“Siap?” ucap Edwin begitu Aliyah duduk di motornya.
“Kita jalan-jalan dulu, ya? Aku pengen ke warung sate biasanya, mau nggak?” ucap Aliyah.
“Ini udah malam, orang tua kamu nggak nyariin?” Bukannya menolak, Edwin hanya tidak ingin Aliyah kena marah karena pulang terlalu malam.
“Nggak pa-pa, aku udah izin pulang malam kok.”
Mendengar ucapan Aliyah yang meyakinkan, Edwin pun mengangguk setuju. Sebenarnya, dia pun rindu pada Aliyah. Namun bagaimana lagi? Fibi sedang sangat kacau, sedangkan Tante Anya harus tetap bekerja. Edwin hanya takut, jika Fibi sendirian gadis itu akan melakukan hal yang berbahaya.
“Pak, dua porsi sate kayak biasa ya!” pesan Edwin pada penjual sate. Keduanya memang sudah sangat sering sekali ke sana. Penjual satenya pun sudah tidak asing dengan mereka.
“Tumben lama nggak ke sini, Mas. Tak kirain udah nemu tukang sate lain,” ucap penjual sate itu yang membuat Edwin tertawa.
“Lagi ada urusan sih, pak. Lagian, nggak ada yang bisa ngalahin sate buatan bapak kok.” Keduanya tertawa dan berbincang sebentar sebelum Edwin menghampiri Aliyah di meja.
“Ngobrol apa aja sama bapaknya? Akrab banget kayaknya,” ucap Aliyah saat Edwin duduk di sebelahnya.
“Kepo deh kamu,” ucap Edwin yang membuat Aliyah mencebik kesal.
“Eh tumben sih ortu kamu bolehin pulang malam.”
Edwin hapal betul kebiasaan orang tua Aliyah. Mereka selalu menekankan pada Edwin untuk memulangkan anak gadis mereka sebelum pukul sembilan malam setiap kali Edwin mengajak Aliyah keluar.
“Ya, sesekali lah. Lagian sama kamu juga ini. Kalau aku kenapa-kenapa pasti kamu yang dicari,” canda Aliyah.
Mereka pun saling bergurau seperti biasanya. Tanpa Edwin tahu, ini adalah malam terakhir dan juga kencan terakhir mereka.
“Monggo satenya,” ucap penjual sate saat mengantar pesanan mereka.
“Terima kasih, Pak,” ucap Aliyah. Gadis itu dengan semangat langsung menyantap satenya.
“Pelan-pelan makannya. Nggak bakal aku curi kok,” ucap Edwin sambil mengusap ujung bibir Aliyah yang belepotan saus. Selama makan pun keduanya sambil bercanda ria.
“Ed, aku mau ngomong deh,” ucap Aliyah saat keduanya telah selesai makan.
“Dari tadi kan udah ngomong,” sahut Edwin.
“Ih, aku serius. Dengerin baik-baik!” Aliyah menarik napas panjang lalu kembali berkata, “Aku mau pindah.”
Satu, dua, tiga detik tak ada jawaban dari Edwin. Cowok itu terdiam, bahkan gerakannya merapikan piring mereka pun terhenti sejenak.
“Pindah sekolah?” tanya Edwin yang masih berusaha berpikir positif. Dia menyingkirkan piring mereka ke pinggir meja, memberi lebih banyak ruang untuk keduanya.
“Orang tua aku cerai, tepat pas nenek Fibi meninggal. Mereka minta aku milih mau tinggal sama siapa, dan aku milih ikut Ibu ke Kalimantan,” jelas Aliyah. Dia menatap Edwin, menunggu reaksi Edwin. Namun cowok itu masih diam.
“Besok malam aku berangkat.” Ucapan Aliyah itu yang akhirnya membuat Edwin menatapnya dalam-dalam.
“Besok? Kenapa mendadak, Al?” tanya Edwin.
