Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi

Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi

Oleh:  Astika Buana  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
6 Peringkat
71Bab
34.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Sinopsis

Salah paham

[Mandiri itu berdiri di atas kaki sendiri, ya. Bukan malak saudara sendiri!] Demi Allah, sebagai sesama anak sulung, aku dan Mas Farhan ikhlas menanggung kehidupan adik-adik kami selama ini. Dari makan sampai pendidikan mereka. Namun, pengorbanan kami ini sepertinya tidak dianggap sama sekali saat keadaan ekonomi kami berbalik. Sakitnya lagi, adik dan adik ipar kami itu membalas pesan kami dengan nyinyir, baik di whatsapp dan di facebook. Tapi, aku tahu kami harus bangkit untuk membuktikan kami bukan tipe yang akan memalak saudara kami sendiri, seperti tuduhan kejam itu.

Lihat lebih banyak

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Fatmah Azzahra
............ sedih
2024-07-25 14:56:15
0
user avatar
Agus Irawan
hai mampir juga ke Novelku. judul" Kembang Desa Sang Miliarder" pena" Agus Irawan
2023-06-05 11:17:43
0
user avatar
Astika Buana
Selamat Tahun Baru. Sehat, sukses, dan bahagia selalu. . Terima kasih atas dukungannya selama ini. .
2023-01-01 00:47:28
0
user avatar
Sasya Imut
udah tamat kah?
2022-09-30 15:56:39
2
user avatar
HER MAN
yg satunya udh dibaca dan nyambung baca yg baru lagi ... aku suka banget ke 2 ceritanya yg baca harus banyak nahan sabar eeeee soalnya yg nulis aku suka tulisan jalan ceritanya untuk ibu2,anak2remaha yg udh baca harus kudu banyak sabar ..
2022-08-30 09:56:24
4
user avatar
Siti_Rohmah21
Keren ceritanya
2022-08-11 22:08:45
1
71 Bab

Bab 1. Jawaban

[Dek Arif, bisa dipinjamkan uang lima ratus atau berapa saja? Untuk beli beras dan kebutuhan satu minggu. Minggu depan Mas Farhan baru dapat pembayaran, nanti aku transfer balik] Aku mengirim pesan w******p ke adikku, dia tinggal di Jakarta. Ini kali pertama aku meminta bantuan, mengirim pesan ini sungguh suatu keterpaksaan. Namun, bagaimana lagi, anak-anak butuh makan. Satu menit, lima menit, setengah jam, satu jam, belum ada balasan. Ponsel aku letakkan disampingku. Aku menunggunya sambil melipat baju sambil sesekali menilik benda pipih ini, dan sekarang sudah dua jam lebih, tidak ada balasan darinya. Pasti dia sibuk, kalau tidak punya uang tidak mungkin. Aku yakin, uang segitu tidak begitu besar baginya, yang masih memiliki satu orang anak balita. Kehidupan ekonominya cukup stabil dengan pekerjaan tetap sebagai manager di perusahaan terkemuka, lain dengan kami yang mengais rejeki tidak tetap. Dulu kami mempunyai warung dan pernah berjaya, namun banyaknya pengurangan tenaga ker
Baca selengkapnya

Bab 2. Wejangan

"Kamu tidak keberatan menikah denganku?Aku mempunyai banyak tanggungan. Aku kawatir tidak bisa membahagiakan kamu," ucap Mas Farhan sebelum memantapkan niat pernikahan kami. Dia sadar diri memiliki tiga adik yang menjadi tanggung jawab, Hana, Santi, dan Fariz. Mas Farhan menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal, dan itu dimulai saat dia masih SMA. Bahkan dia rela melepas kesempatan untuk kuliah di Bandung--Mas Farhan masuk di perguruan negeri tanpa tes--karena memilih tetap tinggal menggantikan tanggung jawab kepala keluarga. Aku sadar, ini tidak mudah bagiku saat menjawab kata iya, yang berarti aku harus rela berbagi suami dengan keluarganya. Meletakkan keegoan sebagai istrinya nanti. Jawabannya adalah cinta, dan dimantapkan dengan kepribadian Mas Farhan yang menyulitkan diriku untuk berpaling darinya. Aku yakin, menghabiskan hidup bersamanya menyempurnakan hidupku. Dia sabar, baik, dan pengertian. Yang membuat niatku semakin bulat, karena dia begitu sayang kepa
Baca selengkapnya

