Share

Bab 9. Kangen Makan Bareng

"Mbak Fika! Aku ada ide. Pokoknya keren, deh!" teriak Santi. Dia yang duduk di teras langsung beranjak berlari menyambut, mengambil tas belanjaan. 

"Fariz nanti sore ke sini, Mbak. Dia bantuin foto. Boleh, ya?" 

Aku menoleh ke arahnya, terpancar semangat yang membuatku tersenyum senang. Fariz adik Mas Farhan paling bungsu. "Bolehlah, semakin banyak yang membantu, semakin semangat."

Sampai aku masuk ke ruang belakang, tak henti-hentinya dia bicara. Tentang Fariz yang menghubungi dia, dan tercetus ide membuat logo kemasan sampai bagaimana pengambilan foto yang menarik.

Memang, Fariz dulu pernah ikut extrakurikuler fotografi dengan fasilitas kamera dari sekolah. Untuk hal ini, dia sudah biasa.

Jualan online, memang harus kuat di visual. Memanjakan mata dan menggelitik pelihat penasaran. Gambar mewakili produk dan bikin ngiler yang melihat. Pastinya, ini ditujukan supaya pengunjung lapak memencet kolom check-out.

Sederek Kitchen, mengusung makanan tradisional kekinian. Rencananya, setiap bulan akan diluncurkan produk baru. Ini supaya pembeli tidak bosan dan nantinya akan menunggu dan penasaran selalu di setiap bulannya. 

Kali ini, aku mengulik kue semprit. Aku memadukan rasa kekinian, ada lima rasa: klasik, matcha, red velvet, oreo, dan hazelnut. 

"Fariz nanti ke sini bawa stiker logo dan bahan packing. Katanya, dia akan pinjam kamera temannya," jelasnya kemudian menunjukkan layar ponselnya kepadaku. "Ini tampilan sampul F*, dan ini I*. Logonya ini yang lay-out Fariz, tadi dia kirim w******p."

"Bagus! Dia ternyata pinter, ya," ucapku kemudian berhenti, menyadari sesuatu. "Memang dia tidak kerja? Nanti dia dipecat, lo. Masih karyawan baru sudah korupsi waktu."

"Dia kerjakan ini pas istirahat, Mbak. Don't worry, lah."

"Iih, sok kemingris!" teriakku sambil mencolek pipinya dengan jariku yang belepotan tepung. Sontak dia teriak dan berakhir tertawa.

Melihat keriuhan ini, hatiku menjadi lega. Keluarga kami ternyata masih seperti dulu, saling bahu membahu dengan hati gembira. Semoga nantinya menggelitik hati Dek Arif dan Dek Hana untuk bergabung kembali.

Benar yang pernah aku baca. Saat kita fokus ke suatu titik, itu sama saja kita menariknya untuk mendekat. Sama seperti sekarang, aku fokus ke pekerjaan dan pikiran positif. Jadi semua yang mendukung akan dengan sendirinya datang mendekat.

Bayangkan saja, kalau aku fokus ke sakit hati, bukankan itu malah merugikan aku sendiri. Semakin dalam dan terpuruk dalam lubang kesedihan dan semua energi negatif, prasangka akan semakin membenamkan aku.

Untungnya, aku bisa melepaskan diri.

***

"Beneran Om Fariz nanti ke sini, Te? Asyik!" teriak Lisa anakku dengan girang. Mereka baru pulang sekolah, terlihat mendapati Santi yang sibuk membantuku.

"Kamu nunggu Om Fariz atau mie ayam Pak Tombong," goda Fikri kakaknya, berakhir teriakan keduanya. Lisa berusaha mengejar Fikri, namun tidak berhasil. 

Duh, mereka ini kalau berkumpul ada saja yang diributkan. Namun, kalau tidak ketemu saling menanyakan. Dasar anak-anak.

Loyang yang berisi kue semprit satu persatu keluar dari oven. Harus bersabar, karena aku menggunakan oven tangkring yang mempunyai kapasitas terbatas.

