Fibi menatap Edwin yang sibuk dengan laptopnya. Sejak Fibi tiba di Sunrise, Edwin sama sekali tak bicara dengannya. Beberapa kali Fibi mencoba mengajak bicara, tapi Edwin selalu menghindar dengan alasan sibuk. Fibi pun menyerah dan memilih menunggu Edwin dengan tenang.Sebenarnya, Edwin tidak benar-benar sibuk. Memang ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, tapi sebenarnya dia masih bisa mengobrol. Hanya saja, mengingat perdebatan mereka tadi malam lewat ponsel, membuat Edwin enggan untuk bicara.“Ed, lo kenapa?” tanya Fibi malam itu, mengawali panggilan telpon mereka.“Kenapa apanya?”“Muka lo kelihatan nggak biasa pas pulang. Kenapa?”Awalnya, Edwin ingin mengelak, tapi Fibi terus mendesaknya. Hingga akhirnya laki-laki itu mengeluarkan unek-uneknya tentang Fibi dan Kevin. Mengesampingkan perasaannya, Edwin sungguh tidak ingin Fibi terjebak dalam hubungan yang akan merugikannya di masa depan.“Lo serius marah sama gue karena itu? Ed, apa salahnya sih gue suka sama Mas Kevin?”
“Fib.”Fibi yang tengah asyik menyantap bekalnya, seketika mendongak dan mendapati Kevin sudah berada di depan mejanya. Beberapa hari terakhir ini Kevin selalu diam. Tak bicara dengan siapa pun, hanya ke kantor saat dia memiliki pekerjaan, selebihnya dia tidak terlihat. Dan hari ini untuk pertama kalinya dia membuka mulutnya lagi, dan orang pertama yang dia sapa adalah Fibi. Bahkan Raka, teman terdekat Kevin, pun ikut menoleh saat mendengar Kevin memanggil Fibi.“Kenapa, Mas?” tanya Fibi. Wajah Kevin masih tampak murung. Sepertinya masalahnya belum selesai.“Kamu mau jadi MUA buat nikahan?”Deg. Apa ini artinya dia sudah tidak punya kesempatan? Fibi berusaha mengontrol wajahnya agar tidak terlihat sedih atau kecewa dengan memberi senyum seperti biasa. Namun sungguh, hatinya sangat sakit sekarang.“Boleh, Mas. Buat siapa?” tanya Fibi. Dia sudah benar-benar menyiapkan hatinya untuk mendengar jawaban dari Kevin.“Sahabat saya. Mereka mau nikah bulan depan.”Seketika Fibi menghela napas l
Fibi menatap Tante Anya dengan penuh harap. Beberapa saat lalu, Fibi sudah membicarakan tentang pekerjaan yang ditawarkan Kevin dengan Tante Anya. Setelah menjelaskan semua yang diperlukan, kini Fibi menunggu jawaban dari Tante Anya.Sebelumnya, Fibi memang sudah berjanji pada Edwin untuk tidak dekat-dekat Kevin sebelum Kevin dan Sarah resmi putus. Namun, Fibi tidak bisa melewatkan pekerjaan ini. Selain karena profesionalitas, ini juga tentang jenjang karir Fibi ke depannya sebagai MUA. Semakin sering dia menjadi MUA tunggal di beberapa acara besar, termasuk pernikahan, akan semakin dikenal pula namanya.“Jadi?” tanya Fibi yang tak sabar karena Tante Anya dari tadi hanya diam.“Oke. Tante kasih kepercayaan ke kamu. Tapi dengan syarat!” Tante Anya diam sebentar, lalu kembali berucap, “Jangan lupa untuk hubungi Tante. Setiap kamu pindah tempat, hubungi Tante!” Fibi seketika mengangguk antusias. Dia berhambur memeluk Tante Anya sambil mengucap terima kasih berulang kali. Di dunia ini, T
