Share

Obat

Author: Okta Novita
last update Last Updated: 2022-12-07 15:28:12

Aku ingat betul apa yang akan dilakukan suami Hana itu. Dia mengunci tubuh yang sudah terpojok ini sambil menekan kuat pergelangan tanganku di dinding. Sudah tidak ada jarak lagi antara kami, dan hanya tersekat pakaian di badan. Wajahnya tampak beringas sambil memandangku dengan tajam.

"Ja--jangan lakukan. Katamu ti-tidak akan--"

Seketika, dia membungkam mulutku dengan kasar hingga napas ini mulai tercekat. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah datang sebelumnya. Rasa bagai disengat aliran listrik hingga seluruh tubuh menegang.

Susah payah aku meronta, tapi tenaga laki-laki di hadapan ini jauh lebih besar. Entah apa yang merasukinya saat ini hingga cara berpikirnya berubah seratus delapan puluh derajat. Semalam, sangat jelas jika dia tidak ingin menyentuhku seujung rambut pun, tapi sekarang?

Aku hanya bisa menitikkan air mata karena dia tidak juga melepas cengkeraman tangan dan juga sesuatu yang menyebalkan di mulut ini.

"Aaa ... apa yang kamu lakukan?" Kudorong tubuh laki-laki itu saat tenaganya berangsur mengendur.

"Cepat pergi dari sini! Atau aku akan melakukan lebih!" bentaknya seraya memalingkan wajah.

Aku pun segera berlari ke arah pintu, tapi terkunci.

"Mana kuncinya?" teriakku dengan seluruh tubuh yang sudah bergetar.

"Hana!" ucapnya geram. Kemudian, dia melangkah cepat dan masuk ke kamar mandi.

Entah apa yang dia lakukan, tapi aku benar-benar bingung dengan keadaan ini. Laki-laki itu memang suamiku sekarang dan dia sudah menang satu langkah.

Aku mengambil selimut dan membungkus seluruh tubuh hingga kepala. Auratku sudah dilihatnya. Aku menyesal sudah menerima permintaan Hana. Di usia kedua puluh delapan ini, aku belum siap melakukan hal itu. Apalagi, tanpa adanya sebuah cinta.

***

"Apa yang kamu masukkan pada minumanku tadi, Han?"

"Nggak ada, Mas. Itu tadi cuma teh hangat biasa," jawab Hana.

"Jawab jujur atau aku akan menceraikannya sekarang juga!" hardik suami Hana.

Ya, aku memang enggan sekali menyebut namanya. Aku memang mengenalnya, tapi dia yang sekarang sudah tidak seperti dulu. Bahkan, aku makin membencinya setelah apa yang dilakukannya tadi.

Hana mulai terisak. Hatinya memang begitu sensitif dan terlalu lembut. Sangat bertolak belakang dengan suaminya yang angkuh dan menyebalkan itu.

Akan tetapi, aku tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Hana. Dia sampai memasukkan obat untuk membuat suaminya hilang kendali. Beruntung, laki-laki itu masih setengah sadar tadi, hingga bisa kembali mengontrol diri. Ternyata, itu sebabnya dia mengunci diri di kamar mandi.

"Aku memberikan sedikit obat agar kalian segera melakukannya," lirih Hana berucap. "Aku sudah lelah menjadi gunjingan di keluargamu, Mas. Kalau Rania segera hamil, kita akan segera punya anak dan aku tidak akan malu lagi menjadi istrimu."

Ah, aku paham sekali dengan apa yang Hana rasakan, tapi apa semua ini benar? Ingin rasanya membatalkan perjanjian dengan Hana kemarin dan akan kukembalikan semua uang yang sudah diberikannya. Namun, keadaan Ibu membuatku gamang. Aku butuh uang itu.

Aku begitu benci saat ada perempuan perusak rumah tangga orang, tapi aku justru menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Hana, orang yang sangat baik kepada keluargaku. Namun, ini semua bukan mauku.

"Tolong, Mas. Aku sudah memerilsakan Rania pekan lalu dan dua hari ini adalah masa suburnya. Lakukanlah sekali saja dan semoga itu tidak gagal. Dengan begitu, kamu tidak perlu mengulanginya lagi." Hana mengiba. Tangannya meremas jemari sang suami.

Gila! Memangnya aku ini apa? Sekali jadi? Mustahil rasanya.

"Please ...." Suara Hana terdengar sangat lirih.

