Hari ini, aku dan Santi memulai bisnis makanan. Pertama, kami memulai dari kue kering. Ini dengan pertimbangan bulan puasa dan lebaran yang sebentar lagi. Sekarang, waktu yang tepat mencari pelanggan.
'Sederek Kitchen', nama yang kami pilih. Perpaduan dua bahasa, sederek bahasa Jawa artinya saudara dan kitchen bahasa Inggis yang artinya dapur. Ada rasa tradisional tetapi ada sentuhan istilah kekinian.
Akupun sudah mantap, langsung menghubungi Mas Farhan dan mendapat jawaban, "Bagus. Semoga kalian berhasil."
Santi juga begitu bersemangat, dia langsung melancarkan aksinya. Dia membuat akun f******k, i*******m, tik-tok, dan tentunya marketplace. "Pokoknya, Mbak. Sederek Kitchen akan langsung dikenal banyak orang!" serunya dengan mata berbinar.
Akupun mengambil bagianku, memulai menentukan produk dan segera eksekusi hari ini. Santi membutuhkan untuk pengambilan foto sebagai promosi.
"Santi, kamu di rumah saja. Mbak akan ke pasar beli bahan. Kalau mau makan, di kulkas ada makanan yang bisa dihangatkan," pesanku sebelum pergi.
Menggunakan becak langganan, aku menuncur ke pasar. Tujuanku ke toko bahan kue, pemiliknya bernama Nurul--teman pengajian yang sudah menjadi sahabat.
"Fika! Untung kamu ke sini. Aku ingin bicara," ucapnya membuatku mengernyitkan dahi. "Eh! Perlu apa?" tanyanya langsung menarikku masuk.
Pembawaannya memang cerewet dan rame, makanya toko yang baru berdiri satu tahun ini langsung laris. Dia begitu ramah terhadap pembeli yang mayoritas kaum hawa. Biasanya kalau kami bertemu, dia akan bercerita banyak dan aku bertugas mengamini dan tertawa saja.
"Aku butuh ini. Tidak banyak, kok," ucapku menyodorkan catatan belanja yang aku butuhkan. Dia membaca sejenak, kemudian memberikan ke pegawainya untuk disiapkan.
"Pesananmu masih antri. Kita ke atas saja, yuk. Di sini ramai!" celetuknya, kemudian menarikku tanpa menunggu jawaban dariku.
Ruko ini ada dua lantai, di bawah toko dan di atas gudang penyimpanan dan sebagian disetting menjadi kantor tempat Nurul merekap data.
"Kopi, kan?" tebaknya langsung menyeduh kopi instan dengan menuang air panas dari dispenser.
Aku menyapu ruangan dengan pandangan, tumpukan berbagai bahan, box-box besar berisi bahan kemasan kecil dan rak yang memanjang tertata rapi. Bahan kue memang banyak macamnya, dari yang kemasan besar sampai kemasan kecil-kecil. Kalau tidak di atur akan susah mencari yang dibutuhkan.
Sebenarnya, ada satu lagi sahabat kami, namanya Wiwin. Kalau bertiga sudah berkumpul, pasti lupa waktu karena mengobrol. Sayangnya, dia sekarang semakin sibuk setelah suaminya menjabat menjadi kepala dinas di kota sebelah.
"Rencanaku, akhir minggu ini berkunjung ke rumahmu. Ada yang perlu aku sampaikan," ucapnya seraya menyodorkan kopi yang mengeluarkan aroma yang kusukai. Sejenak, aku menyesap sedikit dan membuat badanku segar.
"Ada apa. Setahuku setiap kita bertemu, ada saja yang disampaikan," ucapku sambil tertawa, mengingat yang lalu-lalu.
Dia tidak menanggapi gurauanku, malah sibuk dengan ponsel. Kemudian, dengan memasang wajah serius, beringsut lebih mendekat, dia menyodorkan ponsel, dan menunjukkan layar yang terbuka.
"Kamu sudah baca ini?" Aku melihat sekilas. Duh! Ternyata status F* Dek Hana. Temanku ini juga tahu. Pastilah, postingannya berstatus publik, jadi siapa saja bisa tahu dan komen.
Aku menatap wajah sahabatku yang terlihat menunggu reaksi. Seketika kuterbitkan senyuman sambil mengangguk, resah dan sakit hati ini sudah lewat. Usahaku membutakan hati dan menulikan segala sesuatu tentang ini, ternyata berhasil.
"Kamu kok diam saja? Kalau aku jadi kamu, pasti aku datangi dia. Aku robek-robek mulutnya dan kupotong jarinya yang mampu menulis seperti ini!" serunya berapi-api, matanya menyiratkan kekesalan. Tangannya pun terkepal keras menekan meja. Kemudian dia mencondongkan badannya sambil berdesis, "Atau, kau butuh bantuanku? Aku siap mencucinya sampai tak bersisa."
