Rania terpaksa menerima tawaran untuk menjadi istri kedua karena Hana, si istri pertama tidak bisa mengandung. Namun, dendam masa lalu kepada laki-laki yang akan menjadi suaminya membuat hubungan pernikahan itu hancur sehingga dia menuntut cerai sebelum semua orang tahu kehamilannya.
View More"Aku nggak bisa, Han." Laki-laki berwajah tampan dengan kulit sawo matang itu menatap nyalang perempuan di sampingnya.
"Tolong aku, Mas. Aku nggak ingin kita berpisah. Ini satu-satunya cara agar Mama tetap merestui hubungan kita," jawab perempuan cantik, berkulit putih dengan bulu mata lentik itu. Suaranya terdengar serak dengan mata berkaca-kaca.Aku? Tentu hanya bisa diam dan menunduk, tapi sesekali melirik ke arah depan di mana sepasang suami-istri itu sedang bernegosiasi.Entah ini keputusan yang benar atau tidak. Yang pasti, aku sedang membutuhkan banyak uang untuk melunasi utang peninggalan Ayah, sekaligus membantu biaya pernikahan Rendy--adikku. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, tentunya akulah yang menggantikan posisi Ayah karena Ibu memiliki penyakit asma sejak beberapa tahun yang lalu--tepatnya beberapa hari setelah kepergian Ayah untuk selamanya."Kamu mau, kan, Ran?"Lamunanku tersadar dengan panggilan perempuan di hadapan.Ah, apa yang harus kukatakan? Sejujurnya, aku juga tidak siap. Namun, Lagi-lagi demi keluarga aku harus berkorban.Sebelumnya, aku merelakan kuliah yang sudah berjalan dua tahun untuk mengurangi pengeluaran. Dan sekarang, aku kembali harus mengalah dan menekan perasaan."Jangan paksa dia, Han. Mas juga nggak mau." Kembali, laki-laki berpostur gagah itu menyela."Kalau Mas masih menolak, ceraikan aku!" Senjata andalan sang istri pun keluar.Dan seketika, sebuah anggukan terlihat meskipun samar dari laki-laki yang baru saja mendesah berat. "Terserah kamu saja, tapi mas nggak bisa janji untuk melakukannya nanti."Perempuan yang selalu dipanggil Han itu menarik tanganku yang sedari tadi di atas meja. Lalu meremasnya pelan. "Kamu dengar, kan, Ran. Hari ini juga, akan digelar akad nikahnya."Aku mendongak. Tentu sangat terkejut. Kenapa secepat ini? Meskipun sudah kupikirkan masak-masak, tapi tetap saja hati kecil ini merasa belum siap. Ya, memangnya siapa yang mau menjadi istri kedua?Ah, Rania. Aku begitu terburu-buru. Namun, memang tidak ada pilihan lain untuk saat ini.***"Jangan harap aku akan menyentuhmu! Aku hanya menikahimu karena Hana. Dan kalau sampai tiga bulan kamu belum hamil juga, tentu Hana akan segera menyuruhku menceraikanmu."Kalimat yang mungkin akan membuat hati seorang istri terluka, tapi tidak untukku. Itu justru lebih baik. Tanpa harus menyerahkan harta berharga dari tubuhku, aku tetap akan mendapatkan uang. Paling tidak, untuk tiga bulan ke depan."Kamu tidur di sofa. Hotel ini, Hana yang membayar dan seharusnya, dia yang ada di sini bersamaku. Tapi ... ya sudahlah! Intinya, kamu harus bilang ke Hana kalau kita sudah melakukannya!" ucap laki-laki yang baru dua jam lalu sah menjadi suamiku secara agama.Aku menghela napas pelan, lalu beranjak dari ranjang berukuran super besar di kamar ini menuju sofa. Baiklah, aku mengalah.Laki-laki itu pun langsung mengempaskan tubuh dengan posisi tengkurap di tempat tidur tanpa melepas sepatu ataupun jas yang masih melekat di badan.Akan tetapi, tidak berapa lama, laki-laki itu bangkit. Dia merogoh saku celananya, sebuah ponsel sudah berpindah ke tangannya. Beberapa kali dia melirik ke arahku, lalu