"Akan aku coba, tapi aku tidak bisa berjanji," jawab laki-laki genderuwo itu.

Hm, aku hanya dijadikan alat uju coba. Menyebalkan!

Setelah perdebatan itu menemui titik temu, aku bisa makan dengan tenang. Sarapan pun kesiangan gara-gara sepasang suami-istri yang layaknya langit dan bumi.

"Aku ada janji dengan Diana kalau akan mampir ke rumahnya. Tolong gunakan waktu itu dengan baik," ucap Hana setelah menghabiskan sarapannya. Lalu, perempuan cantik dengan rambut lurus sepunggung itu berdiri dari duduk.

"Han ...." Sang suami ikut berdiri dan sebentar lagi, pasti adegan sinetron ikan terbang akan tayang lagi.

"Aku percaya kalau cinta Mas Rasya sepenuhnya untukku." Hana merogoh tasnya, lalu memberikan sesuatu di genggaman suaminya. "Gunakan ini agar semuanya lancar."

Perkataan Hana makin membuatku tidak punya harga diri. Aku menyerahkan hal paling berharga di tubuh ini hanya untuk uang. Bahkan, jika ada anak yang mungkin kelahiran, harus kuberikan kepadanya. Seperti ibu yang menjual anaknya sendiri.

Setelah Hana menghilang dari pandangan, laki-laki bermanik mata hitam pekat itu menarik tanganku dengan kuat. Cukup sakit rasanya.

"Sakit tahu," kataku kesal sambil menarik tangan dengan kasar.

"Aku tidak mau buang-buang waktu. Kita lakukan sekarang dan selesai," jawabnya tak kalah kesal.

"Kamu anggap, aku ini barang, hah? Aku juga punya perasaan." Napasku memburu karena ucapannya yang benar-benar tidak bereperasaan.

Dia diam dan kembali menarik tanganku. Tidak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain mengikuti langkah lebarnya yang tergesa-gesa.

Tiba di kamar, dia melepaskan tanganku dengan kasar hingga tubuh ini terempas di tempat tidur. Kemudian, laki-laki itu menuju meja makan dan mengambil satu gelas air mineral. Dia membuka sesuatu yang sedari tadi digenggam, lalu diminum dengan buru-buru.

"Aku melakukan ini untukmu, Han," ucapnya sembari menjatuhkan diri di kursi.

Sementara aku hanya bisa mematung, duduk di tepi tempat tidur. Apa aku akan benar-benar menyerahkannya hari ini kepada Rasya?

Ya, Rasya. Nama yang selalu membuat rasa benciku kembali memuncak. Karena dia, Ayah kehilangan perusahaan yang dibangun dari nol, hingga perlahan-lahan penyakit menggerogoti tubuh laki-laki yang begitu aku sayangi. Dan semuanya makin buruk saat Ayah pergi untuk selamanya.

Beberapa saat aku terpaku pada masa lalu hingga tanpa sadar, Rasya sudah ada di depanku dengan tatapan menusuk. Sepertinya, apa yang diminum tadi adalah obat yang sama seperti yang sengaja dimasukkan Hana pada minumannya.

"Aku membencimu, Rasya! Aku membencimu!" teriakku saat laki-laki di hadapan kian memangkas jarak. Seketika itu pula, aku berlari dan mengunci diri di kamar mandi.

"Kamu sudah membuat ayahku meninggal dan aku berjanji akan menghancurkanmu, Rasya," gumamku. Tubuh ini bersandar pada pintu kamar mandi yang tertutup.

Aku memang terlalu buru-buru menyetujui permintaan Hana tanpa tahu siapa suaminya terlebih dahulu. Dan setelan kami bertemu, aku tidak bisa mengelak dan menolak lagi hingga sekarang, aku benar-benar bingung harus berbuat apa. Aku tidak ingin mengecewakan Hana, tapi aku justru ingin menghancurkan suaminya.

"Aku tahu kamu adalah bunga mawarku yang dulu, tapi kamu terlalu berduri dan membuatku terluka. Setelah sekian lama kamu menghilang, sekarang justru kamu yang datang dengan sendirinya. Buka pintunya Rania Felisya Rose!"

Sejenak hening, tapi seketika pintu kamar mandi ini bergetar kuat bersamaan dengan suara keras. Rasya mendobrak pintu ini hingga aku jatuh terjerembab.

"Tuntaskan dendam kita sekarang juga, Rania."Dua bola mata itu menatap begitu tajam, membuat nyaliku seketika menciut.

