Perempuan paruh baya yang tubuhnya hampir mirip dengan tulang berbungkus kulit saja itu tergopoh-gopoh mrnghampiriku yang baru saja turun dari mobil Narendra. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari.
Perempuan berjilbab hitam itu langsung memelukku dengan tubuhnya yang terasa bergetar. Bahkan, napasnya yang sedikit berat pun, aku bisa merasakannya dari gerakan dada dan suaranya."Kamu ke mana saja, Rania? Ibu cemas mikirin kamu." Ibu mengusap-usap punggungku."Nia ceritakan di dalam, ya, Bu. Di luar dingin, nggak bagus buat kesehatan Ibu." Kulepas pelukan Ibu, lalu menggamit lengannya. Kami berjalan masuk ke rumah diikuti Narendra.Entah kenapa, Ibu bisa sehisteris itu, padahal aku sudah berpamitan jika akan pergi selama dua hari untuk mencari uang. Sore ini adalah hari jatuh tempo utang Ayah yang jumlahnya masih mencapai lima puluh juta rupiah, sedangkan tabungan pun kami tidak ada. Gaji bulananku dari bekerja sebagai kurir online dan penyanyi kafe setiap malam habis untuk kebutuhan sehari-hari dan juga mencicil sebagian utang Ayah. Namun, itu masih jauh dari kata cukup."Aku, kan, cari uang buat lunasin utang Ayah. Tapi--""Uangnya sudah ada, Bu. Rania berhasil mendapatkannya." Narendra menyela ucapanku."Tapi, Nak. Itu jumlah yang tidak sedikit. Dari mana Rania bisa mendapatkannya cuma dalam dua hari?" bantah Ibu. Beliau pasti tidak percaya.Menanggapi ekspresi Ibu, Narendra yang mengambil alih pembicaraan. Dia menjelaskan hal yang tidak terpikirkan olehku. Laki-laki berkulit putih itu menjelaskan jika aku meminjam uang dari perusahaannya dan akan mengembalikan semua uang itu dengan cara potong gaji setiap bulan karena mulai besok, aku sudah bekerja di tempatnya.Aku baru tahu jika Narendra adalah pemilik hotel tempatku menginap bersama Hana dan suaminya yang enggan kusebut namanya itu. Sungguh di luar dugaan. Memang aku tidak mengenal jauh siapa Narendra dan keluarganya dulu. Ternyata, dia lahir di keluarga kaya raya pemilik beberapa hotel bintang lima yang sudah berdiri di beberapa kota besar. Tanpa kecuali kota tempatku tinggal kali ini."Lusa, kamu bisa mulai bekerja, Ran. Aku tahu kemampuanmu meskipun kuliahmu tidak sampai tamat. Hari ini, istirahatlah dulu," ucap Narendra sebelum dia berpamitan.Aku terus menyunggingkan senyum jika mengingat Narendra. Dia sangat sempurna sebagai laki-laki menurutku.Ibu pun beberapa kali mengatakan jika aku dan Narendra akan cocok menjadi pasangan. Tak terkecuali Rendy yang ternyata menguping percakapan kami dini hari tadi."Kak Naren itu ganteng, Mbak. Baik juga, jadi pas buat Mbak yang pekerja keras. Aku akan sangat lega kalau Mbak yang menikah lebih dulu."Adik kesayanganku itu memang sangat pengertian. Namun, apa iya seorang Rania yang biasa saja pantas bersanding dengan Narendra?Aku menggeleng kasar. Tidak, Rania! Berhenti berhalusinasi.Di tengah pikiran yang melayang karena Narendra, ponselku berdering. Telepon dari Hana. Ah, menyebalkan! Tidak bisakah dia membiarkanku bebas?"Ada apa, Mbak?" tanyaku tanpa basa-basi begitu mengangkat telepon dari Hana."Aku sudah bersusah payah merelakan suamiku untuk berhubungan denganmu, Ran. Apa kamu tidak berpikir perasaanku saat itu? Aku terluka, Ran, tapi aku berusaha tegar. Membayangkan suami yang aku cintai melakukan hal itu dengan perempuan lain, itu sangat menyakitkan, Ran."Suara Hana disertai tangisan membuatku terenyuh. Namun, itu tak ubahnya membuatku iba."Itu bukan mauku, Mbak. Lagi pula, Mbak Hana nggak perlu sakit hati karena suamimu tidak memperlakukanku