Terima kasih sudah membaca cerita ini. Sebagai keluarga, jangan lupa untuk saling menguatkan, mengingatkan, dan selalu menyayangi.
[Dek Arif, bisa dipinjamkan uang lima ratus atau berapa saja? Untuk beli beras dan kebutuhan satu minggu. Minggu depan Mas Farhan baru dapat pembayaran, nanti aku transfer balik] Aku mengirim pesan w******p ke adikku, dia tinggal di Jakarta. Ini kali pertama aku meminta bantuan, mengirim pesan ini sungguh suatu keterpaksaan. Namun, bagaimana lagi, anak-anak butuh makan. Satu menit, lima menit, setengah jam, satu jam, belum ada balasan. Ponsel aku letakkan disampingku. Aku menunggunya sambil melipat baju sambil sesekali menilik benda pipih ini, dan sekarang sudah dua jam lebih, tidak ada balasan darinya. Pasti dia sibuk, kalau tidak punya uang tidak mungkin. Aku yakin, uang segitu tidak begitu besar baginya, yang masih memiliki satu orang anak balita. Kehidupan ekonominya cukup stabil dengan pekerjaan tetap sebagai manager di perusahaan terkemuka, lain dengan kami yang mengais rejeki tidak tetap. Dulu kami mempunyai warung dan pernah berjaya, namun banyaknya pengurangan tenaga ker
"Kamu tidak keberatan menikah denganku?Aku mempunyai banyak tanggungan. Aku kawatir tidak bisa membahagiakan kamu," ucap Mas Farhan sebelum memantapkan niat pernikahan kami. Dia sadar diri memiliki tiga adik yang menjadi tanggung jawab, Hana, Santi, dan Fariz. Mas Farhan menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal, dan itu dimulai saat dia masih SMA. Bahkan dia rela melepas kesempatan untuk kuliah di Bandung--Mas Farhan masuk di perguruan negeri tanpa tes--karena memilih tetap tinggal menggantikan tanggung jawab kepala keluarga. Aku sadar, ini tidak mudah bagiku saat menjawab kata iya, yang berarti aku harus rela berbagi suami dengan keluarganya. Meletakkan keegoan sebagai istrinya nanti. Jawabannya adalah cinta, dan dimantapkan dengan kepribadian Mas Farhan yang menyulitkan diriku untuk berpaling darinya. Aku yakin, menghabiskan hidup bersamanya menyempurnakan hidupku. Dia sabar, baik, dan pengertian. Yang membuat niatku semakin bulat, karena dia begitu sayang kepa
Syukurlah, dari hasil menggadaikan cincin, Mas Farhan pulang membawa beras lima kilo, minyak, telur, dan gula. Masih ada sisa untuk membeli kebutuhan lainnya yang dititipkan kepadaku. "Mas, untuk pegangan kamu?" tanyaku setelah dia memberikan catatan perincian, sisa uang, dan surat gadai. "Tidak usah, Dek. Kamu pegang semuanya saja. Bensin sudah terisi penuh, untuk apa lagi." "Buat jaga-jaga di jalan, Mas. Kalau lapar atau haus gimana?" "Makan sudah di rumah. Kalau pun keterusan sampai sore, Mas bisa tahan, kok. Jangan kawatir," jawabnya sambil menepuk bahuku. "Kalau begitu, kita makan dulu sebelum Mas berangkat." Beruntung suamiku bukan perokok, jadi tidak ada pengeluaran lebih. Dia hanya butuh bensin, makan pun jarang mau jajan di luar. Kalau dulu masih sibuk di warung, aku tidak kawatir. Namun, sekarang dia harus bekerja di luaran yang terkadang jauh dari rumah. "Assalamuaaikum!" "Waalaikumsalam!" sahutku dan suamiku bersamaan. Kedua anakku pulang dari sekolah--Fikri dan L
"Dua hari ini, Mas perhatikan Dek Fika sering melamun. Kalau rejeki jangan kawatir, ingat burung saja dijamin Allah, apalagi kita yang insyaallah selalu di jalan-Nya." "Tidak ada apa-apa, Mas," jawabku setelah menaruh teh tawar hangat di meja, dan duduk di samping Mas Farhan. Aku tidak mungkin mengatakan tentang pesan w******p dari Dek Hana. Ini hanya menambah beban pikiran suamiku, dan bisa jadi dia marah kepada adiknya. Iya kalau yang dimarahi terima, kalau tidak, dan mengadu ke Ibu mertua malah lebih gawat lagi. Ibu mertuaku mempunyai sakit jantung, dan kabar yang mengejutkan bisa membahayakan kesehatannya. Biarlah menjadi catatanku sendiri, hati ini memang sakit atas perlakuannya. Namun, dengan pasrah kepada-Nya dan mendoakan dia untuk sadar dan mengerti, itu membuat hatiku terasa lapang. Walaupun, ingatan itu masih lekat dan tidak bisa dilupakan, padahal pesan whatappsnya sudah aku hapus. Ini sebagai penanda kalau adik iparku ini keberatan kalau dimintai tolong. Aku tidak aka
