Share

Masa Lalu 2

Author: Jeshyl An
last update Last Updated: 2025-01-16 22:38:18

“Siap?” ucap Edwin begitu Aliyah duduk di motornya.

“Kita jalan-jalan dulu, ya? Aku pengen ke warung sate biasanya, mau nggak?” ucap Aliyah.

“Ini udah malam, orang tua kamu nggak nyariin?” Bukannya menolak, Edwin hanya tidak ingin Aliyah kena marah karena pulang terlalu malam.

“Nggak pa-pa, aku udah izin pulang malam kok.”

Mendengar ucapan Aliyah yang meyakinkan, Edwin pun mengangguk setuju. Sebenarnya, dia pun rindu pada Aliyah. Namun bagaimana lagi? Fibi sedang sangat kacau, sedangkan Tante Anya harus tetap bekerja. Edwin hanya takut, jika Fibi sendirian gadis itu akan melakukan hal yang berbahaya.

“Pak, dua porsi sate kayak biasa ya!” pesan Edwin pada penjual sate. Keduanya memang sudah sangat sering sekali ke sana. Penjual satenya pun sudah tidak asing dengan mereka.

“Tumben lama nggak ke sini, Mas. Tak kirain udah nemu tukang sate lain,” ucap penjual sate itu yang membuat Edwin tertawa.

“Lagi ada urusan sih, pak. Lagian, nggak ada yang bisa ngalahin sate buatan bapak kok.” Keduanya tertawa dan berbincang sebentar sebelum Edwin menghampiri Aliyah di meja.

“Ngobrol apa aja sama bapaknya? Akrab banget kayaknya,” ucap Aliyah saat Edwin duduk di sebelahnya.

“Kepo deh kamu,” ucap Edwin yang membuat Aliyah mencebik kesal.

“Eh tumben sih ortu kamu bolehin pulang malam.”

Edwin hapal betul kebiasaan orang tua Aliyah. Mereka selalu menekankan pada Edwin untuk memulangkan anak gadis mereka sebelum pukul sembilan malam setiap kali Edwin mengajak Aliyah keluar.

“Ya, sesekali lah. Lagian sama kamu juga ini. Kalau aku kenapa-kenapa pasti kamu yang dicari,” canda Aliyah.

Mereka pun saling bergurau seperti biasanya. Tanpa Edwin tahu, ini adalah malam terakhir dan juga kencan terakhir mereka.

“Monggo satenya,” ucap penjual sate saat mengantar pesanan mereka.

“Terima kasih, Pak,” ucap Aliyah. Gadis itu dengan semangat langsung menyantap satenya.

“Pelan-pelan makannya. Nggak bakal aku curi kok,” ucap Edwin sambil mengusap ujung bibir Aliyah yang belepotan saus. Selama makan pun keduanya sambil bercanda ria.

“Ed, aku mau ngomong deh,” ucap Aliyah saat keduanya telah selesai makan.

“Dari tadi kan udah ngomong,” sahut Edwin.

“Ih, aku serius. Dengerin baik-baik!” Aliyah menarik napas panjang lalu kembali berkata, “Aku mau pindah.”

Satu, dua, tiga detik tak ada jawaban dari Edwin. Cowok itu terdiam, bahkan gerakannya merapikan piring mereka pun terhenti sejenak.

“Pindah sekolah?” tanya Edwin yang masih berusaha berpikir positif. Dia menyingkirkan piring mereka ke pinggir meja, memberi lebih banyak ruang untuk keduanya.

“Orang tua aku cerai, tepat pas nenek Fibi meninggal. Mereka minta aku milih mau tinggal sama siapa, dan aku milih ikut Ibu ke Kalimantan,” jelas Aliyah. Dia menatap Edwin, menunggu reaksi Edwin. Namun cowok itu masih diam.

“Besok malam aku berangkat.” Ucapan Aliyah itu yang akhirnya membuat Edwin menatapnya dalam-dalam.

“Besok? Kenapa mendadak, Al?” tanya Edwin.

“Nggak mendadak, Ed. Aku udah memutuskan dari tiga hari lalu. Ibu ngasih aku waktu buat pamitan sama orang-orang di sini. Termasuk kamu,” jawab Aliyah.