Bab 3. Prasangka

Syukurlah, dari hasil menggadaikan cincin, Mas Farhan pulang membawa beras lima kilo, minyak, telur, dan gula. Masih ada sisa untuk membeli kebutuhan lainnya yang dititipkan kepadaku. "Mas, untuk pegangan kamu?" tanyaku setelah dia memberikan catatan perincian, sisa uang, dan surat gadai. "Tidak usah, Dek. Kamu pegang semuanya saja. Bensin sudah terisi penuh, untuk apa lagi." "Buat jaga-jaga di jalan, Mas. Kalau lapar atau haus gimana?" "Makan sudah di rumah. Kalau pun keterusan sampai sore, Mas bisa tahan, kok. Jangan kawatir," jawabnya sambil menepuk bahuku. "Kalau begitu, kita makan dulu sebelum Mas berangkat." Beruntung suamiku bukan perokok, jadi tidak ada pengeluaran lebih. Dia hanya butuh bensin, makan pun jarang mau jajan di luar. Kalau dulu masih sibuk di warung, aku tidak kawatir. Namun, sekarang dia harus bekerja di luaran yang terkadang jauh dari rumah. "Assalamuaaikum!" "Waalaikumsalam!" sahutku dan suamiku bersamaan. Kedua anakku pulang dari sekolah--Fikri dan L
Baca selengkapnya

Bab 4. Ternyata Masih Ada yang Ingat

"Dua hari ini, Mas perhatikan Dek Fika sering melamun. Kalau rejeki jangan kawatir, ingat burung saja dijamin Allah, apalagi kita yang insyaallah selalu di jalan-Nya." "Tidak ada apa-apa, Mas," jawabku setelah menaruh teh tawar hangat di meja, dan duduk di samping Mas Farhan. Aku tidak mungkin mengatakan tentang pesan w******p dari Dek Hana. Ini hanya menambah beban pikiran suamiku, dan bisa jadi dia marah kepada adiknya. Iya kalau yang dimarahi terima, kalau tidak, dan mengadu ke Ibu mertua malah lebih gawat lagi. Ibu mertuaku mempunyai sakit jantung, dan kabar yang mengejutkan bisa membahayakan kesehatannya. Biarlah menjadi catatanku sendiri, hati ini memang sakit atas perlakuannya. Namun, dengan pasrah kepada-Nya dan mendoakan dia untuk sadar dan mengerti, itu membuat hatiku terasa lapang. Walaupun, ingatan itu masih lekat dan tidak bisa dilupakan, padahal pesan whatappsnya sudah aku hapus. Ini sebagai penanda kalau adik iparku ini keberatan kalau dimintai tolong. Aku tidak aka
Baca selengkapnya

Bab 5. Permintaan Maaf Santi

"Ini dari Fariz?" tanya Mas Farhan menunjukkan raut wajah heran. Semangkuk mie ayam dobel porsi menggunung di hadapan suamiku. Fariz tahu benar kesukaan kakaknya, mie ayam dua porsi, tanpa bakso, dan tidak pakai kuah, karena dulu dia yang selalu mendapt tugas keluar untuk beli ini itu, terutama mie ayam Pak Tombong. "Iya. Tidak hanya itu, dia membawa beras juga." Sontak, Mas Farhan menatapku dengan kedua alis bertaut menandakan tidak mengerti bercampur heran. "Kemarin gajian pertamanya, trus dari tempat kerja mendapat beras, dan sebagian di bawa ke sini, ini," jelasku sambil menyodorkan segelas air putih. "Fariz ... Fariz ...." guman suamiku sambil menyuap mie ayam yang ditraktir adik bungsunya. Sekilas, tersirat senyum Mas Farhan. Mungkin perasaannya sama denganku tadi, terharu dan bahagia. Kami tidak mengharapkan balasan, apalagi materi. Cukup dengan perhatian dan kasih sayang, sudah membahagiakan. Seperti semangkuk mie ayam yang sedang dinikmati Mas Farhan. Sebenarnya, ta
Baca selengkapnya

Bab 6. Status F* Dek Hana

---------- Memang salah kalau aku mempunyai standart hidup lebih? Rumah, mobil, dan kehidupan yang layak? Toh, aku usahakan sendiri. Tidak mengambil hak orang lain. Aku sudah mandiri sejak ayahku meninggal. Tidak ada pertolongan ataupun yang bersedia menanggung. Mandiri itu berdiri di atas kaki sendiri, ya, bukan malak sodara sendiri. --- Itu status f******k yang ditulis oleh Dek Hana Pada paragraf awal, tidak ada yang salah dengan keinginannya. Cita-cita untuk maju dan mengusahakannya. Aku pun senang kalau mempunyai adik ataupun ipar yang mempunyai kehidupan lebih baik. Kalau yang ditulis hanya paragraf awal, dengan senang hati aku akan berkata, "Aamiin". Namun, tulisan berikutnya apalagi terakhir membuatku mengernyitkan dahi. Dek Hana menyebutkan mandiri sejak ayah mertua meninggal, aku tidak bisa menyebut memenuhi apapun yang diminta saat dulu. Namun, dia tidak pernah kelaparan, ataupun putus sekolah saat tinggal bersama kami. Dia memang sedari SMA menyukai bisnis, k
Baca selengkapnya