"Ini dari Fariz?" tanya Mas Farhan menunjukkan raut wajah heran. Semangkuk mie ayam dobel porsi menggunung di hadapan suamiku. Fariz tahu benar kesukaan kakaknya, mie ayam dua porsi, tanpa bakso, dan tidak pakai kuah, karena dulu dia yang selalu mendapt tugas keluar untuk beli ini itu, terutama mie ayam Pak Tombong. "Iya. Tidak hanya itu, dia membawa beras juga." Sontak, Mas Farhan menatapku dengan kedua alis bertaut menandakan tidak mengerti bercampur heran. "Kemarin gajian pertamanya, trus dari tempat kerja mendapat beras, dan sebagian di bawa ke sini, ini," jelasku sambil menyodorkan segelas air putih. "Fariz ... Fariz ...." guman suamiku sambil menyuap mie ayam yang ditraktir adik bungsunya. Sekilas, tersirat senyum Mas Farhan. Mungkin perasaannya sama denganku tadi, terharu dan bahagia. Kami tidak mengharapkan balasan, apalagi materi. Cukup dengan perhatian dan kasih sayang, sudah membahagiakan. Seperti semangkuk mie ayam yang sedang dinikmati Mas Farhan. Sebenarnya, ta
---------- Memang salah kalau aku mempunyai standart hidup lebih? Rumah, mobil, dan kehidupan yang layak? Toh, aku usahakan sendiri. Tidak mengambil hak orang lain. Aku sudah mandiri sejak ayahku meninggal. Tidak ada pertolongan ataupun yang bersedia menanggung. Mandiri itu berdiri di atas kaki sendiri, ya, bukan malak sodara sendiri. --- Itu status f******k yang ditulis oleh Dek Hana Pada paragraf awal, tidak ada yang salah dengan keinginannya. Cita-cita untuk maju dan mengusahakannya. Aku pun senang kalau mempunyai adik ataupun ipar yang mempunyai kehidupan lebih baik. Kalau yang ditulis hanya paragraf awal, dengan senang hati aku akan berkata, "Aamiin". Namun, tulisan berikutnya apalagi terakhir membuatku mengernyitkan dahi. Dek Hana menyebutkan mandiri sejak ayah mertua meninggal, aku tidak bisa menyebut memenuhi apapun yang diminta saat dulu. Namun, dia tidak pernah kelaparan, ataupun putus sekolah saat tinggal bersama kami. Dia memang sedari SMA menyukai bisnis, k
"Beneran, Mbak? Aku mau!" teriak Santi dengan mata berbinar. Santi ini lulusan tata boga, aku pun suka memasak dan pernah mempunyai warung yang ramai, kami bisa bekerja sama dalam hal bisnis makanan. Nasib kami sama, aku yang gagal dalam bisnis online, begitu juga dia. Harapanku, kami bisa menyatukan keunggulan dan menghilangkan kelemahan. Dengan antusias Santi mengambil alat tulis di kamar Lisa, dan langsung bersiap merumuskan rencana kami. "Yang order tidak ada, Mbak. Orang sekitar sini keadaannya sama dengan kita. Penghasilan berkurang dan akhirnya ikutan jualan. Dan, akhirnya penjual lebih banyak daripada pembeli," keluh iparku ini dan aku mengangguk menyetujuinya. Sama kasusnya. "Masalahnya berarti pasar. Pembeli di sekitar kita berkurang, bahkan nyaris tidak ada," ucapku sambil mengetuk jari di meja. Kebiasaanku kalau sedang memeras otak. . . . "Kalau begitu kita harus memperluas jangkauan pasar. Tapi, bagaimana caranya?" gumamku sambil menatap Santi. "Jualan lewat mar
Hari ini, aku dan Santi memulai bisnis makanan. Pertama, kami memulai dari kue kering. Ini dengan pertimbangan bulan puasa dan lebaran yang sebentar lagi. Sekarang, waktu yang tepat mencari pelanggan.'Sederek Kitchen', nama yang kami pilih. Perpaduan dua bahasa, sederek bahasa Jawa artinya saudara dan kitchen bahasa Inggis yang artinya dapur. Ada rasa tradisional tetapi ada sentuhan istilah kekinian.Akupun sudah mantap, langsung menghubungi Mas Farhan dan mendapat jawaban, "Bagus. Semoga kalian berhasil."Santi juga begitu bersemangat, dia langsung melancarkan aksinya. Dia membuat akun facebook, instagram, tik-tok, dan tentunya marketplace. "Pokoknya, Mbak. Sederek Kitchen akan langsung dikenal banyak orang!" serunya dengan mata berbinar. Akupun mengambil bagianku, memulai menentukan produk dan segera eksekusi hari ini. Santi membutuhkan untuk pengambilan foto sebagai promosi."Santi, kamu di rumah saja. Mbak akan ke pasar beli bahan. Kalau mau makan, di kulkas ada makanan yang bis