Sudah satu jam, dan Edwin masih setia menatap langit-langit kamarnya. Setelah pulang dari kafe tadi, Edwin langsung membersihkan tubuhnya lalu merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya tak diam, bahkan saat dia dalam perjalanan pulang tadi. Percakapan singkat dengan Aliyah berhasil membuat Edwin kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dari lama dia kubur, “Apa benar aku menyukai Fibi?”
Nyatanya, Edwin sama sekali tak bisa menyangkal setiap hipotesa yang diucapkan Aliyah. Bahkan saat Aliyah memintanya membayangkan pernikahan Fibi dengan orang lain, hatinya jadi sakit. Namun, apa itu cukup untuk menjadi bukti kalau Edwin menyukai Fibi? Mungkin saja dia hanya sakit hati karena ditinggal nikah oleh sahabat baiknya, kan? Edwin sering lihat, banyak yang seperti itu. Sedih bukan karena suka, tapi karena ditinggalkan. “Kalau nggak suka ngapain sedih pas ditinggal?” gumam Edwin tanpa sadar. Dia seketika bangun dan mengacak rambutnya frustrasi. Tidak mungkin dia benar menyukai Fibi, kan? Di saat yang sama, ponselnya berdering. Panggilan dari orang yang sejak tadi memenuhi kepalanya. “Ed!” teriak Fibi di seberang sana yang membuat Edwin seketika menjauhkan telinganya. “Bisa nggak sih, nggak usah teriak di telpon?” jawab Edwin sambil mengusap telinganya. “Sensi amat kayak cewek PMS!” “Lagi pusing! Ada apa lo nelpon malam-malam gini? Bukannya tidur!” Dapat Edwin dengar, Fibi menghela napas panjang di seberang sana. “Gue kebangun, terus inget lo habis reuni sama Aliyah. Gimana kabar dia, Ed? Gue kangen deh.” Edwin menata bantalnya lalu merebahkan dirinya lagi. “Besok dia ke kafe lagi katanya. Kalau kangen, datang aja. Aliyah juga kangen sama lo,” ucap Edwin, tapi tak ada balasan dari Fibi. “Bi?” panggil Edwin. “Hm,” jawab Fibi. Edwin menghela napas. “Jangan ngerasa bersalah. Gue putus sama Aliyah bukan karena lo. Gue nemenin lo saat itu karena emang gue pengen nemenin lo,” ucap Edwin. Sejak Fibi tahu cerita tentang perceraian orang tua Aliyah dan tentang Edwin yang memilih menemaninya tanpa tahu saat itu Aliyah juga butuh ditemani, membuatnya terus merasa bersalah. “Gue tahu,” jawab Fibi. “Terus?” “Gue cuma malu, Ed. Gue malu sama Aliyah. Gue malu ketemu dia lagi! Tahu nggak sih? Udah lama gitu gue sama Aliyah nggak ketemu, bakalan canggung nggak sih? Emang lo nggak ngerasa canggung gitu?” cecar Fibi yang kembali membuat Edwin mendengus. Sia-sia rupanya Edwin mengkhawatirkan gadis itu. “Gue kira lo masih kepikiran sama omongan Nina si ratu gosip sekolah.” “Dih, ngapain? Kalau pun benar, ya bukan gue yang salah lah. Salah lo sendiri kenapa bego banget masalah cewek!” ucap Fibi dengan percaya diri penuh. “Iya dah iya, gue yang salah.” Edwin hanya pasrah saja. Melawan pun tetap bakal kalah. “Iya lah! Coba ya, Ed, sesekali tuh kalau pacaran yang bener! Ceweknya diperhatiin, ditanyain lagi butuh apa, ditreat dengan baik. Lo mah, nggak bisa pacaran, Ed! Nggak jago!” cerocos Fibi lagi. Jika sudah begini, Ed pasti akan mendengar petuah-petuah menjalin hubungan ala Fibi semalaman. “Nih ya, Ed gue kasih saran. Kalau punya cewek lagi tuh yang perhatian. Tanyain dia lagi apa, mau makan apa, lagi sedih nggak? Sering-sering juga ajakin jalan, ajakin makan bareng. Pokoknya lo tuh kalau punya cewek harus dua puluh empat jam bareng cewek lo!” oceh Fibi. Edwin hanya menjawab iya-iya saja, tanpa perlawanan. Jika dipikir lagi, semua saran Fibi sudah dilakukan Edwin. Bukan ke