Bab 20. Doakan SajaAku menatap suamiku menunggu jawaban darinya. Wajah Mas Farhan seketika menunjukkan keseriusan, seakan memikirkan sesuatu."Bingung juga, Dek. Terakhir aku mendapat cerita dari Pak Prapto sebelah rumah ini. Dia juga seperti kita, dimintai tolong saudaranya. Eh, berakhir diteror penagih hutang karena yang sodara yang kredit itu nunggak. Sampai tidak bisa kerja dengan tenang, lo. Sehari bisa ditelpon sepuluh kali. Yang nelpon judes, lagi. Itu yang diceritakan Pak Prapto, ya. Nanti kita seperti itu tidak?""Kalau resikonya seperti itu, ya susah, Mas. Orang yang ngutang, kita yang dikejar. Bingung, aku. Diiyakan ada resikonya, ditolak nanti dia ngadu ke ibu. Tambah pusing aku. Mas, tahu ibu bagaimana, kan?" ucapku dengan memasang tampang bingung seperti dipersimpangan. "Sebenarnya, kalau ada tunggakan bukan tanggung jawab kita, Dek. Biasanya di sebut pihak ketiga. Tetapi, kita yang ditanyai kalau si penghutang tidak bisa dihubungi.""Ya itu, Mas. Sedangkan nomor ponse
Bisa saja aku mengandalkan Santi untuk membantuku di produksi, apalagi dia sudah mahir tentang per-kuker-an yang sudah dipelajari di sekolah. Namun, ini akan menyebabkan perhatiannya terbagi. Memang, dilihat dari kasat mata seperti yang ibu mertuaku bilang, dia hanya duduk sambil main ponsel dan komputer. Dia harus memegang pemasaran dan penjualan online.Seperti kemarin, orderan yang masuk seratus lebih perhari. Pastinya, dia menjawab percakapan di marketplace lebih dari seratus akun. Belum di media sosial yang netizen--sebutan masa kini--banyak bertanya di kolom komentar.Kadang, dia joget-joget sambil bawa produk dan berfoto gaya model makanan seperti di televisi. Semua ini untuk promosi yang disebut mereka konten-kontenan itu. Untuk yang ini, biasanya dikerjakan dengan Fariz, adiknya."Kalau joget jangan berlebihan, apalagi seperti ulat bulu. Semangat boleh, kebablasan jangan." Aku mengingatkan adik iparku ini saat dia menunjukkan contoh jogetan yang viral di tik-tok."Beres, Mba
"Mbak Fika. Sudah tahu tidak Mbak Hana bertengkar dengan Mas Rendra?""Memang, Rendra sudah kembali berlayarnya?" tanyaku balik. Rendra itu suami Dek Hana. Sebelum mereka menikahpun, aku sudah kenal dia. Rendra pernah satu kelas denganku saat SMA."Sudah, Mbak. Baru tiga hari. Nah, tadi malam Mbak Hana ke rumah, trus di susul Mas Rendra. Mereka bertengkar sampai ada kata-kata cerai gitu." Ucapan Santi sontak membuatku kaget. Kata itu menakutkan saat diucap oleh pasangan suami istri. Kalau khilaf bisa bahaya. Sering ada kasus, pasangan bertengkar dengan amarah yang membuncah. Kemudian sang istri menuntut cerai, dan karena emosi yang tidak stabil, sang suami menalaknya. Akhirnya, perceraian terjadi."Rendra ngomong gitu?!""Bukan, Mbak Fika. Mbak Hana yang bilang minta cerai. Tapi, Mas Rendra langsung pergi," jawab Santi kembali menjulurkan leher ke arah depan. Dian sesaat, kemudian mendekat kepadaku sambil berbisik kembali. "Tapi, ini rahasia, ya, Mbak." Kemudian, dia berjalan berjing
"Hana!" teriakan lain membuat kami berpaling ke arah pintu masuk secara bersamaan. Teriakan Dek Hana langsung terhentikan, setelah melihat siapa yang di sana."Mas Farhan," ucapku lirih tanpa tenaga. Suamiku berdiri ditengah pintu, wajahnya mengeras dengan mata yang menyiratkan amarah. Aku tidak pernah menemui sorot seperti itu selama ini. "Hana! Kamu semakin dibiarkan semakin melunjak, ya! Adik tidak tahu diri! Disayang malah menggigit! Kamu tidak tahu, bagaimana mbakmu ini memperjuangkanmu? Kenapa kami tidak sopan kepadanya?!" teriak Mas Farhan ke arah adiknya."Mas, aku tidak memintanya untuk memperjuangkan aku. Biaya sekolah? Biaya kuliah? Itu saja yang diungkit-ungkit. Dulu bayarnya saja telat-telat, gitu saja sok!""Hana! Kamu semakin kurang ajar, ya!" teriak Mas Farhan dengan tangan terkepal dan meninju tembok di sampingnya. Dia seperti kehabisan kata-kata untuk memberi tahu adiknya itu.Rendra yang sedari tadi berdiri, langsung menghampiri suamiku itu. Mencoba menenangkan dan
