Beranda / Pernikahan / Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi / Bab 4. Ternyata Masih Ada yang Ingat

Share

Bab 4. Ternyata Masih Ada yang Ingat

"Dua hari ini, Mas perhatikan Dek Fika sering melamun. Kalau rejeki jangan kawatir, ingat burung saja dijamin Allah, apalagi kita yang insyaallah selalu di jalan-Nya."

 

"Tidak ada apa-apa, Mas," jawabku setelah menaruh teh tawar hangat di meja, dan duduk di samping Mas Farhan. 

 

Aku tidak mungkin mengatakan tentang pesan w******p dari Dek Hana. Ini hanya menambah beban pikiran suamiku, dan bisa jadi dia marah kepada adiknya. Iya kalau yang dimarahi terima, kalau tidak, dan mengadu ke Ibu mertua malah lebih gawat lagi. Ibu mertuaku mempunyai sakit jantung, dan kabar yang mengejutkan bisa membahayakan kesehatannya.

 

Biarlah menjadi catatanku sendiri, hati ini memang sakit atas perlakuannya. Namun, dengan pasrah kepada-Nya dan mendoakan dia untuk sadar dan mengerti, itu membuat hatiku terasa lapang. Walaupun, ingatan itu masih lekat dan tidak bisa dilupakan, padahal pesan whatappsnya sudah aku hapus.

 

Ini sebagai penanda kalau adik iparku ini keberatan kalau dimintai tolong. Aku tidak akan mengijinkan suamiku mengulangi permintaan seperti kemarin. 

 

"Tuh, kan. Melamun lagi. Ada apa, Dek?" Pertanyaan Mas Farhan mengagetkan aku. Aku mengeratkan pengangan pada nampan, mencari ide pengalihan perhatian suamiku ini.

 

"Ti-tidak ada apa-apa, Mas. Beneran. Cu-cuma ada yang aku pikirkan."

 

"Apa?"

 

"E .... Aku ingin buka warung lagi, Mas."

Mas Farhan tersenyum, rasa curiga yang tersirat di wajahnya sirna. Aku merasa lega.

 

"Itu juga aku pikirkan, Dek. Bahkan kemarin sengaja lewat sana, ternyata sudah ada pengontrak baru."

 

"Oh, gitu."

 

"Jangan kecewa, ya. Nanti kita pikirkan jalan keluarnya. Yang penting, Dek Fika jangan pikir yang aneh-aneh. Doakan Mas supaya mendapat jalan yang tepat," ucap suamiku sambil menepuk bahuku, merangkul dan mendekatkan ke tubuhnya. 

 

Rasa hangat mengurai kegelisaan hati. Bersama suamiku ini, aku percaya semua akan baik-baik saja. 

 

Mas Farhan mencium keningku kemudian berkata, "Yang pasang pagar kemarin, jadi menambah pesanan. Dia akan pasang railing untuk lantai dua dan tiga. Mas masih nunggu deposit. Sabar, ya. Rejeki itu sudah diatur. Kadang kita menginginkan A, ternyata tidak diloloskan. Itu karena apa? Karena Allah sudah menyiapkan rencana yang terindah dan tertepat."

 

"Iya, Mas. Aku paham," jawabku sambil mengangkat dagu, menatap sorot mata suamiku ini yang menyejukkan. Kami tersenyum bersama dan saling mengeratkan pelukan. Seperti berbagi beban, rasa gundah yang aku alami mulai menguap.

*

 

Serpihan hati yang sempat terburai, mulai utuh kembali. Aku berusaha memalingkan pikiran hanya kepada keluarga, suami dan anak-anak. 

 

Pekerjaan Mas Farhan mulai dikenal orang, pelanggan yang memesan pagar itu akhirnya menambah pekerjaan seperti rencana awalnya. Bahkan, dia mempromosikan kepada teman dan tetangga perumahan.

 

Amanah, itu yang selalu ditekankan Mas Farhan sehingga pelanggan menyukainya.

 

"Rejeki itu tidak hanya berbentuk uang atau materi lainnya, namun juga kepercayaan dari orang lain. Oklah, memang pekerjaan yang Mas terima baru satu dan dua. Itupun dalam waktu mingguan, tetapi, insyaallah akan bertambah pelan-pelan. Seperti naik tangga, satu per satu dan yakin pasti ke atas," jelas suamiku dengan yakin.

 

"Iya, Mas. Aku percaya dan yakin, kok. ApalagI, Mas Farhan aku lihat sibuk mengajukan penawaran pekerjaan. Semoga rejeki Mas semakin berlimpah."

 

"Ini rejeki kita, Dek. Rejeki istriku ini dan anak-anak. Semua yang melalui Mas, itu ada bagian dari kalian yang dititip melalui Mas."

 

Hatiku menghangat mendengar penjelasan Mas Farhan. Memang, aku tidak salah memilih suami. Dia memang orang baik dan selalu mengajakku untuk berpikir positif.

 

"Aku berangkat, ya."

 

"Mas, ini hari minggu. Setiap hari aku sendirian di rumah. Mas pergi, Lisa dan Fikri sekolah. Aku ingin--," protesku merasa kehilangan kebersamaan kami ini. Inginku, kami bisa berkumpul secara lengkap--aku, suami, dan anak-anak. 

 

"Jangan ngambek," ucapnya sambil mencubit pipiku, "mas ada janji ketemu pelanggan yang kalau hari aktif dia kerja. Hanya hari minggu kesempatannya. Mas pasti cepet pulang, kok."