pacar, tapi ke Fibi. Benar, kan? “Intinya ya, Ed. Cewek tuh maunya dipahami. Dia lagi nggak mood, lo harus paham. Dia lagi sedih, lo harus paham. Dia lagi seneng pun, lo harus paham. Pokoknya lo harus selalu paham. Ngerti nggak, Ed?” tanya Fibi, mengakhiri ceramah panjangnya. “Ngerti, Bi. Kayak lo gitu kan? Kalau lo lagi PMS, gue yang kena amuk. Kalau lo lagi sedih, baju gue basah kena ingus lo. Kalau lo lagi seneng, duit gue habis jajanin lo. Gitu kan intinya? Udah khatam gue,” jawab Edwin. “Pelatihan gue berhasil berarti. Tinggal apply ke cewek lain aja, Ed,” ucap Fibi sambil tertawa. “Emang gue bisa ya kayak gitu ke cewek selain Fibi?” batin Ed. “Balikan sama Aliyah boleh juga tuh, Ed. Gue dukung seribu persen!” sahut Fibi lagi. “Gue lihat-lihat, kayaknya lo demen banget sama Aliyah. Lo aja gih jadian sama Aliyah sana! Gue juga bakal dukung seribu persen! Daripada lo ngarepin cowok orang?” jawab Edwin sambil tertawa mengejek. “OH BOCAH GENDENG! GUE MASIH NORMAL! DAN INGAT! GUE NGGAK NGAREPIN MAS KEVIN!” teriak Fibi sebelum memutuskan panggilan telponnya. Edwin tertawa keras sebelum kembali mencoba menghubungi Fibi. Namun panggilannya ditolak. Edwin tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Oke, sepertinya dia sudah membuat gadis itu marah. Edwin membuka jadwal Fibi yang sengaja dia catat di ponselnya. Besok, gadis itu ada pemotretan pagi bersama Kevin dan Sarah. Tidak ada pilihan lain selain minta maaf besok. “Fibi, Fibi. Gimana bisa lo ngira gue nggak bisa pacaran, sedangkan sama lo aja gue segini effort-nya.” Edwin menggeleng-gelengkan kepala mengingat dirinya dan Fibi. Jika benar apa yang dikatakan Aliyah, Edwin hanya akan membiarkan semuanya mengalir. Lagi pula, Fibi tidak akan ke mana-mana kan? *** Pukul 5 pagi Edwin sudah siap di depan rumah Fibi. Seharusnya, gadis itu sebentar lagi keluar, karena jadwalnya mengatakan pemotretan akan dimulai pukul 7 pagi. Edwin menatap jam tangannya hingga suara kunci diputar membuatnya mendongak. Dia segera berdiri tepat di depan pintu masuk untuk menyambut Fibi. “Huuaaa!” teriak Fibi saat melihat Edwin ada di depan rumahnya. “Ck, berantakan banget sih, Bi!” Edwin seketika mengambil tas make up di tangan Fibi, lalu membawanya masuk ke mobil. “Lo ngapain?” tanya Fibi sambil berjalan mengikuti Edwin. Tak lupa dia menutup pintu rumahnya. “Apa lagi? Tentu saja nganterin lo sekalian minta maaf soal semalam. Ayo masuk!” Edwin membuka pintu depan mobil, lalu mendorong Fibi masuk. “Heh! Gue belum setuju!” protes Fibi, tapi Edwin dengan cepat menekan kepalanya untuk memasuki mobil. Setelah Fibi sudah aman di dalam mobil, Edwin pun segera memasuki mobil juga. “Itu Mama masak terong balado kesukaan lo, udah ada minumnya juga. Terus ....” Ucapan Edwin terpotong karena dia harus menoleh ke belakang untuk mengambil sesuatu. “2 kotak es krim vanila.” Edwin memamerkan 2 kotak sedang es krim vanila yang membuat Fibi seketika ingin meraih es krim itu. Namun Edwin mengelak. “Terong balado sama minumnya boleh gratis. Kalau yang ini boleh lo ambil kalau udah maafin gue,” ucap Edwin dengan senyum kemenangan. “Curang! Mentang-mentang duit lo banyak!” ucap Fibi sambil cemberut. “Jadi nggak mau?” Edwin menggoyang-goyangkan es krim itu di depan Fibi. “Mau!” Dengan cepat Fibi meraih es krim itu. Namun dia gagal lagi. “Oke, ini buat lo. Tapi makannya nanti aja, Lo sarapan nasi dulu!” ucap Edwin sambil menyimpan es krim itu di kursi belakang mobil. “Cih! Buat apa pamerin kalau nggak boleh dimakan!” Dengan terpaksa, Fibi memakan nasi yang dibawakan Edwin terlebih dahulu. Sambil Fibi makan, Edwin pun menjalankan mobilnya dengan hati-hati, agar Fibi bisa makan dengan tenang.