Tepat saat Fariz datang kue semprit sudah siap di lima wadah dengan rasa berbeda. Warnanye terlihat menggoda, putih untuk klasik, hijau-matcha, merah-red velvet, kehitaman-oreo, dan kecoklatan untuk hazelnut. Aku, Santi, dan anak-anak puas dengan hasil di depan kami ini.

"Mbak Fika, punya kardus besar?" tanya Fariz mulai bersiap menyiapkan acara foto-foto. 

"Ada di gudang, coba cari," seruku kemudian mencari Fikri untuk membantunya. "Fikri! Dicari Om Fariz!" 

Mereka begitu sibuk, Fikri membantu omnya membuat studio mini dari kardus. Sedangkan, Lisa membantu tantenya memasukkan ke  kantong kertas dan memasang stiker yang dibawa Fariz tadi. 

Aku tersenyum lega, diam-diam aku foto kesibukan ini dan aku kirim ke Mas Farhan. Pasti dia senang.

[Siapkan makan, kita makan bareng. Mas sebentar lagi pulang. Nanti Mas belikan ayam krispy. Mas dapat rejeki]

[Seperti biasa, ya. Gelar tikar] Balasan w******p dari Mas Farhan.

Gegas, aku menyiapkan semuanya. Menggelar tikar di depan televisi. Kebiasaan kami dulu karena meja makan tidak cukup untuk orang banyak.

Tak seberapa lama, bunyi motor Mas Farhan terdengar, aku langsung menyambutnya seperti biasa. 

"Anak-anak mana?" ucapnya sambil melongokkan kepala. Kemudian senyum terbit sempurna, mungkin rasa yang sama denganku, kangen berkumpul dengan banyak keluarga.

"Lihat, ayah bawa apa?" teriak Mas Farhan sambil memamerkan tas kresek yang dia jinjing. Mereka yang sibuk dengan aktifitas masing-masing mendongak bersamaan.

Mata Lisa membulat, dan langsung berlari menyongsong Mas Farhan. Makanan yang sempat absen dari meja makan kami, kembali hadir. Aku dan Lisa langsung menata makanan di tikar, Mas Farhan membersihkan badan, sedangkan Fikri dan Fariz menyelesaikan studio super mini yang tinggal sedikit lagi.

"Ayo makan dulu. Baru setelah ini kerja lagi!" panggil Mas Farhan, kemudian secepatnya mereka bersiap di atas tikar. Menyodorkan piring kosong untuk kuambilkan nasi. 

"Kangen makan bareng," seru Fariz kemudian mengambil ponsel di sakunya. Mengarahkan ke kami untuk selfie. 

"Senyum semua, ya!" serunya kemudian mengambil foto beberapa kali.

Kami makan dengan lahap, selain lapar. suasana kebersamaan ini yang menentukan. Bahkan, Mas Farhan dan Fariz sampai nambah tiga kali. Mungkin karena keasikan ngobrol, sampai tidak sadar sudah makan banyak.

Tring .... Tring ..... 

"Santi, telponmu bunyi itu, lo. Dari Ibuk mungkin?" teriak Mas Farhan mengingatkan.

"Ibuk sudah tahu, kok. Aku sampai malam di sini," jawab Santi. Dia meraih ponsel, memastikan siapa yang kirim pesan. 

Sesaat dia diam, kemudian mengerutkan dahi seperti ada kesal di sana. Dengan tatapan aneh dia memandangku dan berkata, "Dari Mbak Hana. Dia di rumah, aku disuruh pulang sekarang."

"Dek Hana di rumah?" tanya Mas Farhan langsung.

"I-Iya, Mas," sahut Santi dengan gugup.

"Suruh ke sini saja, sekalian ajak Ibuk biar rame. Toh, kerjaanmu belum selesai, kan?" sela Fariz memberikan usul. 

Santi yang masih menggenggam ponsel, terlihat ragu. Dia menatapku seakan meminta pertolongan. Pasti ada yang tidak beres, kasihan Santi.

"Ya, sudah kamu pulang saja. Sekarang kan tinggal foto saja. Biar Fariz dan anak-anak yang kerjakan," ucapku menengahinya.

Entah, apa yang terjadi. Lebih baik Santi pulang mengikuti permintaan Dek Hana. Semoga tidak terjadi apa-apa.

*****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Putro
cukup menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status