Share

Bab 3. Prasangka

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-27 16:06:20

Syukurlah, dari hasil menggadaikan cincin, Mas Farhan pulang membawa beras lima kilo, minyak, telur, dan gula. Masih ada sisa untuk membeli kebutuhan lainnya yang dititipkan kepadaku.

 

"Mas, untuk pegangan kamu?" tanyaku setelah dia memberikan catatan perincian, sisa uang, dan surat gadai.

 

"Tidak usah, Dek. Kamu pegang semuanya saja. Bensin sudah terisi penuh, untuk apa lagi."

 

"Buat jaga-jaga di jalan, Mas. Kalau lapar atau haus gimana?"

 

"Makan sudah di rumah. Kalau pun keterusan sampai sore, Mas bisa tahan, kok. Jangan kawatir," jawabnya sambil menepuk bahuku.

 

"Kalau begitu, kita makan dulu sebelum Mas berangkat."

 

Beruntung suamiku bukan perokok, jadi tidak ada pengeluaran lebih. Dia hanya butuh bensin, makan pun jarang mau jajan di luar. Kalau dulu masih sibuk di warung, aku tidak kawatir. Namun, sekarang dia harus bekerja di luaran yang terkadang jauh dari rumah.

 

"Assalamuaaikum!"

 

"Waalaikumsalam!" sahutku dan suamiku bersamaan. 

Kedua anakku pulang dari sekolah--Fikri dan Lisa--mereka satu sekolah di SMP negeri. Untungnya mereka belum membutuhkan biaya yang besar, tetapi untuk Fikri ini yang menjadi beban pikiran. Dia sudah kelas tiga dan sebentar lagi masuk SMA. Memang, biaya masuk sekolah termasuk seragam kalau masuk sekolah negeri tidak sebesar sekolah swasta. Namun, dalam kondisi sekarang ini, itu cukup memberatkan. Itupun kalau lolos tes di sekolab negeri.

 

Setelah mereka cuci tangan, langsung mencium tangan kami bergantian. Mereka sudah cukup besar. Untuk ukuran anak remaja, mereka tidak mempunyai tuntutan berlebihan. Ponsel pun hanya cukup untuk keperluan sekolah, bukan merk ternama apalagi model terbaru.

 

"Makan dulu, Sayang. Ibuk sudah masak tahu telor kesukaan kalian. Tidak terlalu pedas dan ada kerupuknya juga," ucapku sambil membuka tudung saji. Aroma sambal kacang dan petis menguar menggugah selera makan. Kami berempat bersiap untuk makan siang.

 

"Tadi di sekolah kita bertemu Pakde Ji," celetuk Fikri sambil menunggu nasi yang aku ambilkan.

 

"Pakde masih titip makanan di kantin?" tanya Mas Farhan. Pakde Ji adik dari ayah mertua, sudah lama dia menitipkan makanan di kantin sekolah. Dulu sempat aku ingin mengikuti jejaknya, namun sudah penuh dan kantin sekolah belum bisa menerima tambahan penitip.

 

"Masih. Tadi kita diberi dua bungkus nasi goreng. Enak!" sahut Lisa, kemudian dia terdiam menatap kami bergantian, seperti ada yang ingin disampaikan, tapi ragu.

 

"E ... tadi Pakde Ji tanya ke Lisa. Setiap bulan diberi uang saku sama Tante Hana berapa? Trus, Lisa jawab tidak pernah dikasih. Trus Pakde Ji bilang, kok tidak pernah. Harusnya dia gantian bantu kakaknya. Sudah, nanti Pakde ngomong ke dia," jelas Lisa menirukan logat Pakdenya.

 

Aku menghela napas panjang, mengingat sifat keras Pakde Ji itu.

 

"Lisa salah, ya, Buk. Maaf, Lisa tidak mau bohong," ucap Lisa dengan kedua alis bertaut.

 

"Memang kenapa? Kamu kan tidak salah. Kenyataannya begitu, Kok. Tante Hana sudah lupa, sok sibuk, tidak pernah ke sini. Padahal, ke sini juga cuma satu jam saja. Dia merasa tidak selevel sama kita."