“Nggak mendadak, Ed. Aku udah memutuskan dari tiga hari lalu. Ibu ngasih aku waktu buat pamitan sama orang-orang di sini. Termasuk kamu,” jawab Aliyah.
“Terus kenapa baru sekarang, Al? Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin?”
“Aku udah coba bilang, Ed! Bahkan sebelum aku memutuskan, aku coba buat ngomong sama kamu. Kamu bilang, kamu bakal datang, tapi kamu nggak datang, Ed!” Ucapan Aliyah seketika membuat Edwin ingat. Dia memang sempat berjanji akan ke rumah Aliyah. Namun hari itu, Fibi tiba-tiba drop dan harus dibawa ke rumah sakit. Alhasil, Edwin semalaman menunggu Fibi di rumah sakit. Besoknya dia baru mengabari Aliyah sekalian meminta maaf karena tidak jadi datang.
“Lalu aku gimana, Al? Kita gimana?” tanya Edwin dengan putus asa.
“Kita LDR ya, Al? Aku bisa kok, kamu tenang aja.”
“Ed,” panggil Aliyah sambil memegang tangan Edwin.
“Kita udahan aja, ya? Aku nggak bisa LDR, Ed. Lagi pula, aku juga nggak janji bakal balik,” ucap Aliyah yang membuat Edwin seketika lemas.
“Aku yang bakal datangin kamu, Al!” Namun, Edwin pun tak menyerah membujuk Aliyah.
“Nggak, Ed. Jangan. Keputusanku udah bulat. Kita udahan aja, ya?”
Edwin menunduk. Tidak peduli bagaimana kata orang, kini dia menangis.
“Gimana dengan aku, Al? Aku nggak bisa kalau nggak ada kamu,” ucap Edwin pelan.
“Kamu bisa, Ed. Buktinya, seminggu ini kamu bisa kan?” jawab Aliyah.
“Masih ada Fibi, Ed. Kamu bisa tanpa aku. Tapi kamu nggak bisa tanpa Fibi.”
Edwin mendongak setelah mendengar ucapan Aliyah. Keningnya berkerut sedangkan Aliyah justru tersenyum.
“Ed, kamu bisa tanpa aku. Tapi kamu nggak bisa tanpa Fibi. Benar kan?”
“Maksud kamu apa, Al? Kamu marah aku nemenin Fibi?”
“Nggak, Ed. Gimana aku bisa marah? Fibi itu baik banget sama aku, Ed. Selama kita pacaran, Fibi selalu jaga perasaan aku. Fibi selalu ingat kalau aku pacar kamu. Fibi selalu bilang ke aku setiap kali dia lagi sama kamu. Fibi nggak pernah sekali pun berusaha buat kamu jauh dari aku. Sebaliknya, Fibi selalu buat aku merasa dekat dengan kamu dan dia. Karena itu, aku nggak pernah marah tiap kamu bareng sama Fibi. Karena Fibi selalu ingat, kalau aku pacar kamu.” Aliyah menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan cepat.
“Tapi kamu nggak, Ed. Aku tahu, Fibi benar-benar tulus temenan sama kamu. Dia bahagia kamu punya aku, dia dukung kita. Tapi kamu nggak. Saat Fibi terus berusaha bikin aku ngerasa dekat sama kamu, kamu justru tanpa sadar berusaha bikin aku tahu kalau aku nggak bisa gantiin Fibi.” Aliyah menatap Edwin yang masih dengan wajah bingungnya.
“Saat kamu marah, kamu ke Fibi lalu marahmu hilang. Pas kamu sedih, kamu ke Fibi lalu kamu senyum lagi. Pas kamu punya kabar baik, kamu ke Fibi dan merayakannya bersama. Pas kamu punya kabar buruk, kamu ke Fibi dan kalian jalan-jalan buat balikin mood kamu. Setiap kabar, kamu selalu bilang ke Fibi. Dalam keadaan apa pun, kamu ke Fibi. Kamu nggak ingat kalau kamu punya aku, tapi kamu selalu ingat kalau kamu punya Fibi.”