Kevin berhenti tepat di depan rumah Sarah. Hari ini mereka sengaja bertemu untuk menyelesaikan masalah, tapi yang terjadi justru perdebatan panjang yang tidak ada ujungnya. Sarah masih tetap pada pendiriannya, dan begitu pun Kevin. Kini, keduanya saling diam di mobil.“Kamu sayang sama aku, Sar?” tanya Kevin memecah keheningan.“Kamu perlu tanya itu?”“Kamu mau nikah sama aku, Sar?” tanya Kevin lagi. Kini Sarah yang tadinya membuang muka pun berbalik menatap Kevin.“Pertanyaanmu itu, kamu udah tahu jawabannya, Vin. Aku sayang kamu, aku mau nikah sama kamu.” Sarah mengambil jeda sejenak sebelum kembali berucap, “Tapi bukan berarti aku harus korbanin diriku dan karirku. Kamu tahu aku sangat mencintai dunia model, Vin. Kamu tahu, menjadi model itu impianku.”“Dan kamu juga tahu aku nggak mungkin ngelawan orang tuaku! Mereka orang tuaku, Sar. Keluargaku. Mereka ada buat aku jauh sebelum kamu hadir di hidupku!” sahut Kevin.“Lalu? Karena aku orang baru, aku yang harus mengalah?” jawab Sara
“Kamu belum pulang, Fib?” sapa Kevin yang baru akan keluar dari kantor. Kantor mereka sudah sepi karena ini sudah pukul sembilan malam. Jika pun ada yang masih bekerja, mereka jelas bekerja di luar kantor.“Aku baru selesai pemotretan sama brand, Mas. Ini balik ke kantor soalnya charger-ku ketinggalan,” ucap Fibi sambil memperlihatkan charger yang dari tadi dicarinya.“Mas Kevin sendiri? Kok belum pulang?” tanya Fibi sambil merapikan mejanya dan memasukkan charger-nya ke tas.“Ini baru mau pulang. Baru selesai beresin file foto yang harus dikirim besok,” jawab Kevin.“Mau bareng aja sekalian? Kamu nggak bawa motor kan?” tawar Kevin. Fibi memang tidak membawa motor hari ini, tadi dia kembali ke kantor menggunakan ojek online.“Boleh, kalau nggak ngerepotin,” jawab Fibi. Kevin pun tersenyum lalu mengajak Fibi keluar bersama.“Kamu sudah makan?” tanya Kevin. Fibi yang ditanya pun menggeleng.“Mau makan bareng sekalian? Saya juga belum makan,” tawar Kevin lagi. Setelah menimbang untuk beb
Fibi menghela napas setelah mendengarkan pesan suara yang dikirim Sheila. Pesan suara itu berisi do and don’t untuk riasan Sheila bulan depan. Saat pertama bertemu Sheila, Fibi kira gadis itu adalah tipe yang menyenangkan dan santai. Fibi sama sekali tidak menyangka jika Sheila adalah tipe gadis yang sangat cerewet dan banyak mau.Selama ini, Fibi sudah bekerja dengan cukup banyak model. Biasanya Fibi hanya akan menerima konsep riasan yang diinginkan dan selebihnya terserah bagaimana Fibi mengkreasikannya. Paling sering, Fibi hanya diminta untuk tidak menggunakan merk tertentu karena si model tidak cocok.Tidak dengan Sheila. Gadis itu memberi Fibi list produk yang harus Fibi pakai, dan semua harus baru. Belum lagi permintaannya untuk warna, bentuk, dan yang lainnya. Yang jelas, Sheila ada klien paling ribet yang pernah ditemui Fibi. Untungnya saja, bayaran dari Abian bisa dibilang tidak sedikit.“Mukamu kenapa ditekuk gitu, Fib?” tanya Raka yang baru keluar dari ruang photography sam
Pukul sebelas malam, mobil Kevin berhenti di pinggir jalan. Setelah memastikan mobilnya terparkir dengan aman, Kevin dan Fibi pun keluar. Di seberang jalan ada sebuah warung makan yang sangat ramai. Fibi bilang, warung ini memang khusus buka di jam-jam malam.Begitu masuk ke dalam, Kevin dan Fibi disuguhkan dengan berbagai macam olahan makanan yang tampak menggugah selera. Kevin sampai kebingungan memilih menu.“Cumi hitamnya juara sih, Mas,” ucap Fibi yang sudah menentukan pilihan lebih dulu. Sementara Kevin masih melihat-lihat. Kebanyakan lauk memang berupa olahan seafood. Namun masih ada beberapa lauk lain seperti ayam, daging, ampela, sampai babat.“Kamu sudah pernah coba semua?” tanya Kevin.“Nggak sih. Setiap kesini aku paling pesen cumi hitam atau babat. Kalau Ed, dia suka udang asam manisnya,” jelas Fibi.Setelah dilanda kebimbangan memilih menu, Kevin akhirnya menjatuhkan pilihannya pada gulai daging. Setelah mendapatkan makanan dan minuman, keduanya pun mencari tempat duduk.