 

"Hus, Fikri! Tidak boleh berkata seperti itu. Itu namanya berburuk sangka!" ucapku tegas kepada anak pertamaku ini. Dia memang suka ceplas-ceplos kalau bicara.

 

"Memang gitu, kok. Fikri kadang iri sama teman-teman yang cerita dibelikan ini itu sama Om atau Tantenya. Kita kok tidak."

 

"Fikri ...."

 

"Iya, Buk! Om dan Tante mereka baik, sedangkan---" imbuh Lisa membenarkan ucapan kakaknya, tapi terpotong dengan panggilan ayahnya.

 

"Fikri, Lisa ...." ucap Mas Farhan yang sedari tadi diam, "jangan pernah mengukur kebaikan seseorang karena orang itu mampu memberikan sesuatu. Kadang, orang baik tidak mampu memberikan materi, tetapi, dia tulus mendoakan untuk kebaikan. Kalaupun ada orang yang menurut kita tidak tepat, lebih baik didoakan. Sekarang kita makan dulu, jangan bicara yang aneh-aneh, apalagi membicarakan keburukan orang." 

 

"Iya, Ayah," sahut mereka bersama-sama. 

Kak Farhan memang pembawaannya pendiam, makanya, anak-anak langsung menurut saat ayahnya berkata. Apalagi, yang dikatakan itu benar.

 

Kamipun makan bersama, walaupun di hati ini mulai gundah. Apalagi kalau bukan pertemuan anak-anak dengan Pakde Ji itu.

*

 

[Mbak, Lisa dan Fikri ngomong apa sama Pakde Ji?]

[Pakde Ji, telpon dan marah-marah] Pesan masuk dari Hana, iparku. Yang aku kawatirnya benar terjadi. Pasti Pakde Ji menegur iparku itu. Aku masuk ke kamar, sebelum membalas pesan, kawatir anak-anak melihat percakapan kami.

 

[Tadi mereka tidak sengaja bertemu di sekolah, Dek. Tadi juga mereka cerita] Balasku segera, dan langsung tertulis kata typing pertanda dia langsung membalasnya. Aku menunggu balasan darinya, tentunya dengan jantung yang berdegub tak biasa.

 

[Apa karena aku tidak memberi uang ke Mas Farhan, trus anak-anak ngadu ke Pakde Ji?]

[Kalau Mas Farhan kayaknya tidak, pasti Mbak Fika yang nyuruh, ya?]

[Jangan gitu dong, Mbak]

 

Deg!

Balasan yang langsung menghentikan detak jantung. Hatiku seketika nyeri, seperti tertusuk membaca pesan di layar ponsel. Dia yang sudah aku anggap adik sendiri, mampu berkata seperti ini.

 

Air mata menetes dengan sendirinya, tanpa isakan dan hanya pikiran yang kosong. Aku tidak mampu membalas apalagi menyela, tangan ini kehilangan tenaga seketika. Ponsel di tanganku ini, terlepas tanpa aku sadari.

Kok segitunya.

***

 

Bab terkait

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 4. Ternyata Masih Ada yang Ingat

    "Dua hari ini, Mas perhatikan Dek Fika sering melamun. Kalau rejeki jangan kawatir, ingat burung saja dijamin Allah, apalagi kita yang insyaallah selalu di jalan-Nya." "Tidak ada apa-apa, Mas," jawabku setelah menaruh teh tawar hangat di meja, dan duduk di samping Mas Farhan. Aku tidak mungkin mengatakan tentang pesan w******p dari Dek Hana. Ini hanya menambah beban pikiran suamiku, dan bisa jadi dia marah kepada adiknya. Iya kalau yang dimarahi terima, kalau tidak, dan mengadu ke Ibu mertua malah lebih gawat lagi. Ibu mertuaku mempunyai sakit jantung, dan kabar yang mengejutkan bisa membahayakan kesehatannya. Biarlah menjadi catatanku sendiri, hati ini memang sakit atas perlakuannya. Namun, dengan pasrah kepada-Nya dan mendoakan dia untuk sadar dan mengerti, itu membuat hatiku terasa lapang. Walaupun, ingatan itu masih lekat dan tidak bisa dilupakan, padahal pesan whatappsnya sudah aku hapus. Ini sebagai penanda kalau adik iparku ini keberatan kalau dimintai tolong. Aku tidak aka

