Hari ini, aku dan Santi memulai bisnis makanan. Pertama, kami memulai dari kue kering. Ini dengan pertimbangan bulan puasa dan lebaran yang sebentar lagi. Sekarang, waktu yang tepat mencari pelanggan.'Sederek Kitchen', nama yang kami pilih. Perpaduan dua bahasa, sederek bahasa Jawa artinya saudara dan kitchen bahasa Inggis yang artinya dapur. Ada rasa tradisional tetapi ada sentuhan istilah kekinian.Akupun sudah mantap, langsung menghubungi Mas Farhan dan mendapat jawaban, "Bagus. Semoga kalian berhasil."Santi juga begitu bersemangat, dia langsung melancarkan aksinya. Dia membuat akun facebook, instagram, tik-tok, dan tentunya marketplace. "Pokoknya, Mbak. Sederek Kitchen akan langsung dikenal banyak orang!" serunya dengan mata berbinar. Akupun mengambil bagianku, memulai menentukan produk dan segera eksekusi hari ini. Santi membutuhkan untuk pengambilan foto sebagai promosi."Santi, kamu di rumah saja. Mbak akan ke pasar beli bahan. Kalau mau makan, di kulkas ada makanan yang bis
"Mbak Fika! Aku ada ide. Pokoknya keren, deh!" teriak Santi. Dia yang duduk di teras langsung beranjak berlari menyambut, mengambil tas belanjaan. "Fariz nanti sore ke sini, Mbak. Dia bantuin foto. Boleh, ya?" Aku menoleh ke arahnya, terpancar semangat yang membuatku tersenyum senang. Fariz adik Mas Farhan paling bungsu. "Bolehlah, semakin banyak yang membantu, semakin semangat."Sampai aku masuk ke ruang belakang, tak henti-hentinya dia bicara. Tentang Fariz yang menghubungi dia, dan tercetus ide membuat logo kemasan sampai bagaimana pengambilan foto yang menarik.Memang, Fariz dulu pernah ikut extrakurikuler fotografi dengan fasilitas kamera dari sekolah. Untuk hal ini, dia sudah biasa.Jualan online, memang harus kuat di visual. Memanjakan mata dan menggelitik pelihat penasaran. Gambar mewakili produk dan bikin ngiler yang melihat. Pastinya, ini ditujukan supaya pengunjung lapak memencet kolom check-out.Sederek Kitchen, mengusung makanan tradisional kekinian. Rencananya, setiap
[Mbak Fika, tadi Mbak Hana tanya-tanya tentang Mbak Fika dan Mas Farhan. Masih marah atau tidak][Aku jawab, tidak.][Aku bilang juga Mbak Fika tahu status di FBnya. Aku marah ke dia, eh malah dia marah balik][Kesel, aku, Mbak][Kok ada orang seperti itu] Pesan whatsapp dari Santi masuk bertubi-tubi, kelihatan sekali dia kesal. Aku menunggunya dia selesai mengirim pesan, baru aku menulis balasan.[Sabar, San. Mungkin dia ada masalah pekerjaan. Nanti kalau sudah reda, pasti tidak begitu lagi. Didoakan saja, ya][Ih, Mbak Fika. Telpon dia saja, Mbak. Marahin supaya tidak nglunjak]"Siapa, Dek?" Pertanyaan Mas Farhan membuatku kaget. Aku langsung menaruh ponsel di atas nakas. "Santi, Mas. Nanya kerjaan," jawabku berbohong. Bingung aku mau jawab apa, karena kalau dikatakan yang sebenarnya, akan berbuntut penjelasan yang panjang. "Oh gitu. Oya, Dek Hana tadi kenapa?""Tidak tahu, ya," jawabku dengan menaikkan kedua bahuku. "Apa aku tanya ke Santi?""Eh, tidak usah. Biar dia istirahat."