“Oke, terakhir. Satu, dua, sip.” Sementara Kevin melihat hasil pemotretan, Sarah berjalan menuju ruang make up. Di sana dia melihat Fibi tengah tidur di sofa dengan menggunakan paha Edwin sebagai bantal.“Kamu masih di sini, Ed?” tanya Sarah sembari menarik kursi terdekat untuk duduk.“Hari ini saya full time nemenin Fibi. Perlu saya bangunin Fibi, Mbak?”“Nggak usah. Ini sudah selesai kok.”Edwin mengangguk lalu kembali fokus pada ponselnya. Sesekali Fibi bergerak dalam tidurnya, tapi Edwin dengan cepat menepuk puncak kepala Fibi untuk membuat gadis itu tenang. Sarah yang melihat keduanya pun tersenyum. Dia lalu mendorong kursi yang dia duduki mendekat ke Edwin.“Kalian yakin cuma sahabatan?” tanya Sarah dengan wajah penuh penasaran. Pasalnya, menurut Sarah, Edwin dan Fibi terlalu dekat untuk disebut hanya sahabat. Edwin yang mendengar pertanyaan Sarah pun hanya mengangguk sambil tersenyum.“Saya nggak percaya. Pegang kata-kata saya! Kalian bakalan jadi pasangan nanti!” ucap Sarah la
Fibi tak berhenti tersenyum sejak bertemu kembali dengan Aliyah. Sekarang, mereka bahkan tengah asyik bercerita di ruangan Edwin setelah kafe tutup. Edwin pun hanya diam sambil mendengar celotehan mereka, yang terkadang membuatnya tertawa juga.“Kayaknya seru banget di Kalimantan. Kapan-kapan ajakin gue ke sana dong, Al!” ucap Fibi setelah mendengar cerita Aliyah tentang Kalimantan.“Boleh. Lo atur aja mau kapan berangkatnya. Nanti gue ajakin keliling tempat-tempat yang bagus, terus gue kenalin ke teman-teman gue di sana. Siapa tahu lo ada kecantol sama cowok Kalimantan,” ucap Aliyah sambil mengerlingkan matanya.“Iya ya? bisa jadi agenda buat gue move on juga,” balas Fibi. Mendengar jawaban Fibi, Aliyah pun melirik ke arah Edwin yang tampak masih santai saja. Lebih tepatnya, pasrah.“Lo suka sama orang, Fib?” tanya Aliyah.“Ada. Tapi dia udah punya pacar ternyata. Makanya gue patah hati. Ah, nanti deh kapan-kapan gue ceritain. Lagi males ngomongin patah hati nih gue,” ucap Fibi. Aliy
“Ini loh, Ed. Lihat deh pengikutnya! Jutaan, Ed! Dan gue bakal jadi MUA dia pas wedding!” ucap Fibi dengan semangat menggebu-gebu.“Iya, Bi, iya. Dari tadi lo udah lihatin itu mulu. Iya, iya, selamat ya, Fibi,” jawab Edwin sambil mengacak rambut Fibi. Jika biasanya Fibi akan marah atau memberengut kesal, kali ini dia sama sekali tidak protes. Sejak pulang kerja tadi, Fibi terus saja tersenyum. Saat mampir ke Sunrise pun dia senyum-senyum dan tentu dengan semangat menceritakan berita baik hari ini pada Aliyah dan Edwin. Bahkan sekarang saat sudah di rumah pun dia masih menceritakan hal yang sama.“Bangga nggak lo? Bangga nggak sama gue?” tanya Fibi sambil menyenggol lengan Edwin.“Udah, Ed, bilang aja bangga gitu. Dia tuh belum puas kalau belum dipuji sama kamu,” ucap Tante Anya yang baru saja keluar dari kamarnya. Mendengar ucapan Tante Anya, Fibi justru tersenyum sambil mengangguk setuju.“Atutu, bangga banget gue sama lo, Fibi Lianita. Lo emang terbaik, MUA terbaik, pokoknya paling