“Fibi!”Fibi menoleh dan mendapati Sarah yang kini menunggunya di mejanya. Fibi yang baru saja dari kantin pun berlari menghampiri Sarah.“Mbak, ada apa? Ada jadwal pemotretan kah?” tanya Fibi begitu sampai di depan Sarah.“Nggak. Aku lagi nyari Kevin. Kamu tahu nggak dia di mana?”“Loh, Mas Kevin kan di Surabaya, Mbak,” jawab Fibi.“Hah? Kapan? Ngapain?”“Semalam berangkat. Katanya dia bantu urus nikahan temennya,” jawab Fibi. Sarah seketika terdiam untuk beberapa waktu. Fibi yang melihat wajah Sarah pun bingung. Apa dia salah bicara?“Nikahan temannya?”“Iya. Mas Abian sama Mbak Sheila.”“Abian sama Sheila nikah?” gumam Sarah. Beberapa saat kemudian, dia kembali berkata, “Tunggu, kok kamu kenal mereka?”“Aku bakal jadi MUA-nya Mbak Sheila, Mbak.”“Terus, kenapa kamu masih di sini?” tanya Sarah lagi.“Ya, acaranya masih dua minggu lagi.”Sarah terdiam. Dia sama sekali tidak tahu jika Abian dan Sheila akan menikah. Dia bahkan tidak tahu Kevin sedang di Surabaya. Dia tidak tahu apa-apa
Untuk menghargai Kevin, Fibi tetap memakan bingsu yang dipesan laki-laki itu. Namun dia hanya memakan potongan esnya saja.“Kamu nggak suka bingsu ya?” tanya Kevin yang menyadari kalau sejak tadi Fibi seperti terpaksa memakan bingsu-nya.“Suka kok, Mas,” jawab Fibi.“Kamu nggak pinter bohong, Fib. Nggak suka ya?”Fibi tersenyum kikuk.“Sebenarnya, aku nggak bisa makan mangga, Mas.” Fibi pun akhirnya jujur pada Kevin. Mendengar ucapan Fibi, wajah Kevin pun seketika tampak merasa bersalah.“Kenapa kamu nggak bilang? Ya sudah jangan makan lagi!” ucap Kevin sambil menjauhkan mangkok bingsu dari Fibi.“Nggak enak. Mas Kevin kelihatan excited banget buat ngenalin aku makanan enak di sini,” ucap Fibi.“Jangan gitu lagi, Fib. Aku nggak masalah kalau kamu memang nggak suka atau nggak bisa makan sesuatu yang aku belikan. Kamu bilang aja, jangan ngerasa nggak enakan.” Kevin menatap lekat pada Fibi, seolah memberi peringatan pada gadis itu agar tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.“Jadi seka
Setelah selesai merapikan alatnya, Kevin menghampiri Fibi. Gadis itu tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Fibi menyisir rambutnya lalu mengikat rambutnya. Di mata Kevin, gerakan Fibi tersebut tampak seperti slow motion. Senyum Kevin seketika mengembang saat memperhatikan Fibi. Begitu gadis itu selesai dengan mengikat rambutnya dan tengah merapikan poninya, Kevin pun mendekat.“Udah cantik,” ucap Kevin tepat di sebelah Fibi, yang hanya dibalas senyuman.Fibi yang tadinya fokus dengan rambutnya, seketika menyudahi kegiatannya. Gadis itu tersenyum malu sambil menunduk. Berpura-pura merapikan barang di dalam tasnya. Sejujurnya, dia hanya tidak tahu harus menjawab apa. Bibirnya kelu karena terkejut ditambah malu.“Sudah? Aku mau ajak kamu makan malam dulu, mau?”“Boleh aja, Mas,” jawab Fibi.Tanpa diduga, Kevin mengulurkan tangannya. Fibi yang tercengang pun hanya bisa menatap uluran tangan Kevin untuk beberapa waktu. Sampai Kevin sendiri yang meraih tangan Fibi dan menggandengnya m
