-dekat Kevin sebelum Kevin dan Sarah resmi putus. Namun, Fibi tidak bisa melewatkan pekerjaan ini. Selain karena profesionalitas, ini juga tentang jenjang karir Fibi ke depannya sebagai MUA. Semakin sering dia menjadi MUA tunggal di beberapa acara besar, termasuk pernikahan, akan semakin dikenal pula namanya.“Jadi?” tanya Fibi yang tak sabar karena Tante Anya dari tadi hanya diam.“Oke. Tante kasih kepercayaan ke kamu. Tapi dengan syarat!” Tante Anya diam sebentar, lalu kembali berucap, “Jangan lupa untuk hubungi Tante. Setiap kamu pindah tempat, hubungi Tante!” Fibi seketika mengangguk antusias. Dia berhambur memeluk Tante Anya sambil mengucap terima kasih berulang kali. Di dunia ini, T
“Fib.”Fibi yang tengah asyik menyantap bekalnya, seketika mendongak dan mendapati Kevin sudah berada di depan mejanya. Beberapa hari terakhir ini Kevin selalu diam. Tak bicara dengan siapa pun, hanya ke kantor saat dia memiliki pekerjaan, selebihnya dia tidak terlihat. Dan hari ini untuk pertama kalinya dia membuka mulutnya lagi, dan orang pertama yang dia sapa adalah Fibi. Bahkan Raka, teman terdekat Kevin, pun ikut menoleh saat mendengar Kevin memanggil Fibi.“Kenapa, Mas?” tanya Fibi. Wajah Kevin masih tampak murung. Sepertinya masalahnya belum selesai.“Kamu mau jadi MUA buat nikahan?”Deg. Apa ini artinya dia sudah tidak punya kesempatan? Fibi berusaha mengontrol wajahnya agar tidak terlihat sedih atau kecewa dengan memberi senyum seperti biasa. Namun sungguh, hatinya sangat sakit sekarang.“Boleh, Mas. Buat siapa?” tanya Fibi. Dia sudah benar-benar menyiapkan hatinya untuk mendengar jawaban dari Kevin.“Sahabat saya. Mereka mau nikah bulan depan.”Seketika Fibi menghela napas l