“Terima kasih tumpangannya, Mas,” ucap Fibi setelah selesai mengemasi barangnya di bagasi mobil. Pria di dalam mobil, Kevin, adalah rekan kerjanya. Keduanya bekerja di sebuah agensi jasa make up artist, fotografer, dan model yang bisa disewa satu paket ataupun secara terpisah. Kali ini, sebuah brand meminta tiga MUA dan satu fotografer untuk pemotretan produk baru mereka.
“Hati-hati di jalan, Mas.” Fibi melambaikan tangan, mengiringi mobil Kevin yang semakin menjauh, lalu menghilang di tengah keramaian jalan raya. Dia tersenyum lebar sambil memegang dadanya yang dari tadi berdetak tak karuan.
“Udah ilang itu mobilnya, Neng. Masih aja dilihatin!” ucap seseorang dari dalam rumahnya. Tanpa menoleh, Fibi sudah sangat tahu siapa orangnya, dia sudah sangat hapal dengan suara itu. Siapa lagi kalau bukan sahabat baiknya, Edwin Kalandra. Satu-satunya orang, selain tantenya, yang bisa masuk ke rumah Fibi dengan leluasa.
“Iri ya? Yang habis dicuekin crush-nya!” ucap Fibi sambil menjulurkan lidahnya.
“Sialan, bocah! Sini lu, gue geprek!” Melihat Edwin mendekat, Fibi seketika berlari dengan gesit melewatinya.
“Tante!” teriak Fibi begitu memasuki rumah. Dia berlari ke ruang tengah dan merangkul lengan tantenya.
“Kalian ini! Lama-lama tak nikahin juga ya, mau?” ucap seorang wanita yang berusia 38 tahun, yang tak lain dan tak bukan adalah tantenya Fibi, Tante Anya.
“Dih!” ucap Fibi dan Edwin secara bersamaan.
“Males banget!” Lagi-lagi mereka bicara secara bersamaan.
“Nah tuh, udah cocok. Biar besok Tante ngomong sama Mbak Lisa.”
“Dih, ogah banget! Bisa-bisa darah tinggi tiap hari aku kalau sama Edwin!”
“Lo kira gue mau sama lo? Bisa sengsara gue kalau sama lo!”
Tante Anya hanya menggeleng pelan. Dia melepaskan pelukan Fibi di lengannya lalu berjalan menuju dapur. Tante Anya kembali sambil membawa satu mangkok besar semangka, kesukaan Fibi. Dia tersenyum melihat Fibi dan Edwin yang masih berdebat, saling menyebutkan kekurangan masing-masing.
“Lo tuh nggak bisa masak! Mau makan apa coba gue kalau sama lo?”
“Dih! Masak itu basic skill! Lagian, nggak bisa masak tinggal beli, lah lo? Gue tanya sekarang, kapan ultah gue?” Mendengar pertanyaan Fibi, Edwin diam untuk beberapa saat.
“Tuh kan! Lo tuh nggak inget hari-hari spesial! Ultah gue 16 Januari, dasar pikun!” jawab Fibi sambil melipat tangan di dada, merasa telah memenangkan perdebatan mereka.
“Cuman tanggal. Gue catat dah nih.” Edwin mengeluarkan ponselnya lalu mengatur pengingat setahun sekali pada tanggal 16 Januari.
“Nah tuh! Gini doang mah gampang solusinya! Yang penting gue nggak pernah lupa jemput lo, nggak pernah lupa kasih makan lo, dan nggak pernah lupa ngasih tahu lo kalau salah!” Edwin tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah jengah Fibi.
“Udah-udah. Ini makan dulu semangka,” ucap Tante Anya menengahi.
“Sama siapa pun kalian nanti menikah, kalian harus bahagia!” sambung Tante Anya sambil mengusap kepala Fibi dan Edwin. Walaupun Edwin bukan keluarganya, tapi Tante Anya sudah menganggap dia seperti keluarga. Dia menyayangi Edwin selayaknya dia menyayangi Fibi. Begitu pun Mama Lisa, mamanya Edwin. Beliau pun menyayangi Fibi selayaknya menyayangi Edwin. Mereka sudah sangat lama menjadi sahabat dan saling mengenal keluarga masing-masing.