dengan kelembutan. Bahkan, aku dianggapnya hanya seperti binatang. Padahal, Mbak tahu sendiri bukan apa yang dirasakan perempuan yang baru melakukan itu pertama kali? Hanya sakit, Mbak. Dan itu yang aku rasakan. Bahkan, di sini aku yang dirugikan. Aku kehilangan apa yang sudah kujaga bertahun-tahun hanya untuk suami orang."Akhirnya, apa yang mengganjal sejak kemarin bisa kukeluarkan.Akan tetapi, kekisruhan semalam ternyata direkam oleh seseorang. Dan rahasia pernikahan kedua suami Hana denganku terkuak meskipun media belum mengetahui sosok istri kedua itu. Seketika nyaliku menciut. Apa mungkin namaku akan tersebar dengan image pelakor?Ah, sial! Aku benar-benar terjebak.Satu kenyataan yang kutahu sekarang. Hana dan suaminya menikah bukan karena cinta, tapi karena perjodohan yang berawal dari hubungan bisnis dua keluarga. Dan pernikahan itu digelar tepat di hari Ayah menutup usia.Aku mencebik. Ternyata, itu alasan kenapa keluarga lali-laki itu dengan mati-matian memisahkanku dengan anak mereka dulu. Lantas, harus menghancurkan usaha Ayah hanya untuk memuluskan rencana mereka.Pernikahan Hana saat itu memang tidak terduga karena laki-laki bertubuh besar itu masih berusia dua puluh tahun, sedangkan Hana lima tahun di atasnya.Entah alasan apa yang membuat perjodohan itu harus dilakukan meskipun laki-laki itu masih berstatus mahasiswa semester empat. Namun, nyatanya aku bisa melihat cinta yang begitu besar di mata Hana untuk suaminya."Aku tidak akan mengganggumu lagi, Ran. Namun, ada satu permintaanku," ucap Hana setelah cukup lama kami saling diam."Katakan." Aku menjawab cepat."Pekan depan, aku akan memeriksamu. Jika hasilnya negatif, anggap kita tidak pernah saling kenal. Namun, jika hasilnya positif, perjanjian kita kembali berlaku. Lagi pula, Mas Rasya belum menceraikanmu, bukan?"Lagi-lagi sial! Hana mengancamku!"Aku pastikan kalau tidak ada benih suamimu di rahimku, Dokter Hana!" Aku menjawab penuh penekanan, lalu segera mengakhiri panggilan.Setelahnya, kubanting ponsel di kasur. Suami-istri itu benar-benar menjebakku dalam permainan mereka.Tak lama, ponsel kembali berdering, tapi tak kuacuhkan. Malas saja jika harus kembali mendengar suara perempuan lembut, tapi licik itu.Akan tetapi, beberapa kali dering itu berhenti dan berbunyi lagi, membuatku sedikit penasaran. Dengan malas, kuraih lagi ponsel itu dan ternyata, panggilan dari Narendra.Oh, rasa kesalku seketika menguap."Hai, Naren! Ada apa?" sapaku setelah menggeser icon berlogo telepon warna hijau di ponsel."Ternyata, kamu itu membawa dampak buruk untukku, Rania.""Hah?" Aku terkejut dengan apa yang tertangkap pendengaran. Apa maksud Narendra berkata seperti itu?"Iya, kamu membawa dampak buruk untuk seorang Narendra. Biasanya, aku bisa menuntaskan minimal lima file dalam setengah hari, tapi sekarang, satu pun belum kelar.""Terus, apa hubungannya denganku?" Aku makin mengerutkan kening saking tidak paham dengan ucapannya."Gara-gara kamu, otak aku serasa habis dicuci dan diberi pewangi baru. Semua tentang bisnis yang sudah lama kupelajari, hilang dan berganti namamu saja." Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Ini semua gara-gara kamu, Rania."Aku terkesiap. Mendengar ucapan Narendra membuat hati yang tidak pernah mendapat pujian dari lawan jenis ini berdesir. Entah bagaimana penampakan wajahku saat ini. Yang pasti, kedua pipi ini sudah terasa panas dengan ujung bibir yang terus tertarik ke samping.Setelah hampir sepuluh tahun trauma akan cinta menenggelamkan hati dalam luka, baru kali ini aku bisa lepas dari masalah lalu. Meskipun baru saja luka baru mendekat dari Hana dan suaminya, tapi Narendra datang sebagai obatnya.Akan tetapi, aku juga tidak bisa melangkah lebih jauh dan membuka hati untuk Narendra. Aku harus memastikan dulu jika tidak ada yang tumbuh dalam rahim ini."Kamu masih di situ, kan, Ran? Kok, aku malah dicukein?" Suara kesal dari Narendra kembali memenuhi telinga."Ma--masih, Naren. Aku dengerin kamu, kok," ucapku gugup."Dandan yang cantik. Nanti sore aku jemput.""Apa?" pekikku. Masih bingung dengan penuturan Narendra."Nggak usah pura-pura nggak denger. Sudah, ya, kerjaanku masih banyak. Aku cuma pengen denger suara kamu biar otak nggak ngebul. Bye, Rania! Sampai ketemu nanti sore."Aku masih melongo, tidak percaya dengan apa yang baru saja terdengar."Siang-siang melamun, ntar kesambet, loh, Mbak!"Aku sudah bersiap sejak selepas Asar dan menunggu kedatangan Narendra. Sebenarnya, tidak ingin terlalu berharap jika laki-laki itu akan datang. Namun, hati ini seolah tidak mengindahkan. Harapan saat ini hanyalah Narendra tidak mengingkari janjinya. Akan tetapi, hingga jarum pendek dan panjang jam kompak menunjuk angka lima, orang yang kutunggu tidak kunjung datang. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Mana mungkin seorang laki-laki muda, tampan, kaya, dan memiliki segalanya, mau pergi berdua denganku.Kutenggelamkan wajah pada kedua tangan yang terlipat di meja rias dengan mata terpejam. Jangan terlalu lugu, Rania. Ayolah, buang jauh-jauh rasa untuk laki-laki seperti sebelumnya! Tanpa terasa, ada sesuatu yang hangat mengalir dari kedua mata ini. Sebaiknya memang aku tidak membawa perasaan untuk laki-laki. "Mbak, pangeranmu datang, tuh!" Suara derit pintu disusul panggilan Rendy membuatku membuka mata. "Naren?" sahutku antusias sambil mengangkat kepala. Rendy memiringkan kepa
Narendra masuk ke ruang tangga darurat setelah melepas pelukannya. Meskipun aku berusaha menahan dengan mencekal pergelangan tangannya, dia tidak peduli. Laki-laki bermata cokelat itu langsung melampiaskan amarah kepada Rasya yang ternyata masih mematung di tempatnya. Untuk kali ini, suami Hana itu sama sekali tidak melawan. Bahkan, dia sama sekali tidak peduli dengan keberingasan Narendra yang memukulinya dengan membabi buta. Matanya justru terus saja menatapku tanpa beralih. Entah apa yang dipikirkannya tentangku dan Narendra. Apa pun itu, aku tidak peduli. Namun, melihatnya tidak berdaya dengan cukup banyak luka di wajah, aku sedikit iba. Segera kutangkap tangan Narendra yang tidak berhenti melayangkan bogem mentah. "Cukup, Naren. Kita pergi dari sini sebelum ada security yang melihat. Kita bisa mendapat masalah nanti."Narendra pun menurut dan kamu segera pergi dari hadapan laki-laki yang meringis kesakitan itu. Sakit di wajah dan tubuhnya tidak setara dengan luka yang dia ber
"Sudah siap, Ran?"Pertanyaan Narendra membuatku tersadar dari lamunan. Rupanya, kami sudah sampai di tempat tujuan, hotel milik keluarga Narendra yang ada di pusat kota. "Kamu sudah tahu tugasmu, 'kan?" tanyanya lagi sesaat setelah melepas sabuk pengaman. Sebuah gelengan menjadi jawabanku. Tentunya, aku masih bingung dengan tugas sebagai asisten pribadi bos. Namun, Narendra hanya menanggapi dengan senyum. "Kamu harus mengurusku, Rania.""Hah?!" Aku seketika memekik. "Mengurus bagaimana maksudmu?"Lagi-lagi, Narendra justru tertawa. Menyebalkan! "Ayo, turun! Nanti aku jelaskan di ruanganku."Laki-laki itu! Ah, aku harus bersabar menghadapi bos. Apalagi, dia sudah berbaik hati melunasi utang Ayah dan memberiku pekerjaan. Aku melihat bagaimana karyawan hotel menghormatinya. Narendra sepertinya atasan yang sangat disegani karena semua orang menyapa dengan santun, tanpa terlihat ketakutan terhadap atasan di matanya. Kami tiba di ruangan cukup luas dengan satu meja kerja yang terleta