Aku mulai sesak napas, tanganku menggapai-gapai mencari pertolongan. Dan, sebuah tangan menggenggamku erat dan menarikku, membebaskan aku dari napas yang sesak."Dek Fika ... Dek. Bangun, Dek!""Astagfirullahaladzim," seruku setelah membuka mata. Ternyata aku bermimpi. Aku menatap tangan kananku yang dipegang erat oleh Mas Farhan, wajahnya menunjukkan kecemasan."Dek Fika, kamu mimpi? Tanganmu tadi seperti menggapai-gapai. Ini, sekarang minum dulu," ucapnya, kemudian membantuku untuk duduk, dan meletakkan bantal di punggungku."Kamu deman, Dek. Untung sekarang sudah tidak terlalu panas lagi," ucapnya setelah menyerahkan gelas berisi air putih."A-aku tertidur lama, Mas?" tanyaku setelah menajamkan mata ke arah jam dinding. Kepalaku masih terasa berat, aku menekan-nekan pelipis untuk mengurangi sakit kepala."Iya, Dek. Aku tadi sempat kompres kamu." Mas Farhan menatapku lekat, kemudian meraih tanganku kembali. Menepuk punggung tangan ini sambil berujar, "Maafkan Dek Hana, ya. Dia begit
Apa yang dikatakan Rendra seperti duri dalam ingatan. Aku tidak mungkin bersikap seperti biasa kepadanya. Jarak akan terbentang, apalagi diperparah dengan tuduhan Dek Hana kepadaku. Dulu saat SMA, aku terkenal sebagai perempuan yang cuek, tidak peduli dengan kehidupan remaja terutama cinta-cintaan. Bagiku itu hal yang membuang waktu, apalagi laki-laki sesekolahan tidak ada yang bersikap dewasa, menurutku. Namun lain saat bertemu Mas Farhan. Dia sosok yang menyita perhatianku. Dengan tanpa tahu malu, aku mengintipnya saat mengirim pesanan ibu. Cara bertuturnya sopan dan yang terlihat keren saat dia masih tetap tersenyum, walaupun baju sudah basah dengan keringat. Sejak itulah, tidak ada nama laki-laki lain selain Mas Farhan. Apalagi, teman sekolah yang masih ingusan seperti Rendra, saat itu.*Mas Farhan memegang janjinya, beberapa hari ini tidak menyebut nama Dek Hana. Begitu juga Santi, Fariz, dan anak-anak. Kami melakukan kegiatan seperti biasanya. Konsentrasi dengan pekerjaan t
Sekarang aku kembali ke hutan yang mengerikan itu. Namun, rasa takutku berkurang karena ada Mas Farhan di sampingku. Dia memapahku dan kami menuju gua yang sudah ada perapian kecil dari ranting pohon. "Tahan, ya. Ini hanya perih sedikit," ucap suamiku ini sambil tersenyum. Luka goresan saat aku berlari tadi ternyata tersebar di kaki dan tanganku. "Iiish. Perih," desisku menahan sakit, saat luka itu dibersihkan dan diobati. Tatapan dan senyum Mas Farhan yang teduh mengurangi rasa sakit ini. Pelan, dia merengkuhku ke dalam pelukannya dan berbisik, "Bersandarlah kalau itu membuatmu nyaman. Mas di sini untuk menemanimu."Aku tersenyum dan melingkarkan tangan di tubuhnya. Kami terdiam berbagi rasa dalam diam, tetapi, kenapa tangan ini merasa ada yang basah. Secepatnya aku mengurai pelukan dan memastikan apa yang ada di tanganku."Darah?! Mas, kamu berdarah!?" Mas Farhan hanya tersenyum seperti tadi, tidak ada kata yang terucap. Perlahan, sorot mata meredup dan tubuh terkulai dalam pelu
“Mas Farhan. E …,” ucapku menggantung karena keraguan. Inginnya tidak mau merusak hari dengan masalah itu. Namun, rasa penasaranku tidak tertahan lagi.“Ada apa? Bilang saja,” jawabnya sembari menampilkan senyuman."Survey untuk Dek Arif apa sudah, Mas?" tanyaku dengan rasa ragu masih menggelayut. "Sudah. Jangan kawatir, Istriku sayang.""Htss .... Mas, jangan keras-keras. Malu," ucapku lirih sambil menyenggol lengannya. Lega rasanya, ternyata pertanyaanku ditanggapi santai olehnya. "Gantian," ucapnya balik. Dia membalas kejahilanku saat di jalan tadi."Dua hari setelah dia telpon itu. Pertanyaannya gampang, kok. Cuma ditanya kenal apa tidak, hubungannya apa, rumah Dek Arif di mana, kerja apa. Gitu aja, kok. Aku juga sudah kasih tahu Dek Arif kalau sudah dihubungi.""Trus, Dek Arif sudah hubungi Mas Farhan lagi? Mungkin kreditnya disetujui atau tidak, gitu? Ini sudah dua minggu lebih," "Belum ada. Yah, semoga yang dia inginkan terpenuhi. Bisa menyenangkan Emak di sana," jaw