"Mbak Fika! Aku ada ide. Pokoknya keren, deh!" teriak Santi. Dia yang duduk di teras langsung beranjak berlari menyambut, mengambil tas belanjaan.
"Fariz nanti sore ke sini, Mbak. Dia bantuin foto. Boleh, ya?"
Aku menoleh ke arahnya, terpancar semangat yang membuatku tersenyum senang. Fariz adik Mas Farhan paling bungsu. "Bolehlah, semakin banyak yang membantu, semakin semangat."
Sampai aku masuk ke ruang belakang, tak henti-hentinya dia bicara. Tentang Fariz yang menghubungi dia, dan tercetus ide membuat logo kemasan sampai bagaimana pengambilan foto yang menarik.
Memang, Fariz dulu pernah ikut extrakurikuler fotografi dengan fasilitas kamera dari sekolah. Untuk hal ini, dia sudah biasa.
Jualan online, memang harus kuat di visual. Memanjakan mata dan menggelitik pelihat penasaran. Gambar mewakili produk dan bikin ngiler yang melihat. Pastinya, ini ditujukan supaya pengunjung lapak memencet kolom check-out.
Sederek Kitchen, mengusung makanan tradisional kekinian. Rencananya, setiap bulan akan diluncurkan produk baru. Ini supaya pembeli tidak bosan dan nantinya akan menunggu dan penasaran selalu di setiap bulannya.
Kali ini, aku mengulik kue semprit. Aku memadukan rasa kekinian, ada lima rasa: klasik, matcha, red velvet, oreo, dan hazelnut.
"Fariz nanti ke sini bawa stiker logo dan bahan packing. Katanya, dia akan pinjam kamera temannya," jelasnya kemudian menunjukkan layar ponselnya kepadaku. "Ini tampilan sampul F*, dan ini I*. Logonya ini yang lay-out Fariz, tadi dia kirim w******p."
"Bagus! Dia ternyata pinter, ya," ucapku kemudian berhenti, menyadari sesuatu. "Memang dia tidak kerja? Nanti dia dipecat, lo. Masih karyawan baru sudah korupsi waktu."
"Dia kerjakan ini pas istirahat, Mbak. Don't worry, lah."
"Iih, sok kemingris!" teriakku sambil mencolek pipinya dengan jariku yang belepotan tepung. Sontak dia teriak dan berakhir tertawa.
Melihat keriuhan ini, hatiku menjadi lega. Keluarga kami ternyata masih seperti dulu, saling bahu membahu dengan hati gembira. Semoga nantinya menggelitik hati Dek Arif dan Dek Hana untuk bergabung kembali.
Benar yang pernah aku baca. Saat kita fokus ke suatu titik, itu sama saja kita menariknya untuk mendekat. Sama seperti sekarang, aku fokus ke pekerjaan dan pikiran positif. Jadi semua yang mendukung akan dengan sendirinya datang mendekat.
Bayangkan saja, kalau aku fokus ke sakit hati, bukankan itu malah merugikan aku sendiri. Semakin dalam dan terpuruk dalam lubang kesedihan dan semua energi negatif, prasangka akan semakin membenamkan aku.
Untungnya, aku bisa melepaskan diri.
***
"Beneran Om Fariz nanti ke sini, Te? Asyik!" teriak Lisa anakku dengan girang. Mereka baru pulang sekolah, terlihat mendapati Santi yang sibuk membantuku.
"Kamu nunggu Om Fariz atau mie ayam Pak Tombong," goda Fikri kakaknya, berakhir teriakan keduanya. Lisa berusaha mengejar Fikri, namun tidak berhasil.
Duh, mereka ini kalau berkumpul ada saja yang diributkan. Namun, kalau tidak ketemu saling menanyakan. Dasar anak-anak.
Loyang yang berisi kue semprit satu persatu keluar dari oven. Harus bersabar, karena aku menggunakan oven tangkring yang mempunyai kapasitas terbatas.
Tepat saat Fariz datang kue semprit sudah siap di lima wadah dengan rasa berbeda. Warnanye terlihat menggoda, putih untuk klasik, hijau-matcha, merah-red velvet, kehitaman-oreo, dan kecoklatan untuk hazelnut. Aku, Santi, dan anak-anak puas dengan hasil di depan kami ini.
"Mbak Fika, punya kardus besar?" tanya Fariz mulai bersiap menyiapkan acara foto-foto.