***
Jika Fibi memilih menjadi MUA, Edwin memilih membuka kafe miliknya sendiri yang dia beri nama Sunrise Caffe. Dia mendesain kafenya dengan sedikit bantuan Fibi. Ide utama desain yang didominasi warna putih dengan sedikit gradasi oranye dan lampu-lampu berwarna kuning untuk menambah efek ‘sunrise’. Fibi hanya menambahi beberapa detail seperti hiasan dinding dan penataan meja.
Saat pembukaan kafe, Fibi pun sengaja mengosongkan jadwalnya dan membantu Edwin di kafe. Dia membantu melayani pelanggan, mulai dari menyambut mereka, mencatat pesanan, hingga membawakan pesanan pelanggan. Hari itu, Fibi menggunakan seluruh waktunya untuk membantu Edwin.
Tentunya tidak mudah bagi Edwin untuk terus menjaga kafenya tetap ramai. Dia harus sering memutar otak untuk meluncurkan gebrakan baru seperti event setiap tanggal spesial atau peluncuran menu baru. Di tengah maraknya kafe-kafe baru, Edwin harus berpikir keras agar bisnisnya terus berjalan.
Sunrise Caffe terkenal dengan makanan dan pelayanannya yang sangat memuaskan. Namun, itu tidak cukup untuk membuat pengunjung bertahan. Edwin harus mengikuti tren. Jaman sekarang, selain makanan yang enak, kafe juga menjual pelayanan, tempat yang nyaman, dan pastinya harus banyak spot foto yang cantik. Dengan otak encernya, Edwin berhasil menghasilkan elemen-elemen itu di Sunrise Caffe. Alhasil, kafenya pun selalu ramai pengunjung. Terutama saat malam minggu. Seperti hari ini.
Edwin menatap kondisi kafenya dari balik mesin kasir. Melihat banyak orang tampak tertawa dan bahagia bersama keluarga, teman, atau pasangan, membuat Edwin tanpa sadar tersenyum. Ah, entah kenapa dia jadi teringat Fibi. Biasanya Fibi selalu ke kafenya setiap malam minggu. Edwin menatap jam tangannya, Fibi ada satu pemotretan hari ini, seharusnya dia sudah pulang.
“Dor! Kangen gue kan?”
Baru saja Edwin hendak menghubunginya, Fibi sudah menampakkan diri di depannya.
“PD!” jawab Edwin. Dia baru saja akan bicara lagi, sampai seorang laki-laki datang dari belakang Fibi.
“Hari ini gue jadi pelanggan dulu ya,” ucap Fibi dengan senyum lebarnya. Edwin mendengus. Jelas saja gadis itu tersenyum lebar, impiannya makan berdua dengan crush akan terwujud. Benar, laki-laki yang tadi datang bersama Fibi adalah crush sekaligus rekan kerja Fibi, Kevin Prasetya.
“Ini Edwin, Mas. Temanku sekaligus yang punya kafe ini,” ucap Fibi mengenalkan Edwin pada Kevin.
“Kevin.” Kevin mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Edwin.
“Halo, bro. Semoga lo menikmati waktu lo di sini. Silakan duduk aja.”
Fibi mengajak Kevin mencari tempat duduk. Sedangkan Edwin menatap keduanya beberapa saat sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.
“Saya sering dengar kafe ini, tapi ini pertama kali ke sini,” ucap Kevin memulai obrolan sambil matanya menatap ke sekeliling kafe.
“Oh iya? Sunrise emang sempat viral sih. Sampai sekarang pun masih banyak pelanggannya. Kafe ini emang bagus banget, Mas.”
“Iya, kafenya temen kamu, kan?” canda Kevin.
“Ya nggak gitu. Terlepas ini kafenya Edwin atau bukan, kafe ini emang bagus. Menurutku sih gitu. Makanannya pun enak, tempatnya nyaman, buat foto-foto juga bagus, pelayanannya pun juara.” Fibi menjabarkan keunggulan Sunrise Caffe dengan wajah bangga. Tentu saja dia harus bangga. Kafe bagus dan nyaris sempurna ini milik sahabatnya.
