Aku mulai sesak napas, tanganku menggapai-gapai mencari pertolongan. Dan, sebuah tangan menggenggamku erat dan menarikku, membebaskan aku dari napas yang sesak."Dek Fika ... Dek. Bangun, Dek!""Astagfirullahaladzim," seruku setelah membuka mata. Ternyata aku bermimpi. Aku menatap tangan kananku yang dipegang erat oleh Mas Farhan, wajahnya menunjukkan kecemasan."Dek Fika, kamu mimpi? Tanganmu tadi seperti menggapai-gapai. Ini, sekarang minum dulu," ucapnya, kemudian membantuku untuk duduk, dan meletakkan bantal di punggungku."Kamu deman, Dek. Untung sekarang sudah tidak terlalu panas lagi," ucapnya setelah menyerahkan gelas berisi air putih."A-aku tertidur lama, Mas?" tanyaku setelah menajamkan mata ke arah jam dinding. Kepalaku masih terasa berat, aku menekan-nekan pelipis untuk mengurangi sakit kepala."Iya, Dek. Aku tadi sempat kompres kamu." Mas Farhan menatapku lekat, kemudian meraih tanganku kembali. Menepuk punggung tangan ini sambil berujar, "Maafkan Dek Hana, ya. Dia begit
Apa yang dikatakan Rendra seperti duri dalam ingatan. Aku tidak mungkin bersikap seperti biasa kepadanya. Jarak akan terbentang, apalagi diperparah dengan tuduhan Dek Hana kepadaku. Dulu saat SMA, aku terkenal sebagai perempuan yang cuek, tidak peduli dengan kehidupan remaja terutama cinta-cintaan. Bagiku itu hal yang membuang waktu, apalagi laki-laki sesekolahan tidak ada yang bersikap dewasa, menurutku. Namun lain saat bertemu Mas Farhan. Dia sosok yang menyita perhatianku. Dengan tanpa tahu malu, aku mengintipnya saat mengirim pesanan ibu. Cara bertuturnya sopan dan yang terlihat keren saat dia masih tetap tersenyum, walaupun baju sudah basah dengan keringat. Sejak itulah, tidak ada nama laki-laki lain selain Mas Farhan. Apalagi, teman sekolah yang masih ingusan seperti Rendra, saat itu.*Mas Farhan memegang janjinya, beberapa hari ini tidak menyebut nama Dek Hana. Begitu juga Santi, Fariz, dan anak-anak. Kami melakukan kegiatan seperti biasanya. Konsentrasi dengan pekerjaan t
Sekarang aku kembali ke hutan yang mengerikan itu. Namun, rasa takutku berkurang karena ada Mas Farhan di sampingku. Dia memapahku dan kami menuju gua yang sudah ada perapian kecil dari ranting pohon. "Tahan, ya. Ini hanya perih sedikit," ucap suamiku ini sambil tersenyum. Luka goresan saat aku berlari tadi ternyata tersebar di kaki dan tanganku. "Iiish. Perih," desisku menahan sakit, saat luka itu dibersihkan dan diobati. Tatapan dan senyum Mas Farhan yang teduh mengurangi rasa sakit ini. Pelan, dia merengkuhku ke dalam pelukannya dan berbisik, "Bersandarlah kalau itu membuatmu nyaman. Mas di sini untuk menemanimu."Aku tersenyum dan melingkarkan tangan di tubuhnya. Kami terdiam berbagi rasa dalam diam, tetapi, kenapa tangan ini merasa ada yang basah. Secepatnya aku mengurai pelukan dan memastikan apa yang ada di tanganku."Darah?! Mas, kamu berdarah!?" Mas Farhan hanya tersenyum seperti tadi, tidak ada kata yang terucap. Perlahan, sorot mata meredup dan tubuh terkulai dalam pelu
“Mas Farhan. E …,” ucapku menggantung karena keraguan. Inginnya tidak mau merusak hari dengan masalah itu. Namun, rasa penasaranku tidak tertahan lagi.“Ada apa? Bilang saja,” jawabnya sembari menampilkan senyuman."Survey untuk Dek Arif apa sudah, Mas?" tanyaku dengan rasa ragu masih menggelayut. "Sudah. Jangan kawatir, Istriku sayang.""Htss .... Mas, jangan keras-keras. Malu," ucapku lirih sambil menyenggol lengannya. Lega rasanya, ternyata pertanyaanku ditanggapi santai olehnya. "Gantian," ucapnya balik. Dia membalas kejahilanku saat di jalan tadi."Dua hari setelah dia telpon itu. Pertanyaannya gampang, kok. Cuma ditanya kenal apa tidak, hubungannya apa, rumah Dek Arif di mana, kerja apa. Gitu aja, kok. Aku juga sudah kasih tahu Dek Arif kalau sudah dihubungi.""Trus, Dek Arif sudah hubungi Mas Farhan lagi? Mungkin kreditnya disetujui atau tidak, gitu? Ini sudah dua minggu lebih," "Belum ada. Yah, semoga yang dia inginkan terpenuhi. Bisa menyenangkan Emak di sana," jaw