“Hai, Fib!” sapa Sarah yang baru saja masuk bersama Kevin. Hari ini Fibi memang ada pekerjaan bersama Kevin. Dan malangnya, hari ini Sarah ikut menemani Kevin karena kebetulan jadwalnya kosong.“Hai, Letta!” sapa Sarah juga pada model yang akan dirias Fibi. Keduanya saling berpelukan dan berbincang sebentar sebelum Letta akhirnya duduk di depan meja rias.“Oke, saya mulai ya mbak Letta,” ucap Fibi yang dijawab anggukan oleh Letta. Kali ini klien meminta riasan dengan karakter peri karena pemotretan kali ini bertemakan negeri dongeng yang berpusat ke peri. Dua malam Fibi mencari referensi dan mempelajari tentang tema riasan kali ini. Dan hari ini, tentunya dia sudah sangat siap menggarap tema peri ini. Dia akan menyulap Letta menjadi peri cantik yang memukau semua orang.“Ini pertama kalinya kamu dapat tema gini ya, Fib?” tanya Sarah saat Fibi tengah fokus merias bagian mata Letta.“Kalau temanya, iya baru pertama kali, Mbak. Kalau jenis riasannya, aku udah beberapa kali dapat,” jawab
Fibi merenggangkan ototnya begitu selesai dengan pekerjaannya. Hari ini dia dan beberapa teman kerjanya mewakili agensi di sebuah fashion show. Keikutsertaan mereka ini adalah sebagai salah satu bentuk promosi agar agensi mereka semakin dikenal publik.Mereka menyuguhkan beberapa jenis riasan, dan Fibi kebetulan kedapatan riasan bertema alam. Tentu saja sebelumnya Fibi sudah banyak berlatih dengan tema ini hingga akhirnya dia bisa memberikan hasil yang memuaskan. Sekarang dia tengah berdiri di belakang panggung untuk melihat para model yang tengah tampil. Senyum puas dia sunggingkan saat model yang dia rias mendapat sambutan yang baik dari penonton.Setelah para model tampil di atas panggung, mereka kembali ke belakang panggung untuk memeriksa riasan mereka. Setelah semua dipastikan rapi dan cantik, mereka keluar. Para model kini berdiri di stan milik agensi masing-masing sambil ditemani fotografer dan dua orang yang bertugas menjelaskan tentang agensi.Para pengunjung memang diperbol
Ada yang berbeda dengan Kevin hari ini. Sedari tadi Fibi perhatikan, tak tampak sedikit pun senyum di bibir laki-laki itu. Sejak sampai di kantor, Kevin tampak menghindari interaksi dengan orang lain. Dia menyibukkan dirinya sendiri dengan pekerjaan yang biasanya bisa dia lakukan dengan santai.Tidak ada satu pun yang berani mendekati Kevin. Apalagi setelah melihat Raka, teman terdekat Kevin, ditolak saat berusaha membantu.“Mas Raka,” panggil Fibi saat melihat Raka yang sepertinya akan ke kantin.“Mau ke kantin?” tanya Fibi setelah berada di samping Raka.“Iya, mau bareng? Mumpung gue nggak ada teman nih,” jawab Raka sambil matanya melirik ke arah Kevin yang masih sibuk di mejanya. Fibi pun setuju.“Mas Kevin kenapa ya, Mas? Tumben banget dia gitu,” ucap Fibi sambil mengaduk makanannya agar tercampur rata.“Biasa. Ada masalah pasti sama Sarah,” jawab Raka yang kini sudah menghabiskan hampir separuh porsi makannya.“Masalah? Tapi perasaan kemarin mereka baik-baik saja deh.”Fibi ingat
Edwin menatap heran Fibi yang kini sudah membuka makanan ringan yang kelima. Bukan hanya itu, dia juga sudah menghabiskan hampir satu kotak besar es krim. Edwin menggeleng pelan. Walaupun sudah sering melihat Fibi yang mendadak menjadi super rakus saat hari pertama menstruasi, Edwin masih saja terkejut. Bagaimana tidak? Tiga jam lalu, Fibi masih terkapar di kasurnya. Tidak bisa bergerak bahkan satu inci pun. Hanya bibirnya yang terus mengucap kata sakit berulang kali. Namun, lihat sekarang? Wajah kesakitannya tadi sudah benar-benar hilang.“Salah gue udah khawatir setengah mati tadi,” gumam Edwin. Baru saja dia akan mengambil salah satu camilan, tapi tangannya langsung dipukul oleh Fibi.“Punya gue!”“Minta satu doang,” sahut Edwin. Namun Fibi justru menghalangi tangan Edwin dari menyentuh camilannya.“Itu gue yang beli semua ya! Sini, minta satu aja!”Edwin seketika menyesali ucapannya saat melihat mata Fibi yang kini berkaca-kaca. Fibi menatap Edwin dengan pandangan tersakiti, lal