Related chapters

  • Mengejar Cinta Rania   Laki-laki di Masa Lalu

    "Cukup sekali ini aku menyentuhmu. Dan uang yang kamu inginkan akan aku beri di luar dari yang Hana berikan." Laki-laki itu kemudian berjalan ke luar, tapi urung membuka pintu dan kembali berbalik. "Semoga kamu segera hamil dan segera juga pergi dari kehidupanku." Mendengar ucapan terakhir Rasya itu justru makin membuat hati ini tersiksa. Dia menganggapku sama dengan perempuan di luaran sana. Perempuan yang telah menjual kehormatan demi uang. Nyeri di dada ini menyertai nyeri di bagian bawah. "Aku benci kamu, Rasya!" Aku hanya bisa menyesali apa yang sudah terjadi kali ini. Dia memang cinta pertamaku, tapi dia juga neraka bagi keluargaku. Sekelebat ingatan masa lalu kembali membayang. Saat di mana Rasya begitu menghargaiku sebagai seorang perempuan dan dia memperjuangkan cinta kami meskipun orang tuanya melarang. Hubungan yang terjalin selama tiga tahun sejak kami duduk di bangku SMA. Dia sebagai siswa kelas tiga yang begitu dikagumi oleh para siswa perempuan hampir satu sekolah

    Last Updated : 2022-12-07
  • Mengejar Cinta Rania   Keputusan Telak

    "Aku ingat siapa dia, Ran. Dia, anak dari orang yang sudah menghancurkan keluargamu, 'kan?"Aku menarik napas panjang seraya memejam untuk sekadar menghalau sesak di dada. Saat kembali mengingat luka lama itu, hati ini begitu perih terasa. Narendra memang tahu semuanya, bahkan dia satu-satunya orang yang selalu ada saat teman yang lain mulai menjauh karena fitnah matre yang diaebarkan di seantero kampus. Mungkin bukan Rasya yang menyebarkan berita hoax itu, tapi sakit hatiku untuknya sudah telanjur mengakar. "Kalian ada hubungan apa? Kamu bilang, dia kakak ipar, tapi dia bilang suamimu. Mana yang benar?" Narendra terus mencecar.Setelah cukup lama terdiam, semua yang mengganjal di hati ini pun keluar. Aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Narendra. Bahkan, tentang pernikahan siriku dengan Rasya yang baru dua hari ini terjadi. Aku terisak sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dan sebuah dekapan membuat hati ini menghangat. Narendra memelukku tanpa bertanya a

    Last Updated : 2022-12-07
  • Mengejar Cinta Rania   Tidak Mungkin Positif

    Perempuan paruh baya yang tubuhnya hampir mirip dengan tulang berbungkus kulit saja itu tergopoh-gopoh mrnghampiriku yang baru saja turun dari mobil Narendra. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari. Perempuan berjilbab hitam itu langsung memelukku dengan tubuhnya yang terasa bergetar. Bahkan, napasnya yang sedikit berat pun, aku bisa merasakannya dari gerakan dada dan suaranya. "Kamu ke mana saja, Rania? Ibu cemas mikirin kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. "Nia ceritakan di dalam, ya, Bu. Di luar dingin, nggak bagus buat kesehatan Ibu." Kulepas pelukan Ibu, lalu menggamit lengannya. Kami berjalan masuk ke rumah diikuti Narendra. Entah kenapa, Ibu bisa sehisteris itu, padahal aku sudah berpamitan jika akan pergi selama dua hari untuk mencari uang. Sore ini adalah hari jatuh tempo utang Ayah yang jumlahnya masih mencapai lima puluh juta rupiah, sedangkan tabungan pun kami tidak ada. Gaji bulananku dari bekerja sebagai kurir online dan penyanyi kafe setiap malam habis

    Last Updated : 2022-12-07
  • Mengejar Cinta Rania   Ancaman Rasya

    Aku sudah bersiap sejak selepas Asar dan menunggu kedatangan Narendra. Sebenarnya, tidak ingin terlalu berharap jika laki-laki itu akan datang. Namun, hati ini seolah tidak mengindahkan. Harapan saat ini hanyalah Narendra tidak mengingkari janjinya. Akan tetapi, hingga jarum pendek dan panjang jam kompak menunjuk angka lima, orang yang kutunggu tidak kunjung datang. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Mana mungkin seorang laki-laki muda, tampan, kaya, dan memiliki segalanya, mau pergi berdua denganku.Kutenggelamkan wajah pada kedua tangan yang terlipat di meja rias dengan mata terpejam. Jangan terlalu lugu, Rania. Ayolah, buang jauh-jauh rasa untuk laki-laki seperti sebelumnya! Tanpa terasa, ada sesuatu yang hangat mengalir dari kedua mata ini. Sebaiknya memang aku tidak membawa perasaan untuk laki-laki. "Mbak, pangeranmu datang, tuh!" Suara derit pintu disusul panggilan Rendy membuatku membuka mata. "Naren?" sahutku antusias sambil mengangkat kepala. Rendy memiringkan kepa

