"Dek Fika, maafkan Mas, ya. Tadi Mas berkata keras kepadamu."Aku yang masih menelungkup menahan isakan tetap bergeming. Selama pernikahan kami, ini kali pertama suamiku berucap dengan nada tinggi kepadaku. Hati ini terasa sakit seakan tertoreh sembilu. Memang aku menerima ketidaktepatan sikapku itu, tetapi, seharusnya dia mengerti bagaimana posisiku saat itu.Seandainya aku mengadu ke dia, apakah masalah berhenti seketika? Mas Farhan akan marah. Sedangkan aku akan berakhir menjadi tukang adu saja--menyebabkan pertengkaran antara kakak dan adik. Adiknya yang menimbulkan masalah, kenapa aku yang terkena getahnya. Posisiku sebagai korban yang hanya diam tidak berontak apalagi menyerang balik. Masih terngiang jelas ucapan Mas Farhan. "Dengan kamu diam, masalah selesai? Tidak, kan? Malah semakin melebar dan semua orang tahu masalah kita. Yang membuat malu, semua orang mengerti kalau aku tidak becus mendidik dan memimpin kalian!"Ucapan itu memang benar, hak dia untuk menegurku, tet
Hari ini Santi tetap datang, tentunya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, ibu tidak ikut bersamanya. Dia bilang, ibu mertuaku ini ada arisan di kelurahan. Di usia beliau, memang berkumpul dengan orang banyak menjadi hiburan untuknya.Adik iparku ini juga mengirim kabar kalau di marketplace banyak respon positif, bahkan sudah ada pesanan yang masuk. Ini menambah lebar senyum kami. Semangat menjadi membara, ternyata masih ada harapan bagi kami untuk melanjutkan usaha ini.[Fika, aku dan Wiwin siang ini mampir ke rumahmu, ya][Tidak usah repot-repot. Siapkan saja, kopi, jajan, makan siang, dan bontotan]Pesan whatsapp masuk dari Nurul, ditutup emoticon tertawa terbahak-bahak. Memang, sahabatku itu suka bercanda. Walaupun mereka termasuk orang yang berhasil, tetapi tetap tidak malu bersahabat denganku. Nurul yang berhasil dengan toko bahan kue, dan Wiwin yang disibukkan menjadi istri pejabat.‘Pekerjaan harus aku selesaikan cepat, sebelum mereka datang.’Aku kembali ke aktifitasku se
Bab 17. Rencana yang di Atas"Wah, teman-teman Mbak Fika, keren! Mereka baik dan perhatian," seru Fariz yang baru saja datang. Katanya, hari ini dia pulang kerja lebih awal karena pemiliknya ada hajatan. Adik iparku yang bungsu ini terkejut dengan bahan-bahan kue yang bertumpuk di ruang tengah. Apalagi, saat Santi menjelaskan itu hadiah dari Nurul dan Wiwin."Itu gunanya punya teman tajir. Sayangnya aku tidak punya. Sekelilingku hanya anak tongkrongan saja," celetuk Fariz, membuatku menghentikan langkah dan berbalik ke arah mereka. Aku menyeduh kopi hitam dua gelas dan kopi susu satu gelas, menaruh nampan dan meletakkan di meja tempat Fariz dan Santi sibuk dengan ponselnya."Duh adik-adik Mbak, rajin banget, ya," ucapku kemudian duduk di seberang mereka, menyodorkan kopi hitam untuk Fariz dan kopi susu untuk Santi. Sontak, mereka menghentikan aktifitas dan menoleh ke arahku sambil tersenyum menunjukkan giginya."Mbak Fika ini tahu benar kalau aku perlu kopi!" sambut Fariz langsung m
Aku mengernyitkan dahi, pesan Dek Arif yang terdengar aneh. Menawariku uang, sedangkan pas butuh uang tidak dipedulikan. Mungkin, dia mendapatkan rejeki kemudian ingin berbagi dengan saudaranya. 'Alhamdulillah,' ucapku dalam hati, walaupun masih merasa ada yang janggal. Kami memang tidak dilahirkan dari rahim yang sama, tetapi tetap dia adalah adikku satu-satunya. Ada darah ayah yang mengalir pada kami berdua. Ibupun, walaupun tiri, dia yang mengasuhku sejak aku kecil. Ibu yang melahirkan aku meninggal karena sakit. Memang, Ibu terkesan keras kepadaku, tetapi, itu aku anggap sebagai tempaan dalam membentuk kepribadian ini. Buktinya, aku menjadi wanita yang kuat saat ini, walaupun masih suka menangis.[Mbak Fika, bagaimana?"]Pesan kedua masuk, semakin membuatku heran. Ada yang menawari pinjaman dan terkesan memaksa. Aneh, kan?Otakku mencoba mencari jawaban, tetapi tidak ada yang masuk akal. "Mbak Fika .... Orang yang mengantar oven mau pamit." Suara Santi di balik pintu kamar.