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 5. Permintaan Maaf Santi

    "Ini dari Fariz?" tanya Mas Farhan menunjukkan raut wajah heran. Semangkuk mie ayam dobel porsi menggunung di hadapan suamiku. Fariz tahu benar kesukaan kakaknya, mie ayam dua porsi, tanpa bakso, dan tidak pakai kuah, karena dulu dia yang selalu mendapt tugas keluar untuk beli ini itu, terutama mie ayam Pak Tombong. "Iya. Tidak hanya itu, dia membawa beras juga." Sontak, Mas Farhan menatapku dengan kedua alis bertaut menandakan tidak mengerti bercampur heran. "Kemarin gajian pertamanya, trus dari tempat kerja mendapat beras, dan sebagian di bawa ke sini, ini," jelasku sambil menyodorkan segelas air putih. "Fariz ... Fariz ...." guman suamiku sambil menyuap mie ayam yang ditraktir adik bungsunya. Sekilas, tersirat senyum Mas Farhan. Mungkin perasaannya sama denganku tadi, terharu dan bahagia. Kami tidak mengharapkan balasan, apalagi materi. Cukup dengan perhatian dan kasih sayang, sudah membahagiakan. Seperti semangkuk mie ayam yang sedang dinikmati Mas Farhan. Sebenarnya, ta

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 6. Status F* Dek Hana

    ---------- Memang salah kalau aku mempunyai standart hidup lebih? Rumah, mobil, dan kehidupan yang layak? Toh, aku usahakan sendiri. Tidak mengambil hak orang lain. Aku sudah mandiri sejak ayahku meninggal. Tidak ada pertolongan ataupun yang bersedia menanggung. Mandiri itu berdiri di atas kaki sendiri, ya, bukan malak sodara sendiri. --- Itu status f******k yang ditulis oleh Dek Hana Pada paragraf awal, tidak ada yang salah dengan keinginannya. Cita-cita untuk maju dan mengusahakannya. Aku pun senang kalau mempunyai adik ataupun ipar yang mempunyai kehidupan lebih baik. Kalau yang ditulis hanya paragraf awal, dengan senang hati aku akan berkata, "Aamiin". Namun, tulisan berikutnya apalagi terakhir membuatku mengernyitkan dahi. Dek Hana menyebutkan mandiri sejak ayah mertua meninggal, aku tidak bisa menyebut memenuhi apapun yang diminta saat dulu. Namun, dia tidak pernah kelaparan, ataupun putus sekolah saat tinggal bersama kami. Dia memang sedari SMA menyukai bisnis, k

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 7. Berusaha Bangkit

    "Beneran, Mbak? Aku mau!" teriak Santi dengan mata berbinar. Santi ini lulusan tata boga, aku pun suka memasak dan pernah mempunyai warung yang ramai, kami bisa bekerja sama dalam hal bisnis makanan. Nasib kami sama, aku yang gagal dalam bisnis online, begitu juga dia. Harapanku, kami bisa menyatukan keunggulan dan menghilangkan kelemahan. Dengan antusias Santi mengambil alat tulis di kamar Lisa, dan langsung bersiap merumuskan rencana kami. "Yang order tidak ada, Mbak. Orang sekitar sini keadaannya sama dengan kita. Penghasilan berkurang dan akhirnya ikutan jualan. Dan, akhirnya penjual lebih banyak daripada pembeli," keluh iparku ini dan aku mengangguk menyetujuinya. Sama kasusnya. "Masalahnya berarti pasar. Pembeli di sekitar kita berkurang, bahkan nyaris tidak ada," ucapku sambil mengetuk jari di meja. Kebiasaanku kalau sedang memeras otak. . . . "Kalau begitu kita harus memperluas jangkauan pasar. Tapi, bagaimana caranya?" gumamku sambil menatap Santi. "Jualan lewat mar