    Last Updated : 2022-12-27
  • Mengejar Cinta Rania   Rasa yang Membuat Dilema

    Narendra masuk ke ruang tangga darurat setelah melepas pelukannya. Meskipun aku berusaha menahan dengan mencekal pergelangan tangannya, dia tidak peduli. Laki-laki bermata cokelat itu langsung melampiaskan amarah kepada Rasya yang ternyata masih mematung di tempatnya. Untuk kali ini, suami Hana itu sama sekali tidak melawan. Bahkan, dia sama sekali tidak peduli dengan keberingasan Narendra yang memukulinya dengan membabi buta. Matanya justru terus saja menatapku tanpa beralih. Entah apa yang dipikirkannya tentangku dan Narendra. Apa pun itu, aku tidak peduli. Namun, melihatnya tidak berdaya dengan cukup banyak luka di wajah, aku sedikit iba. Segera kutangkap tangan Narendra yang tidak berhenti melayangkan bogem mentah. "Cukup, Naren. Kita pergi dari sini sebelum ada security yang melihat. Kita bisa mendapat masalah nanti."Narendra pun menurut dan kamu segera pergi dari hadapan laki-laki yang meringis kesakitan itu. Sakit di wajah dan tubuhnya tidak setara dengan luka yang dia ber

    Last Updated : 2022-12-27
  • Mengejar Cinta Rania   Menjadi Asisten Pribadi

    "Sudah siap, Ran?"Pertanyaan Narendra membuatku tersadar dari lamunan. Rupanya, kami sudah sampai di tempat tujuan, hotel milik keluarga Narendra yang ada di pusat kota. "Kamu sudah tahu tugasmu, 'kan?" tanyanya lagi sesaat setelah melepas sabuk pengaman. Sebuah gelengan menjadi jawabanku. Tentunya, aku masih bingung dengan tugas sebagai asisten pribadi bos. Namun, Narendra hanya menanggapi dengan senyum. "Kamu harus mengurusku, Rania.""Hah?!" Aku seketika memekik. "Mengurus bagaimana maksudmu?"Lagi-lagi, Narendra justru tertawa. Menyebalkan! "Ayo, turun! Nanti aku jelaskan di ruanganku."Laki-laki itu! Ah, aku harus bersabar menghadapi bos. Apalagi, dia sudah berbaik hati melunasi utang Ayah dan memberiku pekerjaan. Aku melihat bagaimana karyawan hotel menghormatinya. Narendra sepertinya atasan yang sangat disegani karena semua orang menyapa dengan santun, tanpa terlihat ketakutan terhadap atasan di matanya. Kami tiba di ruangan cukup luas dengan satu meja kerja yang terleta

    Last Updated : 2022-12-28
  • Mengejar Cinta Rania   Talak yang Kunanti

    Kejadian tadi siang membuatku harus dirawat inap sekarang. Aku pingsan saat sedang bekerja dan Narendra yang membawaku ke rumah sakit. Malu, itu yang kurasakan saat ini. Baru dua pekan bekerja, tapi kesehatan justru menurun. Di kamar yang terlihat mewah ini, aku hanya melihat Ibu. Beliau sedang tidur di sofa. Pasti tidak nyaman tidur dengan posisi seperti itu. Aku masih belum tahu tentang sakit apa yang menimpa tubuh ini. Tadi, aku sempat sadar sebentar, tapi setelah minum obat dan diberi suntikan oleh dokter, aku kembali tertidur. Bahkan, aku masih ingat kalau Natendra menemani di sini. "Kamu sudah bangun, Ran?" "Alhamdulillah, Mbak sudah bangun."Narendra dan Rendy berucap bersamaan saat baru saja membuka pintu. Mereka tampak kompak dengan postur tubuh yang hampir sama. "Kalian dari mana?" tanyaku lirih. Tenagaku masih belum terlalu pulih. "Habis makan malam, Mbak. Aku ditraktir calon suamimu yang ganteng ini. Padahal, aku tadi sudah hampir nonjok dia, tapi nggak jadi." Rendy