“Menurut saya juga bagus. Saya percaya selera kamu pasti bagus.” Kevin bicara sambil membuka buku menu yang sudah diantarkan pelayan. Tanpa sadar gadis di depannya sudah tersipu malu karena pujiannya.
“Kamu ada rekomendasi makanan?” ucap Kevin yang kini menatap Fibi. Gadis itu berdehem sebentar untuk menetralkan suara sambil mengatur detak jantungnya sebelum menjawab.
“Semuanya enak kok, Mas. Aku udah pernah coba semua menunya,” ucap Fibi sambil tersenyum.
“Kalau gitu, saya pesan Mac and Cheese aja. Minumnya Ice Americano.”
“Aku Spaghetti Carbonara. Minumnya kayak biasa ya, Dhe.” Pelayan itu, Dhea, mencatat pesanan mereka lalu pamit pergi. Namun tak lama, Dhea kembali lagi.
“Maaf, Mbak Fibi, kata Mas Edwin, minumnya nggak ada.” Fibi mengernyit lalu menatap Edwin yang kini menatapnya dengan wajah tanpa dosa.
“Kayak pelanggan lain, pesan yang sesuai buku menu aja ya, Mbak. Gitu kata Mas Edwin.”
Fibi menatap nyalang ke Edwin. Bisa-bisanya cowok itu mengerjainya di depan crush-nya! Awas saja nanti, Fibi pasti akan balas dendam.
“Ya sudah, matcha latte yang biasa aja. Less sugar ya, Dhe.” Dhea mengangguk lalu pamit pergi.
“Kayaknya temenmu nggak suka kamu bawa cowok ya?” tanya Kevin yang membuat Fibi tertawa.
“Nggak lah, Mas! Dia tuh cuman lagi usil karena iri nggak bisa malmingan sama crush-nya.”
Kevin menatap Jenny yang masih tertawa sambil geleng-geleng kepala.
“Dia iri? Sama kamu?” tanya Kevin yang langsung dijawab anggukan kepala oleh Fibi.
“Jadi, kamu lagi malmingan sama crush-mu?” Seketika wajah Fibi menegang mendengar pertanyaan Kevin.
“Mampus! aku keceplosan," batin Fibi.
Fibi gelagapan. Sedangkan Kevin justru memamerkan senyum manis, seakan menggoda Fibi yang kini tengah kebingungan mencari jawaban.“Saya cuman bercanda. Saya ngerti maksud kamu kok,” ucap Kevin dengan tertawa pelan, membuat Fibi akhirnya menghela nafas lega.“Kamu lucu kalau panik.”Blush.Wajah Fibi seketika merona. Gila, ini benar gila. Baru dipuji sedikit oleh Kevin saja dia sudah memerah seperti tomat. Apalagi jika suatu hari dia benar-benar bisa mendapatkan laki-laki itu? Fibi sepertinya sangat tergila-gila pada Kevin.“Permisi, mau antar pesanan. Satu Spaghetti Carbonara, satu Mac and Cheese, satu Ice Americano, dan satu Matcha Latte less sugar,” ucap Dhea sambil menata makanan di meja.“Pesanan sudah lengkap ya? Jika ada yang perlu dibantu lagi bisa pencet tombol ini. Saya permisi, selamat menikmati,” ucap Dhea lagi sambil menyerahkan sebuah tombol yang bertuliskan ‘Dhea’.Fibi dan Kevin mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sejenak, keduanya hening.“Kamu udah lama temenan
Fibi menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke lokasi pemotretan hari ini. Benar, hari ini adalah jadwal pemotretan bersama Sarah dan Kevin. Jika biasanya dia berangkat dan pulang dengan Kevin, kali ini tentu berbeda. Kevin jelas bersama Sarah.“Selamat pagi,” sapa Fibi begitu masuk ke dalam ruangan. Tampak beberapa staff tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Fibi pun segera ke meja rias, menyiapkan semua peralatan rias yang dibutuhkan.“Fibi!” sapa Sarah yang baru datang sambil menggandeng Kevin. Tampaknya mereka datang lebih dulu, terlihat dari Sarah yang sudah siap dengan baju pemotretannya.“Aku bantu siapin set pemotretan dulu ya.” Kevin mengecup kening Sarah sebelum bergabung dengan staff lain.“Ayo duduk, Mbak. Kita mulai riasnya,” ucap Fibi. Dengan senang hati, Sarah pun duduk di depan meja rias.“Tantemu kemarin ada perlu apa? Sayang banget loh kamu pulang. Padahal aku baru datang,” ucap Sarah saat Fibi mulai fokus memoles wajahnya.“Bukan apa-apa, Mbak. Cuman ada