Aku tertawa mendengar tawaran gila, kusesap lagi kopi untuk mengalihkan kegilaan ini. Nurul itu memang orang yang unik.
"Kenapa kamu diam? Harusnya kamu balas di komentar, beberkan semuanya supaya jelas dan orang tidak salah paham terhadap kamu," seru Nurul masih bernada kesal.
"Kalau ditanggapi dengan kepala panas, malah runyam. Itu sama saja bertarung. Menang jadi arang dan kalah jadi abu, sama-sama rugi. Hanya sebagai tontonan orang saja. Aku tidak mau seperti itu."
Dia kembali ke tempat duduknya semula, bersendekap sambil mengawasiku. Seperti memikirkn sesuatu, matanya dipicingkan dan berkata, "Kalian dulu, tanpa dimintapun menanggung kehidupan mereka. Yang seharusnya bisa bersenang-senang dan hidup berlebih bersama keluarga kecil, kalian memilih menahan keinginan. Harusnya sekarang mereka yang sudah mampu juga demikian, dong!"
"Nurul, apa yang bisa aka lakukan? Biarlah waktu yang akan menjawab. Sekarang aku hanya bisa berdoa supaya keluarga kami menjadi rukun selalu."
"Fika ... Fika. Kamu itu begitu sabar! Lama-lama kalian bisa diinjak-injak. Aku sudah membatin dari dulu. Memang keadaan kalian mengharuskan seperti itu. Namun, melihat begitu kerasnya kerja kalian, membuat aku dan suami miris. Apalagi balasan mereka seperti itu," ucap sahabatku ini masih bersikukuh.
"Berbuat baik kepada siapapun pasti ada balasannya. Dia sudah mengatur balasannya dari siapa, bagaimana, dan kapan. Itu pasti yang terbaik dan tertepat. Tugas kita hanya menjalani perintah-Nya untuk menyebar kebaikan," ucapku kemudian berhenti menyesap kopi yang sudah hampir tandas.
"Aku sekarang fokus dengan usaha baruku. Jualan makanan lewat marketplace. Doakan, ya!" ucapku kemudian bersiap beranjak. Kalau tidak diputus obrolan ini, bisa tidam pulang-pulang.
"Jadi, tadi belanja untuk itu! Kalau begitu, itu semua gratis, dah!" teriaknya dengan mata berbinar, kekesalan yang terpercik tadi sudah lenyap.
"Maaf, ya. Kali ini, aku tidak menerima gratisan. Ini hari pertama dan modal pertama, jadi harus bayar!" ucapku sambil menangkup tangannya.
"Ok! Ok! Aku terima alasanmu kali ini. Tapi, lain kali kamu tidak boleh menolak, ya!" ucapnya kemudian mengajakku menuruni tangga. Pesananku pasti sudah siap, aku harus segera pulang.
Dia mengantarku sampai naik becak, membawa belanjaan dan menata di samping dudukku. "Apa tidak apa-apa kalau kamu merahasiakan ini dari suamimu?" ucap lirih Nurul setelah bertanya apakah Mas Farhan tahu.
Sepanjang jalan, aku melewatkan pemandangan yang biasanya aku kagumi. Pikiranku berkecamuk dengan pertanyaan Nurul sebelum aku pergi tadi.
Benar yang diucap, dia dan suaminya saja tahu tentang status di F* itu, berarti bisa jadi semua orang di sekeliling ini membaca atau bahkan meletakkan komentar gunjingan. Tetangga, teman, orang yang lewat depan rumah, atau orang yang bertemu denganku di pasar tadi. Bisa jadi, Pak tukang becakpun tahu.
Ini seperti bom waktu yang bisa meledak tiba-tiba. Aku harus bagaimana?
