Tertera lima belas menit kemudian dia mengirimku pesan kembali. Deg! Hati ini langsung diliputi rasa kecewa setelah membaca pesan Dek Arif. Yang tadinya sempat bungah, sekarang menjadi kebalikannya. Awalnya membaca pesan pertama, aku pikir Dek Arif sudah mulai perhatian dengan kakaknya ini, ternyata berujung seperti ini.[Mbak Fika. Ada uang satu juta? Hari ini aku jatuh tempo cicilan pertama. Uangku kurang segitu. Pinjam dong, nanti pas gajian aku ganti][Cicilan pertama tidak boleh telat. Nanti pengaruh pada performan. Transfer, ya. Aku tunggu. Thanks][Rek: *** *** **** Bank Central Asia, An. Arif Pratama]Yang dibilang penting itu ini?Baru cicilan pertama sudah membuat kelabakan. Sebenarnya aku juga ada, dan Mas Farhanpun pasti punya. Apalagi, akhir-akhir ini, dia mendapat proyek lumayan banyak. Memang tidak bernilai milyaran, tetapi, nominal tidak besar dan berjumlah lumayan. Kata Mas Farhan proyek kecil resikonya juga kecil. Lain halnya dengan yang besar. Bernilai ratusan j
Syukurlah, setelah mengambil air wudhu hatiku terasa dingin. Emosi yang meledak-ledak tadi mulai berkurang. Aku bisa merebahkan badan di ranjang, meluruskan punggung yang terasa tegang. Sesekali aku melihat ke arah ponsel. Sampai sekarang aku belum membalas pesan whatsapp Dek Arif. Bukan karena pelit atau tidak mau membantu, tetapi, sikap Dek Arif yang perhitungan dan seenaknya sendiri membuatku jengah.Sisi jahatku terdengar bersorak gembira. Mengolok-ngolok pada adikku itu. "Rasain kamu! Dulu sombong, dimintai tolong pinjam uang untuk makan saja tidak mau membantu. Malah pamer gaya hidup yang berlebihan. Anggap saja ini karma untukmu!" Lebih sadis lagi sisi jahat yang satunya. "Semoga kamu tidak bisa membayar cicilan mobil dan akhirnya mobil ditarik tukang kredit!"Kepala ini aku gelengkan keras-keras, mengusir pikiran-pikiran yang mengerikan ini. Kalau didengarkan, aku bisa tenggelam dalam kebencian dan itu bisa membusukkan hati. Benar, kata Mas Farhan. Sekarang waktunya aku me
Kesibukanku semakin bertambah dengan tambahnya produk baru, adonan dan oven seperti menyatu denganku. Tubuhku terikut beraroma kue kering. Saat tenggelam dalam kesibukan, sih, aku tidak mengingat hal lain selain pekerjaan. Berbeda saat rehat seperti ini. Kekesalan kejadian dengan Dek Arif masih menyisa.Inginnya melupakan, tetapi kenapa malah teringat kembali. Katanya, orang yang berbintang libra itu suka memendam perasaan, dan terlalu menimbang sesuatu secara berlebihan. Kalau ini bagaimana, kalau itu akibatnya apa? Itulah aku sekarang ini.Terkadang diam bukan berarti tidak tegas.Aku hanya menghindari perselisihan dengan Mama--panggilan untuk ibu yang sebelumnya Emak. Meskipun bukan yang melahirkan aku, tetapi hanya dia yang aku punya sebagai orang tua. Sudah dari dulu, saat aku menegur atau tidak sependapat dengan Dek Arif, Mama selalu menjadi ujung tombak. Kadang aku tidak mengerti apa yang disampaikan adikku itu kepadanya. Ketika aku diposisi benar, tetap saja salah dimata M
"Lo, Dek Fika. Kamu di kamar? Pantas saja aku cari keliling tidak ada," teriak Mas Farhan setelah mendapatiku di kamar. Dia kemudian menutup pintu dan menendekatiku sambil berkata, "Di depan ada Bu Prapto.""Bu Prapto istri Pak Prato tetangga kita?" tanyaku sambil menunjukkan wajah heran."Iya. Dia mencari kamu, bareng sama teman-temennya. Tuh di depan lagi ngobrol dengan Santi.""Aku?""Iya. Mereka mau belanja kue. Kamu temani mereka, biar Santi siapkan kuenya."Aku mengernyitkan dahi. Tumben tetanggaku itu datang ke rumah ini. Dia terkenal tidak mau bergaul dengan orang sekitar, terutama yang biasa-biasa saja seperti aku ini. Kasak-kusuk tetangga lain, Bu Prapto ini hanya mau bergaul dengan orang yang dia pandang level tinggi. Dia tidak menjahati orang, hanya tidak mau membaur dan enggan bergabung dengan pengajian atau perkumpulan ibu-ibu di sini. Dan asumsi ini diperkuat dengan arisan di rumahnya yang sering membuat jalan di sini macet--mobil teman-temannya yang memenuhi jalanan.