Setelah mengantar Fibi pulang dengan selamat dan memastikan gadis itu tidak kelaparan, Edwin pun kembali ke kafe. Dia melihat Aliyah masih duduk di salah satu bangku kafe, menunggunya. Edwin menarik napas sebentar, lalu berjalan mendekat.“Sorry lama,” ucap Edwin sambil menarik kursi di depan Aliyah. Gadis itu tersenyum tipis sambil menyesap es coklatnya.“Fibi apa kabar? Udah lama aku nggak ketemu dia,” ucap Aliyah.Ya, mereka bertiga memang saling mengenal, sangat dekat pula. Aliyah adalah mantan Edwin. Keduanya memulai hubungan saat kelas dua SMA. Edwin pun mengenalkan Aliyah pada Fibi dan berakhir mereka menjadi teman baik.Aliyah adalah satu-satunya cewek Edwin yang bisa dekat dengan Fibi. Biasanya, pacar-pacar Edwin akan memberi sinyal permusuhan ketika mengenal Fibi, tapi Aliyah tidak. Gadis itu justru menyambut hangat Fibi.Hubungan mereka berjalan baik, sangat baik. Aliyah tak pernah mengeluhkan apa pun dalam hubungan mereka. Aliyah selalu pengertian dan sabar. Sikap Aliyah m
“Siap?” ucap Edwin begitu Aliyah duduk di motornya.“Kita jalan-jalan dulu, ya? Aku pengen ke warung sate biasanya, mau nggak?” ucap Aliyah.“Ini udah malam, orang tua kamu nggak nyariin?” Bukannya menolak, Edwin hanya tidak ingin Aliyah kena marah karena pulang terlalu malam.“Nggak pa-pa, aku udah izin pulang malam kok.”Mendengar ucapan Aliyah yang meyakinkan, Edwin pun mengangguk setuju. Sebenarnya, dia pun rindu pada Aliyah. Namun bagaimana lagi? Fibi sedang sangat kacau, sedangkan Tante Anya harus tetap bekerja. Edwin hanya takut, jika Fibi sendirian gadis itu akan melakukan hal yang berbahaya.“Pak, dua porsi sate kayak biasa ya!” pesan Edwin pada penjual sate. Keduanya memang sudah sangat sering sekali ke sana. Penjual satenya pun sudah tidak asing dengan mereka.“Tumben lama nggak ke sini, Mas. Tak kirain udah nemu tukang sate lain,” ucap penjual sate itu yang membuat Edwin tertawa.“Lagi ada urusan sih, pak. Lagian, nggak ada yang bisa ngalahin sate buatan bapak kok.” Keduan
Sudah satu jam, dan Edwin masih setia menatap langit-langit kamarnya. Setelah pulang dari kafe tadi, Edwin langsung membersihkan tubuhnya lalu merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya tak diam, bahkan saat dia dalam perjalanan pulang tadi. Percakapan singkat dengan Aliyah berhasil membuat Edwin kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dari lama dia kubur, “Apa benar aku menyukai Fibi?” Nyatanya, Edwin sama sekali tak bisa menyangkal setiap hipotesa yang diucapkan Aliyah. Bahkan saat Aliyah memintanya membayangkan pernikahan Fibi dengan orang lain, hatinya jadi sakit. Namun, apa itu cukup untuk menjadi bukti kalau Edwin menyukai Fibi? Mungkin saja dia hanya sakit hati karena ditinggal nikah oleh sahabat baiknya, kan? Edwin sering lihat, banyak yang seperti itu. Sedih bukan karena suka, tapi karena ditinggalkan. “Kalau nggak suka ngapain sedih pas ditinggal?” gumam Edwin tanpa sadar. Dia seketika bangun dan mengacak rambutnya frustrasi. Tidak mungkin dia benar menyukai Fibi, kan? Di s
Sudah satu jam, dan Edwin masih setia menatap langit-langit kamarnya. Setelah pulang dari kafe tadi, Edwin langsung membersihkan tubuhnya lalu merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya tak diam, bahkan saat dia dalam perjalanan pulang tadi. Percakapan singkat dengan Aliyah berhasil membuat Edwin kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dari lama dia kubur, “Apa benar aku menyukai Fibi?” Nyatanya, Edwin sama sekali tak bisa menyangkal setiap hipotesa yang diucapkan Aliyah. Bahkan saat Aliyah memintanya membayangkan pernikahan Fibi dengan orang lain, hatinya jadi sakit. Namun, apa itu cukup untuk menjadi bukti kalau Edwin menyukai Fibi? Mungkin saja dia hanya sakit hati karena ditinggal nikah oleh sahabat baiknya, kan? Edwin sering lihat, banyak yang seperti itu. Sedih bukan karena suka, tapi karena ditinggalkan. “Kalau nggak suka ngapain sedih pas ditinggal?” gumam Edwin tanpa sadar. Dia seketika bangun dan mengacak rambutnya frustrasi. Tidak mungkin dia benar menyukai Fibi, kan? Di s
“Siap?” ucap Edwin begitu Aliyah duduk di motornya.“Kita jalan-jalan dulu, ya? Aku pengen ke warung sate biasanya, mau nggak?” ucap Aliyah.“Ini udah malam, orang tua kamu nggak nyariin?” Bukannya menolak, Edwin hanya tidak ingin Aliyah kena marah karena pulang terlalu malam.“Nggak pa-pa, aku udah izin pulang malam kok.”Mendengar ucapan Aliyah yang meyakinkan, Edwin pun mengangguk setuju. Sebenarnya, dia pun rindu pada Aliyah. Namun bagaimana lagi? Fibi sedang sangat kacau, sedangkan Tante Anya harus tetap bekerja. Edwin hanya takut, jika Fibi sendirian gadis itu akan melakukan hal yang berbahaya.“Pak, dua porsi sate kayak biasa ya!” pesan Edwin pada penjual sate. Keduanya memang sudah sangat sering sekali ke sana. Penjual satenya pun sudah tidak asing dengan mereka.“Tumben lama nggak ke sini, Mas. Tak kirain udah nemu tukang sate lain,” ucap penjual sate itu yang membuat Edwin tertawa.“Lagi ada urusan sih, pak. Lagian, nggak ada yang bisa ngalahin sate buatan bapak kok.” Keduan
Setelah mengantar Fibi pulang dengan selamat dan memastikan gadis itu tidak kelaparan, Edwin pun kembali ke kafe. Dia melihat Aliyah masih duduk di salah satu bangku kafe, menunggunya. Edwin menarik napas sebentar, lalu berjalan mendekat.“Sorry lama,” ucap Edwin sambil menarik kursi di depan Aliyah. Gadis itu tersenyum tipis sambil menyesap es coklatnya.“Fibi apa kabar? Udah lama aku nggak ketemu dia,” ucap Aliyah.Ya, mereka bertiga memang saling mengenal, sangat dekat pula. Aliyah adalah mantan Edwin. Keduanya memulai hubungan saat kelas dua SMA. Edwin pun mengenalkan Aliyah pada Fibi dan berakhir mereka menjadi teman baik.Aliyah adalah satu-satunya cewek Edwin yang bisa dekat dengan Fibi. Biasanya, pacar-pacar Edwin akan memberi sinyal permusuhan ketika mengenal Fibi, tapi Aliyah tidak. Gadis itu justru menyambut hangat Fibi.Hubungan mereka berjalan baik, sangat baik. Aliyah tak pernah mengeluhkan apa pun dalam hubungan mereka. Aliyah selalu pengertian dan sabar. Sikap Aliyah m