kembali menekuri ponselnya.Ah, aku tidak peduli dan memilih merebahkan badan di sofa yang lumayan empuk ini. Seharian yang cukup melelahkan karena perjalanan yang cukup jauh. Ya,karena untuk mengelabuhi keluarga besar Hana dan suaminya, acara pernikahan dadakanku dilakukan di luar kota.Laki-laki bertubuh atletis itu berjalan menuju pintu sambil menatapku dengan tajam. Entah apa yang dia pikirkan, seolah-olah aku ini musuh yang siap untuk ditebas lehernya.Aku tersenyum miring. Apa yang membuat Hana begitu mencintai laki-laki kaku dan menyeramkan itu. Kulitnya yang sawo matang membuat kesan garang menjadi lebih kentara. Aku bergidik jika membayangkan laki-laki yang mungkin mirip genderuwo, tapi ganteng itu berkata romantis. Pasti aneh dan sangat tidak pantas. Namun, dia terlalu beruntung bisa mendapatkan istri sebaik Hana yang bisa bertahan selama sepuluh tahun pernikahan mereka.Hanya saja, orang sebaik Hana harus menerima takdir yang kurang baik. Dia dinyatakan mandul setelah melakukan pengobatan selama delapan tahun terakhir. Bahkan, proses bayi tabung pun lima kali dilakukan dan selalu gagal.Selain untuk mendapatkan uang, ini kylakukan demi membalas budi baik Hana kepada Ibu. Di saat Ayah meninggal, semua aset keluarga disita karena utang Ayah yang terlalu banyak dan bahkan utang itu masih tersisa sampai saat ini.Entah malaikat dari mana Hana itu, dia datang di saat yang sangat tepat. Saat itu, Ibu tiba-tiba mengalami sesak napas dan harus dirawat, sedangkan aku tidak punya uang sepeser pun. Hana yang tengah menangani Ibu dibuang UGD bersedia menanggung semua biaya perawatan Ibu yang harus dipindahkan ke ruang ICU.Air mata ini luruh jika mengingat kejadian itu. Seandainya tidak ada Hana, mungkin aku sudah menjadi yatim-piatu.Aku menghela napas kasar sembari menghapus jejak air mata di wajah. Lebih baik segera tidur, tapi entah kenapa mata ini enggan untuk memejam. Ada sedikit kekhawatiran jika laki-laki itu masuk dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai pengantin baru saat aku tengah terlelap. Namun, seiring waktu yang kian larut dan laki-laki itu tidak kunjung kembali, kantuk pun mulai menyerang.***Bunyi alarm membangunkanku dari tidur yang cukup nyenyak. Kupindai sekeliling kamar dan laki-laki itu tidak ada di mana pun. Sepertinya, dia tidur di kamar Hana."Syukurlah," ucapku lirih seraya menyembuhkan napas lega.Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Aku pun bergegas mengambil wudu untuk melaksanakan salat Subuh. Setelah itu, membersihkan diri alias mandi untuk menyegarkan badan yang terasa sangat lengket.Akan tetapi, tas yang semalam kubawa tidak ada di lemari kamar ini. Padahal, aku sudah melepas pakaian dan tinggal memakai handuk kimono. Bagaimana kalau laki-laki itu tiba-tiba masuk ke kamar ini? Mau memakai pakaian semalam pun rasanya tidak mungkin karena sudah basah di beberapa bagian dan baunya sangat sedap sekarang.Dasar Rania! Kenapa tadi tidak mengecek tas dulu, baru mandi? Kalau seperti ini, harus bagaimana lagi?Aku menepuk jidat, kesal pada diri sendiri.Aku pun meraih ponsel di sofa untuk menelepon Hana. Namun, sudah beberapa kali panggilan tidak diangkat juga. Akhirnya, hanya pesan W******p yang kukirimkan untuk menanyakan di mana tasku berada.Beberapa saat menunggu, pesanku akhirnya dibaca oleh Hana dan dia menjawab akan mengantarnya.Aku bergegas menuju kamar mandi saat terdengar pintu kamar ini yang mulai terbuka. Pasti Hana