Pukul sebelas malam, mobil Kevin berhenti di pinggir jalan. Setelah memastikan mobilnya terparkir dengan aman, Kevin dan Fibi pun keluar. Di seberang jalan ada sebuah warung makan yang sangat ramai. Fibi bilang, warung ini memang khusus buka di jam-jam malam.Begitu masuk ke dalam, Kevin dan Fibi disuguhkan dengan berbagai macam olahan makanan yang tampak menggugah selera. Kevin sampai kebingungan memilih menu.“Cumi hitamnya juara sih, Mas,” ucap Fibi yang sudah menentukan pilihan lebih dulu. Sementara Kevin masih melihat-lihat. Kebanyakan lauk memang berupa olahan seafood. Namun masih ada beberapa lauk lain seperti ayam, daging, ampela, sampai babat.“Kamu sudah pernah coba semua?” tanya Kevin.“Nggak sih. Setiap kesini aku paling pesen cumi hitam atau babat. Kalau Ed, dia suka udang asam manisnya,” jelas Fibi.Setelah dilanda kebimbangan memilih menu, Kevin akhirnya menjatuhkan pilihannya pada gulai daging. Setelah mendapatkan makanan dan minuman, keduanya pun mencari tempat duduk.
“Fibi!”Fibi menoleh dan mendapati Sarah yang kini menunggunya di mejanya. Fibi yang baru saja dari kantin pun berlari menghampiri Sarah.“Mbak, ada apa? Ada jadwal pemotretan kah?” tanya Fibi begitu sampai di depan Sarah.“Nggak. Aku lagi nyari Kevin. Kamu tahu nggak dia di mana?”“Loh, Mas Kevin kan di Surabaya, Mbak,” jawab Fibi.“Hah? Kapan? Ngapain?”“Semalam berangkat. Katanya dia bantu urus nikahan temennya,” jawab Fibi. Sarah seketika terdiam untuk beberapa waktu. Fibi yang melihat wajah Sarah pun bingung. Apa dia salah bicara?“Nikahan temannya?”“Iya. Mas Abian sama Mbak Sheila.”“Abian sama Sheila nikah?” gumam Sarah. Beberapa saat kemudian, dia kembali berkata, “Tunggu, kok kamu kenal mereka?”“Aku bakal jadi MUA-nya Mbak Sheila, Mbak.”“Terus, kenapa kamu masih di sini?” tanya Sarah lagi.“Ya, acaranya masih dua minggu lagi.”Sarah terdiam. Dia sama sekali tidak tahu jika Abian dan Sheila akan menikah. Dia bahkan tidak tahu Kevin sedang di Surabaya. Dia tidak tahu apa-apa
Fibi langsung menuju ruangan Edwin begitu sampai di Sunrise. Di sana dia mendapati Edwin yang tengah terbaring lemah sendirian. Fibi meletakkan tasnya di meja, lalu mengambil kotak P3K di laci meja Edwin.“Ed, ukur suhu dulu,” ucap Fibi sambil menggoyang pelan tubuh Edwin. Laki-laki itu pun mengamit termometer yang diberikan Fibi di ketiaknya. Tidak lama, termometer pun berbunyi.“Tiga delapan. Lo udah makan?” tanya Fibi sambil menyimpan kembali termometer ke kotak P3K.“Nggak nafsu,” jawab Edwin. Dia lalu dengan manja memeluk tangan Fibi.“Antar gue pulang,” pinta Edwin.“Iya, ini gue udah pesen taksi online.” Fibi membuka ponselnya, dilihatnya taksi online yang dia pesan masih dalam perjalanan. Sembari menunggu, dia pun menelpon mamanya Edwin.“Halo, Tante. Fibi mau ngabarin, ini si Ed badannya panas,” ucap Fibi saat panggilan telpon tersambung.“Loh, tadi pagi kayaknya baik-baik saja. Demam berapa derajat, Fib?” tanya Tante Lisa.“Tiga delapan, Tan. Ini mau Fibi antar pulang ke rum
