Ada ungkapan, sebuah hubungan seperti menerbangkan layang-layang. Bagaimana caranya untuk tetap terbang di langit biru. Sesaat, kita harus menegangkan tali dan terkadang dikendorkan. Atau, tatkala kita tidak mampu, tali bisa dipindahkan dengan diikatkan di dahan yang kuat. Kita pun harus siap dengan datangnya angin kencang yang datang, jangan sampai layangan terbawa angin apalagi putus karenanya.Begitu juga hubungan keluarga, pasang surut sudah biasa, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak dipungkiri aku sering tersulut kalau menghadapi kejadian yang tidak masuk di otak. Tak jarang, aku membutuhkan ruang dan waktu untuk menenangkan diri dan menyembuhkan hati dengan pemakluman. Beruntungnya, aku memiliki Mas Farhan yang bisa diajak berdiskusi dan mampu mendinginkan panas yang sering terpercik.Tadi malam, aku juga sudah bicara dengan Dek Arif dan mama perihal pinjaman uang itu. Aku tidak bisa melakukan langsung tadi malam. Dana harus dipindahkan ke rekening yang ada m
"Dek, kenapa senyum-senyum sendiri? Mas tidak diajak seneng-seneng?" seru Mas Farhan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Mungkin dia ada di dekatku sedari tadi, karena larut dengan lamunanku, aku tidak menyadari kedatangannya."Siapa yang seneng-seneng? Aku cuma duduk istirahat saja.""Gitu, ya. Sama suaminya. Giliran pusing ada yang dipikirkan, Mas ikut diomelin. Kesel! Ya udah, deh! Mas sendirian aja!" seru Mas Farhan menirukan gayaku kalau marah-marah.Logat gaya bicaranya mirip, sih. Namun, wajahnya tetap dengan senyum tersungging, malah sekarang berakhir terkekeh. Kelihatan sekali dia meledekku.Aku melototkan mata, menunjukkan rasa kesal pada leluconnya yang tidak lucu. Pura-pura, sih. Sebenarnya aku malu juga, suamiku ini sering menjadi pelampiasan saat aku kesal. "Jangan marah, lagi. Nanti cepet tua!" ucap Mas Farhan sembari merangkul pundakku. "Harusnya seneng, dong. Aku cepet tua. Jadi Mas bisa kawin lagi!""Mulai, dah. Mulai," ucap Mas Farhan.Kemudian memiringkan badanku
Benar dengan apa yang pernah aku dengar. Di saat kita mulai berhasil, semuanya akan mendekat termasuk instansi pemerintahan terkait. Bisnis yang aku rintis mulai berkembang pesat. Kesibukanku semakin bertambah. Tidak hanya berkutat di dapur, tetapi juga menghadiri undangan untuk berbagi pengalaman. Tawaran bantuan mulai berdatangan, dari sumbangan sampai kredit dengan bunga yang bisa dibicarakan. Namun aku perlu hati-hati, karena di dalam kemudahan bisa jadi tersembunyi pengaruh yang mengendurkan semangat. Aku memang masih berpikiran kolot yang berpegang pada pepatah, easy come easy go. Apa yang datang dengan mudah, bisa jadi gampang menghilang. Sudah banyak yang terjadi di sekitar kita. Santi sudah mempunyai anak buah yang menjalankan pemasaran, begitu juga di bagian produksi. Praktisnya, di saat aku tidak ada di tempat, Santilah yang mewakiliku. Pendapatan yang adik iparku dapat dari bisnis ini dengan pembagian prosentase, jadi semakin banyak kerjaan, semakin lumayan yang dia dapa
“Kita ke rumah sakit sekarang. Maaf, Pak. Di depan tidak usah belok ya, Pak. Langsung ke rumah sakit kota!” ucapku kepada pengemudi taxi online. Santi semakin menunjukkan raut wajah kebingungan. Sembari memegang lenganku dia bertanya kembali. “Siapa yang sakit, Mbak? Ibu?” Aku tersenyum melihat reaksinya yang berlebihan. Memang ibu mertuaku beberapa hari ini kurang sehat, tapi ini bukan kabar tentang beliau. Ini tentang kehadiran anggota baru di keluarga ini. “Bukan, San. Mas Farhan kirim pesan, Dek Hana sudah akan melahirkan,” jawabku sambil menepuk punggung tangannya. Seketika senyuman terbit di wajahnya. “Alhamdulillah. Cowok atau cewek?” “Akan melahirkan. Jadi belum. Makanya kita harus ke rumah sakit memberi dukungan kepadanya. Mas Farhan dan Ibu sudah menunggui di sana.” Lumayan berat ketika melahirkan tidak didampingi suami. Rendra, suami Dek Hana masih terikat kontrak di perusahaan pelayaran. Hanya kami-kamilah yang mendampingi dia menyambut kelahiran buah hati mereka. De