"Ada di gudang, coba cari," seruku kemudian mencari Fikri untuk membantunya. "Fikri! Dicari Om Fariz!"
Mereka begitu sibuk, Fikri membantu omnya membuat studio mini dari kardus. Sedangkan, Lisa membantu tantenya memasukkan ke kantong kertas dan memasang stiker yang dibawa Fariz tadi.
Aku tersenyum lega, diam-diam aku foto kesibukan ini dan aku kirim ke Mas Farhan. Pasti dia senang.
[Siapkan makan, kita makan bareng. Mas sebentar lagi pulang. Nanti Mas belikan ayam krispy. Mas dapat rejeki]
[Seperti biasa, ya. Gelar tikar] Balasan w******p dari Mas Farhan.
Gegas, aku menyiapkan semuanya. Menggelar tikar di depan televisi. Kebiasaan kami dulu karena meja makan tidak cukup untuk orang banyak.
Tak seberapa lama, bunyi motor Mas Farhan terdengar, aku langsung menyambutnya seperti biasa.
"Anak-anak mana?" ucapnya sambil melongokkan kepala. Kemudian senyum terbit sempurna, mungkin rasa yang sama denganku, kangen berkumpul dengan banyak keluarga.
"Lihat, ayah bawa apa?" teriak Mas Farhan sambil memamerkan tas kresek yang dia jinjing. Mereka yang sibuk dengan aktifitas masing-masing mendongak bersamaan.
Mata Lisa membulat, dan langsung berlari menyongsong Mas Farhan. Makanan yang sempat absen dari meja makan kami, kembali hadir. Aku dan Lisa langsung menata makanan di tikar, Mas Farhan membersihkan badan, sedangkan Fikri dan Fariz menyelesaikan studio super mini yang tinggal sedikit lagi.
"Ayo makan dulu. Baru setelah ini kerja lagi!" panggil Mas Farhan, kemudian secepatnya mereka bersiap di atas tikar. Menyodorkan piring kosong untuk kuambilkan nasi.
"Kangen makan bareng," seru Fariz kemudian mengambil ponsel di sakunya. Mengarahkan ke kami untuk selfie.
"Senyum semua, ya!" serunya kemudian mengambil foto beberapa kali.
Kami makan dengan lahap, selain lapar. suasana kebersamaan ini yang menentukan. Bahkan, Mas Farhan dan Fariz sampai nambah tiga kali. Mungkin karena keasikan ngobrol, sampai tidak sadar sudah makan banyak.
Tring .... Tring .....
"Santi, telponmu bunyi itu, lo. Dari Ibuk mungkin?" teriak Mas Farhan mengingatkan.
"Ibuk sudah tahu, kok. Aku sampai malam di sini," jawab Santi. Dia meraih ponsel, memastikan siapa yang kirim pesan.
Sesaat dia diam, kemudian mengerutkan dahi seperti ada kesal di sana. Dengan tatapan aneh dia memandangku dan berkata, "Dari Mbak Hana. Dia di rumah, aku disuruh pulang sekarang."
"Dek Hana di rumah?" tanya Mas Farhan langsung.
"I-Iya, Mas," sahut Santi dengan gugup.
"Suruh ke sini saja, sekalian ajak Ibuk biar rame. Toh, kerjaanmu belum selesai, kan?" sela Fariz memberikan usul.
Santi yang masih menggenggam ponsel, terlihat ragu. Dia menatapku seakan meminta pertolongan. Pasti ada yang tidak beres, kasihan Santi.
"Ya, sudah kamu pulang saja. Sekarang kan tinggal foto saja. Biar Fariz dan anak-anak yang kerjakan," ucapku menengahinya.
Entah, apa yang terjadi. Lebih baik Santi pulang mengikuti permintaan Dek Hana. Semoga tidak terjadi apa-apa.