Edwin berusaha memejamkan mata, tapi setiap kali melakukannya dia terus terbayang senyum Fibi. Senyum yang tadi dia lihat, dan bukan karenanya. Rasa sesak masih ada di dadanya. Ini pertama kali baginya, merasakan sesak yang tak kunjung reda. Bahkan saat dia putus dengan Aliyah pun rasanya tidak begini.Ada rasa takut jauh di dalam hatinya. Takut posisinya akan tergantikan, dan takut Fibi akan melupakannya. Edwin takut dia tak akan berarti lagi di hidup Fibi. Sisi egoisnya terus meronta memintanya kembali dan menarik Fibi pulang. Mengunci gadis itu hanya untuk dirinya seorang. Namun dia masih waras untuk tidak merusak hubungan persahabatannya dengan Fibi.Baru begini saja, Edwin rasanya sudah kelimpungan. Bagaimana jika nanti dia benar-benar kehilangan Fibi? Edwin tidak pernah mengira, Fibi akan membuat hatinya jungkir balik sedemikian rupa. Dia tidak sadar bahwa Fibi sudah hampir mengisi penuh hatinya. Sampai hanya melihat Fibi tersenyum karena orang lain saja, Edwin tak rela.Edwin m
“Fibi nggak ke sini, Ed?” tanya Jeff saat Edwin tengah sibuk menggiling kopi. Kafe tidak begitu ramai di siang hari begini. Hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop atau ponsel mereka. Biasanya siang begini yang datang adalah mahasiswa untuk mengerjakan tugas.“Belum ngabarin sih. Tapi kayaknya nggak ke sini,” jawab Edwin.Sudah beberapa hari terakhir ini Fibi sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka biasanya hanya bicara saat malam hari, setelah kafe tutup. Itu pun Edwin harus menahan diri karena terus mendengar Fibi menceritakan Kevin. Dia ingin bicara dengan Fibi, ingin mendengar suara Fibi, bahkan jika gadis itu hanya membicarakan laki-laki lain dan membuat dadanya sesak.Edwin tahu, dia sekarang tidak memiliki kesempatan lagi. Fibi sudah dimabuk cinta. Dan sialnya, Edwin rasa Kevin juga menyukai Fibi. Terlihat dari sikap Kevin yang akhir-akhir ini cukup intens mencari perhatian Fibi.Ya, siapa yang tidak menyukai Fibi? Meskipun tidak secantik Sarah, tapi Fibi tidak bisa
“Gue suka banget deh, Fib sama hasil make up lo. Selalu on point. Jadi, gue selalu suka kalau dapat lo sebagai MUA,” ucap Rania saat Fibi tengah fokus memoles wajahnya. Fibi pun hanya tersenyum. Dalam hati, dia selalu sangat senang saat ada orang yang memuji hasil kerjanya. Dia merasa, semua kerja kerasnya terbayar ketika mendengar modelnya menyukai riasannya.“Temen gue banyak yang nanyain lo tahu, Fib,” ucap Raina lagi.“Nanya gimana?”“Banyak sih. Paling sering, mereka tanya net harga buat nyewa lo sebagai MUA mereka.” Raina kini memejamkan matanya karena Fibi sudah sampai di riasan mata. Namun, bibirnya tak henti bercerita tentang teman-temannya yang menyukai hasil riasan Fibi.“Lo nggak ada niatan jadi MUA tunggal?”“Udah kok. Kemarin gue jadi MUA tunggal di acara nikahan temennya Mas Kevin,” jawab Fibi. Setelah memberikan satu sentuhan warna terakhir, riasan Rania pun selesai. Gadis itu melihat pantulan wajahnya di cermin dan tersenyum puas.“Perfect,” ucap Rania. Dia berdiri la
Dua coklat hangat menemani Fibi dan Tante Anya yang sedang bersantai di teras rumah. Saat Fibi mengajak Tantenya untuk minum coklat hangat di teras, Tante Anya sudah merasa heran. Dulu memang, mereka sering mengobrol di teras sambil menikmati coklat hangat. Sejak bekerja, Fibi lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar atau di ruang tengah.“Tumben kamu ngajakin nongkrong di teras?” tanya Tante Anya.“Ya, sesekali aja. Lagi pengen,” jawab Fibi sambil tersenyum manis. Satu hal lagi yang aneh dari Fibi. Sejak pulang kerja, gadis itu tak berhenti tersenyum. Bukan senyum tipis yang biasa, tapi senyum manis penuh kebahagiaan.“Nggak bantuin Edwin?” tanya Tante Anya lagi.“Nggak, kata Edwin Sunrise baru hire pegawai baru. Jadi kayaknya, aku nggak perlu lagi ikut bantu-bantu di sana. Pegawainya Edwin udah banyak,” jawab Fibi lagi. Gadis itu menyesap coklat hangatnya, lalu tersenyum sambil menatap langit.“Kamu kenapa sih? Aneh banget hari ini,” ucap Tante Anya akhirnya.“Aku ....” Fibi m