Kejadian tadi siang membuatku harus dirawat inap sekarang. Aku pingsan saat sedang bekerja dan Narendra yang membawaku ke rumah sakit. Malu, itu yang kurasakan saat ini. Baru dua pekan bekerja, tapi kesehatan justru menurun. Di kamar yang terlihat mewah ini, aku hanya melihat Ibu. Beliau sedang tidur di sofa. Pasti tidak nyaman tidur dengan posisi seperti itu. Aku masih belum tahu tentang sakit apa yang menimpa tubuh ini. Tadi, aku sempat sadar sebentar, tapi setelah minum obat dan diberi suntikan oleh dokter, aku kembali tertidur. Bahkan, aku masih ingat kalau Natendra menemani di sini. "Kamu sudah bangun, Ran?" "Alhamdulillah, Mbak sudah bangun."Narendra dan Rendy berucap bersamaan saat baru saja membuka pintu. Mereka tampak kompak dengan postur tubuh yang hampir sama. "Kalian dari mana?" tanyaku lirih. Tenagaku masih belum terlalu pulih. "Habis makan malam, Mbak. Aku ditraktir calon suamimu yang ganteng ini. Padahal, aku tadi sudah hampir nonjok dia, tapi nggak jadi." Rendy
Narendra begitu panik. Dia membungkus pergelangan tanganku dengan selimut sambil berulang kali memencet bel darurat. Sakit memang, bahkan kepalaku kembali terasa ringan. Aku ingin segera memejam dan meninggalkan kesengsaraan ini. Namun, ada yang mengganjal perasaan. Aku yang awalnya tidak ingin mengandung benih Rasya, kini mencoba ikhlas setelah laki-laki itu sah menalakku. Ya, talak tiga dengan lantang diucapkan Rasya meskipun aku tahu jika dia melakukannya dengan ragu. Dia tahu persis bagaimana sifatku. Rania paling tidak suka dengan keputusan setengah-setengah. Karena jika dia hanya mengucap satu talak saja, kupastikan pecahan gelas itu akan menekan dan melukai lebih dalam."Jangan tidur dulu, Ran! Sebentar lagi, dokter datang dan mengobati lukamu." Narendra menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku tersenyum melihat wajah tampan Narendra saat panik seperti ini. Dia terlihat layaknya laki-laki sempurna yang memiliki banyak cinta untuk Rania. Akan tetapi, di sisi lain masih ada Rasya dan
PoV RasyaAwalnya, aku tidak percaya saat pertama kali melihat perempuan yang dipilih Hana untuk menjadi adik madunya. Wajah itu, wajah yang selama ini kucari. Dosa keluargaku kepadanya sangatlah besar. Namun, aku tidak bisa berkutik karena ada Hana di antara kami. Hingga akhirnya aku setuju untuk menikahi Rania. Tentu itu adalah keinginan terdalamku sejak dulu, menjadikan Rania bagian penting dalam hidup ini. Namun, kekuasaan dan kediktatoran Papa membuatku tidak bisa menolak apa pun yang beliau perintahkan. Termasuk meninggalkan Rania dan menikahi Hana meskipun masih berstatus mahasiswa semester empat, sedangkan Hana yang usianya beberapa tahun di atasku sudah sukses menjadi seorang dokter.Aku ingin sekali memiliki Rania seutuhnya setelah kami sah menjadi suami-istri secara agama, tapi hati ini menolak. Masih ada yang mengganjal karena aku melihat keterpaksaan di wajah perempuan berjilbab itu. Pasti kebenciannya kepadaku masih sangat besar. Namun, aku juga tidak bisa mengabaikan p