“Terus kenapa baru sekarang, Al? Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin?”

“Aku udah coba bilang, Ed! Bahkan sebelum aku memutuskan, aku coba buat ngomong sama kamu. Kamu bilang, kamu bakal datang, tapi kamu nggak datang, Ed!” Ucapan Aliyah seketika membuat Edwin ingat. Dia memang sempat berjanji akan ke rumah Aliyah. Namun hari itu, Fibi tiba-tiba drop dan harus dibawa ke rumah sakit. Alhasil, Edwin semalaman menunggu Fibi di rumah sakit. Besoknya dia baru mengabari Aliyah sekalian meminta maaf karena tidak jadi datang.

“Lalu aku gimana, Al? Kita gimana?” tanya Edwin dengan putus asa.

“Kita LDR ya, Al? Aku bisa kok, kamu tenang aja.”

“Ed,” panggil Aliyah sambil memegang tangan Edwin.

“Kita udahan aja, ya? Aku nggak bisa LDR, Ed. Lagi pula, aku juga nggak janji bakal balik,” ucap Aliyah yang membuat Edwin seketika lemas.

“Aku yang bakal datangin kamu, Al!” Namun, Edwin pun tak menyerah membujuk Aliyah.

“Nggak, Ed. Jangan. Keputusanku udah bulat. Kita udahan aja, ya?”

Edwin menunduk. Tidak peduli bagaimana kata orang, kini dia menangis.

“Gimana dengan aku, Al? Aku nggak bisa kalau nggak ada kamu,” ucap Edwin pelan.

“Kamu bisa, Ed. Buktinya, seminggu ini kamu bisa kan?” jawab Aliyah.

“Masih ada Fibi, Ed. Kamu bisa tanpa aku. Tapi kamu nggak bisa tanpa Fibi.”

Edwin mendongak setelah mendengar ucapan Aliyah. Keningnya berkerut sedangkan Aliyah justru tersenyum.

“Ed, kamu bisa tanpa aku. Tapi kamu nggak bisa tanpa Fibi. Benar kan?”

“Maksud kamu apa, Al? Kamu marah aku nemenin Fibi?”

“Nggak, Ed. Gimana aku bisa marah? Fibi itu baik banget sama aku, Ed. Selama kita pacaran, Fibi selalu jaga perasaan aku. Fibi selalu ingat kalau aku pacar kamu. Fibi selalu bilang ke aku setiap kali dia lagi sama kamu. Fibi nggak pernah sekali pun berusaha buat kamu jauh dari aku. Sebaliknya, Fibi selalu buat aku merasa dekat dengan kamu dan dia. Karena itu, aku nggak pernah marah tiap kamu bareng sama Fibi. Karena Fibi selalu ingat, kalau aku pacar kamu.” Aliyah menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan cepat.

“Tapi kamu nggak, Ed. Aku tahu, Fibi benar-benar tulus temenan sama kamu. Dia bahagia kamu punya aku, dia dukung kita. Tapi kamu nggak. Saat Fibi terus berusaha bikin aku ngerasa dekat sama kamu, kamu justru tanpa sadar berusaha bikin aku tahu kalau aku nggak bisa gantiin Fibi.” Aliyah menatap Edwin yang masih dengan wajah bingungnya.

“Saat kamu marah, kamu ke Fibi lalu marahmu hilang. Pas kamu sedih, kamu ke Fibi lalu kamu senyum lagi. Pas kamu punya kabar baik, kamu ke Fibi dan merayakannya bersama. Pas kamu punya kabar buruk, kamu ke Fibi dan kalian jalan-jalan buat balikin mood kamu. Setiap kabar, kamu selalu bilang ke Fibi. Dalam keadaan apa pun, kamu ke Fibi. Kamu nggak ingat kalau kamu punya aku, tapi kamu selalu ingat kalau kamu punya Fibi.”

Setelah Aliyah menjelaskan panjang lebar, Edwin hanya diam merenung. Diam-diam dia dari tadi mengiyakan setiap ucapan Aliyah. Dia memang selalu mengingat Fibi kapan pun dan di mana pun.