Setelah Aliyah menjelaskan panjang lebar, Edwin hanya diam merenung. Diam-diam dia dari tadi mengiyakan setiap ucapan Aliyah. Dia memang selalu mengingat Fibi kapan pun dan di mana pun.
“Ed, kamu jauh lebih sayang Fibi daripada aku.”
“Tapi, aku tetap sayang kamu, Al,” ucap Edwin. Dia tidak berbohong, dia benar-benar sayang pada Aliyah.
“Aku tahu. Tapi rasa sayangmu nggak cukup, Ed. Percaya sama aku, kamu nanti pasti berterima kasih ke aku untuk keputusanku kali ini.”
Edwin tersenyum mengingat percakapan panjang mereka sebelum Aliyah pergi. Bahkan sampai sekarang pun, Edwin belum menemukan jawaban yang tepat akan perasaannya. Ya, dia memang selalu ingat Fibi, tapi dia rasa tidak ada yang spesial untuk itu. Dia ingat Fibi karena Fibi satu-satunya sahabat yang selalu ada untuknya.
“Ya, masih seperti dulu. Aku sama Fibi emang murni temenan, Al. Nggak ada lainnya,” ucap Edwin dengan yakin.
“Astaga, Ed! Kamu ini masih saja nggak peka sama perasaan sendiri!” sahut Aliyah sambil mencebik kesal.
“Kok kamu yang sewot sih, Al,” jawab Edwin sambil tertawa pelan.
“Nih ya, dengerin. Kalau kamu masih nggak peka dan nggak percaya sama ucapanku, kamu ikutin saranku deh!” ucap Aliyah dengan yakin. Dia perempuan, dia sangat yakin dengan apa yang dia lihat.
“Apa?”
“Bayangin, Fibi tiba-tiba datang ke kamu dan bilang kalau dia mau nikah. Ada cowok yang mau lamar dia. Terus dia ajak kamu buat fitting baju dan nemenin dia nyiapin buat nikahannya. Dia juga minta kamu jadi saksi pernikahannya dan nemenin dia selama resepsi. Bayangin semua yang aku bilang deh!” ucap Aliyah. Edwin pun menuruti ucapan gadis itu.
“Kamu bisa lakuin semua itu? Lebih tepatnya, kamu mau?”
Sudah satu jam, dan Edwin masih setia menatap langit-langit kamarnya. Setelah pulang dari kafe tadi, Edwin langsung membersihkan tubuhnya lalu merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya tak diam, bahkan saat dia dalam perjalanan pulang tadi. Percakapan singkat dengan Aliyah berhasil membuat Edwin kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dari lama dia kubur, “Apa benar aku menyukai Fibi?” Nyatanya, Edwin sama sekali tak bisa menyangkal setiap hipotesa yang diucapkan Aliyah. Bahkan saat Aliyah memintanya membayangkan pernikahan Fibi dengan orang lain, hatinya jadi sakit. Namun, apa itu cukup untuk menjadi bukti kalau Edwin menyukai Fibi? Mungkin saja dia hanya sakit hati karena ditinggal nikah oleh sahabat baiknya, kan? Edwin sering lihat, banyak yang seperti itu. Sedih bukan karena suka, tapi karena ditinggalkan. “Kalau nggak suka ngapain sedih pas ditinggal?” gumam Edwin tanpa sadar. Dia seketika bangun dan mengacak rambutnya frustrasi. Tidak mungkin dia benar menyukai Fibi, kan? Di s