[Dek Arif, bisa dipinjamkan uang lima ratus atau berapa saja? Untuk beli beras dan kebutuhan satu minggu. Minggu depan Mas Farhan baru dapat pembayaran, nanti aku transfer balik] Aku mengirim pesan w******p ke adikku, dia tinggal di Jakarta. Ini kali pertama aku meminta bantuan, mengirim pesan ini sungguh suatu keterpaksaan. Namun, bagaimana lagi, anak-anak butuh makan. Satu menit, lima menit, setengah jam, satu jam, belum ada balasan. Ponsel aku letakkan disampingku. Aku menunggunya sambil melipat baju sambil sesekali menilik benda pipih ini, dan sekarang sudah dua jam lebih, tidak ada balasan darinya. Pasti dia sibuk, kalau tidak punya uang tidak mungkin. Aku yakin, uang segitu tidak begitu besar baginya, yang masih memiliki satu orang anak balita. Kehidupan ekonominya cukup stabil dengan pekerjaan tetap sebagai manager di perusahaan terkemuka, lain dengan kami yang mengais rejeki tidak tetap. Dulu kami mempunyai warung dan pernah berjaya, namun banyaknya pengurangan tenaga ker
"Kamu tidak keberatan menikah denganku?Aku mempunyai banyak tanggungan. Aku kawatir tidak bisa membahagiakan kamu," ucap Mas Farhan sebelum memantapkan niat pernikahan kami. Dia sadar diri memiliki tiga adik yang menjadi tanggung jawab, Hana, Santi, dan Fariz. Mas Farhan menjadi tulang punggung keluarga semenjak ayahnya meninggal, dan itu dimulai saat dia masih SMA. Bahkan dia rela melepas kesempatan untuk kuliah di Bandung--Mas Farhan masuk di perguruan negeri tanpa tes--karena memilih tetap tinggal menggantikan tanggung jawab kepala keluarga. Aku sadar, ini tidak mudah bagiku saat menjawab kata iya, yang berarti aku harus rela berbagi suami dengan keluarganya. Meletakkan keegoan sebagai istrinya nanti. Jawabannya adalah cinta, dan dimantapkan dengan kepribadian Mas Farhan yang menyulitkan diriku untuk berpaling darinya. Aku yakin, menghabiskan hidup bersamanya menyempurnakan hidupku. Dia sabar, baik, dan pengertian. Yang membuat niatku semakin bulat, karena dia begitu sayang kepa
Syukurlah, dari hasil menggadaikan cincin, Mas Farhan pulang membawa beras lima kilo, minyak, telur, dan gula. Masih ada sisa untuk membeli kebutuhan lainnya yang dititipkan kepadaku. "Mas, untuk pegangan kamu?" tanyaku setelah dia memberikan catatan perincian, sisa uang, dan surat gadai. "Tidak usah, Dek. Kamu pegang semuanya saja. Bensin sudah terisi penuh, untuk apa lagi." "Buat jaga-jaga di jalan, Mas. Kalau lapar atau haus gimana?" "Makan sudah di rumah. Kalau pun keterusan sampai sore, Mas bisa tahan, kok. Jangan kawatir," jawabnya sambil menepuk bahuku. "Kalau begitu, kita makan dulu sebelum Mas berangkat." Beruntung suamiku bukan perokok, jadi tidak ada pengeluaran lebih. Dia hanya butuh bensin, makan pun jarang mau jajan di luar. Kalau dulu masih sibuk di warung, aku tidak kawatir. Namun, sekarang dia harus bekerja di luaran yang terkadang jauh dari rumah. "Assalamuaaikum!" "Waalaikumsalam!" sahutku dan suamiku bersamaan. Kedua anakku pulang dari sekolah--Fikri dan L
"Dua hari ini, Mas perhatikan Dek Fika sering melamun. Kalau rejeki jangan kawatir, ingat burung saja dijamin Allah, apalagi kita yang insyaallah selalu di jalan-Nya." "Tidak ada apa-apa, Mas," jawabku setelah menaruh teh tawar hangat di meja, dan duduk di samping Mas Farhan. Aku tidak mungkin mengatakan tentang pesan w******p dari Dek Hana. Ini hanya menambah beban pikiran suamiku, dan bisa jadi dia marah kepada adiknya. Iya kalau yang dimarahi terima, kalau tidak, dan mengadu ke Ibu mertua malah lebih gawat lagi. Ibu mertuaku mempunyai sakit jantung, dan kabar yang mengejutkan bisa membahayakan kesehatannya. Biarlah menjadi catatanku sendiri, hati ini memang sakit atas perlakuannya. Namun, dengan pasrah kepada-Nya dan mendoakan dia untuk sadar dan mengerti, itu membuat hatiku terasa lapang. Walaupun, ingatan itu masih lekat dan tidak bisa dilupakan, padahal pesan whatappsnya sudah aku hapus. Ini sebagai penanda kalau adik iparku ini keberatan kalau dimintai tolong. Aku tidak aka