Ini memang tidak bisa disalahkan. Orang tua ingin melihat keadaan ekonomi anak-anaknya lebih baik dan mapan. Celakanya, menjadikan pandangan umum sebagai patokan. Biasanya menjadikan rumah bagus, mobil bagus, dan penampilan yang wah, menjadi tolok ukur keberhasilan, yang berimbas tuntutan untuk mengadakan padahal belum siap.Bukannya kami tidak mau mempunyai mobil, tetapi karena waktu dan kesempatan yang belum tepat. Aku tidak mau terjebak penampilan yang menyilaukan, sedangkan kenyataannya menyedihkan.Mungkin ibuku tidak tahu, mobil bagus Dek Arif itu kredit dengan cicilan setiap bulannya bernominal tidak sedikit. Menjadi beban berat di setiap bulannya. Itupun, untuk meloloskan meminta bantuan Mas Farhan untuk menjadi data pendukung.Seandainya, ibuku tahu.*Seiring bertambahnya usia, peran anak dan orang tua mulai berubah. Dahulu orang tua yang bertanggung jawab kepada anak. Namun saat orang tua mulai berusia senja, anak dituntut bisa 'ngemong' orang tua.Perbedaan cara pandang te
"Mbak hanya mengingatkan kamu untuk menghubungi Mas Farhan, bukan yang lain. Lebih baik uangnya kamu simpan untuk cicilan bulan depan. Kamu lebih membutuhkan daripada Mbak. Mbak memang tidak punya materi yang dibanggakan, tetapi ini sudah cukup."Iya, Mbak Fika. Maaf," jawab adikku ini, kemudian terdengar helaan napas darinya. Mungkin dia menyadari nadaku tadi terdengar lebih tinggi daripada biasanya. Aku tidak pernah berkata keras kepadanya. Mungkin dia kaget dengan reaksiku tadi."Nanti pakai nomorku saja, kalau Mas Farhan akan kredit mobil," ucapnya membuka percakapan baru."Tidak, Dek.""Kenapa? Apalagi Mas Farhan sekarang kerja proyek-proyek begitu. Kapan hari dia cerita. Itu butuh fasilitas yang menunjang penampilan, Mbak. Kalau naiknya sepeda motor, dapat kerjaan, ya, yang rumahan. Hasilnya tidak seberapa, hanya capek doang, dan gitu-gitu aja.""Mas Farhan bilang, dia tidak memerlukan itu," sanggahku tentang pendapatnya. Mana ada teori seperti itu."Mbak Fika, aku bilangin, ya.
POV FARHAN"Le .... Pak De tu, mengkawatirkan masa depanmu. Semenjak ayahmu meninggal, kamu tidak pernah memikirkan diri sendiri. Semua tanggung jawab dipundakmu. Ibumu, Hana, Santi, dan Fariz. Apa ada perempuan yang rela menjadi istrimu? Melihat bebanmu yang begitu berat ini."Itu kekawatiran Pakde Ji, kakak almarhum ayah. Dia sering menjenguk kami dengan membawa kebutuhan pokok seadanya, beras, minyak, dan bahan lauk yang awet. Walaupun Pakde Ji loyal kepada kami, aku tidak mungkin meminta bantuan kepadanya. Ini dikarenakan kehidupan secara ekonomipun juga tidak berlebih.Namun, keberadaan Pakde Ji ini menjadi pengganti sosok ayah yang sudah tiada. Aku, Hana, dan adik-adik sangat hormat kepadannya. Tak jarang dia memberi petuah, bahkan memarahi kami, tentunya karena kebandelan kami. Seperti yang dikatakan tadi, dia mengkawatirkan aku.Farhan yang dulu ketua Osis, siswa berprestasi, bahkan masuk ke perguruan tinggi negri tanpa tes, kebanggaan ini tidak berbekas setelah lulus SMA. Men
Terlebih, setelah mendengar penjelasan istriku lagi. Dia menyampaikan yang Santi ceritakan tentang Dek Hana yang menaruh rasa cemburu kepada istriku ini. Tanganku mengepal keras, entah aku marah kepada Dek Hana, Rendra, atau malah kepada istriku. Yang aku tahu, aku tidak suka dengan keadaan ini."Mas. Sebenarnya aku sudah tidak mau membahas tentang Dek Hana. Aku sudah tutup telinga, mata, mulut, dan kalau bisa hati. Tetapi, Dek Hana seperti mencari gara-gara denganku," ucapnya kemudian berhenti mengambil jeda untuk bernapas. Napasnya begitu tersengal dengan wajah mulai mengetat. "Aku marah, Mas. Maaf, walaupun dia itu adikmu. Aku tidak suka namaku diseret pada permasalahan mereka. Seakan Dek Hana mencari kambing hitam untuk disalahkan. Dia itu sudah cukup umur, tapi otaknya tidak jalan! Maaf, ya, Mas!""Maafkan Dek Hana, ya. Nanti aku bicara dengannya.""Aku juga tidak ingin dia menjadi janda di usia masih muda. Nanti dia nyesel." Dek Hana memegang kedua tanganku dan menatap dengan
“Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De
Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa
"Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku
Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m
"E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter
"Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha
"Karena itu Mas. Walaupun berat meninggalkan Dek Hana, saya harus berangkat berlayar. Apalagi setelah dedek bayi lahir memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada kesempatan kali ini, e ... saya minta bantuan Mas Farhan sekeluarga untuk menemani Dek Hana saat lahiran nanti," ucap Rendra menunjukkan tatapan memohon kepada Mas Farhan.Suamiku tersenyum, dengan tatapan teduh mulai bicara kembali. "Tanpa kamu mintapun, kami sekeluarga siap mendampingi Dek Hana, Ren. Namun, perlu kamu ingat nanti setelah anakmu lahir. Seorang anak tidak cukup diberi sandang, pangan, dan papan, tetapi dia butuh kasih sayang dan sosok seorang ayah. Didikan dari orang tua, tidak sekadar dijejali dengan materi. Ok, lah. Kalau kamu sekarang berangkat berlayar. Tetapi, Mas memberi pendapat, mulailah berpikir untuk bekerja dari rumah. Mendampingi keluargamu. Pengalaman kamu ke luar negeri bisa kamu aplikasikan di sini.""Iya, Mas. Saya juga sudah berpikir ke sana.""Tapi, Mas. Kalau Mas Rendra cari kerja di sini, u
Waktu terus berjalan, lantai dua di rumah produksi sudah terbangun. Bahkan Mas Farhan sudah berkantor di sana. Fariz pun mempunyai ruangan di lantai dua, mengerjakan yang dia cita-citakan. Sedangkan, aku dan Santi semakin sibuk di lantai satu.[Mbak Fika. Hari ini di rumah? Aku dan Rendra ingin mampir] Pesan whatsapp dari Dek Hana. Alhamdulillah, kandungan dia tidak ada masalah. Hubungan mereka sudah tidak terdengar riak lagi. Walaupun, kami jarang bertemu, tetapi Santi selalu menceritakan kabar mereka. Apalagi, ibu mertua mondar-mandir ke rumah Dek Hana, memastikan calon cucunya baik-baik saja.[Datang saja, Dek. Mas Farhan juga ada, kebetulan tidak ada rencana pergi] Balasan pesan whatsappku kepada Dek Hana.Tepat setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka berdua datang. Eh, bertiga bersama ibu mertua. Kami berkumpul di ruang tamu. Aku dan Santi menyiapkan makanan kecil dan minum teh hangat. Aku merasa, kedatangannya ini pasti mempunyai niat selain hanya sekadar berkunjung. Karena, in
Keesokan harinya, ponselku tidak berhenti berbunyi tanda panggilan atau pesan whatsapp yang masuk. Semuanya senada. Memberi selamat atas keberhasilan bisnisku.Tidak ketinggalan Mama, dia sudah menelponku tadi pagi. Banyak sekali wejangan yang aku terima. Intinya, supaya aku tidak cepat puas apalagi besar kepala."Ini baru anak Mama. Berani tampil ke depan. Mama juga sudah share artikel tentang kamu. Dan, sampai sekarang Mama kebanjiran kata selamat." Yang membuatku menitikkan air mata, saat Mama menyinggung orangtuaku. "Fika, kalau Bapak dan Ibumu masih hidup, pasti dia sangat bangga. Mempunyai putri yang berbuat lebih dan membantu orang lain. Mama sangat senang, diberi kesempatan menjadi ibu kamu, Fik."Berita tersebar ini karena berita di internet sudah muncul. Artikel tayang di situs pemerintahan daerah, dan media yang meliput pada hari kemarin. Bahkan, di media online terlihat angka puluhan pada tanda bagikan. Fariz tergopoh mendatangiku dengan wajah yang mewakili kata puas."M