"Ini tehnya, Mas." Aku mendudukkan diri di kursi seberang Mas Farhan. Dia yang sedang memegang ponsel, langsung meletakkan benda pipih itu di meja."Aku dapat pesan whatsapp dari Hana. Itu ada foto-foto mereka," ucapnya kemudian mengambil teh hangat dan disesapnya perlahan.Mataku membulat dan senyumpun terbit. Yang dikatakan suamiku ini merupakan kemajuan yang besar diantara keduanya. Sebelumnya, Mas Farhan dan Dek Hana jarang saling tukar kabar apalagi saling kirim foto. Akhirnya, mereka menjadi dekat kembali setelah kejadian malam itu.Suamiku mengambil ponsel, kemudian menunjukkan layar yang terlihat foto Dek Hana dan Rendra yang sedang berlibur di Bali. Senyuman mereka menandakan kebahagiaan, sisa-sisa permusuhan pun terkikis habis. Aku pun ikut merasa senang dengan kabar gembira ini.Setelah pertengkaran itu, mereka memutuskan untuk berbaikan bahkan merencanakan liburan di Pulau Dewata. Rendra pun mengundurkan jadwal pergi berlayar, dan Dek Hana mengambil cuti yang selama ini ti
Tertera lima belas menit kemudian dia mengirimku pesan kembali. Deg! Hati ini langsung diliputi rasa kecewa setelah membaca pesan Dek Arif. Yang tadinya sempat bungah, sekarang menjadi kebalikannya. Awalnya membaca pesan pertama, aku pikir Dek Arif sudah mulai perhatian dengan kakaknya ini, ternyata berujung seperti ini.[Mbak Fika. Ada uang satu juta? Hari ini aku jatuh tempo cicilan pertama. Uangku kurang segitu. Pinjam dong, nanti pas gajian aku ganti][Cicilan pertama tidak boleh telat. Nanti pengaruh pada performan. Transfer, ya. Aku tunggu. Thanks][Rek: *** *** **** Bank Central Asia, An. Arif Pratama]Yang dibilang penting itu ini?Baru cicilan pertama sudah membuat kelabakan. Sebenarnya aku juga ada, dan Mas Farhanpun pasti punya. Apalagi, akhir-akhir ini, dia mendapat proyek lumayan banyak. Memang tidak bernilai milyaran, tetapi, nominal tidak besar dan berjumlah lumayan. Kata Mas Farhan proyek kecil resikonya juga kecil. Lain halnya dengan yang besar. Bernilai ratusan j
Syukurlah, setelah mengambil air wudhu hatiku terasa dingin. Emosi yang meledak-ledak tadi mulai berkurang. Aku bisa merebahkan badan di ranjang, meluruskan punggung yang terasa tegang. Sesekali aku melihat ke arah ponsel. Sampai sekarang aku belum membalas pesan whatsapp Dek Arif. Bukan karena pelit atau tidak mau membantu, tetapi, sikap Dek Arif yang perhitungan dan seenaknya sendiri membuatku jengah.Sisi jahatku terdengar bersorak gembira. Mengolok-ngolok pada adikku itu. "Rasain kamu! Dulu sombong, dimintai tolong pinjam uang untuk makan saja tidak mau membantu. Malah pamer gaya hidup yang berlebihan. Anggap saja ini karma untukmu!" Lebih sadis lagi sisi jahat yang satunya. "Semoga kamu tidak bisa membayar cicilan mobil dan akhirnya mobil ditarik tukang kredit!"Kepala ini aku gelengkan keras-keras, mengusir pikiran-pikiran yang mengerikan ini. Kalau didengarkan, aku bisa tenggelam dalam kebencian dan itu bisa membusukkan hati. Benar, kata Mas Farhan. Sekarang waktunya aku me
Kesibukanku semakin bertambah dengan tambahnya produk baru, adonan dan oven seperti menyatu denganku. Tubuhku terikut beraroma kue kering. Saat tenggelam dalam kesibukan, sih, aku tidak mengingat hal lain selain pekerjaan. Berbeda saat rehat seperti ini. Kekesalan kejadian dengan Dek Arif masih menyisa.Inginnya melupakan, tetapi kenapa malah teringat kembali. Katanya, orang yang berbintang libra itu suka memendam perasaan, dan terlalu menimbang sesuatu secara berlebihan. Kalau ini bagaimana, kalau itu akibatnya apa? Itulah aku sekarang ini.Terkadang diam bukan berarti tidak tegas.Aku hanya menghindari perselisihan dengan Mama--panggilan untuk ibu yang sebelumnya Emak. Meskipun bukan yang melahirkan aku, tetapi hanya dia yang aku punya sebagai orang tua. Sudah dari dulu, saat aku menegur atau tidak sependapat dengan Dek Arif, Mama selalu menjadi ujung tombak. Kadang aku tidak mengerti apa yang disampaikan adikku itu kepadanya. Ketika aku diposisi benar, tetap saja salah dimata M