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-27
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 8. Bom Waktu

    Hari ini, aku dan Santi memulai bisnis makanan. Pertama, kami memulai dari kue kering. Ini dengan pertimbangan bulan puasa dan lebaran yang sebentar lagi. Sekarang, waktu yang tepat mencari pelanggan.'Sederek Kitchen', nama yang kami pilih. Perpaduan dua bahasa, sederek bahasa Jawa artinya saudara dan kitchen bahasa Inggis yang artinya dapur. Ada rasa tradisional tetapi ada sentuhan istilah kekinian.Akupun sudah mantap, langsung menghubungi Mas Farhan dan mendapat jawaban, "Bagus. Semoga kalian berhasil."Santi juga begitu bersemangat, dia langsung melancarkan aksinya. Dia membuat akun facebook, instagram, tik-tok, dan tentunya marketplace. "Pokoknya, Mbak. Sederek Kitchen akan langsung dikenal banyak orang!" serunya dengan mata berbinar. Akupun mengambil bagianku, memulai menentukan produk dan segera eksekusi hari ini. Santi membutuhkan untuk pengambilan foto sebagai promosi."Santi, kamu di rumah saja. Mbak akan ke pasar beli bahan. Kalau mau makan, di kulkas ada makanan yang bis

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-08
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 9. Kangen Makan Bareng

    "Mbak Fika! Aku ada ide. Pokoknya keren, deh!" teriak Santi. Dia yang duduk di teras langsung beranjak berlari menyambut, mengambil tas belanjaan. "Fariz nanti sore ke sini, Mbak. Dia bantuin foto. Boleh, ya?" Aku menoleh ke arahnya, terpancar semangat yang membuatku tersenyum senang. Fariz adik Mas Farhan paling bungsu. "Bolehlah, semakin banyak yang membantu, semakin semangat."Sampai aku masuk ke ruang belakang, tak henti-hentinya dia bicara. Tentang Fariz yang menghubungi dia, dan tercetus ide membuat logo kemasan sampai bagaimana pengambilan foto yang menarik.Memang, Fariz dulu pernah ikut extrakurikuler fotografi dengan fasilitas kamera dari sekolah. Untuk hal ini, dia sudah biasa.Jualan online, memang harus kuat di visual. Memanjakan mata dan menggelitik pelihat penasaran. Gambar mewakili produk dan bikin ngiler yang melihat. Pastinya, ini ditujukan supaya pengunjung lapak memencet kolom check-out.Sederek Kitchen, mengusung makanan tradisional kekinian. Rencananya, setiap

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-08
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 10. Kedatangan Ibu Mertua

    [Mbak Fika, tadi Mbak Hana tanya-tanya tentang Mbak Fika dan Mas Farhan. Masih marah atau tidak][Aku jawab, tidak.][Aku bilang juga Mbak Fika tahu status di FBnya. Aku marah ke dia, eh malah dia marah balik][Kesel, aku, Mbak][Kok ada orang seperti itu] Pesan whatsapp dari Santi masuk bertubi-tubi, kelihatan sekali dia kesal. Aku menunggunya dia selesai mengirim pesan, baru aku menulis balasan.[Sabar, San. Mungkin dia ada masalah pekerjaan. Nanti kalau sudah reda, pasti tidak begitu lagi. Didoakan saja, ya][Ih, Mbak Fika. Telpon dia saja, Mbak. Marahin supaya tidak nglunjak]"Siapa, Dek?" Pertanyaan Mas Farhan membuatku kaget. Aku langsung menaruh ponsel di atas nakas. "Santi, Mas. Nanya kerjaan," jawabku berbohong. Bingung aku mau jawab apa, karena kalau dikatakan yang sebenarnya, akan berbuntut penjelasan yang panjang. "Oh gitu. Oya, Dek Hana tadi kenapa?""Tidak tahu, ya," jawabku dengan menaikkan kedua bahuku. "Apa aku tanya ke Santi?""Eh, tidak usah. Biar dia istirahat."

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-08
  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 11. Toh Kita Tidak Salah

    "Santi, kamu tidak bantu Mbak Fika. Main hape terus," celetuk Ibu yang membawa loyang berisi penuh kue semprit yang sudah siap packing. "Dia tidak main hape, Bu. Santi kerjakan pemasaran online," ucapku yang jalan di belakangnya sembari membawa loyang juga."Iya, Mbak Fika! Ibu suka sekali suudzon. Setiap aku pegang hape dibilang main," sahut Santi dengan mulut bersungut-sungut."Iya gimana, ya. Kalau di rumah tuh pegang hapeeee terus. Mulai duduk, kemudian nyender, dan akhirnya sambil tiduran. Malah. kadang-kadang tertawa sendiri! Ya gitu, Fika. Kelakuan adikmu, walaupun di rumah Ibu tidak ada temen ngomong," terang Ibu mencurahkan isi hatinya. "Ah, Ibu. Ngadu, ye.""Ibu bilang seperti itu, karena Ibu belum tahu, San." Aku mensejajari mertuaku ini, mengambil ponsel dan menunjukkan kepadanya. Aku bukakan instagram yang dari kemarin sudah di posting sebagian foto-foto. Follower sudah bertambah, bahkan ada beberapa yang mengajukan pertanyaan. Di biodata sudah dicantumkan link ke mark

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-10

Bab terbaru

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 71. Balasan yang Kami Harapkan

    “Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 70. Jangan Berucap Kata Hanya

    Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 69. Lega Rasanya

    "Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 68. Balas Dendam

    Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 67. Kepepet

    "E ... anu, Mas. Dek Arif--.""Kenapa dia?" sahut Mas Farhan memotong ucapanku. Aku tersenyum melihat reaksinya. Dia ini memang kakak sejati, apapun yang menyangkut adik-adiknya langsung ditanggapi serius. Seperti kepada Dek Arif ini, walaupun status adik ipar bagi Mas Farhan."Dek Arif ingin pinjam uang. Katanya banyak kebutuhan," jawabku, kemudian menunggu jawaban Mas Farhan yang berdiam sesaat. Pandangannya tertuju kepada telivisi, tetapi aku tahu dia memikirkan apa yang aku sampaikan."Kalau ada uangnya, kasih saja, Dek," ucap Mas Farhan setelah menoleh ke arahku. Aku mengernyitkan dahi, seperti tidak menerima yang dia katanya. Masak tanggapannya, kasih saja. Seperti tidak ada pendapat lain. Aku seperti dikesampingkan, harusnya dia bicara banyak seperti dia menanggapi Dek Hana. Kalau seperti ini, sama saja dia membiarkan aku menyelesaikan sendiri.Pikiranku mulai berkecamuk, rasa tidak puas lebih mendominasi. Ada rasa kesal mulai terpercik. "Kalau dia kirim pesan pinjam uang ter

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 66. Janji Rendra

    "Anak-anak ini harus dicereweti terus. Mereka memang sudah besar, tetapi kita tidak boleh bosan mengingatkan terus," ucap Mas Farhan.Adik-adik beserta ibu mertua, sudah pulang. Dia memang memposisikan diri sebagai orang tua, sampai menyebut adiknya anak-anak. Perlakuannya juga tidak berbeda dengan orang tua terhadap anaknya. Kami selesai salat berjamaah. Fikri dan Lisa langsung masuk ke kamar masing-masing, dan sekarang tertinggal kami berdua. Duduk santai sembari menikmati tontonan televisi."Rendra jadi berangkat?" tanyaku, karena tadi tidak mengikuti akhir pembicaraan. Siapa tahu setelah diberi wejangan, dia menyurutkan niat."Tetap berangkat. Wong semua persyaratan, ijin, dan jadwal sudah dirilis. Ya, harus berangkat," jawab Mas Farhan sembari berdecak. Seperti menyayangkan keputusan mereka itu. "Tapi, Rendra janji. Ini kali terakhir dia berangkat. Dia akan fokus kepada pertumbuhan anaknya.""Trus Dek Hana, boleh?" tanyaku tidak sabar. Aku memiringkan tubuhku menghadap Mas Farha