“Tante,” panggil Fibi ketika melihat Tante Lisa ternyata sudah pulang. Tante Lisa tersenyum melihat Fibi.“Edwin rewel?” tanya Tante Lisa.“Lumayan. Tante pulang dari tadi? Kok nggak bangunin Fibi?”“Baru saja kok. Nggak tega mau bangunin kamu. Lagian, lenganmu juga dipakek guling sama si Ed,” ucap Tante Lisa sambil tertawa pelan. “Iya, sampek pegel tangan Fibi. Oh iya, tante katanya pulang jam tujuh? Sekarang masih jam empat,” ucap Fibi sambil berjalan mendekat.“Tante ambil izin, dan untungnya boleh karena kerjaan tante udah selesai. Kamu mandi dulu sama! Tadi tante bawain baju gantimu. Tumben juga Tantemu di rumah jam segini,” ucap Tante Lisa sambil tangannya masih aktif mengiris bawang.“Tante Anya di rumah? Tadi pagi perasaan kerja deh,” gumam Fibi.“Mungkin pulang cepat juga. Udah sana mandi dulu! Bajunya di kamar tante ya.”Fibi pun menurut. Dia mengambil baju gantinya di kamar tante Lisa lalu membawanya ke kamar mandi. Sementara Fibi mandi, Tante Lisa masih asyik dengan kegia
Setelah makan malam bersama Edwin dan Tante Lisa, Fibi pun menepati janjinya pada Jeff untuk kembali ke Sunrise menggantikan Edwin. Saat sampai, Sunrise sudah sangat ramai pengunjung. Jadi Fibi langsung masuk dan ikut membantu melayani pengunjung.“Meja nomor sepuluh, Fib!” ucap Aliyah saat Fibi baru selesai berganti pakaian.Fibi bekerja dengan cekatan. Untungnya hari ini pekerjaannya sebagai MUA tidak terlalu padat. Jadi tenaganya masih cukup penuh untuk membantu di Sunrise.Fibi yang memang sudah sering membantu di Sunrise pun tak hanya bisa melayani pengunjung. Sesekali dia membantu di bar saat pesanan membludak dan mereka kewalahan, terkadang juga menggantikan kasir. Hanya satu yang Fibi tidak bisa, memasak. Sekalipun Fibi tidak pernah masuk ke dapur selama di Sunrise.“Lo nggak capek, Fib?” tanya Jeff saat Fibi tengah membantunya menyiapkan minuman.“Hah?”“Lo nggak capek? Dari tadi gue lihat lo sibuk banget.”“Biasa aja sih. Kan biasanya juga gini,” jawab Fibi sambil tersenyum.
“Jadi, ada apa?” tanya Ed sambil menyesap kopi yang dibuatkan mamanya untuknya dan Jeff.“Kafe baik-baik aja kan? Tadi kayaknya Fibi balik ke sana buat bantu-bantu. Besok juga gue udah masuk lagi sih,” sambung Ed lagi. Dia memang sudah sangat baikan sekarang. Demamnya juga sudah turun. Rasa pusing di kepalanya juga sudah hilang. Bisa dipastikan besok dia bisa ke kafe lagi.“Kafe oke. Kayak biasa, Fibi selalu bisa diandalkan.” Jeff ikut menyesap kopinya, lalu kembali berkata, “Justru gue mau ngobrolin soal Aliyah.”Edwin mengerutkan keningnya begitu mendengar nama Aliyah. Setahunya, gadis itu tidak pernah membuat masalah selama ini. Edwin perhatikan, Aliyah bekerja dengan cukup baik. Dia juga bisa berbaur dengan pegawai lain.“Menurut gue, dia terlalu bossy,” sambung Jeff yang membuat kening Edwin semakin mengerut.“Aliyah? Bossy? Gue nggak salah dengar kan?”“Yap, lo nggak salah dengar.”Edwin terdiam sejenak. Ini cukup membingungkan, karena yang dia lihat selama ini Aliyah tidak tamp
“Ed, manggil gue?” ucap Aliyah begitu memasuki ruangan Edwin. Gadis itu langsung duduk di sofa Edwin dengan nyaman.“Duduk sini, Al,” ucap Edwin sambil menunjuk kursi di depannya. Aliyah pun menurut, walaupun agak heran karena biasanya Edwin akan membiarkannya duduk di mana pun yang dia inginkan.“Jadi? Ada apa? Lo mau curhat soal Fibi?” tanya Aliyah dengan santai.“Hari ini gue lihat lo telat? Shift lo harusnya jam sembilan, tapi lo baru datang jam sepuluh?”Aliyah seketika menegakkan badannya. Keningnya sedikit mengerut, heran. Biasanya Edwin tidak pernah membahas masalah pekerjaan.“Sorry, tadi ada kendala dikit di jalan. Ada yang ngaduin ya?”“Gue lihat sendiri. Kebetulan gue udah di sini sejak jam sembilan.” Aliyah seketika terdiam mendengar jawaban Edwin.“Lo manggil gue buat negur karena gue telat?” tanya Aliyah.“Nggak cuman itu.” Edwin menautkan jari-jarinya. Sesungguhnya, ini hal yang tidak mudah untuknya. Walau bagaimana pun, Aliyah adalah temannya. Edwin sangat berharap ag