*****
[Mbak Fika, tadi Mbak Hana tanya-tanya tentang Mbak Fika dan Mas Farhan. Masih marah atau tidak][Aku jawab, tidak.][Aku bilang juga Mbak Fika tahu status di FBnya. Aku marah ke dia, eh malah dia marah balik][Kesel, aku, Mbak][Kok ada orang seperti itu] Pesan whatsapp dari Santi masuk bertubi-tubi, kelihatan sekali dia kesal. Aku menunggunya dia selesai mengirim pesan, baru aku menulis balasan.[Sabar, San. Mungkin dia ada masalah pekerjaan. Nanti kalau sudah reda, pasti tidak begitu lagi. Didoakan saja, ya][Ih, Mbak Fika. Telpon dia saja, Mbak. Marahin supaya tidak nglunjak]"Siapa, Dek?" Pertanyaan Mas Farhan membuatku kaget. Aku langsung menaruh ponsel di atas nakas. "Santi, Mas. Nanya kerjaan," jawabku berbohong. Bingung aku mau jawab apa, karena kalau dikatakan yang sebenarnya, akan berbuntut penjelasan yang panjang. "Oh gitu. Oya, Dek Hana tadi kenapa?""Tidak tahu, ya," jawabku dengan menaikkan kedua bahuku. "Apa aku tanya ke Santi?""Eh, tidak usah. Biar dia istirahat."
"Santi, kamu tidak bantu Mbak Fika. Main hape terus," celetuk Ibu yang membawa loyang berisi penuh kue semprit yang sudah siap packing. "Dia tidak main hape, Bu. Santi kerjakan pemasaran online," ucapku yang jalan di belakangnya sembari membawa loyang juga."Iya, Mbak Fika! Ibu suka sekali suudzon. Setiap aku pegang hape dibilang main," sahut Santi dengan mulut bersungut-sungut."Iya gimana, ya. Kalau di rumah tuh pegang hapeeee terus. Mulai duduk, kemudian nyender, dan akhirnya sambil tiduran. Malah. kadang-kadang tertawa sendiri! Ya gitu, Fika. Kelakuan adikmu, walaupun di rumah Ibu tidak ada temen ngomong," terang Ibu mencurahkan isi hatinya. "Ah, Ibu. Ngadu, ye.""Ibu bilang seperti itu, karena Ibu belum tahu, San." Aku mensejajari mertuaku ini, mengambil ponsel dan menunjukkan kepadanya. Aku bukakan instagram yang dari kemarin sudah di posting sebagian foto-foto. Follower sudah bertambah, bahkan ada beberapa yang mengajukan pertanyaan. Di biodata sudah dicantumkan link ke mark
Tepat sebelum magrib, Mas Farhan datang. Aku langsung menyambutnya seperti biasa, menyuguhkan senyum, walaupun hati masih was-was.Sebelumnya, aku sudah berpesan kepada Santi, jangan bertanya tentang kasus Dek Hana saat suamiku ini baru tiba. Ini sudah peraturan, siapapun yang baru masuk rumah tidak boleh dicecar pertanyaan ataupun kabar yang mengejutkan. Siapapun itu.Karena, orang yang baru datang biasanya emosi dan pikiran belum stabil, gampang tersulut bahkan bisa menjadi kesal. "Mas, makanan sudah aku siapakan. Akan makan sekarang?" ucapku setelah suamiku ini selesai sholat. "Masih belum lapar. Kalian kalau ingin makan, duluan saja," ucapnya terlihat berusaha biasa. Namun, sebagai istrinya aku mengerti, dia menahan sesuatu."Dek Hana sudah kasih kabar ke sini?" "Belum, Mas. Coba tanya Santi, mungkin dia kirim pesan," jawabku sambil mengekori dia yang ke luar kamar. Santi sudah bersiap di ruang tengah, walaupun nonton televisi terlihat tidak menikmati--chanelnya saja diganti-
Aku merasa ditampar dengan perkataan Mas Farhan. Tanpa aku sadari, aku mencoreng wibawa suamiku sendiri."Ingat, sekarang kalau siapapun yang memasang tulisan aneh, harus bilang kepada Mas. Siapapun itu! Mengerti Dek Fika? Mengerti Santi?" ucapnya mengarah kepadaku dan Santi.Kemudian, pandangan beralih ke Dek Hana, "Dan, kamu Dek Hana. Bersikaplah sesuai umurmu. Jangan seperti anak kecil. Mas tidak pantas menunjukkan mana yang benar dan tidak. Mas pikir, kamu sudah cukup pintar untuk menentukan sikap!"Mata mereka mulai berkaca-kaca. Aku yakin walaupun ada masalah, jauh di lubuk hati, mereka saling menyayangi sebagai saudara.****POV HanaDulu, hanya ada aku dan Mas Farhan. Sebagai anak bungsu, semua kasih sayang ditujukan kepadaku seorang, apalagi aku anak perempuan yang manis--kata mereka. Ayah yang sebagai kepala dinas memenuhi segala kebutuhanku. Hanya dengan tunjuk tangan saja, semua bisa aku dapatkan. Aku seperti putri dongeng yang dimanjakan.Apalagi, Mas Farhan yang sangat