“Oke, terakhir. Satu, dua, sip.” Sementara Kevin melihat hasil pemotretan, Sarah berjalan menuju ruang make up. Di sana dia melihat Fibi tengah tidur di sofa dengan menggunakan paha Edwin sebagai bantal.“Kamu masih di sini, Ed?” tanya Sarah sembari menarik kursi terdekat untuk duduk.“Hari ini saya full time nemenin Fibi. Perlu saya bangunin Fibi, Mbak?”“Nggak usah. Ini sudah selesai kok.”Edwin mengangguk lalu kembali fokus pada ponselnya. Sesekali Fibi bergerak dalam tidurnya, tapi Edwin dengan cepat menepuk puncak kepala Fibi untuk membuat gadis itu tenang. Sarah yang melihat keduanya pun tersenyum. Dia lalu mendorong kursi yang dia duduki mendekat ke Edwin.“Kalian yakin cuma sahabatan?” tanya Sarah dengan wajah penuh penasaran. Pasalnya, menurut Sarah, Edwin dan Fibi terlalu dekat untuk disebut hanya sahabat. Edwin yang mendengar pertanyaan Sarah pun hanya mengangguk sambil tersenyum.“Saya nggak percaya. Pegang kata-kata saya! Kalian bakalan jadi pasangan nanti!” ucap Sarah la
Fibi tak berhenti tersenyum sejak bertemu kembali dengan Aliyah. Sekarang, mereka bahkan tengah asyik bercerita di ruangan Edwin setelah kafe tutup. Edwin pun hanya diam sambil mendengar celotehan mereka, yang terkadang membuatnya tertawa juga.“Kayaknya seru banget di Kalimantan. Kapan-kapan ajakin gue ke sana dong, Al!” ucap Fibi setelah mendengar cerita Aliyah tentang Kalimantan.“Boleh. Lo atur aja mau kapan berangkatnya. Nanti gue ajakin keliling tempat-tempat yang bagus, terus gue kenalin ke teman-teman gue di sana. Siapa tahu lo ada kecantol sama cowok Kalimantan,” ucap Aliyah sambil mengerlingkan matanya.“Iya ya? bisa jadi agenda buat gue move on juga,” balas Fibi. Mendengar jawaban Fibi, Aliyah pun melirik ke arah Edwin yang tampak masih santai saja. Lebih tepatnya, pasrah.“Lo suka sama orang, Fib?” tanya Aliyah.“Ada. Tapi dia udah punya pacar ternyata. Makanya gue patah hati. Ah, nanti deh kapan-kapan gue ceritain. Lagi males ngomongin patah hati nih gue,” ucap Fibi. Aliy
“Ini loh, Ed. Lihat deh pengikutnya! Jutaan, Ed! Dan gue bakal jadi MUA dia pas wedding!” ucap Fibi dengan semangat menggebu-gebu.“Iya, Bi, iya. Dari tadi lo udah lihatin itu mulu. Iya, iya, selamat ya, Fibi,” jawab Edwin sambil mengacak rambut Fibi. Jika biasanya Fibi akan marah atau memberengut kesal, kali ini dia sama sekali tidak protes. Sejak pulang kerja tadi, Fibi terus saja tersenyum. Saat mampir ke Sunrise pun dia senyum-senyum dan tentu dengan semangat menceritakan berita baik hari ini pada Aliyah dan Edwin. Bahkan sekarang saat sudah di rumah pun dia masih menceritakan hal yang sama.“Bangga nggak lo? Bangga nggak sama gue?” tanya Fibi sambil menyenggol lengan Edwin.“Udah, Ed, bilang aja bangga gitu. Dia tuh belum puas kalau belum dipuji sama kamu,” ucap Tante Anya yang baru saja keluar dari kamarnya. Mendengar ucapan Tante Anya, Fibi justru tersenyum sambil mengangguk setuju.“Atutu, bangga banget gue sama lo, Fibi Lianita. Lo emang terbaik, MUA terbaik, pokoknya paling
“Hai, Fib!” sapa Sarah yang baru saja masuk bersama Kevin. Hari ini Fibi memang ada pekerjaan bersama Kevin. Dan malangnya, hari ini Sarah ikut menemani Kevin karena kebetulan jadwalnya kosong.“Hai, Letta!” sapa Sarah juga pada model yang akan dirias Fibi. Keduanya saling berpelukan dan berbincang sebentar sebelum Letta akhirnya duduk di depan meja rias.“Oke, saya mulai ya mbak Letta,” ucap Fibi yang dijawab anggukan oleh Letta. Kali ini klien meminta riasan dengan karakter peri karena pemotretan kali ini bertemakan negeri dongeng yang berpusat ke peri. Dua malam Fibi mencari referensi dan mempelajari tentang tema riasan kali ini. Dan hari ini, tentunya dia sudah sangat siap menggarap tema peri ini. Dia akan menyulap Letta menjadi peri cantik yang memukau semua orang.“Ini pertama kalinya kamu dapat tema gini ya, Fib?” tanya Sarah saat Fibi tengah fokus merias bagian mata Letta.“Kalau temanya, iya baru pertama kali, Mbak. Kalau jenis riasannya, aku udah beberapa kali dapat,” jawab