“Ed, kamu jauh lebih sayang Fibi daripada aku.”

“Tapi, aku tetap sayang kamu, Al,” ucap Edwin. Dia tidak berbohong, dia benar-benar sayang pada Aliyah.

“Aku tahu. Tapi rasa sayangmu nggak cukup, Ed. Percaya sama aku, kamu nanti pasti berterima kasih ke aku untuk keputusanku kali ini.”

Edwin tersenyum mengingat percakapan panjang mereka sebelum Aliyah pergi. Bahkan sampai sekarang pun, Edwin belum menemukan jawaban yang tepat akan perasaannya. Ya, dia memang selalu ingat Fibi, tapi dia rasa tidak ada yang spesial untuk itu. Dia ingat Fibi karena Fibi satu-satunya sahabat yang selalu ada untuknya.

“Ya, masih seperti dulu. Aku sama Fibi emang murni temenan, Al. Nggak ada lainnya,” ucap Edwin dengan yakin.

“Astaga, Ed! Kamu ini masih saja nggak peka sama perasaan sendiri!” sahut Aliyah sambil mencebik kesal.

“Kok kamu yang sewot sih, Al,” jawab Edwin sambil tertawa pelan.

“Nih ya, dengerin. Kalau kamu masih nggak peka dan nggak percaya sama ucapanku, kamu ikutin saranku deh!” ucap Aliyah dengan yakin. Dia perempuan, dia sangat yakin dengan apa yang dia lihat.

“Apa?”

“Bayangin, Fibi tiba-tiba datang ke kamu dan bilang kalau dia mau nikah. Ada cowok yang mau lamar dia. Terus dia ajak kamu buat fitting baju dan nemenin dia nyiapin buat nikahannya. Dia juga minta kamu jadi saksi pernikahannya dan nemenin dia selama resepsi. Bayangin semua yang aku bilang deh!” ucap Aliyah. Edwin pun menuruti ucapan gadis itu.

“Kamu bisa lakuin semua itu? Lebih tepatnya, kamu mau?”

Related chapters

  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Petuah Fibi

    Sudah satu jam, dan Edwin masih setia menatap langit-langit kamarnya. Setelah pulang dari kafe tadi, Edwin langsung membersihkan tubuhnya lalu merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya tak diam, bahkan saat dia dalam perjalanan pulang tadi. Percakapan singkat dengan Aliyah berhasil membuat Edwin kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dari lama dia kubur, “Apa benar aku menyukai Fibi?” Nyatanya, Edwin sama sekali tak bisa menyangkal setiap hipotesa yang diucapkan Aliyah. Bahkan saat Aliyah memintanya membayangkan pernikahan Fibi dengan orang lain, hatinya jadi sakit. Namun, apa itu cukup untuk menjadi bukti kalau Edwin menyukai Fibi? Mungkin saja dia hanya sakit hati karena ditinggal nikah oleh sahabat baiknya, kan? Edwin sering lihat, banyak yang seperti itu. Sedih bukan karena suka, tapi karena ditinggalkan. “Kalau nggak suka ngapain sedih pas ditinggal?” gumam Edwin tanpa sadar. Dia seketika bangun dan mengacak rambutnya frustrasi. Tidak mungkin dia benar menyukai Fibi, kan? Di s

    Last Updated : 2025-02-21
  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Crush

    “Terima kasih tumpangannya, Mas,” ucap Fibi setelah selesai mengemasi barangnya di bagasi mobil. Pria di dalam mobil, Kevin, adalah rekan kerjanya. Keduanya bekerja di sebuah agensi jasa make up artist, fotografer, dan model yang bisa disewa satu paket ataupun secara terpisah. Kali ini, sebuah brand meminta tiga MUA dan satu fotografer untuk pemotretan produk baru mereka.“Hati-hati di jalan, Mas.” Fibi melambaikan tangan, mengiringi mobil Kevin yang semakin menjauh, lalu menghilang di tengah keramaian jalan raya. Dia tersenyum lebar sambil memegang dadanya yang dari tadi berdetak tak karuan.“Udah ilang itu mobilnya, Neng. Masih aja dilihatin!” ucap seseorang dari dalam rumahnya. Tanpa menoleh, Fibi sudah sangat tahu siapa orangnya, dia sudah sangat hapal dengan suara itu. Siapa lagi kalau bukan sahabat baiknya, Edwin Kalandra. Satu-satunya orang, selain tantenya, yang bisa masuk ke rumah Fibi dengan leluasa.“Iri ya? Yang habis dicuekin crush-nya!” ucap Fibi sambil menjulurkan lidah