membawakan tas dan pakaianku.Dari dalam kamar mandi, aku masih bisa mendengar suara dari luar. Sepertinya, Hana dan suaminya berdebat. Dan tak lama setelah itu, suara pintu ditutup cukup kencang membuatku terlonjak. Pasti mereka bertengkar hanya karena masalah kecil. Lalu, bagaimana dengan pakaianku?"Siapa pun! Aku di kamar mandi. Bisa bawakan pakaianku ke sini?" teriakku, tapi tidak ada jawaban.Mungkinkah mereka pergi lagi? Mungkin juga Hana sudah mengantarkan tasku dan langsung pergi dengan suaminya yang mirip genderuwo itu.Benar saja, tasku sudah ada di atas tempat tidur, tapi tidak ada satu pun pakaianku di dalamnya.Apa-apaan Hana ini? Aku yakin sekali kalau sudah memasukkan dia potong pakaian di dalamnya."Sial! Suami-istri itu mempermainkanku." Aku menggerutu kesal."Apa katamu?"Deg!Aku terkesiap. Suara itu? Genderuwo itu? Mati aku! Mana aku hanya memakai handuk saja. Dan jilbabku!Astaga! Laki-laki itu ternyata masih ada di dekat pintu kamar dan aku tidak menyadarinya. Lalu, Hana? Di mana dia?"Kamu sengaja, ya, hanya memakai handuk itu?" Laki-laki tiga puluh tahun itu berjalan mendekat.Aku yang tadinya duduk di tepi tempat tidur segera berdiri dan buru-buru melangkah ke kamar mandi. Namun, sebuah tangan kekar mencekal pergelangan tangan kiriku dengan kencang."Sa--sakit, le--lepaskan," ucapku gugup. Aku takut saat melihat wajah layaknya harimau yang akan menerkam mangsanya."Aku akan melakukan apa yang Hana minta agar kesalahan ini segera berakhir." Dia berkata dengan sorot mata yang begitu tajam.Aku menggeleng kuat. "Ja--jangan ...."Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban
"Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa
Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare
Moment seru yang masih ingin kunikmati harus berhenti karena telepon dari Bi Harni. Katanya ada tamu yang menunggu. Suami-istri yang mengaku sebagai kakek dan nenek dari Febi. Aku dan Mas Narendra memutuskan untuk pulang karena dia juga mengenal siapa tamu yang dimaksud. Mereka mantan mertuanya, atau lebih tepatnya, orang tua Farah. Aku bisa menebaknya dari arah pembicaraan Bi Harni tadi karena memang dinyalakan loudspeaker saat panggilan berlangsung. "Mereka mau apa, ya, Mas? Kok, tiba-tiba aja datang nggak kasih pemberitahuan. Padahal, Febi sudah sama kita tiga bulanan." Pikiran yang tadi terus berputar di kepala, akhirnya kuungkapkan. "Aku juga nggak tahu, Ran. Semoga aja cuma kengen sama cucu," jawabnya. Aku bisa menafsirkan kalau ada keraguan dari nada suaranya.Sepasang suami-istri yang kutaksir usianya sekitar lima puluh tahunan itu saling pandang saat Mas Narendra menanyakan perihal kedatangan mereka. Keduanya seperti berdebat, tapi pelan. Mungkin agar percakapan mereka tid
Setelah dua pekan Mas Narendra dirawat, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Dari pemeriksaan terakhir, dikatakan kalau tumornya sudah hilang. Meskipun begitu, akan tetap dilakukan MRI saat kontrol selanjutnya untuk memastikan lagi. Dan sekarang--satu pekan setelah dia menjalani rawat jalan--kami sedang berjalan-jalan di taman area apartemen. Memang kawasan apartemen ini tergolong mewah dengan penghuninya kebanyakan orang berpunya. Itu sebabnya ada fasilitas umum yang dibuat untuk warga, seperti taman yang cukup luas ini. Mas Narendra memang dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan setiap harinya untuk menjaga kesehatan. Dan aku memulai dengan mengajaknya jalan kaki setiap pagi mulai hari ini. Dengan kaus, celana training, dan topi yang dipakai terbalik ke belakang, Mas Narendra terlihat begitu tampan. Meskipun masih ada rasa malu karena takut orang melihat kepalanya masih belum ditumbuhi rambut, dia tidak menolak ajakanku. "Sayang, apa kamu nggak capek?" tanyanya sambil menghentik
Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken
"Hari ini jadwal kontrol kamu, Mas. Aku nggak akan izinin Mas pergi ke luar kota. Obat Mas juga sudah habis kemarin."Ini kali kelima aku melarang sejak tadi pagi Mas Narendra menerima telepon dari Gagah. Dia harus berangkat ke luar kota karena salah satu cabang hotelnya mengalami kebakaran di beberapa bagian semalam. Meskipun hanya sepuluh persen yang hangus, tetap kerugian yang dialami cukup banyak. Apalagi ada beberapa korban yang mengalami luka bakar. "Sayang, hari ini saja, kok. Kontrol bisa besok, Lagi pula, Mas harus tanggung jawab dengan korban terluka." Dia masih bersikeras. "Aku ikut!" ucapku spontan. "Di sana sedang kena musibah, Sayang. Mas juga nggak mau kamu kecapekan karena perjalanan jauh. Kamu di sini saja sama Febi, ya. Kali ini, jangan membantah suami.""Kalau Mas sehat-sehat saja, aku juga nggak akan masalah, tapi kondisi Mas berbeda." Entah kenapa, air mataku mulai luruh. Kesal bercampur sedih. "Aku sehat, Ran. Aku baik-baik saja. Jangan pernah menganggap kala
Berharap pada kejujuran yang akan mengungkap jati dirinya memang sulit. Apalagi jika menunggu dalam kurun waktu cukup lama pun, terkadang hal itu tidak juga terjadi. Sekuat apa pun kepercayaanku kepada Mas Narendra tidak bisa membuang bukti yang begitu nyata di hadapan. Selepas mengantar Febi sekolah, Mas Narendra mengajakku pergi untuk memeriksakan kandungan. Ya, memang hari ini sudah dijadwalkan oleh dokter sejak terakhir kontrol. Itu sebabnya dia langsung pulang pagi ini. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan memilih memandang ke kiri. Mas Narendra pun tidak berusaha membuka obrolan sejak tadi hingga senyap menjadi pengiring suasana dalam mobil. "Sudah sampai, Ran. Ayo, turun!" ajaknya.Aku bergeming. Selagi ini di rumah sakit, aku ingin menyampaikan apa yang mengganjal di hati. Mungkin, melakukan tes DNA akan bisa melegakan rasa penasaranku dan hubungan kami bisa segera membaik tanpa ada lagi prasangka. "Lakukan tes DNA, Mas," jawabku pelan setelah beberapa saat terdiam. T
Fakta memang harus diungkap meskipun menyakitkan. Namun, hal itu akan membawa ketenangan setelahnya karena tidak ada lagi yang membuat hati bertanya-tanya. Kebenaran tentang Farah dan Febi akhirnya bisa membuatku lega. Bahkan, kepercayaan kepada Mas Narendra sudah kembali. Tanpa perlu bukti lebih, aku sudah percaya sepenuhnya dengan laki-laki dua puluh delapan tahun itu. Warna matanya memang sama dengan Febi, tapi itu adalah keturunan dari almarhum Papa yang memiliki warna cokelat terang. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang mempunyai bola mata berwarna hitam. "Aku percaya sama Mas. Aku percaya ...." Setelah berucap, tubuhku melemas, tapi kesadaran ini masih terjaga. Mas Narendra pun menahanku yang hampir roboh. Kemudian, aku sudah berpindah dalam gedongannya. "Aku percaya, Mas," ucapku lagi sembari menyandarkan kepala di dadanya. Bisa kudengar detak jantung yang cukup cepat sambil menghidu aroma tubuh suami tercinta. Aku tidak peduli lagi dengan sekitar. Pastinya, adeg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments