Aku menatap wajah adikku dengan memasang tatapan rindu, kerinduan akan adikku Hana yang manis dulu. Kebersamaan kami dulu seperti terkikis, tertimpa dengan kesibukanku untuk bertahan hidup. Semenjak aku mengambil alih tanggung jawab keluarga, waktu luang tidak berpihak dan menjadi kebiasaan. Tak sadar, aku sudah lama tidak berdua seperti saat ini. Bersama adik yang dulu biasanya meletakkan kemanjaannya kepadaku.Dari menemui Rendra, aku langsung ke rumah mereka. Dek Hana tidak masuk kerja, dia bilang tidak enak badan. Pastilah, ini dikarenakan perselisihan mereka. Pertengkaran, sering kali tidak hanya menyakiti hati, tetapi badan pun terikut tidak sehat."Kenapa sih, Mas. Lihat aku terus? Aneh, tahu," celetuknya dengan mencembik. Ekspresi yang biasa ditampilkan dulu saat mulai merajuk."Adikku ini ternyata sudah besar, ya. Sudah bukan remaja lagi.""Ya iya, lah, Mas. Aku sudah berumur hampir tiga puluh tahun, sudah berkeluarga. Mas Farhan saya sudah tampang bapak-bapak. Sudah--""
"Bukan. Ini dari Mas sendiri. Dan, Mas sudah memastikan kalau suamimu tetap menunggumu, Dek." "Mas Farhan memihak Mas Rendra? Menyuruhku secepatnya punya anak juga?" ucap Dek Hana dengan wajah kembali seperti semula, kaku tanpa senyum. Malah, sudah terpercik kekesalan. Aku langsung meraih tangannya, menepuk punggung telapak sambil berkata, "Mas tidak memihak siapapun. Mas memihak pada kebahagiaan kalian, terutama dirimu, Dek. Coba, kalau kamu menunda lagi. Apakah kamu mau, anak kalian masih kecil sedangkan orang tuanya sudah tidak muda lagi. "Tapi, Mas. Masih banyak yang aku inginkan belum tercapai. Aku takut tidak---" "Dek Hana adikku. Kalau menuruti keinginan tidak akan pernah ada habisnya. Ikuti saja apa maumu, nikmati hidup tanpa pedulikan omongan atau penilaian orang lain." Dia seperti tercenung lama. Aku menarik tanganku, membiarkan dia menikmati es krim pada gelas kedua. Memberi ruang waktu untuknya untuk menelaah apa yang aku katakan. "Mas Farhan ...." Dek Hana memanggil
"Dek ... Dek Hana. Ayook bangun, Sayang." Suara Mas Farhan samar terdengar. Aku mengerjap mata, menajamkan penglihatanku. "Mas Farhan .... Sampainya sudah lama?" tanyaku kemudian membangunkan tubuh ini dari sofa. Ternyata aku tertidur di sini. Mataku melebar, di depanku sudah siap bungkusan nasi di atas piring dengan sendok disampingnya. Ada kerupuk kesukaanku juga, kerupuk keriting berwarna putih. "Temani aku makan. Maunya beli mie ayam Pak Tombong, tapi dia keburu habis. Jadinya nasi goreng," jelasnya sambil membukakan ikatan karet di kedua piring ini. Aroma sedap menguar dan menggelitik perutku yang tiba-tiba merasa lapar. Menunggu dengan hati resah menggerus makam malamku, tersisa bunyi krucuk menyambut nasi goreng yang masih panas ini. "Mas, sudah malam ini. Mas aja yang makan, aku temani saja," ucapku sambil menelan ludah. Hati ingin makan, tetapi melirik jam dinding yang hampir tengah malam, membuatku ragu. Bisa jadi jarum timbangan bergeser ke kanan kalau mengikuti ke
Sudah hampir dua bulan usaha kue kering ini berjalan. Aku, dan Santi sudah mendapatkan hasil yang lumayan. Begitu juga Fariz sebagai tenaga dadakan. Awalnya Fariz menolak, dengan alasan dia sekadar membantu. Namun, setelah aku jelaskan bahwa bagian dia sudah ada bagiannya, akhirnya dia menerima. Walaupun, berakhir dengan mentraktir kedua keponakannya.Setiap siang sampai sorepun sudah ada karyawan yang membantu. Awalnya hanya berniat untuk dipanggil saat kewalahan saja. Namun, dikarenakan order yang meluber memaksa mereka untuk datang setiap hari.Jualan di marketplace itu unik, dua kali sebulan setiap tanggal cantik dan akhir bulan ada promo gratis ongkir. Pada periode itulah, tombol checkout mulai riuh berdatangan. Untuk produk baru, aku memancing pembeli dengan menambah bonus potongan harga di setiap periode promo. Jadi pembeli mendapatkan keuntungan berlipat, free ongkir dan potongan harga untuk produk baru. Bulan ini aku mengulik kue kering putri salju. Khas kue lebaran yang b
"Ini tehnya, Mas." Aku mendudukkan diri di kursi seberang Mas Farhan. Dia yang sedang memegang ponsel, langsung meletakkan benda pipih itu di meja."Aku dapat pesan whatsapp dari Hana. Itu ada foto-foto mereka," ucapnya kemudian mengambil teh hangat dan disesapnya perlahan.Mataku membulat dan senyumpun terbit. Yang dikatakan suamiku ini merupakan kemajuan yang besar diantara keduanya. Sebelumnya, Mas Farhan dan Dek Hana jarang saling tukar kabar apalagi saling kirim foto. Akhirnya, mereka menjadi dekat kembali setelah kejadian malam itu.Suamiku mengambil ponsel, kemudian menunjukkan layar yang terlihat foto Dek Hana dan Rendra yang sedang berlibur di Bali. Senyuman mereka menandakan kebahagiaan, sisa-sisa permusuhan pun terkikis habis. Aku pun ikut merasa senang dengan kabar gembira ini.Setelah pertengkaran itu, mereka memutuskan untuk berbaikan bahkan merencanakan liburan di Pulau Dewata. Rendra pun mengundurkan jadwal pergi berlayar, dan Dek Hana mengambil cuti yang selama ini ti
Tertera lima belas menit kemudian dia mengirimku pesan kembali. Deg! Hati ini langsung diliputi rasa kecewa setelah membaca pesan Dek Arif. Yang tadinya sempat bungah, sekarang menjadi kebalikannya. Awalnya membaca pesan pertama, aku pikir Dek Arif sudah mulai perhatian dengan kakaknya ini, ternyata berujung seperti ini.[Mbak Fika. Ada uang satu juta? Hari ini aku jatuh tempo cicilan pertama. Uangku kurang segitu. Pinjam dong, nanti pas gajian aku ganti][Cicilan pertama tidak boleh telat. Nanti pengaruh pada performan. Transfer, ya. Aku tunggu. Thanks][Rek: *** *** **** Bank Central Asia, An. Arif Pratama]Yang dibilang penting itu ini?Baru cicilan pertama sudah membuat kelabakan. Sebenarnya aku juga ada, dan Mas Farhanpun pasti punya. Apalagi, akhir-akhir ini, dia mendapat proyek lumayan banyak. Memang tidak bernilai milyaran, tetapi, nominal tidak besar dan berjumlah lumayan. Kata Mas Farhan proyek kecil resikonya juga kecil. Lain halnya dengan yang besar. Bernilai ratusan j
Syukurlah, setelah mengambil air wudhu hatiku terasa dingin. Emosi yang meledak-ledak tadi mulai berkurang. Aku bisa merebahkan badan di ranjang, meluruskan punggung yang terasa tegang. Sesekali aku melihat ke arah ponsel. Sampai sekarang aku belum membalas pesan whatsapp Dek Arif. Bukan karena pelit atau tidak mau membantu, tetapi, sikap Dek Arif yang perhitungan dan seenaknya sendiri membuatku jengah.Sisi jahatku terdengar bersorak gembira. Mengolok-ngolok pada adikku itu. "Rasain kamu! Dulu sombong, dimintai tolong pinjam uang untuk makan saja tidak mau membantu. Malah pamer gaya hidup yang berlebihan. Anggap saja ini karma untukmu!" Lebih sadis lagi sisi jahat yang satunya. "Semoga kamu tidak bisa membayar cicilan mobil dan akhirnya mobil ditarik tukang kredit!"Kepala ini aku gelengkan keras-keras, mengusir pikiran-pikiran yang mengerikan ini. Kalau didengarkan, aku bisa tenggelam dalam kebencian dan itu bisa membusukkan hati. Benar, kata Mas Farhan. Sekarang waktunya aku me
Kesibukanku semakin bertambah dengan tambahnya produk baru, adonan dan oven seperti menyatu denganku. Tubuhku terikut beraroma kue kering. Saat tenggelam dalam kesibukan, sih, aku tidak mengingat hal lain selain pekerjaan. Berbeda saat rehat seperti ini. Kekesalan kejadian dengan Dek Arif masih menyisa.Inginnya melupakan, tetapi kenapa malah teringat kembali. Katanya, orang yang berbintang libra itu suka memendam perasaan, dan terlalu menimbang sesuatu secara berlebihan. Kalau ini bagaimana, kalau itu akibatnya apa? Itulah aku sekarang ini.Terkadang diam bukan berarti tidak tegas.Aku hanya menghindari perselisihan dengan Mama--panggilan untuk ibu yang sebelumnya Emak. Meskipun bukan yang melahirkan aku, tetapi hanya dia yang aku punya sebagai orang tua. Sudah dari dulu, saat aku menegur atau tidak sependapat dengan Dek Arif, Mama selalu menjadi ujung tombak. Kadang aku tidak mengerti apa yang disampaikan adikku itu kepadanya. Ketika aku diposisi benar, tetap saja salah dimata M