    Last Updated : 2025-01-16
  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Patah Hati

    Fibi gelagapan. Sedangkan Kevin justru memamerkan senyum manis, seakan menggoda Fibi yang kini tengah kebingungan mencari jawaban.“Saya cuman bercanda. Saya ngerti maksud kamu kok,” ucap Kevin dengan tertawa pelan, membuat Fibi akhirnya menghela nafas lega.“Kamu lucu kalau panik.”Blush.Wajah Fibi seketika merona. Gila, ini benar gila. Baru dipuji sedikit oleh Kevin saja dia sudah memerah seperti tomat. Apalagi jika suatu hari dia benar-benar bisa mendapatkan laki-laki itu? Fibi sepertinya sangat tergila-gila pada Kevin.“Permisi, mau antar pesanan. Satu Spaghetti Carbonara, satu Mac and Cheese, satu Ice Americano, dan satu Matcha Latte less sugar,” ucap Dhea sambil menata makanan di meja.“Pesanan sudah lengkap ya? Jika ada yang perlu dibantu lagi bisa pencet tombol ini. Saya permisi, selamat menikmati,” ucap Dhea lagi sambil menyerahkan sebuah tombol yang bertuliskan ‘Dhea’.Fibi dan Kevin mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sejenak, keduanya hening.“Kamu udah lama temenan

    Last Updated : 2025-01-16
  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Partner

    Fibi menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke lokasi pemotretan hari ini. Benar, hari ini adalah jadwal pemotretan bersama Sarah dan Kevin. Jika biasanya dia berangkat dan pulang dengan Kevin, kali ini tentu berbeda. Kevin jelas bersama Sarah.“Selamat pagi,” sapa Fibi begitu masuk ke dalam ruangan. Tampak beberapa staff tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Fibi pun segera ke meja rias, menyiapkan semua peralatan rias yang dibutuhkan.“Fibi!” sapa Sarah yang baru datang sambil menggandeng Kevin. Tampaknya mereka datang lebih dulu, terlihat dari Sarah yang sudah siap dengan baju pemotretannya.“Aku bantu siapin set pemotretan dulu ya.” Kevin mengecup kening Sarah sebelum bergabung dengan staff lain.“Ayo duduk, Mbak. Kita mulai riasnya,” ucap Fibi. Dengan senang hati, Sarah pun duduk di depan meja rias.“Tantemu kemarin ada perlu apa? Sayang banget loh kamu pulang. Padahal aku baru datang,” ucap Sarah saat Fibi mulai fokus memoles wajahnya.“Bukan apa-apa, Mbak. Cuman ada

    Last Updated : 2025-01-16
  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Masa Lalu

    Setelah mengantar Fibi pulang dengan selamat dan memastikan gadis itu tidak kelaparan, Edwin pun kembali ke kafe. Dia melihat Aliyah masih duduk di salah satu bangku kafe, menunggunya. Edwin menarik napas sebentar, lalu berjalan mendekat.“Sorry lama,” ucap Edwin sambil menarik kursi di depan Aliyah. Gadis itu tersenyum tipis sambil menyesap es coklatnya.“Fibi apa kabar? Udah lama aku nggak ketemu dia,” ucap Aliyah.Ya, mereka bertiga memang saling mengenal, sangat dekat pula. Aliyah adalah mantan Edwin. Keduanya memulai hubungan saat kelas dua SMA. Edwin pun mengenalkan Aliyah pada Fibi dan berakhir mereka menjadi teman baik.Aliyah adalah satu-satunya cewek Edwin yang bisa dekat dengan Fibi. Biasanya, pacar-pacar Edwin akan memberi sinyal permusuhan ketika mengenal Fibi, tapi Aliyah tidak. Gadis itu justru menyambut hangat Fibi.Hubungan mereka berjalan baik, sangat baik. Aliyah tak pernah mengeluhkan apa pun dalam hubungan mereka. Aliyah selalu pengertian dan sabar. Sikap Aliyah m