Fibi merenggangkan ototnya begitu selesai dengan pekerjaannya. Hari ini dia dan beberapa teman kerjanya mewakili agensi di sebuah fashion show. Keikutsertaan mereka ini adalah sebagai salah satu bentuk promosi agar agensi mereka semakin dikenal publik.Mereka menyuguhkan beberapa jenis riasan, dan Fibi kebetulan kedapatan riasan bertema alam. Tentu saja sebelumnya Fibi sudah banyak berlatih dengan tema ini hingga akhirnya dia bisa memberikan hasil yang memuaskan. Sekarang dia tengah berdiri di belakang panggung untuk melihat para model yang tengah tampil. Senyum puas dia sunggingkan saat model yang dia rias mendapat sambutan yang baik dari penonton.Setelah para model tampil di atas panggung, mereka kembali ke belakang panggung untuk memeriksa riasan mereka. Setelah semua dipastikan rapi dan cantik, mereka keluar. Para model kini berdiri di stan milik agensi masing-masing sambil ditemani fotografer dan dua orang yang bertugas menjelaskan tentang agensi.Para pengunjung memang diperbol
Ada yang berbeda dengan Kevin hari ini. Sedari tadi Fibi perhatikan, tak tampak sedikit pun senyum di bibir laki-laki itu. Sejak sampai di kantor, Kevin tampak menghindari interaksi dengan orang lain. Dia menyibukkan dirinya sendiri dengan pekerjaan yang biasanya bisa dia lakukan dengan santai.Tidak ada satu pun yang berani mendekati Kevin. Apalagi setelah melihat Raka, teman terdekat Kevin, ditolak saat berusaha membantu.“Mas Raka,” panggil Fibi saat melihat Raka yang sepertinya akan ke kantin.“Mau ke kantin?” tanya Fibi setelah berada di samping Raka.“Iya, mau bareng? Mumpung gue nggak ada teman nih,” jawab Raka sambil matanya melirik ke arah Kevin yang masih sibuk di mejanya. Fibi pun setuju.“Mas Kevin kenapa ya, Mas? Tumben banget dia gitu,” ucap Fibi sambil mengaduk makanannya agar tercampur rata.“Biasa. Ada masalah pasti sama Sarah,” jawab Raka yang kini sudah menghabiskan hampir separuh porsi makannya.“Masalah? Tapi perasaan kemarin mereka baik-baik saja deh.”Fibi ingat
Edwin menatap heran Fibi yang kini sudah membuka makanan ringan yang kelima. Bukan hanya itu, dia juga sudah menghabiskan hampir satu kotak besar es krim. Edwin menggeleng pelan. Walaupun sudah sering melihat Fibi yang mendadak menjadi super rakus saat hari pertama menstruasi, Edwin masih saja terkejut. Bagaimana tidak? Tiga jam lalu, Fibi masih terkapar di kasurnya. Tidak bisa bergerak bahkan satu inci pun. Hanya bibirnya yang terus mengucap kata sakit berulang kali. Namun, lihat sekarang? Wajah kesakitannya tadi sudah benar-benar hilang.“Salah gue udah khawatir setengah mati tadi,” gumam Edwin. Baru saja dia akan mengambil salah satu camilan, tapi tangannya langsung dipukul oleh Fibi.“Punya gue!”“Minta satu doang,” sahut Edwin. Namun Fibi justru menghalangi tangan Edwin dari menyentuh camilannya.“Itu gue yang beli semua ya! Sini, minta satu aja!”Edwin seketika menyesali ucapannya saat melihat mata Fibi yang kini berkaca-kaca. Fibi menatap Edwin dengan pandangan tersakiti, lal