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 65. Ada saja

    "Karena itu Mas. Walaupun berat meninggalkan Dek Hana, saya harus berangkat berlayar. Apalagi setelah dedek bayi lahir memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada kesempatan kali ini, e ... saya minta bantuan Mas Farhan sekeluarga untuk menemani Dek Hana saat lahiran nanti," ucap Rendra menunjukkan tatapan memohon kepada Mas Farhan.Suamiku tersenyum, dengan tatapan teduh mulai bicara kembali. "Tanpa kamu mintapun, kami sekeluarga siap mendampingi Dek Hana, Ren. Namun, perlu kamu ingat nanti setelah anakmu lahir. Seorang anak tidak cukup diberi sandang, pangan, dan papan, tetapi dia butuh kasih sayang dan sosok seorang ayah. Didikan dari orang tua, tidak sekadar dijejali dengan materi. Ok, lah. Kalau kamu sekarang berangkat berlayar. Tetapi, Mas memberi pendapat, mulailah berpikir untuk bekerja dari rumah. Mendampingi keluargamu. Pengalaman kamu ke luar negeri bisa kamu aplikasikan di sini.""Iya, Mas. Saya juga sudah berpikir ke sana.""Tapi, Mas. Kalau Mas Rendra cari kerja di sini, u

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 64. Permohonan Rendra

    Waktu terus berjalan, lantai dua di rumah produksi sudah terbangun. Bahkan Mas Farhan sudah berkantor di sana. Fariz pun mempunyai ruangan di lantai dua, mengerjakan yang dia cita-citakan. Sedangkan, aku dan Santi semakin sibuk di lantai satu.[Mbak Fika. Hari ini di rumah? Aku dan Rendra ingin mampir] Pesan whatsapp dari Dek Hana. Alhamdulillah, kandungan dia tidak ada masalah. Hubungan mereka sudah tidak terdengar riak lagi. Walaupun, kami jarang bertemu, tetapi Santi selalu menceritakan kabar mereka. Apalagi, ibu mertua mondar-mandir ke rumah Dek Hana, memastikan calon cucunya baik-baik saja.[Datang saja, Dek. Mas Farhan juga ada, kebetulan tidak ada rencana pergi] Balasan pesan whatsappku kepada Dek Hana.Tepat setelah menyelesaikan pekerjaan, mereka berdua datang. Eh, bertiga bersama ibu mertua. Kami berkumpul di ruang tamu. Aku dan Santi menyiapkan makanan kecil dan minum teh hangat. Aku merasa, kedatangannya ini pasti mempunyai niat selain hanya sekadar berkunjung. Karena, in

  • Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi   Bab 63. Dikejar Orderan

    Keesokan harinya, ponselku tidak berhenti berbunyi tanda panggilan atau pesan whatsapp yang masuk. Semuanya senada. Memberi selamat atas keberhasilan bisnisku.Tidak ketinggalan Mama, dia sudah menelponku tadi pagi. Banyak sekali wejangan yang aku terima. Intinya, supaya aku tidak cepat puas apalagi besar kepala."Ini baru anak Mama. Berani tampil ke depan. Mama juga sudah share artikel tentang kamu. Dan, sampai sekarang Mama kebanjiran kata selamat." Yang membuatku menitikkan air mata, saat Mama menyinggung orangtuaku. "Fika, kalau Bapak dan Ibumu masih hidup, pasti dia sangat bangga. Mempunyai putri yang berbuat lebih dan membantu orang lain. Mama sangat senang, diberi kesempatan menjadi ibu kamu, Fik."Berita tersebar ini karena berita di internet sudah muncul. Artikel tayang di situs pemerintahan daerah, dan media yang meliput pada hari kemarin. Bahkan, di media online terlihat angka puluhan pada tanda bagikan. Fariz tergopoh mendatangiku dengan wajah yang mewakili kata puas."M

DMCA.com Protection Status