    Last Updated : 2025-01-16

Latest chapter

  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Petuah Fibi

    Sudah satu jam, dan Edwin masih setia menatap langit-langit kamarnya. Setelah pulang dari kafe tadi, Edwin langsung membersihkan tubuhnya lalu merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya tak diam, bahkan saat dia dalam perjalanan pulang tadi. Percakapan singkat dengan Aliyah berhasil membuat Edwin kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dari lama dia kubur, “Apa benar aku menyukai Fibi?” Nyatanya, Edwin sama sekali tak bisa menyangkal setiap hipotesa yang diucapkan Aliyah. Bahkan saat Aliyah memintanya membayangkan pernikahan Fibi dengan orang lain, hatinya jadi sakit. Namun, apa itu cukup untuk menjadi bukti kalau Edwin menyukai Fibi? Mungkin saja dia hanya sakit hati karena ditinggal nikah oleh sahabat baiknya, kan? Edwin sering lihat, banyak yang seperti itu. Sedih bukan karena suka, tapi karena ditinggalkan. “Kalau nggak suka ngapain sedih pas ditinggal?” gumam Edwin tanpa sadar. Dia seketika bangun dan mengacak rambutnya frustrasi. Tidak mungkin dia benar menyukai Fibi, kan? Di s

  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Masa Lalu 2

    “Siap?” ucap Edwin begitu Aliyah duduk di motornya.“Kita jalan-jalan dulu, ya? Aku pengen ke warung sate biasanya, mau nggak?” ucap Aliyah.“Ini udah malam, orang tua kamu nggak nyariin?” Bukannya menolak, Edwin hanya tidak ingin Aliyah kena marah karena pulang terlalu malam.“Nggak pa-pa, aku udah izin pulang malam kok.”Mendengar ucapan Aliyah yang meyakinkan, Edwin pun mengangguk setuju. Sebenarnya, dia pun rindu pada Aliyah. Namun bagaimana lagi? Fibi sedang sangat kacau, sedangkan Tante Anya harus tetap bekerja. Edwin hanya takut, jika Fibi sendirian gadis itu akan melakukan hal yang berbahaya.“Pak, dua porsi sate kayak biasa ya!” pesan Edwin pada penjual sate. Keduanya memang sudah sangat sering sekali ke sana. Penjual satenya pun sudah tidak asing dengan mereka.“Tumben lama nggak ke sini, Mas. Tak kirain udah nemu tukang sate lain,” ucap penjual sate itu yang membuat Edwin tertawa.“Lagi ada urusan sih, pak. Lagian, nggak ada yang bisa ngalahin sate buatan bapak kok.” Keduan

  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Masa Lalu

    Setelah mengantar Fibi pulang dengan selamat dan memastikan gadis itu tidak kelaparan, Edwin pun kembali ke kafe. Dia melihat Aliyah masih duduk di salah satu bangku kafe, menunggunya. Edwin menarik napas sebentar, lalu berjalan mendekat.“Sorry lama,” ucap Edwin sambil menarik kursi di depan Aliyah. Gadis itu tersenyum tipis sambil menyesap es coklatnya.“Fibi apa kabar? Udah lama aku nggak ketemu dia,” ucap Aliyah.Ya, mereka bertiga memang saling mengenal, sangat dekat pula. Aliyah adalah mantan Edwin. Keduanya memulai hubungan saat kelas dua SMA. Edwin pun mengenalkan Aliyah pada Fibi dan berakhir mereka menjadi teman baik.Aliyah adalah satu-satunya cewek Edwin yang bisa dekat dengan Fibi. Biasanya, pacar-pacar Edwin akan memberi sinyal permusuhan ketika mengenal Fibi, tapi Aliyah tidak. Gadis itu justru menyambut hangat Fibi.Hubungan mereka berjalan baik, sangat baik. Aliyah tak pernah mengeluhkan apa pun dalam hubungan mereka. Aliyah selalu pengertian dan sabar. Sikap Aliyah m