Fibi menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke lokasi pemotretan hari ini. Benar, hari ini adalah jadwal pemotretan bersama Sarah dan Kevin. Jika biasanya dia berangkat dan pulang dengan Kevin, kali ini tentu berbeda. Kevin jelas bersama Sarah.“Selamat pagi,” sapa Fibi begitu masuk ke dalam ruangan. Tampak beberapa staff tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Fibi pun segera ke meja rias, menyiapkan semua peralatan rias yang dibutuhkan.“Fibi!” sapa Sarah yang baru datang sambil menggandeng Kevin. Tampaknya mereka datang lebih dulu, terlihat dari Sarah yang sudah siap dengan baju pemotretannya.“Aku bantu siapin set pemotretan dulu ya.” Kevin mengecup kening Sarah sebelum bergabung dengan staff lain.“Ayo duduk, Mbak. Kita mulai riasnya,” ucap Fibi. Dengan senang hati, Sarah pun duduk di depan meja rias.“Tantemu kemarin ada perlu apa? Sayang banget loh kamu pulang. Padahal aku baru datang,” ucap Sarah saat Fibi mulai fokus memoles wajahnya.“Bukan apa-apa, Mbak. Cuman ada
Fibi gelagapan. Sedangkan Kevin justru memamerkan senyum manis, seakan menggoda Fibi yang kini tengah kebingungan mencari jawaban.“Saya cuman bercanda. Saya ngerti maksud kamu kok,” ucap Kevin dengan tertawa pelan, membuat Fibi akhirnya menghela nafas lega.“Kamu lucu kalau panik.”Blush.Wajah Fibi seketika merona. Gila, ini benar gila. Baru dipuji sedikit oleh Kevin saja dia sudah memerah seperti tomat. Apalagi jika suatu hari dia benar-benar bisa mendapatkan laki-laki itu? Fibi sepertinya sangat tergila-gila pada Kevin.“Permisi, mau antar pesanan. Satu Spaghetti Carbonara, satu Mac and Cheese, satu Ice Americano, dan satu Matcha Latte less sugar,” ucap Dhea sambil menata makanan di meja.“Pesanan sudah lengkap ya? Jika ada yang perlu dibantu lagi bisa pencet tombol ini. Saya permisi, selamat menikmati,” ucap Dhea lagi sambil menyerahkan sebuah tombol yang bertuliskan ‘Dhea’.Fibi dan Kevin mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sejenak, keduanya hening.“Kamu udah lama temenan
“Terima kasih tumpangannya, Mas,” ucap Fibi setelah selesai mengemasi barangnya di bagasi mobil. Pria di dalam mobil, Kevin, adalah rekan kerjanya. Keduanya bekerja di sebuah agensi jasa make up artist, fotografer, dan model yang bisa disewa satu paket ataupun secara terpisah. Kali ini, sebuah brand meminta tiga MUA dan satu fotografer untuk pemotretan produk baru mereka.“Hati-hati di jalan, Mas.” Fibi melambaikan tangan, mengiringi mobil Kevin yang semakin menjauh, lalu menghilang di tengah keramaian jalan raya. Dia tersenyum lebar sambil memegang dadanya yang dari tadi berdetak tak karuan.“Udah ilang itu mobilnya, Neng. Masih aja dilihatin!” ucap seseorang dari dalam rumahnya. Tanpa menoleh, Fibi sudah sangat tahu siapa orangnya, dia sudah sangat hapal dengan suara itu. Siapa lagi kalau bukan sahabat baiknya, Edwin Kalandra. Satu-satunya orang, selain tantenya, yang bisa masuk ke rumah Fibi dengan leluasa.“Iri ya? Yang habis dicuekin crush-nya!” ucap Fibi sambil menjulurkan lidah