Fibi menatap Edwin yang sibuk dengan laptopnya. Sejak Fibi tiba di Sunrise, Edwin sama sekali tak bicara dengannya. Beberapa kali Fibi mencoba mengajak bicara, tapi Edwin selalu menghindar dengan alasan sibuk. Fibi pun menyerah dan memilih menunggu Edwin dengan tenang.Sebenarnya, Edwin tidak benar-benar sibuk. Memang ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, tapi sebenarnya dia masih bisa mengobrol. Hanya saja, mengingat perdebatan mereka tadi malam lewat ponsel, membuat Edwin enggan untuk bicara.“Ed, lo kenapa?” tanya Fibi malam itu, mengawali panggilan telpon mereka.“Kenapa apanya?”“Muka lo kelihatan nggak biasa pas pulang. Kenapa?”Awalnya, Edwin ingin mengelak, tapi Fibi terus mendesaknya. Hingga akhirnya laki-laki itu mengeluarkan unek-uneknya tentang Fibi dan Kevin. Mengesampingkan perasaannya, Edwin sungguh tidak ingin Fibi terjebak dalam hubungan yang akan merugikannya di masa depan.“Lo serius marah sama gue karena itu? Ed, apa salahnya sih gue suka sama Mas Kevin?”
Edwin berusaha memejamkan mata, tapi setiap kali melakukannya dia terus terbayang senyum Fibi. Senyum yang tadi dia lihat, dan bukan karenanya. Rasa sesak masih ada di dadanya. Ini pertama kali baginya, merasakan sesak yang tak kunjung reda. Bahkan saat dia putus dengan Aliyah pun rasanya tidak begini.Ada rasa takut jauh di dalam hatinya. Takut posisinya akan tergantikan, dan takut Fibi akan melupakannya. Edwin takut dia tak akan berarti lagi di hidup Fibi. Sisi egoisnya terus meronta memintanya kembali dan menarik Fibi pulang. Mengunci gadis itu hanya untuk dirinya seorang. Namun dia masih waras untuk tidak merusak hubungan persahabatannya dengan Fibi.Baru begini saja, Edwin rasanya sudah kelimpungan. Bagaimana jika nanti dia benar-benar kehilangan Fibi? Edwin tidak pernah mengira, Fibi akan membuat hatinya jungkir balik sedemikian rupa. Dia tidak sadar bahwa Fibi sudah hampir mengisi penuh hatinya. Sampai hanya melihat Fibi tersenyum karena orang lain saja, Edwin tak rela.Edwin m
“Fibi nggak ke sini, Ed?” tanya Jeff saat Edwin tengah sibuk menggiling kopi. Kafe tidak begitu ramai di siang hari begini. Hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop atau ponsel mereka. Biasanya siang begini yang datang adalah mahasiswa untuk mengerjakan tugas.“Belum ngabarin sih. Tapi kayaknya nggak ke sini,” jawab Edwin.Sudah beberapa hari terakhir ini Fibi sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka biasanya hanya bicara saat malam hari, setelah kafe tutup. Itu pun Edwin harus menahan diri karena terus mendengar Fibi menceritakan Kevin. Dia ingin bicara dengan Fibi, ingin mendengar suara Fibi, bahkan jika gadis itu hanya membicarakan laki-laki lain dan membuat dadanya sesak.Edwin tahu, dia sekarang tidak memiliki kesempatan lagi. Fibi sudah dimabuk cinta. Dan sialnya, Edwin rasa Kevin juga menyukai Fibi. Terlihat dari sikap Kevin yang akhir-akhir ini cukup intens mencari perhatian Fibi.Ya, siapa yang tidak menyukai Fibi? Meskipun tidak secantik Sarah, tapi Fibi tidak bisa