"Mas, memang salah kalau aku mempunyai rasa kecewa? Aku tuh, seperti diangkat tinggi-tinggi kemudian dihempaskan." Aku mengadu ke Mas Farhan, tentunya setelah dia selesai membersihkan badan, makan malam, dan sholat isyak.Rasa yang tidak aku suka ini sudah terpendam dari tadi siang, semenjak selesai menerima telpon dari Dek Arif. Memang, gaya grafitasi itu ada. Semakin hati kita melambung, dan berakhir kecewa, sakitnya itu lebih terasa. Apalagi, sedari kecil ibu selalu menekankan aku untuk mengalah kepada adikku ini. Kepunyaanku harus berbagi dengan adik, tetapi milik Dek Arif tetaplah kepunyaan dia. Awalnya, aku anggap biasa saja. Namun, pernah saat masih sekolah dulu, aku merasa dianaktirikan oleh ibu. Memang tidak ada yang salah, karena ibuku yang sekarang ini memang ibu sambung.Mas Farhanlah, yang menjinakkan hatiku yang nyaris digerogoti kecemburuan kasih sayang ibu. Dia yang memberiku pengertian, bagaimanapun yang membesarkan aku adalah ibuku yang ada sekarang ini.Kejadian i
Bab 20. Doakan SajaAku menatap suamiku menunggu jawaban darinya. Wajah Mas Farhan seketika menunjukkan keseriusan, seakan memikirkan sesuatu."Bingung juga, Dek. Terakhir aku mendapat cerita dari Pak Prapto sebelah rumah ini. Dia juga seperti kita, dimintai tolong saudaranya. Eh, berakhir diteror penagih hutang karena yang sodara yang kredit itu nunggak. Sampai tidak bisa kerja dengan tenang, lo. Sehari bisa ditelpon sepuluh kali. Yang nelpon judes, lagi. Itu yang diceritakan Pak Prapto, ya. Nanti kita seperti itu tidak?""Kalau resikonya seperti itu, ya susah, Mas. Orang yang ngutang, kita yang dikejar. Bingung, aku. Diiyakan ada resikonya, ditolak nanti dia ngadu ke ibu. Tambah pusing aku. Mas, tahu ibu bagaimana, kan?" ucapku dengan memasang tampang bingung seperti dipersimpangan. "Sebenarnya, kalau ada tunggakan bukan tanggung jawab kita, Dek. Biasanya di sebut pihak ketiga. Tetapi, kita yang ditanyai kalau si penghutang tidak bisa dihubungi.""Ya itu, Mas. Sedangkan nomor ponse
Bisa saja aku mengandalkan Santi untuk membantuku di produksi, apalagi dia sudah mahir tentang per-kuker-an yang sudah dipelajari di sekolah. Namun, ini akan menyebabkan perhatiannya terbagi. Memang, dilihat dari kasat mata seperti yang ibu mertuaku bilang, dia hanya duduk sambil main ponsel dan komputer. Dia harus memegang pemasaran dan penjualan online.Seperti kemarin, orderan yang masuk seratus lebih perhari. Pastinya, dia menjawab percakapan di marketplace lebih dari seratus akun. Belum di media sosial yang netizen--sebutan masa kini--banyak bertanya di kolom komentar.Kadang, dia joget-joget sambil bawa produk dan berfoto gaya model makanan seperti di televisi. Semua ini untuk promosi yang disebut mereka konten-kontenan itu. Untuk yang ini, biasanya dikerjakan dengan Fariz, adiknya."Kalau joget jangan berlebihan, apalagi seperti ulat bulu. Semangat boleh, kebablasan jangan." Aku mengingatkan adik iparku ini saat dia menunjukkan contoh jogetan yang viral di tik-tok."Beres, Mba
"Mbak Fika. Sudah tahu tidak Mbak Hana bertengkar dengan Mas Rendra?""Memang, Rendra sudah kembali berlayarnya?" tanyaku balik. Rendra itu suami Dek Hana. Sebelum mereka menikahpun, aku sudah kenal dia. Rendra pernah satu kelas denganku saat SMA."Sudah, Mbak. Baru tiga hari. Nah, tadi malam Mbak Hana ke rumah, trus di susul Mas Rendra. Mereka bertengkar sampai ada kata-kata cerai gitu." Ucapan Santi sontak membuatku kaget. Kata itu menakutkan saat diucap oleh pasangan suami istri. Kalau khilaf bisa bahaya. Sering ada kasus, pasangan bertengkar dengan amarah yang membuncah. Kemudian sang istri menuntut cerai, dan karena emosi yang tidak stabil, sang suami menalaknya. Akhirnya, perceraian terjadi."Rendra ngomong gitu?!""Bukan, Mbak Fika. Mbak Hana yang bilang minta cerai. Tapi, Mas Rendra langsung pergi," jawab Santi kembali menjulurkan leher ke arah depan. Dian sesaat, kemudian mendekat kepadaku sambil berbisik kembali. "Tapi, ini rahasia, ya, Mbak." Kemudian, dia berjalan berjing