  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Partner

    Fibi menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke lokasi pemotretan hari ini. Benar, hari ini adalah jadwal pemotretan bersama Sarah dan Kevin. Jika biasanya dia berangkat dan pulang dengan Kevin, kali ini tentu berbeda. Kevin jelas bersama Sarah.“Selamat pagi,” sapa Fibi begitu masuk ke dalam ruangan. Tampak beberapa staff tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Fibi pun segera ke meja rias, menyiapkan semua peralatan rias yang dibutuhkan.“Fibi!” sapa Sarah yang baru datang sambil menggandeng Kevin. Tampaknya mereka datang lebih dulu, terlihat dari Sarah yang sudah siap dengan baju pemotretannya.“Aku bantu siapin set pemotretan dulu ya.” Kevin mengecup kening Sarah sebelum bergabung dengan staff lain.“Ayo duduk, Mbak. Kita mulai riasnya,” ucap Fibi. Dengan senang hati, Sarah pun duduk di depan meja rias.“Tantemu kemarin ada perlu apa? Sayang banget loh kamu pulang. Padahal aku baru datang,” ucap Sarah saat Fibi mulai fokus memoles wajahnya.“Bukan apa-apa, Mbak. Cuman ada

  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Patah Hati

    Fibi gelagapan. Sedangkan Kevin justru memamerkan senyum manis, seakan menggoda Fibi yang kini tengah kebingungan mencari jawaban.“Saya cuman bercanda. Saya ngerti maksud kamu kok,” ucap Kevin dengan tertawa pelan, membuat Fibi akhirnya menghela nafas lega.“Kamu lucu kalau panik.”Blush.Wajah Fibi seketika merona. Gila, ini benar gila. Baru dipuji sedikit oleh Kevin saja dia sudah memerah seperti tomat. Apalagi jika suatu hari dia benar-benar bisa mendapatkan laki-laki itu? Fibi sepertinya sangat tergila-gila pada Kevin.“Permisi, mau antar pesanan. Satu Spaghetti Carbonara, satu Mac and Cheese, satu Ice Americano, dan satu Matcha Latte less sugar,” ucap Dhea sambil menata makanan di meja.“Pesanan sudah lengkap ya? Jika ada yang perlu dibantu lagi bisa pencet tombol ini. Saya permisi, selamat menikmati,” ucap Dhea lagi sambil menyerahkan sebuah tombol yang bertuliskan ‘Dhea’.Fibi dan Kevin mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sejenak, keduanya hening.“Kamu udah lama temenan

  • Sahabat, Tapi Jatuh Cinta   Crush

    “Terima kasih tumpangannya, Mas,” ucap Fibi setelah selesai mengemasi barangnya di bagasi mobil. Pria di dalam mobil, Kevin, adalah rekan kerjanya. Keduanya bekerja di sebuah agensi jasa make up artist, fotografer, dan model yang bisa disewa satu paket ataupun secara terpisah. Kali ini, sebuah brand meminta tiga MUA dan satu fotografer untuk pemotretan produk baru mereka.“Hati-hati di jalan, Mas.” Fibi melambaikan tangan, mengiringi mobil Kevin yang semakin menjauh, lalu menghilang di tengah keramaian jalan raya. Dia tersenyum lebar sambil memegang dadanya yang dari tadi berdetak tak karuan.“Udah ilang itu mobilnya, Neng. Masih aja dilihatin!” ucap seseorang dari dalam rumahnya. Tanpa menoleh, Fibi sudah sangat tahu siapa orangnya, dia sudah sangat hapal dengan suara itu. Siapa lagi kalau bukan sahabat baiknya, Edwin Kalandra. Satu-satunya orang, selain tantenya, yang bisa masuk ke rumah Fibi dengan leluasa.“Iri ya? Yang habis dicuekin crush-nya!” ucap Fibi sambil menjulurkan lidah

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status