Fibi tengah fokus merapikan alat make up-nya. Hari ini dia kembali ke rutinitasnya di kantor seperti biasa. Kebetulan hari ini dia mendapat jadwal memberikan demo Bold and Artistic Make up untuk MUA yang baru bergabung.Baru saja Fibi akan menutup kotak make up-nya, ponselnya tiba-tiba berbunyi tanda ada pesan masuk. Dan itu dari Kevin. Seketika, dada Fibi berdetak tak karuan. Saat dia membukanya, senyumnya seketika mengembang dan pipinya memerah.“Mau makan siang bareng di luar? Saya nemu tempat makan yang kayaknya enak.” Begitu bunyi pesan dari Kevin. Tanpa berpikir lagi, Fibi pun langsung mengiyakan. Gadis itu seketika melihat penampilannya lewat kamera ponsel.“Cielah, mau ke mana nih?” ucap Raka saat Fibi akan beranjak dari kursinya. Hari ini Kevin ada pemotretan di luar, jadi mereka sepakat untuk bertemu di tempat saja.“Kepo deh,” jawab Fibi sambil tertawa kecil.“Ye, gue tahu kok. Mau ketemu Kevin kan?” sahut Raka. Fibi pun seketika membesarkan mata karena terkejut. Dari mana
Sejak pulang dari Surabaya, Fibi tak beranjak dari kasur sama sekali. Dia masih betah rebahan sambil memeluk Beom. Satu tangannya sibuk bermain ponsel. Dia tertawa keras ketika muncul video lucu, tiba-tiba menjadi serius ketika muncul video edukasi, lalu bisa senyum-senyum tidak jelas ketika muncul video idol Korea. Yang jelas, hari ini Fibi benar-benar tidak ingin diganggu dan tidak ingin memikirkan pekerjaan. Kemarin Fibi tiba di rumah pukul enam, dan sejak itu sampai sekarang dia masih betah berada di kamarnya.Tiba-tiba ponselnya berdering. Fibi memutar matanya kesal saat melihat nama Edwin muncul. Tentu saja bukan tanpa alasan Fibi kesal dengan sahabatnya itu. Sejak dia naik pesawat sampai pagi ini, Edwin sama sekali tak bisa dihubungi. Hanya Tante Anya yang kemarin menjemputnya di Bandara.Karena kesal, Fibi pun mematikan panggilan telponnya lalu kembali asyik berselancar di media sosial. Namun, telpon dari Edwin kembali masuk. Beberapa kali Fibi menolak, telpon itu kembali masu
Jangan ditanya bagaimana perasaan Fibi sekarang. Sejak semalam, senyum tak pernah luntur dari bibirnya. Bahkan mungkin, dalam tidurnya pun dia tersenyum. Pagi ini begitu bangun di kamar hotelnya, Fibi memutar lagu cinta untuk menemaninya bersiap-siap pulang.Fibi sudah selesai mandi, dan sekarang tengah mengepak barang-barangnya ke dalam koper. Tiket kepulangannya masih nanti sore, tapi Fibi sudah berkemas sekarang karena tak ingin terburu-buru dan berakhir ada yang tertinggal. Sampai kegiatan berkemasnya harus terhenti sejenak karena suara ketukan pintu.“Iya, sebentar,” ucap Fibi yang segera berjalan membukakan pintu. Wajahnya seketika memanas saat melihat Kevin dengan celana pendek dan kaos putih polos berada di depan kamarnya sambil tersenyum.“Ayo sarapan! Abian, Sheila, sama Raka udah nunggu,” ajak Kevin. Fibi pun mengangguk lalu mengambil ponselnya.“Ayo, Mas,” ucap Fibi setelah mengunci pintu kamarnya. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju restoran hotel. Berada di dekat Ke