“Gue suka banget deh, Fib sama hasil make up lo. Selalu on point. Jadi, gue selalu suka kalau dapat lo sebagai MUA,” ucap Rania saat Fibi tengah fokus memoles wajahnya. Fibi pun hanya tersenyum. Dalam hati, dia selalu sangat senang saat ada orang yang memuji hasil kerjanya. Dia merasa, semua kerja kerasnya terbayar ketika mendengar modelnya menyukai riasannya.“Temen gue banyak yang nanyain lo tahu, Fib,” ucap Raina lagi.“Nanya gimana?”“Banyak sih. Paling sering, mereka tanya net harga buat nyewa lo sebagai MUA mereka.” Raina kini memejamkan matanya karena Fibi sudah sampai di riasan mata. Namun, bibirnya tak henti bercerita tentang teman-temannya yang menyukai hasil riasan Fibi.“Lo nggak ada niatan jadi MUA tunggal?”“Udah kok. Kemarin gue jadi MUA tunggal di acara nikahan temennya Mas Kevin,” jawab Fibi. Setelah memberikan satu sentuhan warna terakhir, riasan Rania pun selesai. Gadis itu melihat pantulan wajahnya di cermin dan tersenyum puas.“Perfect,” ucap Rania. Dia berdiri la
Dua coklat hangat menemani Fibi dan Tante Anya yang sedang bersantai di teras rumah. Saat Fibi mengajak Tantenya untuk minum coklat hangat di teras, Tante Anya sudah merasa heran. Dulu memang, mereka sering mengobrol di teras sambil menikmati coklat hangat. Sejak bekerja, Fibi lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar atau di ruang tengah.“Tumben kamu ngajakin nongkrong di teras?” tanya Tante Anya.“Ya, sesekali aja. Lagi pengen,” jawab Fibi sambil tersenyum manis. Satu hal lagi yang aneh dari Fibi. Sejak pulang kerja, gadis itu tak berhenti tersenyum. Bukan senyum tipis yang biasa, tapi senyum manis penuh kebahagiaan.“Nggak bantuin Edwin?” tanya Tante Anya lagi.“Nggak, kata Edwin Sunrise baru hire pegawai baru. Jadi kayaknya, aku nggak perlu lagi ikut bantu-bantu di sana. Pegawainya Edwin udah banyak,” jawab Fibi lagi. Gadis itu menyesap coklat hangatnya, lalu tersenyum sambil menatap langit.“Kamu kenapa sih? Aneh banget hari ini,” ucap Tante Anya akhirnya.“Aku ....” Fibi m
Fibi tengah fokus merapikan alat make up-nya. Hari ini dia kembali ke rutinitasnya di kantor seperti biasa. Kebetulan hari ini dia mendapat jadwal memberikan demo Bold and Artistic Make up untuk MUA yang baru bergabung.Baru saja Fibi akan menutup kotak make up-nya, ponselnya tiba-tiba berbunyi tanda ada pesan masuk. Dan itu dari Kevin. Seketika, dada Fibi berdetak tak karuan. Saat dia membukanya, senyumnya seketika mengembang dan pipinya memerah.“Mau makan siang bareng di luar? Saya nemu tempat makan yang kayaknya enak.” Begitu bunyi pesan dari Kevin. Tanpa berpikir lagi, Fibi pun langsung mengiyakan. Gadis itu seketika melihat penampilannya lewat kamera ponsel.“Cielah, mau ke mana nih?” ucap Raka saat Fibi akan beranjak dari kursinya. Hari ini Kevin ada pemotretan di luar, jadi mereka sepakat untuk bertemu di tempat saja.“Kepo deh,” jawab Fibi sambil tertawa kecil.“Ye, gue tahu kok. Mau ketemu Kevin kan?” sahut Raka. Fibi pun seketika membesarkan mata karena terkejut. Dari mana
Sejak pulang dari Surabaya, Fibi tak beranjak dari kasur sama sekali. Dia masih betah rebahan sambil memeluk Beom. Satu tangannya sibuk bermain ponsel. Dia tertawa keras ketika muncul video lucu, tiba-tiba menjadi serius ketika muncul video edukasi, lalu bisa senyum-senyum tidak jelas ketika muncul video idol Korea. Yang jelas, hari ini Fibi benar-benar tidak ingin diganggu dan tidak ingin memikirkan pekerjaan. Kemarin Fibi tiba di rumah pukul enam, dan sejak itu sampai sekarang dia masih betah berada di kamarnya.Tiba-tiba ponselnya berdering. Fibi memutar matanya kesal saat melihat nama Edwin muncul. Tentu saja bukan tanpa alasan Fibi kesal dengan sahabatnya itu. Sejak dia naik pesawat sampai pagi ini, Edwin sama sekali tak bisa dihubungi. Hanya Tante Anya yang kemarin menjemputnya di Bandara.Karena kesal, Fibi pun mematikan panggilan telponnya lalu kembali asyik berselancar di media sosial. Namun, telpon dari Edwin kembali masuk. Beberapa kali Fibi menolak, telpon itu kembali masu