"Santi, kamu tidak bantu Mbak Fika. Main hape terus," celetuk Ibu yang membawa loyang berisi penuh kue semprit yang sudah siap packing. "Dia tidak main hape, Bu. Santi kerjakan pemasaran online," ucapku yang jalan di belakangnya sembari membawa loyang juga."Iya, Mbak Fika! Ibu suka sekali suudzon. Setiap aku pegang hape dibilang main," sahut Santi dengan mulut bersungut-sungut."Iya gimana, ya. Kalau di rumah tuh pegang hapeeee terus. Mulai duduk, kemudian nyender, dan akhirnya sambil tiduran. Malah. kadang-kadang tertawa sendiri! Ya gitu, Fika. Kelakuan adikmu, walaupun di rumah Ibu tidak ada temen ngomong," terang Ibu mencurahkan isi hatinya. "Ah, Ibu. Ngadu, ye.""Ibu bilang seperti itu, karena Ibu belum tahu, San." Aku mensejajari mertuaku ini, mengambil ponsel dan menunjukkan kepadanya. Aku bukakan instagram yang dari kemarin sudah di posting sebagian foto-foto. Follower sudah bertambah, bahkan ada beberapa yang mengajukan pertanyaan. Di biodata sudah dicantumkan link ke mark
Tepat sebelum magrib, Mas Farhan datang. Aku langsung menyambutnya seperti biasa, menyuguhkan senyum, walaupun hati masih was-was.Sebelumnya, aku sudah berpesan kepada Santi, jangan bertanya tentang kasus Dek Hana saat suamiku ini baru tiba. Ini sudah peraturan, siapapun yang baru masuk rumah tidak boleh dicecar pertanyaan ataupun kabar yang mengejutkan. Siapapun itu.Karena, orang yang baru datang biasanya emosi dan pikiran belum stabil, gampang tersulut bahkan bisa menjadi kesal. "Mas, makanan sudah aku siapakan. Akan makan sekarang?" ucapku setelah suamiku ini selesai sholat. "Masih belum lapar. Kalian kalau ingin makan, duluan saja," ucapnya terlihat berusaha biasa. Namun, sebagai istrinya aku mengerti, dia menahan sesuatu."Dek Hana sudah kasih kabar ke sini?" "Belum, Mas. Coba tanya Santi, mungkin dia kirim pesan," jawabku sambil mengekori dia yang ke luar kamar. Santi sudah bersiap di ruang tengah, walaupun nonton televisi terlihat tidak menikmati--chanelnya saja diganti-
Aku merasa ditampar dengan perkataan Mas Farhan. Tanpa aku sadari, aku mencoreng wibawa suamiku sendiri."Ingat, sekarang kalau siapapun yang memasang tulisan aneh, harus bilang kepada Mas. Siapapun itu! Mengerti Dek Fika? Mengerti Santi?" ucapnya mengarah kepadaku dan Santi.Kemudian, pandangan beralih ke Dek Hana, "Dan, kamu Dek Hana. Bersikaplah sesuai umurmu. Jangan seperti anak kecil. Mas tidak pantas menunjukkan mana yang benar dan tidak. Mas pikir, kamu sudah cukup pintar untuk menentukan sikap!"Mata mereka mulai berkaca-kaca. Aku yakin walaupun ada masalah, jauh di lubuk hati, mereka saling menyayangi sebagai saudara.****POV HanaDulu, hanya ada aku dan Mas Farhan. Sebagai anak bungsu, semua kasih sayang ditujukan kepadaku seorang, apalagi aku anak perempuan yang manis--kata mereka. Ayah yang sebagai kepala dinas memenuhi segala kebutuhanku. Hanya dengan tunjuk tangan saja, semua bisa aku dapatkan. Aku seperti putri dongeng yang dimanjakan.Apalagi, Mas Farhan yang sangat
Aku semakin benci dengan nasib yang menimpaku.Karena ayah sudah tidak ada, kami harus menyerahkan semua fasilitas dari kantor, mobil, dan termasuk rumah yang kami tempati ini. Untungnya, masih ada rumah yang sempat dibeli ayah, walaupun jauh sederhana daripada rumah sebelumnya.Sering kali aku meruntuki diri sendiri, kenapa aku tidak dilahirkan di keluarga yang kekayaannya tidak habis tujuh turunan? Kenapa hanya di keluarga yang langsung jatuh saat ayah tiada? Apalagi, ibu yang murni ibu rumah tangga, terbiasa menerima uang bulanan dari ayah. Kami benar-benar jatuh tuh sampai dasar. Mas Farhan lah yang memaksakan diri menggantikan ayah. Kesempatan sekolah di universitas negeri di Bandung, dia abaikan. Dia mengubur keinginannya menjadi sarjana teknik dan berakhir bekerja di bengkel. Penghasilan tidak seberapa, memaksa Mas Farhan bekerja dobel-dobel. Kebutuhan kami tidaklah sedikit, dua adik yang masih kecil dan aku harus masuk sekolah SMA. Kesal sekali saat itu. Harga diriku sepert
"Dek Fika, maafkan Mas, ya. Tadi Mas berkata keras kepadamu."Aku yang masih menelungkup menahan isakan tetap bergeming. Selama pernikahan kami, ini kali pertama suamiku berucap dengan nada tinggi kepadaku. Hati ini terasa sakit seakan tertoreh sembilu. Memang aku menerima ketidaktepatan sikapku itu, tetapi, seharusnya dia mengerti bagaimana posisiku saat itu.Seandainya aku mengadu ke dia, apakah masalah berhenti seketika? Mas Farhan akan marah. Sedangkan aku akan berakhir menjadi tukang adu saja--menyebabkan pertengkaran antara kakak dan adik. Adiknya yang menimbulkan masalah, kenapa aku yang terkena getahnya. Posisiku sebagai korban yang hanya diam tidak berontak apalagi menyerang balik. Masih terngiang jelas ucapan Mas Farhan. "Dengan kamu diam, masalah selesai? Tidak, kan? Malah semakin melebar dan semua orang tahu masalah kita. Yang membuat malu, semua orang mengerti kalau aku tidak becus mendidik dan memimpin kalian!"Ucapan itu memang benar, hak dia untuk menegurku, tet