Fibi mengeratkan pelukannya pada boneka beruang yang beberapa hari lalu dia dapatkan dari Edwin. Boneka itu kini menjadi penghuni tetap kasurnya, menjadi teman tidurnya, dan sesekali menjadi teman curhatnya. Fibi bahkan berpikir membuatkan baju untuk si Beom, panggilan untuk boneka beruangnya.“Ya ampun, anak gadis hampir seperempat abat, tapi masih nguyel-nguyel boneka.” Tante Anya kini bersedekap di depan pintu kamar Fibi sambil melihat Fibi yang masih sangat nyaman berada di atas kasurnya.“Masih pagi ini, Tante,” jawab Fibi sambil mengusapkan wajahnya pada Beom.“Libur kamu?” tanya Tante Anya sambil berjalan masuk ke kamar Fibi, lalu duduk di kasur Fibi.“Nanti jam sepuluh aku berangkat. Hari ini cuman training junior, aku kebagian habis makan siang,” jawab Fibi. Tante Anya tersenyum lalu mengusap kepala Fibi.“Keponakan Tante udah gede ternyata. Udah bisa training juniornya.”Mengingat bagaimana kehidupan mereka sebelumnya, Tante Anya benar-benar merasa bangga pada Fibi. Gadis it
Setelah selesai merapikan alatnya, Kevin menghampiri Fibi. Gadis itu tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Fibi menyisir rambutnya lalu mengikat rambutnya. Di mata Kevin, gerakan Fibi tersebut tampak seperti slow motion. Senyum Kevin seketika mengembang saat memperhatikan Fibi. Begitu gadis itu selesai dengan mengikat rambutnya dan tengah merapikan poninya, Kevin pun mendekat.“Udah cantik,” ucap Kevin tepat di sebelah Fibi, yang hanya dibalas senyuman.Fibi yang tadinya fokus dengan rambutnya, seketika menyudahi kegiatannya. Gadis itu tersenyum malu sambil menunduk. Berpura-pura merapikan barang di dalam tasnya. Sejujurnya, dia hanya tidak tahu harus menjawab apa. Bibirnya kelu karena terkejut ditambah malu.“Sudah? Aku mau ajak kamu makan malam dulu, mau?”“Boleh aja, Mas,” jawab Fibi.Tanpa diduga, Kevin mengulurkan tangannya. Fibi yang tercengang pun hanya bisa menatap uluran tangan Kevin untuk beberapa waktu. Sampai Kevin sendiri yang meraih tangan Fibi dan menggandengnya m
Edwin berusaha memejamkan mata, tapi setiap kali melakukannya dia terus terbayang senyum Fibi. Senyum yang tadi dia lihat, dan bukan karenanya. Rasa sesak masih ada di dadanya. Ini pertama kali baginya, merasakan sesak yang tak kunjung reda. Bahkan saat dia putus dengan Aliyah pun rasanya tidak begini.Ada rasa takut jauh di dalam hatinya. Takut posisinya akan tergantikan, dan takut Fibi akan melupakannya. Edwin takut dia tak akan berarti lagi di hidup Fibi. Sisi egoisnya terus meronta memintanya kembali dan menarik Fibi pulang. Mengunci gadis itu hanya untuk dirinya seorang. Namun dia masih waras untuk tidak merusak hubungan persahabatannya dengan Fibi.Baru begini saja, Edwin rasanya sudah kelimpungan. Bagaimana jika nanti dia benar-benar kehilangan Fibi? Edwin tidak pernah mengira, Fibi akan membuat hatinya jungkir balik sedemikian rupa. Dia tidak sadar bahwa Fibi sudah hampir mengisi penuh hatinya. Sampai hanya melihat Fibi tersenyum karena orang lain saja, Edwin tak rela.Edwin m
“Fibi nggak ke sini, Ed?” tanya Jeff saat Edwin tengah sibuk menggiling kopi. Kafe tidak begitu ramai di siang hari begini. Hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop atau ponsel mereka. Biasanya siang begini yang datang adalah mahasiswa untuk mengerjakan tugas.“Belum ngabarin sih. Tapi kayaknya nggak ke sini,” jawab Edwin.Sudah beberapa hari terakhir ini Fibi sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka biasanya hanya bicara saat malam hari, setelah kafe tutup. Itu pun Edwin harus menahan diri karena terus mendengar Fibi menceritakan Kevin. Dia ingin bicara dengan Fibi, ingin mendengar suara Fibi, bahkan jika gadis itu hanya membicarakan laki-laki lain dan membuat dadanya sesak.Edwin tahu, dia sekarang tidak memiliki kesempatan lagi. Fibi sudah dimabuk cinta. Dan sialnya, Edwin rasa Kevin juga menyukai Fibi. Terlihat dari sikap Kevin yang akhir-akhir ini cukup intens mencari perhatian Fibi.Ya, siapa yang tidak menyukai Fibi? Meskipun tidak secantik Sarah, tapi Fibi tidak bisa
“Gue suka banget deh, Fib sama hasil make up lo. Selalu on point. Jadi, gue selalu suka kalau dapat lo sebagai MUA,” ucap Rania saat Fibi tengah fokus memoles wajahnya. Fibi pun hanya tersenyum. Dalam hati, dia selalu sangat senang saat ada orang yang memuji hasil kerjanya. Dia merasa, semua kerja kerasnya terbayar ketika mendengar modelnya menyukai riasannya.“Temen gue banyak yang nanyain lo tahu, Fib,” ucap Raina lagi.“Nanya gimana?”“Banyak sih. Paling sering, mereka tanya net harga buat nyewa lo sebagai MUA mereka.” Raina kini memejamkan matanya karena Fibi sudah sampai di riasan mata. Namun, bibirnya tak henti bercerita tentang teman-temannya yang menyukai hasil riasan Fibi.“Lo nggak ada niatan jadi MUA tunggal?”“Udah kok. Kemarin gue jadi MUA tunggal di acara nikahan temennya Mas Kevin,” jawab Fibi. Setelah memberikan satu sentuhan warna terakhir, riasan Rania pun selesai. Gadis itu melihat pantulan wajahnya di cermin dan tersenyum puas.“Perfect,” ucap Rania. Dia berdiri la
Dua coklat hangat menemani Fibi dan Tante Anya yang sedang bersantai di teras rumah. Saat Fibi mengajak Tantenya untuk minum coklat hangat di teras, Tante Anya sudah merasa heran. Dulu memang, mereka sering mengobrol di teras sambil menikmati coklat hangat. Sejak bekerja, Fibi lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar atau di ruang tengah.“Tumben kamu ngajakin nongkrong di teras?” tanya Tante Anya.“Ya, sesekali aja. Lagi pengen,” jawab Fibi sambil tersenyum manis. Satu hal lagi yang aneh dari Fibi. Sejak pulang kerja, gadis itu tak berhenti tersenyum. Bukan senyum tipis yang biasa, tapi senyum manis penuh kebahagiaan.“Nggak bantuin Edwin?” tanya Tante Anya lagi.“Nggak, kata Edwin Sunrise baru hire pegawai baru. Jadi kayaknya, aku nggak perlu lagi ikut bantu-bantu di sana. Pegawainya Edwin udah banyak,” jawab Fibi lagi. Gadis itu menyesap coklat hangatnya, lalu tersenyum sambil menatap langit.“Kamu kenapa sih? Aneh banget hari ini,” ucap Tante Anya akhirnya.“Aku ....” Fibi m
Fibi tengah fokus merapikan alat make up-nya. Hari ini dia kembali ke rutinitasnya di kantor seperti biasa. Kebetulan hari ini dia mendapat jadwal memberikan demo Bold and Artistic Make up untuk MUA yang baru bergabung.Baru saja Fibi akan menutup kotak make up-nya, ponselnya tiba-tiba berbunyi tanda ada pesan masuk. Dan itu dari Kevin. Seketika, dada Fibi berdetak tak karuan. Saat dia membukanya, senyumnya seketika mengembang dan pipinya memerah.“Mau makan siang bareng di luar? Saya nemu tempat makan yang kayaknya enak.” Begitu bunyi pesan dari Kevin. Tanpa berpikir lagi, Fibi pun langsung mengiyakan. Gadis itu seketika melihat penampilannya lewat kamera ponsel.“Cielah, mau ke mana nih?” ucap Raka saat Fibi akan beranjak dari kursinya. Hari ini Kevin ada pemotretan di luar, jadi mereka sepakat untuk bertemu di tempat saja.“Kepo deh,” jawab Fibi sambil tertawa kecil.“Ye, gue tahu kok. Mau ketemu Kevin kan?” sahut Raka. Fibi pun seketika membesarkan mata karena terkejut. Dari mana