"Lo, Dek Fika. Kamu di kamar? Pantas saja aku cari keliling tidak ada," teriak Mas Farhan setelah mendapatiku di kamar. Dia kemudian menutup pintu dan menendekatiku sambil berkata, "Di depan ada Bu Prapto.""Bu Prapto istri Pak Prato tetangga kita?" tanyaku sambil menunjukkan wajah heran."Iya. Dia mencari kamu, bareng sama teman-temennya. Tuh di depan lagi ngobrol dengan Santi.""Aku?""Iya. Mereka mau belanja kue. Kamu temani mereka, biar Santi siapkan kuenya."Aku mengernyitkan dahi. Tumben tetanggaku itu datang ke rumah ini. Dia terkenal tidak mau bergaul dengan orang sekitar, terutama yang biasa-biasa saja seperti aku ini. Kasak-kusuk tetangga lain, Bu Prapto ini hanya mau bergaul dengan orang yang dia pandang level tinggi. Dia tidak menjahati orang, hanya tidak mau membaur dan enggan bergabung dengan pengajian atau perkumpulan ibu-ibu di sini. Dan asumsi ini diperkuat dengan arisan di rumahnya yang sering membuat jalan di sini macet--mobil teman-temannya yang memenuhi jalanan.
"Mas, ternyata mereka tidak semenakutkan bayanganku." Aku melontarkan kata kepada Mas Farhan tentang ibu-ibu yang datang tadi sore. Bagiku, itu sesuatu yang mengejutkan, didatangi mereka bahkan membeli daganganku.Kami berbincang sebelum berangkat tidur, Lisa dan Fikripun sudah tertidur pulas. Disaat inilah, kami mempunyai waktu berdua untuk bertukar pikiran sembari menonton acara televisi. "Memang Dek Fika membayangkan apa?" tanya Mas Farhan sembari menerima teh yang aku sodorkan.Aku mendudukkan diri disofa sebelahnya, dan menghadap ke Mas Farhan yang menikmati acara tembang kenangan. "Terus terang. Dari penampilan mereka, aku merasa minder, Mas. Aku seperti upik abu dihadapan mereka. Bagai langit dan bumi.:Mas Farhan malah tertawa, kemudian menghadapkan diri kepadaku. "Kalau upik abu, sebentar lagi jadi Cinderella, dong.""Mas! Aku serius.""Mereka dandan seperti itu juga pas keluar rumah, Dek. Kalau di rumah, ya, biasa saja.""Walaupun keluar rumah, aku tidak seperti itu. Bias
"Mbak Fika, baru saja aku mau nyusul," ucap Santi setelah berteriak kaget. Aku yang membuka pintu, bersamaan dengan Santi yang juga membuka pintu akan ke luar rumah. Aku mengerutkan dahi, menerka apa penyebab dia akan menjemputku. "Mas Farhan tadi telpon, Mbak. Katanya penting. Sudah aku bilang kalau mungkin sebentar lagi datang, tapi tetap tidak sabar," jelas Santi. Dia menyodorkan ponsel yang dia genggam sedari tadi. Memang, aku ke rumah Jeng Risma tidak membawa ponsel, toh tidak akan lama. Pikirku begitu. Aku langsung membuka ponsel. Ada beberapa kali panggilan tak terjawab dari Mama, juga Mas Farhan. Sesaat sebelum pesan whatsapp yang berderet ini aku buka, masuk panggilan telpon dari Mas Farhan.Setelah menjawab salam, Mas Farhan berbicara, "Dek Fika, aku di jalan menuju pulang. Tenang, ya, Mas segera sampai."Ponsel menggelap, Mas Farhan terdengar terburu-buru menutup sambungan telpon ini. Sekarang, tersisa aku yang termangu kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. A
Sambil menatap dengan penglihatan yang masih buram aku bertanya, "Memang Dek Arif kenapa?"Mas Farhan tersenyum, kemudian menangkup tanganku. "Alhamdulillah. Istriku ini, walaupun kesal ternyata masih penuh rasa sayang kepada keluarganya.""Dek Arif kenapa, Mas?!" tanyaku sekali lagi, ingin menjawab rasa penasaran yang tadi tertunda.Mas Farhan menghela napas sebelum cerita, seakan mencari kata yang tepat untuk memulainya. "Dek Arif sekarang sudah stabil, begitu juga istrinya. Mereka mengalami kecelakaan mobil.""Ya, Allah. Trus?!" teriakku dengan mata membulat sempurna. Berita tentang kecelakaan selalu membuat kaget."Untungnya Mama dan si kecil tidak ikut. Mungkin karena ini, Mama panik. Di kota besar yang tidak ada sanak saudara." Memang, Mamaku itu gampang panikan. Aku tidak membayangkan keadaannya sekarang, anak yang diagung-agungkan mengalami kecelakaan."Keluarganya Dewi banyak, di sana," celetukku masih menyisakan kesal di hati. Hati jahatku masih mengutarakan kekesalan, 'Kala
“Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De
Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa
"Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku
Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m
"E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter
"Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha
"Karena itu Mas. Walaupun berat meninggalkan Dek Hana, saya harus berangkat berlayar. Apalagi setelah dedek bayi lahir memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada kesempatan kali ini, e ... saya minta bantuan Mas Farhan sekeluarga untuk menemani Dek Hana saat lahiran nanti," ucap Rendra menunjukkan tatapan memohon kepada Mas Farhan.Suamiku tersenyum, dengan tatapan teduh mulai bicara kembali. "Tanpa kamu mintapun, kami sekeluarga siap mendampingi Dek Hana, Ren. Namun, perlu kamu ingat nanti setelah anakmu lahir. Seorang anak tidak cukup diberi sandang, pangan, dan papan, tetapi dia butuh kasih sayang dan sosok seorang ayah. Didikan dari orang tua, tidak sekadar dijejali dengan materi. Ok, lah. Kalau kamu sekarang berangkat berlayar. Tetapi, Mas memberi pendapat, mulailah berpikir untuk bekerja dari rumah. Mendampingi keluargamu. Pengalaman kamu ke luar negeri bisa kamu aplikasikan di sini.""Iya, Mas. Saya juga sudah berpikir ke sana.""Tapi, Mas. Kalau Mas Rendra cari kerja di sini, u
Waktu terus berjalan, lantai dua di rumah produksi sudah terbangun. Bahkan Mas Farhan sudah berkantor di sana. Fariz pun mempunyai ruangan di lantai dua, mengerjakan yang dia cita-citakan. Sedangkan, aku dan Santi semakin sibuk di lantai satu.[Mbak Fika. Hari ini di rumah? Aku dan Rendra ingin mampir] Pesan whatsapp dari Dek Hana. Alhamdulillah, kandungan dia tidak ada masalah. Hubungan mereka sudah tidak terdengar riak lagi. Walaupun, kami jarang bertemu, tetapi Santi selalu menceritakan kabar mereka. Apalagi, ibu mertua mondar-mandir ke rumah Dek Hana, memastikan calon cucunya baik-baik saja.[Datang saja, Dek. Mas Farhan juga ada, kebetulan tidak ada rencana pergi] Balasan pesan whatsappku kepada Dek Hana.Tepat setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka berdua datang. Eh, bertiga bersama ibu mertua. Kami berkumpul di ruang tamu. Aku dan Santi menyiapkan makanan kecil dan minum teh hangat. Aku merasa, kedatangannya ini pasti mempunyai niat selain hanya sekadar berkunjung. Karena, in
Keesokan harinya, ponselku tidak berhenti berbunyi tanda panggilan atau pesan whatsapp yang masuk. Semuanya senada. Memberi selamat atas keberhasilan bisnisku.Tidak ketinggalan Mama, dia sudah menelponku tadi pagi. Banyak sekali wejangan yang aku terima. Intinya, supaya aku tidak cepat puas apalagi besar kepala."Ini baru anak Mama. Berani tampil ke depan. Mama juga sudah share artikel tentang kamu. Dan, sampai sekarang Mama kebanjiran kata selamat." Yang membuatku menitikkan air mata, saat Mama menyinggung orangtuaku. "Fika, kalau Bapak dan Ibumu masih hidup, pasti dia sangat bangga. Mempunyai putri yang berbuat lebih dan membantu orang lain. Mama sangat senang, diberi kesempatan menjadi ibu kamu, Fik."Berita tersebar ini karena berita di internet sudah muncul. Artikel tayang di situs pemerintahan daerah, dan media yang meliput pada hari kemarin. Bahkan, di media online terlihat angka puluhan pada tanda bagikan. Fariz tergopoh mendatangiku dengan wajah yang mewakili kata puas."M