 

"Jangan lama-lama," bisikku setelah mencium tanggannya. Aku mengantar Mas Farhan seperti biasanya. 

 

Aku mengedarkan pandangan di halaman, pohon mangga yang tinggi menaungi dan sinar matahari menyelusup disela dedaunan. Tanah ini dulu tidak terlalu mahal, makanya kami mendapatkan tanah yang cukup luas. Walaupun terletak agak dipinggir kota, namun bisa dikatakan dekat kemana-mana. Kanan-kiri masih banyak sawah terbentang dan menjadi penghasil udara yang sejuk. 

 

Dulu Mas Farhan memang merencanakan membangun rumah lagi di depannya, dan rumah yang kami tempati sekarang ini sebagai rumah sementara. Karenanya, bangunan rumah ini dibangun mepet di belakang. Menyisakan halaman yang cukup luas, terlalu luas malah.

 

Rencana tinggal rencana, tabungan yang dikumpulkan lambat laun tidak bertambah, malah habis tanpa sisa. 

 

Suara sepeda motor berhenti di depan pagar, aku menoleh ke sana, menajamkan pandangan memastikan siapa yang datang. Pagar yang tidak tinggi, membuatku leluasa melihay siapa yang datang.

 

"Assalamualaikum, Mbak Fika!" seru sosok yang memarkir motor. 

 

Itu Fariz, adik bungsu Mas Farhan. Dulu juga pernah tinggal di rumah ini dan sekolah sampai lulus STM saja. Setelah lulus, dia sempat menganggur dan kembali ke rumah ibu mertua, dan syukurlah sudah mendapat pekerjaan satu bulan yang lalu.

 

Hanya Hana seorang yang menjadi sarjana, dibandingkan kedua adik lainnya--Santi dan Fariz--memang Hana meraih nilai yang bagus. Semangat sekolahnya tinggi. Dia juga berpenampilan lain, demi memenuhi keinginan lebihnya dia pun rela bekerja sambilan di luar jam kuliah.

 

"Waalaikumsalam, Fariz." Dia langsung menghampiriku dan mencium punggung tangganku, kebiasaan sedari tinggal di sini.

 

"Maaf, Mbak. Aku tidak penah main ke sini. Kerjaannya lembur terus," ucapnya kemudian berbalik ke motor lagi.

 

Aku mengernyitkan dahi melihat apa yang dibopongnya. Beras?

 

"Mbak Fika, dari kantor semua karyawan mendapat jatah beras. Yang masih bujang lima belas kilo dan yang sudah menikah dua puluh lima kilo. Ini yang sepuluh kilo aku bawa ke sini," jelasnya sambil berjalan memasuki rumah, aku mengekorinya sambil mendengarkan penjelasannya.

 

"Kok malah dibawa ke sini? Tidak di taruh di rumah Ibu saja."

 

"Di rumah hanya ada Ibu dan Mbak Santi, cukuplah lima kilo."

 

"Lisa dan Fikri, mana, Mbak?" tanyanya setelah meletakkan beras di lantai dan menoleh ke arahku.

 

"Ada di belakang," jawabku sebelum dia melesat dan terdengar suara riuh di sana. Mereka pasti melepas kangen, Fariz memang yang paling dekat dengan anak-anak. Mungkin ini dikarenakan usia yang tidak terlalu jauh.

 

Aku duduk menatap sekarung beras di depanku. Tak terasa air mata menetes dengan sendirinya, dan dada ini terasa sesak. Rasa hari menyelimuti hatiku, ternyata Fariz kecil dulu masih mengingat kami. 

 

Dia dulu yang terkenal bandel dan sering aku jewer. Tidak jarang aku dipanggil ke sekolah karena kenakalannya, bahkan pernah dikurung Mas Farhan saat dia ketahuan bolos sekolah. Adik iparku ini sekarang sudah besar dan dewasa. 

 

"Buk! Kami pergi dulu, ya," seru Fikri mengagetkanku, secepatnya aku menyusut bekas air mata. 

 

"Diajak Om Fariz makan mie ayam Pak Tombong! Ditraktir," timpal Lisa bersemangat, kemudian dia memicingkan mata ke arahku. "Ibuk habis nangis?"

 

"Ti-tidak. Siapa bilang. Ibuk kelilipan kena debu di atas korden. Makanya sebentar lagi Ibuk bersihkan."

 

"Biar Fariz saja, Mbak, yang bersihkan. Daripada Mbak Fika naik kursi," sela Fariz menyusul anak-anak dari ruang belakang.

 

"Om Fariz, jangan ngledek Ibu yang tidak tinggi, dong!" ucap Fikri dan disambut gelak tawa kami. 

 

Sungguh, hari ini rumah menjadi ramai. Kedatangan adik iparku ini mengingatkan aku akan keriuhan dulu saat mereka tinggal di rumah ini.

 

"Mbak Fika, mie ayam biasanya, kan? Tambah ceker dua dan sambal dua sendok," ucap Fariz. 

 

"Mbak ditraktir, juga?"

 

"Iya, lah. Gaji pertama harus dipakai untuk traktiran. Dah, Mbak. Pergi dulu. Assalamualaikum," jawabnya, kemudian menggandeng kedua keponakannya keluar rumah.

 

Masih terdengar obrolan dan gelak tawa. Aku menatap punggung mereka yang menjauh dan menghilang setelah berbelok. Aku tersenyum bahagia, ternyata masih ada yang mengingat kami. Sekarung beras ini buktinya, tentunya, nanti ditambah semangkuk mie ayam kesukaanku.

***

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rapa Rizai Rizai
kurang menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status