***
"Mbak Fika! Aku ada ide. Pokoknya keren, deh!" teriak Santi. Dia yang duduk di teras langsung beranjak berlari menyambut, mengambil tas belanjaan. "Fariz nanti sore ke sini, Mbak. Dia bantuin foto. Boleh, ya?" Aku menoleh ke arahnya, terpancar semangat yang membuatku tersenyum senang. Fariz adik Mas Farhan paling bungsu. "Bolehlah, semakin banyak yang membantu, semakin semangat."Sampai aku masuk ke ruang belakang, tak henti-hentinya dia bicara. Tentang Fariz yang menghubungi dia, dan tercetus ide membuat logo kemasan sampai bagaimana pengambilan foto yang menarik.Memang, Fariz dulu pernah ikut extrakurikuler fotografi dengan fasilitas kamera dari sekolah. Untuk hal ini, dia sudah biasa.Jualan online, memang harus kuat di visual. Memanjakan mata dan menggelitik pelihat penasaran. Gambar mewakili produk dan bikin ngiler yang melihat. Pastinya, ini ditujukan supaya pengunjung lapak memencet kolom check-out.Sederek Kitchen, mengusung makanan tradisional kekinian. Rencananya, setiap
[Mbak Fika, tadi Mbak Hana tanya-tanya tentang Mbak Fika dan Mas Farhan. Masih marah atau tidak][Aku jawab, tidak.][Aku bilang juga Mbak Fika tahu status di FBnya. Aku marah ke dia, eh malah dia marah balik][Kesel, aku, Mbak][Kok ada orang seperti itu] Pesan whatsapp dari Santi masuk bertubi-tubi, kelihatan sekali dia kesal. Aku menunggunya dia selesai mengirim pesan, baru aku menulis balasan.[Sabar, San. Mungkin dia ada masalah pekerjaan. Nanti kalau sudah reda, pasti tidak begitu lagi. Didoakan saja, ya][Ih, Mbak Fika. Telpon dia saja, Mbak. Marahin supaya tidak nglunjak]"Siapa, Dek?" Pertanyaan Mas Farhan membuatku kaget. Aku langsung menaruh ponsel di atas nakas. "Santi, Mas. Nanya kerjaan," jawabku berbohong. Bingung aku mau jawab apa, karena kalau dikatakan yang sebenarnya, akan berbuntut penjelasan yang panjang. "Oh gitu. Oya, Dek Hana tadi kenapa?""Tidak tahu, ya," jawabku dengan menaikkan kedua bahuku. "Apa aku tanya ke Santi?""Eh, tidak usah. Biar dia istirahat."
"Santi, kamu tidak bantu Mbak Fika. Main hape terus," celetuk Ibu yang membawa loyang berisi penuh kue semprit yang sudah siap packing. "Dia tidak main hape, Bu. Santi kerjakan pemasaran online," ucapku yang jalan di belakangnya sembari membawa loyang juga."Iya, Mbak Fika! Ibu suka sekali suudzon. Setiap aku pegang hape dibilang main," sahut Santi dengan mulut bersungut-sungut."Iya gimana, ya. Kalau di rumah tuh pegang hapeeee terus. Mulai duduk, kemudian nyender, dan akhirnya sambil tiduran. Malah. kadang-kadang tertawa sendiri! Ya gitu, Fika. Kelakuan adikmu, walaupun di rumah Ibu tidak ada temen ngomong," terang Ibu mencurahkan isi hatinya. "Ah, Ibu. Ngadu, ye.""Ibu bilang seperti itu, karena Ibu belum tahu, San." Aku mensejajari mertuaku ini, mengambil ponsel dan menunjukkan kepadanya. Aku bukakan instagram yang dari kemarin sudah di posting sebagian foto-foto. Follower sudah bertambah, bahkan ada beberapa yang mengajukan pertanyaan. Di biodata sudah dicantumkan link ke mark
Tepat sebelum magrib, Mas Farhan datang. Aku langsung menyambutnya seperti biasa, menyuguhkan senyum, walaupun hati masih was-was.Sebelumnya, aku sudah berpesan kepada Santi, jangan bertanya tentang kasus Dek Hana saat suamiku ini baru tiba. Ini sudah peraturan, siapapun yang baru masuk rumah tidak boleh dicecar pertanyaan ataupun kabar yang mengejutkan. Siapapun itu.Karena, orang yang baru datang biasanya emosi dan pikiran belum stabil, gampang tersulut bahkan bisa menjadi kesal. "Mas, makanan sudah aku siapakan. Akan makan sekarang?" ucapku setelah suamiku ini selesai sholat. "Masih belum lapar. Kalian kalau ingin makan, duluan saja," ucapnya terlihat berusaha biasa. Namun, sebagai istrinya aku mengerti, dia menahan sesuatu."Dek Hana sudah kasih kabar ke sini?" "Belum, Mas. Coba tanya Santi, mungkin dia kirim pesan," jawabku sambil mengekori dia yang ke luar kamar. Santi sudah bersiap di ruang tengah, walaupun nonton televisi terlihat tidak menikmati--chanelnya saja diganti-