Edwin berusaha memejamkan mata, tapi setiap kali melakukannya dia terus terbayang senyum Fibi. Senyum yang tadi dia lihat, dan bukan karenanya. Rasa sesak masih ada di dadanya. Ini pertama kali baginya, merasakan sesak yang tak kunjung reda. Bahkan saat dia putus dengan Aliyah pun rasanya tidak begini.Ada rasa takut jauh di dalam hatinya. Takut posisinya akan tergantikan, dan takut Fibi akan melupakannya. Edwin takut dia tak akan berarti lagi di hidup Fibi. Sisi egoisnya terus meronta memintanya kembali dan menarik Fibi pulang. Mengunci gadis itu hanya untuk dirinya seorang. Namun dia masih waras untuk tidak merusak hubungan persahabatannya dengan Fibi.Baru begini saja, Edwin rasanya sudah kelimpungan. Bagaimana jika nanti dia benar-benar kehilangan Fibi? Edwin tidak pernah mengira, Fibi akan membuat hatinya jungkir balik sedemikian rupa. Dia tidak sadar bahwa Fibi sudah hampir mengisi penuh hatinya. Sampai hanya melihat Fibi tersenyum karena orang lain saja, Edwin tak rela.Edwin m
“Fibi nggak ke sini, Ed?” tanya Jeff saat Edwin tengah sibuk menggiling kopi. Kafe tidak begitu ramai di siang hari begini. Hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop atau ponsel mereka. Biasanya siang begini yang datang adalah mahasiswa untuk mengerjakan tugas.“Belum ngabarin sih. Tapi kayaknya nggak ke sini,” jawab Edwin.Sudah beberapa hari terakhir ini Fibi sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka biasanya hanya bicara saat malam hari, setelah kafe tutup. Itu pun Edwin harus menahan diri karena terus mendengar Fibi menceritakan Kevin. Dia ingin bicara dengan Fibi, ingin mendengar suara Fibi, bahkan jika gadis itu hanya membicarakan laki-laki lain dan membuat dadanya sesak.Edwin tahu, dia sekarang tidak memiliki kesempatan lagi. Fibi sudah dimabuk cinta. Dan sialnya, Edwin rasa Kevin juga menyukai Fibi. Terlihat dari sikap Kevin yang akhir-akhir ini cukup intens mencari perhatian Fibi.Ya, siapa yang tidak menyukai Fibi? Meskipun tidak secantik Sarah, tapi Fibi tidak bisa
“Gue suka banget deh, Fib sama hasil make up lo. Selalu on point. Jadi, gue selalu suka kalau dapat lo sebagai MUA,” ucap Rania saat Fibi tengah fokus memoles wajahnya. Fibi pun hanya tersenyum. Dalam hati, dia selalu sangat senang saat ada orang yang memuji hasil kerjanya. Dia merasa, semua kerja kerasnya terbayar ketika mendengar modelnya menyukai riasannya.“Temen gue banyak yang nanyain lo tahu, Fib,” ucap Raina lagi.“Nanya gimana?”“Banyak sih. Paling sering, mereka tanya net harga buat nyewa lo sebagai MUA mereka.” Raina kini memejamkan matanya karena Fibi sudah sampai di riasan mata. Namun, bibirnya tak henti bercerita tentang teman-temannya yang menyukai hasil riasan Fibi.“Lo nggak ada niatan jadi MUA tunggal?”“Udah kok. Kemarin gue jadi MUA tunggal di acara nikahan temennya Mas Kevin,” jawab Fibi. Setelah memberikan satu sentuhan warna terakhir, riasan Rania pun selesai. Gadis itu melihat pantulan wajahnya di cermin dan tersenyum puas.“Perfect,” ucap Rania. Dia berdiri la