PoV RasyaDemi menjaga nama baik keluarga, aku terpaksa mengiyakan permintaan Papa. Padahal, aku memang menginginkan anak itu, tapi juga ibunya. Akan kupikirkan lagi bagaimana caranya nanti karena keberadaannya pun sulit dilacak satu bulan terakhir ini. Rumah yang seharusnya ditinggali Rania dan keluarganya tampak sepi dan para tetangga mengatakan jika mereka tidak pernah pulang ataupun memberi kabar. Sepertinya, Rania tahu jika aku akan mencari ke rumahnya. "Mas, kamu kenapa jadi seperti ini? Sampai mencukur kumis dan cambang saja tidak sempat. Apa semua ini karena Rania? Kamu juga tidak pernah lagi menyentuhku sejak Rania datang di hidup kita. Apa Mas nggak cinta lagi sama aku?"Hana, melihat wajahnya saja aku rasanya malas. Terlalu banyak muslihat yang dia lakukan hingga aku bisa terjebak dalam pernikahan tanpa cinta ini selama sepuluh tahun. "Bukan urusanmu. Aku akan segera menceraikanmu, Han. Entah Papa setuju atau tidak. Entah gak warisku akan dicabut atau tidak. Yang jelas, a
Pagi ini, langit tampak mendung dengan desir angin yang cukup dingin membelai wajah. Balkon lantai dua belas ini menjadi tempat favoritku sebulan terakhir ini. Sembari memandangi kota yang padat, aku mencoba menikmati hidup. Narendra sengaja menyuruhku pindah ke apartemen yang satu lantai dengan apartemennya bersama Ibu dan Rendy. Tepatnya, hanya ada dua apartemen di lantai dua belas ini. Yang kutempati dan yang Narendra tempati. Selepas pulang dari rumah sakit, apartemen ini sudah disiapkan dengan sempurna untuk menyambutku dan Narendra melamarku saat itu juga. "Kamu sudah tahu bagaimana perasaanku, Ran. Aku memang tidak bisa romantis, tapi setidaknya ini kulakukan tidak terlalu biasa." Narendra menghela napas panjang seraya menunduk. Kemudian, Ibu mendekat membawa sesuatu--kotak kecil dari kaca--dan diberikan kepada Narendra. "Be my queen, Rania Felisya Rose. Will you marry me?" Sebuah cincin berwarna putih tampak dari kotak kaca kecil yang terbuka. Aku tidak bisa berkata apa p
Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban
"Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa
Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare
Moment seru yang masih ingin kunikmati harus berhenti karena telepon dari Bi Harni. Katanya ada tamu yang menunggu. Suami-istri yang mengaku sebagai kakek dan nenek dari Febi. Aku dan Mas Narendra memutuskan untuk pulang karena dia juga mengenal siapa tamu yang dimaksud. Mereka mantan mertuanya, atau lebih tepatnya, orang tua Farah. Aku bisa menebaknya dari arah pembicaraan Bi Harni tadi karena memang dinyalakan loudspeaker saat panggilan berlangsung. "Mereka mau apa, ya, Mas? Kok, tiba-tiba aja datang nggak kasih pemberitahuan. Padahal, Febi sudah sama kita tiga bulanan." Pikiran yang tadi terus berputar di kepala, akhirnya kuungkapkan. "Aku juga nggak tahu, Ran. Semoga aja cuma kengen sama cucu," jawabnya. Aku bisa menafsirkan kalau ada keraguan dari nada suaranya.Sepasang suami-istri yang kutaksir usianya sekitar lima puluh tahunan itu saling pandang saat Mas Narendra menanyakan perihal kedatangan mereka. Keduanya seperti berdebat, tapi pelan. Mungkin agar percakapan mereka tid
Setelah dua pekan Mas Narendra dirawat, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Dari pemeriksaan terakhir, dikatakan kalau tumornya sudah hilang. Meskipun begitu, akan tetap dilakukan MRI saat kontrol selanjutnya untuk memastikan lagi. Dan sekarang--satu pekan setelah dia menjalani rawat jalan--kami sedang berjalan-jalan di taman area apartemen. Memang kawasan apartemen ini tergolong mewah dengan penghuninya kebanyakan orang berpunya. Itu sebabnya ada fasilitas umum yang dibuat untuk warga, seperti taman yang cukup luas ini. Mas Narendra memang dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan setiap harinya untuk menjaga kesehatan. Dan aku memulai dengan mengajaknya jalan kaki setiap pagi mulai hari ini. Dengan kaus, celana training, dan topi yang dipakai terbalik ke belakang, Mas Narendra terlihat begitu tampan. Meskipun masih ada rasa malu karena takut orang melihat kepalanya masih belum ditumbuhi rambut, dia tidak menolak ajakanku. "Sayang, apa kamu nggak capek?" tanyanya sambil menghentik
Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken
"Hari ini jadwal kontrol kamu, Mas. Aku nggak akan izinin Mas pergi ke luar kota. Obat Mas juga sudah habis kemarin."Ini kali kelima aku melarang sejak tadi pagi Mas Narendra menerima telepon dari Gagah. Dia harus berangkat ke luar kota karena salah satu cabang hotelnya mengalami kebakaran di beberapa bagian semalam. Meskipun hanya sepuluh persen yang hangus, tetap kerugian yang dialami cukup banyak. Apalagi ada beberapa korban yang mengalami luka bakar. "Sayang, hari ini saja, kok. Kontrol bisa besok, Lagi pula, Mas harus tanggung jawab dengan korban terluka." Dia masih bersikeras. "Aku ikut!" ucapku spontan. "Di sana sedang kena musibah, Sayang. Mas juga nggak mau kamu kecapekan karena perjalanan jauh. Kamu di sini saja sama Febi, ya. Kali ini, jangan membantah suami.""Kalau Mas sehat-sehat saja, aku juga nggak akan masalah, tapi kondisi Mas berbeda." Entah kenapa, air mataku mulai luruh. Kesal bercampur sedih. "Aku sehat, Ran. Aku baik-baik saja. Jangan pernah menganggap kala
Berharap pada kejujuran yang akan mengungkap jati dirinya memang sulit. Apalagi jika menunggu dalam kurun waktu cukup lama pun, terkadang hal itu tidak juga terjadi. Sekuat apa pun kepercayaanku kepada Mas Narendra tidak bisa membuang bukti yang begitu nyata di hadapan. Selepas mengantar Febi sekolah, Mas Narendra mengajakku pergi untuk memeriksakan kandungan. Ya, memang hari ini sudah dijadwalkan oleh dokter sejak terakhir kontrol. Itu sebabnya dia langsung pulang pagi ini. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan memilih memandang ke kiri. Mas Narendra pun tidak berusaha membuka obrolan sejak tadi hingga senyap menjadi pengiring suasana dalam mobil. "Sudah sampai, Ran. Ayo, turun!" ajaknya.Aku bergeming. Selagi ini di rumah sakit, aku ingin menyampaikan apa yang mengganjal di hati. Mungkin, melakukan tes DNA akan bisa melegakan rasa penasaranku dan hubungan kami bisa segera membaik tanpa ada lagi prasangka. "Lakukan tes DNA, Mas," jawabku pelan setelah beberapa saat terdiam. T
Fakta memang harus diungkap meskipun menyakitkan. Namun, hal itu akan membawa ketenangan setelahnya karena tidak ada lagi yang membuat hati bertanya-tanya. Kebenaran tentang Farah dan Febi akhirnya bisa membuatku lega. Bahkan, kepercayaan kepada Mas Narendra sudah kembali. Tanpa perlu bukti lebih, aku sudah percaya sepenuhnya dengan laki-laki dua puluh delapan tahun itu. Warna matanya memang sama dengan Febi, tapi itu adalah keturunan dari almarhum Papa yang memiliki warna cokelat terang. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang mempunyai bola mata berwarna hitam. "Aku percaya sama Mas. Aku percaya ...." Setelah berucap, tubuhku melemas, tapi kesadaran ini masih terjaga. Mas Narendra pun menahanku yang hampir roboh. Kemudian, aku sudah berpindah dalam gedongannya. "Aku percaya, Mas," ucapku lagi sembari menyandarkan kepala di dadanya. Bisa kudengar detak jantung yang cukup cepat sambil menghidu aroma tubuh suami tercinta. Aku tidak peduli lagi dengan sekitar. Pastinya, adeg