Aku merasa ditampar dengan perkataan Mas Farhan. Tanpa aku sadari, aku mencoreng wibawa suamiku sendiri."Ingat, sekarang kalau siapapun yang memasang tulisan aneh, harus bilang kepada Mas. Siapapun itu! Mengerti Dek Fika? Mengerti Santi?" ucapnya mengarah kepadaku dan Santi.Kemudian, pandangan beralih ke Dek Hana, "Dan, kamu Dek Hana. Bersikaplah sesuai umurmu. Jangan seperti anak kecil. Mas tidak pantas menunjukkan mana yang benar dan tidak. Mas pikir, kamu sudah cukup pintar untuk menentukan sikap!"Mata mereka mulai berkaca-kaca. Aku yakin walaupun ada masalah, jauh di lubuk hati, mereka saling menyayangi sebagai saudara.****POV HanaDulu, hanya ada aku dan Mas Farhan. Sebagai anak bungsu, semua kasih sayang ditujukan kepadaku seorang, apalagi aku anak perempuan yang manis--kata mereka. Ayah yang sebagai kepala dinas memenuhi segala kebutuhanku. Hanya dengan tunjuk tangan saja, semua bisa aku dapatkan. Aku seperti putri dongeng yang dimanjakan.Apalagi, Mas Farhan yang sangat
Aku semakin benci dengan nasib yang menimpaku.Karena ayah sudah tidak ada, kami harus menyerahkan semua fasilitas dari kantor, mobil, dan termasuk rumah yang kami tempati ini. Untungnya, masih ada rumah yang sempat dibeli ayah, walaupun jauh sederhana daripada rumah sebelumnya.Sering kali aku meruntuki diri sendiri, kenapa aku tidak dilahirkan di keluarga yang kekayaannya tidak habis tujuh turunan? Kenapa hanya di keluarga yang langsung jatuh saat ayah tiada? Apalagi, ibu yang murni ibu rumah tangga, terbiasa menerima uang bulanan dari ayah. Kami benar-benar jatuh tuh sampai dasar. Mas Farhan lah yang memaksakan diri menggantikan ayah. Kesempatan sekolah di universitas negeri di Bandung, dia abaikan. Dia mengubur keinginannya menjadi sarjana teknik dan berakhir bekerja di bengkel. Penghasilan tidak seberapa, memaksa Mas Farhan bekerja dobel-dobel. Kebutuhan kami tidaklah sedikit, dua adik yang masih kecil dan aku harus masuk sekolah SMA. Kesal sekali saat itu. Harga diriku sepert
"Dek Fika, maafkan Mas, ya. Tadi Mas berkata keras kepadamu."Aku yang masih menelungkup menahan isakan tetap bergeming. Selama pernikahan kami, ini kali pertama suamiku berucap dengan nada tinggi kepadaku. Hati ini terasa sakit seakan tertoreh sembilu. Memang aku menerima ketidaktepatan sikapku itu, tetapi, seharusnya dia mengerti bagaimana posisiku saat itu.Seandainya aku mengadu ke dia, apakah masalah berhenti seketika? Mas Farhan akan marah. Sedangkan aku akan berakhir menjadi tukang adu saja--menyebabkan pertengkaran antara kakak dan adik. Adiknya yang menimbulkan masalah, kenapa aku yang terkena getahnya. Posisiku sebagai korban yang hanya diam tidak berontak apalagi menyerang balik. Masih terngiang jelas ucapan Mas Farhan. "Dengan kamu diam, masalah selesai? Tidak, kan? Malah semakin melebar dan semua orang tahu masalah kita. Yang membuat malu, semua orang mengerti kalau aku tidak becus mendidik dan memimpin kalian!"Ucapan itu memang benar, hak dia untuk menegurku, tet
Hari ini Santi tetap datang, tentunya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, ibu tidak ikut bersamanya. Dia bilang, ibu mertuaku ini ada arisan di kelurahan. Di usia beliau, memang berkumpul dengan orang banyak menjadi hiburan untuknya.Adik iparku ini juga mengirim kabar kalau di marketplace banyak respon positif, bahkan sudah ada pesanan yang masuk. Ini menambah lebar senyum kami. Semangat menjadi membara, ternyata masih ada harapan bagi kami untuk melanjutkan usaha ini.[Fika, aku dan Wiwin siang ini mampir ke rumahmu, ya][Tidak usah repot-repot. Siapkan saja, kopi, jajan, makan siang, dan bontotan]Pesan whatsapp masuk dari Nurul, ditutup emoticon tertawa terbahak-bahak. Memang, sahabatku itu suka bercanda. Walaupun mereka termasuk orang yang berhasil, tetapi tetap tidak malu bersahabat denganku. Nurul yang berhasil dengan toko bahan kue, dan Wiwin yang disibukkan menjadi istri pejabat.‘Pekerjaan harus aku selesaikan cepat, sebelum mereka datang.’Aku kembali ke aktifitasku se