Dua coklat hangat menemani Fibi dan Tante Anya yang sedang bersantai di teras rumah. Saat Fibi mengajak Tantenya untuk minum coklat hangat di teras, Tante Anya sudah merasa heran. Dulu memang, mereka sering mengobrol di teras sambil menikmati coklat hangat. Sejak bekerja, Fibi lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar atau di ruang tengah.“Tumben kamu ngajakin nongkrong di teras?” tanya Tante Anya.“Ya, sesekali aja. Lagi pengen,” jawab Fibi sambil tersenyum manis. Satu hal lagi yang aneh dari Fibi. Sejak pulang kerja, gadis itu tak berhenti tersenyum. Bukan senyum tipis yang biasa, tapi senyum manis penuh kebahagiaan.“Nggak bantuin Edwin?” tanya Tante Anya lagi.“Nggak, kata Edwin Sunrise baru hire pegawai baru. Jadi kayaknya, aku nggak perlu lagi ikut bantu-bantu di sana. Pegawainya Edwin udah banyak,” jawab Fibi lagi. Gadis itu menyesap coklat hangatnya, lalu tersenyum sambil menatap langit.“Kamu kenapa sih? Aneh banget hari ini,” ucap Tante Anya akhirnya.“Aku ....” Fibi m
Fibi tengah fokus merapikan alat make up-nya. Hari ini dia kembali ke rutinitasnya di kantor seperti biasa. Kebetulan hari ini dia mendapat jadwal memberikan demo Bold and Artistic Make up untuk MUA yang baru bergabung.Baru saja Fibi akan menutup kotak make up-nya, ponselnya tiba-tiba berbunyi tanda ada pesan masuk. Dan itu dari Kevin. Seketika, dada Fibi berdetak tak karuan. Saat dia membukanya, senyumnya seketika mengembang dan pipinya memerah.“Mau makan siang bareng di luar? Saya nemu tempat makan yang kayaknya enak.” Begitu bunyi pesan dari Kevin. Tanpa berpikir lagi, Fibi pun langsung mengiyakan. Gadis itu seketika melihat penampilannya lewat kamera ponsel.“Cielah, mau ke mana nih?” ucap Raka saat Fibi akan beranjak dari kursinya. Hari ini Kevin ada pemotretan di luar, jadi mereka sepakat untuk bertemu di tempat saja.“Kepo deh,” jawab Fibi sambil tertawa kecil.“Ye, gue tahu kok. Mau ketemu Kevin kan?” sahut Raka. Fibi pun seketika membesarkan mata karena terkejut. Dari mana
Sejak pulang dari Surabaya, Fibi tak beranjak dari kasur sama sekali. Dia masih betah rebahan sambil memeluk Beom. Satu tangannya sibuk bermain ponsel. Dia tertawa keras ketika muncul video lucu, tiba-tiba menjadi serius ketika muncul video edukasi, lalu bisa senyum-senyum tidak jelas ketika muncul video idol Korea. Yang jelas, hari ini Fibi benar-benar tidak ingin diganggu dan tidak ingin memikirkan pekerjaan. Kemarin Fibi tiba di rumah pukul enam, dan sejak itu sampai sekarang dia masih betah berada di kamarnya.Tiba-tiba ponselnya berdering. Fibi memutar matanya kesal saat melihat nama Edwin muncul. Tentu saja bukan tanpa alasan Fibi kesal dengan sahabatnya itu. Sejak dia naik pesawat sampai pagi ini, Edwin sama sekali tak bisa dihubungi. Hanya Tante Anya yang kemarin menjemputnya di Bandara.Karena kesal, Fibi pun mematikan panggilan telponnya lalu kembali asyik berselancar di media sosial. Namun, telpon dari Edwin kembali masuk. Beberapa kali Fibi menolak, telpon itu kembali masu