Bab 7. Berusaha Bangkit

"Beneran, Mbak? Aku mau!" teriak Santi dengan mata berbinar. Santi ini lulusan tata boga, aku pun suka memasak dan pernah mempunyai warung yang ramai, kami bisa bekerja sama dalam hal bisnis makanan. Nasib kami sama, aku yang gagal dalam bisnis online, begitu juga dia. Harapanku, kami bisa menyatukan keunggulan dan menghilangkan kelemahan. Dengan antusias Santi mengambil alat tulis di kamar Lisa, dan langsung bersiap merumuskan rencana kami. "Yang order tidak ada, Mbak. Orang sekitar sini keadaannya sama dengan kita. Penghasilan berkurang dan akhirnya ikutan jualan. Dan, akhirnya penjual lebih banyak daripada pembeli," keluh iparku ini dan aku mengangguk menyetujuinya. Sama kasusnya. "Masalahnya berarti pasar. Pembeli di sekitar kita berkurang, bahkan nyaris tidak ada," ucapku sambil mengetuk jari di meja. Kebiasaanku kalau sedang memeras otak. . . . "Kalau begitu kita harus memperluas jangkauan pasar. Tapi, bagaimana caranya?" gumamku sambil menatap Santi. "Jualan lewat mar
Baca selengkapnya

Bab 8. Bom Waktu

Hari ini, aku dan Santi memulai bisnis makanan. Pertama, kami memulai dari kue kering. Ini dengan pertimbangan bulan puasa dan lebaran yang sebentar lagi. Sekarang, waktu yang tepat mencari pelanggan.'Sederek Kitchen', nama yang kami pilih. Perpaduan dua bahasa, sederek bahasa Jawa artinya saudara dan kitchen bahasa Inggis yang artinya dapur. Ada rasa tradisional tetapi ada sentuhan istilah kekinian.Akupun sudah mantap, langsung menghubungi Mas Farhan dan mendapat jawaban, "Bagus. Semoga kalian berhasil."Santi juga begitu bersemangat, dia langsung melancarkan aksinya. Dia membuat akun facebook, instagram, tik-tok, dan tentunya marketplace. "Pokoknya, Mbak. Sederek Kitchen akan langsung dikenal banyak orang!" serunya dengan mata berbinar. Akupun mengambil bagianku, memulai menentukan produk dan segera eksekusi hari ini. Santi membutuhkan untuk pengambilan foto sebagai promosi."Santi, kamu di rumah saja. Mbak akan ke pasar beli bahan. Kalau mau makan, di kulkas ada makanan yang bis
Baca selengkapnya

Bab 9. Kangen Makan Bareng

"Mbak Fika! Aku ada ide. Pokoknya keren, deh!" teriak Santi. Dia yang duduk di teras langsung beranjak berlari menyambut, mengambil tas belanjaan. "Fariz nanti sore ke sini, Mbak. Dia bantuin foto. Boleh, ya?" Aku menoleh ke arahnya, terpancar semangat yang membuatku tersenyum senang. Fariz adik Mas Farhan paling bungsu. "Bolehlah, semakin banyak yang membantu, semakin semangat."Sampai aku masuk ke ruang belakang, tak henti-hentinya dia bicara. Tentang Fariz yang menghubungi dia, dan tercetus ide membuat logo kemasan sampai bagaimana pengambilan foto yang menarik.Memang, Fariz dulu pernah ikut extrakurikuler fotografi dengan fasilitas kamera dari sekolah. Untuk hal ini, dia sudah biasa.Jualan online, memang harus kuat di visual. Memanjakan mata dan menggelitik pelihat penasaran. Gambar mewakili produk dan bikin ngiler yang melihat. Pastinya, ini ditujukan supaya pengunjung lapak memencet kolom check-out.Sederek Kitchen, mengusung makanan tradisional kekinian. Rencananya, setiap
Baca selengkapnya

Bab 10. Kedatangan Ibu Mertua

[Mbak Fika, tadi Mbak Hana tanya-tanya tentang Mbak Fika dan Mas Farhan. Masih marah atau tidak][Aku jawab, tidak.][Aku bilang juga Mbak Fika tahu status di FBnya. Aku marah ke dia, eh malah dia marah balik][Kesel, aku, Mbak][Kok ada orang seperti itu] Pesan whatsapp dari Santi masuk bertubi-tubi, kelihatan sekali dia kesal. Aku menunggunya dia selesai mengirim pesan, baru aku menulis balasan.[Sabar, San. Mungkin dia ada masalah pekerjaan. Nanti kalau sudah reda, pasti tidak begitu lagi. Didoakan saja, ya][Ih, Mbak Fika. Telpon dia saja, Mbak. Marahin supaya tidak nglunjak]"Siapa, Dek?" Pertanyaan Mas Farhan membuatku kaget. Aku langsung menaruh ponsel di atas nakas. "Santi, Mas. Nanya kerjaan," jawabku berbohong. Bingung aku mau jawab apa, karena kalau dikatakan yang sebenarnya, akan berbuntut penjelasan yang panjang. "Oh gitu. Oya, Dek Hana tadi kenapa?""Tidak tahu, ya," jawabku dengan menaikkan kedua bahuku. "Apa aku tanya ke Santi?""Eh, tidak usah. Biar dia istirahat."
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status