Aku semakin benci dengan nasib yang menimpaku.Karena ayah sudah tidak ada, kami harus menyerahkan semua fasilitas dari kantor, mobil, dan termasuk rumah yang kami tempati ini. Untungnya, masih ada rumah yang sempat dibeli ayah, walaupun jauh sederhana daripada rumah sebelumnya.Sering kali aku meruntuki diri sendiri, kenapa aku tidak dilahirkan di keluarga yang kekayaannya tidak habis tujuh turunan? Kenapa hanya di keluarga yang langsung jatuh saat ayah tiada? Apalagi, ibu yang murni ibu rumah tangga, terbiasa menerima uang bulanan dari ayah. Kami benar-benar jatuh tuh sampai dasar. Mas Farhan lah yang memaksakan diri menggantikan ayah. Kesempatan sekolah di universitas negeri di Bandung, dia abaikan. Dia mengubur keinginannya menjadi sarjana teknik dan berakhir bekerja di bengkel. Penghasilan tidak seberapa, memaksa Mas Farhan bekerja dobel-dobel. Kebutuhan kami tidaklah sedikit, dua adik yang masih kecil dan aku harus masuk sekolah SMA. Kesal sekali saat itu. Harga diriku sepert
"Dek Fika, maafkan Mas, ya. Tadi Mas berkata keras kepadamu."Aku yang masih menelungkup menahan isakan tetap bergeming. Selama pernikahan kami, ini kali pertama suamiku berucap dengan nada tinggi kepadaku. Hati ini terasa sakit seakan tertoreh sembilu. Memang aku menerima ketidaktepatan sikapku itu, tetapi, seharusnya dia mengerti bagaimana posisiku saat itu.Seandainya aku mengadu ke dia, apakah masalah berhenti seketika? Mas Farhan akan marah. Sedangkan aku akan berakhir menjadi tukang adu saja--menyebabkan pertengkaran antara kakak dan adik. Adiknya yang menimbulkan masalah, kenapa aku yang terkena getahnya. Posisiku sebagai korban yang hanya diam tidak berontak apalagi menyerang balik. Masih terngiang jelas ucapan Mas Farhan. "Dengan kamu diam, masalah selesai? Tidak, kan? Malah semakin melebar dan semua orang tahu masalah kita. Yang membuat malu, semua orang mengerti kalau aku tidak becus mendidik dan memimpin kalian!"Ucapan itu memang benar, hak dia untuk menegurku, tet
Hari ini Santi tetap datang, tentunya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, ibu tidak ikut bersamanya. Dia bilang, ibu mertuaku ini ada arisan di kelurahan. Di usia beliau, memang berkumpul dengan orang banyak menjadi hiburan untuknya.Adik iparku ini juga mengirim kabar kalau di marketplace banyak respon positif, bahkan sudah ada pesanan yang masuk. Ini menambah lebar senyum kami. Semangat menjadi membara, ternyata masih ada harapan bagi kami untuk melanjutkan usaha ini.[Fika, aku dan Wiwin siang ini mampir ke rumahmu, ya][Tidak usah repot-repot. Siapkan saja, kopi, jajan, makan siang, dan bontotan]Pesan whatsapp masuk dari Nurul, ditutup emoticon tertawa terbahak-bahak. Memang, sahabatku itu suka bercanda. Walaupun mereka termasuk orang yang berhasil, tetapi tetap tidak malu bersahabat denganku. Nurul yang berhasil dengan toko bahan kue, dan Wiwin yang disibukkan menjadi istri pejabat.‘Pekerjaan harus aku selesaikan cepat, sebelum mereka datang.’Aku kembali ke aktifitasku se
Bab 17. Rencana yang di Atas"Wah, teman-teman Mbak Fika, keren! Mereka baik dan perhatian," seru Fariz yang baru saja datang. Katanya, hari ini dia pulang kerja lebih awal karena pemiliknya ada hajatan. Adik iparku yang bungsu ini terkejut dengan bahan-bahan kue yang bertumpuk di ruang tengah. Apalagi, saat Santi menjelaskan itu hadiah dari Nurul dan Wiwin."Itu gunanya punya teman tajir. Sayangnya aku tidak punya. Sekelilingku hanya anak tongkrongan saja," celetuk Fariz, membuatku menghentikan langkah dan berbalik ke arah mereka. Aku menyeduh kopi hitam dua gelas dan kopi susu satu gelas, menaruh nampan dan meletakkan di meja tempat Fariz dan Santi sibuk dengan ponselnya."Duh adik-adik Mbak, rajin banget, ya," ucapku kemudian duduk di seberang mereka, menyodorkan kopi hitam untuk Fariz dan kopi susu untuk Santi. Sontak, mereka menghentikan aktifitas dan menoleh ke arahku sambil tersenyum menunjukkan giginya."Mbak Fika ini tahu benar kalau aku perlu kopi!" sambut Fariz langsung m
“Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De
Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa
"Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku
Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m
"E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter
"Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha
"Karena itu Mas. Walaupun berat meninggalkan Dek Hana, saya harus berangkat berlayar. Apalagi setelah dedek bayi lahir memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada kesempatan kali ini, e ... saya minta bantuan Mas Farhan sekeluarga untuk menemani Dek Hana saat lahiran nanti," ucap Rendra menunjukkan tatapan memohon kepada Mas Farhan.Suamiku tersenyum, dengan tatapan teduh mulai bicara kembali. "Tanpa kamu mintapun, kami sekeluarga siap mendampingi Dek Hana, Ren. Namun, perlu kamu ingat nanti setelah anakmu lahir. Seorang anak tidak cukup diberi sandang, pangan, dan papan, tetapi dia butuh kasih sayang dan sosok seorang ayah. Didikan dari orang tua, tidak sekadar dijejali dengan materi. Ok, lah. Kalau kamu sekarang berangkat berlayar. Tetapi, Mas memberi pendapat, mulailah berpikir untuk bekerja dari rumah. Mendampingi keluargamu. Pengalaman kamu ke luar negeri bisa kamu aplikasikan di sini.""Iya, Mas. Saya juga sudah berpikir ke sana.""Tapi, Mas. Kalau Mas Rendra cari kerja di sini, u
Waktu terus berjalan, lantai dua di rumah produksi sudah terbangun. Bahkan Mas Farhan sudah berkantor di sana. Fariz pun mempunyai ruangan di lantai dua, mengerjakan yang dia cita-citakan. Sedangkan, aku dan Santi semakin sibuk di lantai satu.[Mbak Fika. Hari ini di rumah? Aku dan Rendra ingin mampir] Pesan whatsapp dari Dek Hana. Alhamdulillah, kandungan dia tidak ada masalah. Hubungan mereka sudah tidak terdengar riak lagi. Walaupun, kami jarang bertemu, tetapi Santi selalu menceritakan kabar mereka. Apalagi, ibu mertua mondar-mandir ke rumah Dek Hana, memastikan calon cucunya baik-baik saja.[Datang saja, Dek. Mas Farhan juga ada, kebetulan tidak ada rencana pergi] Balasan pesan whatsappku kepada Dek Hana.Tepat setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka berdua datang. Eh, bertiga bersama ibu mertua. Kami berkumpul di ruang tamu. Aku dan Santi menyiapkan makanan kecil dan minum teh hangat. Aku merasa, kedatangannya ini pasti mempunyai niat selain hanya sekadar berkunjung. Karena, in
Keesokan harinya, ponselku tidak berhenti berbunyi tanda panggilan atau pesan whatsapp yang masuk. Semuanya senada. Memberi selamat atas keberhasilan bisnisku.Tidak ketinggalan Mama, dia sudah menelponku tadi pagi. Banyak sekali wejangan yang aku terima. Intinya, supaya aku tidak cepat puas apalagi besar kepala."Ini baru anak Mama. Berani tampil ke depan. Mama juga sudah share artikel tentang kamu. Dan, sampai sekarang Mama kebanjiran kata selamat." Yang membuatku menitikkan air mata, saat Mama menyinggung orangtuaku. "Fika, kalau Bapak dan Ibumu masih hidup, pasti dia sangat bangga. Mempunyai putri yang berbuat lebih dan membantu orang lain. Mama sangat senang, diberi kesempatan menjadi ibu kamu, Fik."Berita tersebar ini karena berita di internet sudah muncul. Artikel tayang di situs pemerintahan daerah, dan media yang meliput pada hari kemarin. Bahkan, di media online terlihat angka puluhan pada tanda bagikan. Fariz tergopoh mendatangiku dengan wajah yang mewakili kata puas."M