Jangan ditanya bagaimana perasaan Fibi sekarang. Sejak semalam, senyum tak pernah luntur dari bibirnya. Bahkan mungkin, dalam tidurnya pun dia tersenyum. Pagi ini begitu bangun di kamar hotelnya, Fibi memutar lagu cinta untuk menemaninya bersiap-siap pulang.Fibi sudah selesai mandi, dan sekarang tengah mengepak barang-barangnya ke dalam koper. Tiket kepulangannya masih nanti sore, tapi Fibi sudah berkemas sekarang karena tak ingin terburu-buru dan berakhir ada yang tertinggal. Sampai kegiatan berkemasnya harus terhenti sejenak karena suara ketukan pintu.“Iya, sebentar,” ucap Fibi yang segera berjalan membukakan pintu. Wajahnya seketika memanas saat melihat Kevin dengan celana pendek dan kaos putih polos berada di depan kamarnya sambil tersenyum.“Ayo sarapan! Abian, Sheila, sama Raka udah nunggu,” ajak Kevin. Fibi pun mengangguk lalu mengambil ponselnya.“Ayo, Mas,” ucap Fibi setelah mengunci pintu kamarnya. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju restoran hotel. Berada di dekat Ke
Sudah ke sekian kalinya Edwin melihat ponselnya, menunggu pesan dari Fibi. Namun, gadis itu tak ada menghubunginya sejak berpamitan untuk memulai pekerjaannya tadi pagi. Apa dia sangat sibuk?Jika diingat lagi, ini pertama kali dia berjauhan dengan Fibi. Biasanya, keduanya selalu lengket seperti perangko. Ke mana Fibi pergi, Edwin akan ikut. Begitu pun sebaliknya. Sekarang saat berjauhan begini, rasanya ada yang berbeda.Sejak pagi, Edwin berusaha menyibukkan dirinya dengan berbagai pekerjaan. Untungnya juga, dia memang benar-benar memiliki pekerjaan untuk dilakukan. Namun walau begitu, di saat senggangnya dia akan tetap melihat ponselnya. Barangkali ada pesan dari Fibi.Edwin menghela napas. Sudah pukul sembilan, tidak ada kabar dari Fibi, dan sekarang saatnya Sunrise tutup. Edwin pun keluar dari kantornya dan memilih membantu pegawainya untuk menutup kafe.“Baru aja mau gue panggil,” ucap Aliyah saat melihat Edwin.“Udah selesai semua?” tanya Edwin pada pegawainya. Mereka semua meng
“Masih di sini? Ayo ikut keluar!” ajak Kevin saat mendapati Fibi masih berada di ruang make up sendirian. “Malu, Mas. Rame banget di luar,” jawab Fibi. Saat ini dia hanya mengenakan kaos polos yang dipadukan dengan blazer navy dan celana kain hitam. “Udah mulai sepi kok. Ayo! Sama saya.” Kevin mengulurkan tangannya pada Fibi. Gadis itu menimbang sebentar, sebelum akhirnya menerima uluran tangan Kevin. Begitu keluar dari ruang make up, Fibi disambut dengan keramaian acara Sheila dan Abian. Yang menurut Kevin sudah sepi ternyata masih cukup ramai untuk Fibi. Apalagi, dia tidak mengenal siapa pun di sini. Sheila yang kini berada di pelaminan pun melambaikan tangan begitu melihat Fibi. “Mau foto?” tawar Kevin. “Boleh?” Kevin mengangguk dan langsung membawa Fibi untuk foto bersama Sheila dan Abian. Keduanya tampak senang menyambut Fibi, sementara Fibi malah kikuk. Dia berdiri di samping Sheila, sedangkan Kevin berdiri di samping Abian. Mereka pun mengambil beberapa foto dengan b