Sejak pulang dari Surabaya, Fibi tak beranjak dari kasur sama sekali. Dia masih betah rebahan sambil memeluk Beom. Satu tangannya sibuk bermain ponsel. Dia tertawa keras ketika muncul video lucu, tiba-tiba menjadi serius ketika muncul video edukasi, lalu bisa senyum-senyum tidak jelas ketika muncul video idol Korea. Yang jelas, hari ini Fibi benar-benar tidak ingin diganggu dan tidak ingin memikirkan pekerjaan. Kemarin Fibi tiba di rumah pukul enam, dan sejak itu sampai sekarang dia masih betah berada di kamarnya.Tiba-tiba ponselnya berdering. Fibi memutar matanya kesal saat melihat nama Edwin muncul. Tentu saja bukan tanpa alasan Fibi kesal dengan sahabatnya itu. Sejak dia naik pesawat sampai pagi ini, Edwin sama sekali tak bisa dihubungi. Hanya Tante Anya yang kemarin menjemputnya di Bandara.Karena kesal, Fibi pun mematikan panggilan telponnya lalu kembali asyik berselancar di media sosial. Namun, telpon dari Edwin kembali masuk. Beberapa kali Fibi menolak, telpon itu kembali masu
Jangan ditanya bagaimana perasaan Fibi sekarang. Sejak semalam, senyum tak pernah luntur dari bibirnya. Bahkan mungkin, dalam tidurnya pun dia tersenyum. Pagi ini begitu bangun di kamar hotelnya, Fibi memutar lagu cinta untuk menemaninya bersiap-siap pulang.Fibi sudah selesai mandi, dan sekarang tengah mengepak barang-barangnya ke dalam koper. Tiket kepulangannya masih nanti sore, tapi Fibi sudah berkemas sekarang karena tak ingin terburu-buru dan berakhir ada yang tertinggal. Sampai kegiatan berkemasnya harus terhenti sejenak karena suara ketukan pintu.“Iya, sebentar,” ucap Fibi yang segera berjalan membukakan pintu. Wajahnya seketika memanas saat melihat Kevin dengan celana pendek dan kaos putih polos berada di depan kamarnya sambil tersenyum.“Ayo sarapan! Abian, Sheila, sama Raka udah nunggu,” ajak Kevin. Fibi pun mengangguk lalu mengambil ponselnya.“Ayo, Mas,” ucap Fibi setelah mengunci pintu kamarnya. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju restoran hotel. Berada di dekat Ke
Sudah ke sekian kalinya Edwin melihat ponselnya, menunggu pesan dari Fibi. Namun, gadis itu tak ada menghubunginya sejak berpamitan untuk memulai pekerjaannya tadi pagi. Apa dia sangat sibuk?Jika diingat lagi, ini pertama kali dia berjauhan dengan Fibi. Biasanya, keduanya selalu lengket seperti perangko. Ke mana Fibi pergi, Edwin akan ikut. Begitu pun sebaliknya. Sekarang saat berjauhan begini, rasanya ada yang berbeda.Sejak pagi, Edwin berusaha menyibukkan dirinya dengan berbagai pekerjaan. Untungnya juga, dia memang benar-benar memiliki pekerjaan untuk dilakukan. Namun walau begitu, di saat senggangnya dia akan tetap melihat ponselnya. Barangkali ada pesan dari Fibi.Edwin menghela napas. Sudah pukul sembilan, tidak ada kabar dari Fibi, dan sekarang saatnya Sunrise tutup. Edwin pun keluar dari kantornya dan memilih membantu pegawainya untuk menutup kafe.“Baru aja mau gue panggil,” ucap Aliyah saat melihat Edwin.“Udah selesai semua?” tanya Edwin pada pegawainya. Mereka semua meng