"Mas, ternyata mereka tidak semenakutkan bayanganku." Aku melontarkan kata kepada Mas Farhan tentang ibu-ibu yang datang tadi sore. Bagiku, itu sesuatu yang mengejutkan, didatangi mereka bahkan membeli daganganku.Kami berbincang sebelum berangkat tidur, Lisa dan Fikripun sudah tertidur pulas. Disaat inilah, kami mempunyai waktu berdua untuk bertukar pikiran sembari menonton acara televisi. "Memang Dek Fika membayangkan apa?" tanya Mas Farhan sembari menerima teh yang aku sodorkan.Aku mendudukkan diri disofa sebelahnya, dan menghadap ke Mas Farhan yang menikmati acara tembang kenangan. "Terus terang. Dari penampilan mereka, aku merasa minder, Mas. Aku seperti upik abu dihadapan mereka. Bagai langit dan bumi.:Mas Farhan malah tertawa, kemudian menghadapkan diri kepadaku. "Kalau upik abu, sebentar lagi jadi Cinderella, dong.""Mas! Aku serius.""Mereka dandan seperti itu juga pas keluar rumah, Dek. Kalau di rumah, ya, biasa saja.""Walaupun keluar rumah, aku tidak seperti itu. Bias
"Mbak Fika, baru saja aku mau nyusul," ucap Santi setelah berteriak kaget. Aku yang membuka pintu, bersamaan dengan Santi yang juga membuka pintu akan ke luar rumah. Aku mengerutkan dahi, menerka apa penyebab dia akan menjemputku. "Mas Farhan tadi telpon, Mbak. Katanya penting. Sudah aku bilang kalau mungkin sebentar lagi datang, tapi tetap tidak sabar," jelas Santi. Dia menyodorkan ponsel yang dia genggam sedari tadi. Memang, aku ke rumah Jeng Risma tidak membawa ponsel, toh tidak akan lama. Pikirku begitu. Aku langsung membuka ponsel. Ada beberapa kali panggilan tak terjawab dari Mama, juga Mas Farhan. Sesaat sebelum pesan whatsapp yang berderet ini aku buka, masuk panggilan telpon dari Mas Farhan.Setelah menjawab salam, Mas Farhan berbicara, "Dek Fika, aku di jalan menuju pulang. Tenang, ya, Mas segera sampai."Ponsel menggelap, Mas Farhan terdengar terburu-buru menutup sambungan telpon ini. Sekarang, tersisa aku yang termangu kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. A
Sambil menatap dengan penglihatan yang masih buram aku bertanya, "Memang Dek Arif kenapa?"Mas Farhan tersenyum, kemudian menangkup tanganku. "Alhamdulillah. Istriku ini, walaupun kesal ternyata masih penuh rasa sayang kepada keluarganya.""Dek Arif kenapa, Mas?!" tanyaku sekali lagi, ingin menjawab rasa penasaran yang tadi tertunda.Mas Farhan menghela napas sebelum cerita, seakan mencari kata yang tepat untuk memulainya. "Dek Arif sekarang sudah stabil, begitu juga istrinya. Mereka mengalami kecelakaan mobil.""Ya, Allah. Trus?!" teriakku dengan mata membulat sempurna. Berita tentang kecelakaan selalu membuat kaget."Untungnya Mama dan si kecil tidak ikut. Mungkin karena ini, Mama panik. Di kota besar yang tidak ada sanak saudara." Memang, Mamaku itu gampang panikan. Aku tidak membayangkan keadaannya sekarang, anak yang diagung-agungkan mengalami kecelakaan."Keluarganya Dewi banyak, di sana," celetukku masih menyisakan kesal di hati. Hati jahatku masih mengutarakan kekesalan, 'Kala
Malam berjalan seperti melambat, mengejek aku yang merindu suami padahal hanya ditinggal beberapa hari. Tidak bisa aku bayangkan kalau Mas Farhan bekerja di luar kota dan memaksa kami berpisah berhari-hari, atau malah hitungan bulan.Aku menatap layar ponsel, terlihat wajah Mas Farhan yang tertidur lelap. Mata ini memindahi mata, hidup, bibir, dan rahang yang sudah melekat erat di ingatan. Memberikan candu dan ikatan, memaksa mata, hati dan pikiran ini hanya tertuju kepadanya. Bibir suamiku masih menyungging senyum sisa dari perbincangan kami ini. Video call penawar rindu ini berakhir dengan dengkuran halus darinya. "Di kota besar perempuannya cantik-cantik, modis, dan banyak yang terlihat sexy, kan? Ngaku saja, sibuk di sana sambil cuci mata. Sibuk mondar-mandir, satu dua lebih tujuan terlampaui," ucapku tadi melemparkan tuduhan yang biasanya dilakukan laki-laki. Bisa aku banyangkan, di kota besar semua berlomba menunjukkan kelebihan, tentunya dengan penampian yang maksimal. Apala