Jangan ditanya bagaimana perasaan Fibi sekarang. Sejak semalam, senyum tak pernah luntur dari bibirnya. Bahkan mungkin, dalam tidurnya pun dia tersenyum. Pagi ini begitu bangun di kamar hotelnya, Fibi memutar lagu cinta untuk menemaninya bersiap-siap pulang.Fibi sudah selesai mandi, dan sekarang tengah mengepak barang-barangnya ke dalam koper. Tiket kepulangannya masih nanti sore, tapi Fibi sudah berkemas sekarang karena tak ingin terburu-buru dan berakhir ada yang tertinggal. Sampai kegiatan berkemasnya harus terhenti sejenak karena suara ketukan pintu.“Iya, sebentar,” ucap Fibi yang segera berjalan membukakan pintu. Wajahnya seketika memanas saat melihat Kevin dengan celana pendek dan kaos putih polos berada di depan kamarnya sambil tersenyum.“Ayo sarapan! Abian, Sheila, sama Raka udah nunggu,” ajak Kevin. Fibi pun mengangguk lalu mengambil ponselnya.“Ayo, Mas,” ucap Fibi setelah mengunci pintu kamarnya. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju restoran hotel. Berada di dekat Ke
Sudah ke sekian kalinya Edwin melihat ponselnya, menunggu pesan dari Fibi. Namun, gadis itu tak ada menghubunginya sejak berpamitan untuk memulai pekerjaannya tadi pagi. Apa dia sangat sibuk?Jika diingat lagi, ini pertama kali dia berjauhan dengan Fibi. Biasanya, keduanya selalu lengket seperti perangko. Ke mana Fibi pergi, Edwin akan ikut. Begitu pun sebaliknya. Sekarang saat berjauhan begini, rasanya ada yang berbeda.Sejak pagi, Edwin berusaha menyibukkan dirinya dengan berbagai pekerjaan. Untungnya juga, dia memang benar-benar memiliki pekerjaan untuk dilakukan. Namun walau begitu, di saat senggangnya dia akan tetap melihat ponselnya. Barangkali ada pesan dari Fibi.Edwin menghela napas. Sudah pukul sembilan, tidak ada kabar dari Fibi, dan sekarang saatnya Sunrise tutup. Edwin pun keluar dari kantornya dan memilih membantu pegawainya untuk menutup kafe.“Baru aja mau gue panggil,” ucap Aliyah saat melihat Edwin.“Udah selesai semua?” tanya Edwin pada pegawainya. Mereka semua meng
“Masih di sini? Ayo ikut keluar!” ajak Kevin saat mendapati Fibi masih berada di ruang make up sendirian. “Malu, Mas. Rame banget di luar,” jawab Fibi. Saat ini dia hanya mengenakan kaos polos yang dipadukan dengan blazer navy dan celana kain hitam. “Udah mulai sepi kok. Ayo! Sama saya.” Kevin mengulurkan tangannya pada Fibi. Gadis itu menimbang sebentar, sebelum akhirnya menerima uluran tangan Kevin. Begitu keluar dari ruang make up, Fibi disambut dengan keramaian acara Sheila dan Abian. Yang menurut Kevin sudah sepi ternyata masih cukup ramai untuk Fibi. Apalagi, dia tidak mengenal siapa pun di sini. Sheila yang kini berada di pelaminan pun melambaikan tangan begitu melihat Fibi. “Mau foto?” tawar Kevin. “Boleh?” Kevin mengangguk dan langsung membawa Fibi untuk foto bersama Sheila dan Abian. Keduanya tampak senang menyambut Fibi, sementara Fibi malah kikuk. Dia berdiri di samping Sheila, sedangkan Kevin berdiri di samping Abian. Mereka pun mengambil beberapa foto dengan b