    Last Updated : 2022-12-29
  • Mengejar Cinta Rania   Kedatangan Rasya Lagi

    Narendra begitu panik. Dia membungkus pergelangan tanganku dengan selimut sambil berulang kali memencet bel darurat. Sakit memang, bahkan kepalaku kembali terasa ringan. Aku ingin segera memejam dan meninggalkan kesengsaraan ini. Namun, ada yang mengganjal perasaan. Aku yang awalnya tidak ingin mengandung benih Rasya, kini mencoba ikhlas setelah laki-laki itu sah menalakku. Ya, talak tiga dengan lantang diucapkan Rasya meskipun aku tahu jika dia melakukannya dengan ragu. Dia tahu persis bagaimana sifatku. Rania paling tidak suka dengan keputusan setengah-setengah. Karena jika dia hanya mengucap satu talak saja, kupastikan pecahan gelas itu akan menekan dan melukai lebih dalam."Jangan tidur dulu, Ran! Sebentar lagi, dokter datang dan mengobati lukamu." Narendra menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku tersenyum melihat wajah tampan Narendra saat panik seperti ini. Dia terlihat layaknya laki-laki sempurna yang memiliki banyak cinta untuk Rania. Akan tetapi, di sisi lain masih ada Rasya dan

    Last Updated : 2023-01-01

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Rania   Rasa Sakit yang Terbayar

    Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban

  • Mengejar Cinta Rania   Kepanikan Tengah Malam

    "Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa

  • Mengejar Cinta Rania   Bertemu Rasya Lagi

    Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare

  • Mengejar Cinta Rania   Bercanda yang Keterlaluan

    Moment seru yang masih ingin kunikmati harus berhenti karena telepon dari Bi Harni. Katanya ada tamu yang menunggu. Suami-istri yang mengaku sebagai kakek dan nenek dari Febi. Aku dan Mas Narendra memutuskan untuk pulang karena dia juga mengenal siapa tamu yang dimaksud. Mereka mantan mertuanya, atau lebih tepatnya, orang tua Farah. Aku bisa menebaknya dari arah pembicaraan Bi Harni tadi karena memang dinyalakan loudspeaker saat panggilan berlangsung. "Mereka mau apa, ya, Mas? Kok, tiba-tiba aja datang nggak kasih pemberitahuan. Padahal, Febi sudah sama kita tiga bulanan." Pikiran yang tadi terus berputar di kepala, akhirnya kuungkapkan. "Aku juga nggak tahu, Ran. Semoga aja cuma kengen sama cucu," jawabnya. Aku bisa menafsirkan kalau ada keraguan dari nada suaranya.Sepasang suami-istri yang kutaksir usianya sekitar lima puluh tahunan itu saling pandang saat Mas Narendra menanyakan perihal kedatangan mereka. Keduanya seperti berdebat, tapi pelan. Mungkin agar percakapan mereka tid

  • Mengejar Cinta Rania   Nyaman Bersamanya

    Setelah dua pekan Mas Narendra dirawat, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Dari pemeriksaan terakhir, dikatakan kalau tumornya sudah hilang. Meskipun begitu, akan tetap dilakukan MRI saat kontrol selanjutnya untuk memastikan lagi. Dan sekarang--satu pekan setelah dia menjalani rawat jalan--kami sedang berjalan-jalan di taman area apartemen. Memang kawasan apartemen ini tergolong mewah dengan penghuninya kebanyakan orang berpunya. Itu sebabnya ada fasilitas umum yang dibuat untuk warga, seperti taman yang cukup luas ini. Mas Narendra memang dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan setiap harinya untuk menjaga kesehatan. Dan aku memulai dengan mengajaknya jalan kaki setiap pagi mulai hari ini. Dengan kaus, celana training, dan topi yang dipakai terbalik ke belakang, Mas Narendra terlihat begitu tampan. Meskipun masih ada rasa malu karena takut orang melihat kepalanya masih belum ditumbuhi rambut, dia tidak menolak ajakanku. "Sayang, apa kamu nggak capek?" tanyanya sambil menghentik

  • Mengejar Cinta Rania   Memohon Kesembuhan

    Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken

  • Mengejar Cinta Rania   Malu Dilihat Orang

    "Hari ini jadwal kontrol kamu, Mas. Aku nggak akan izinin Mas pergi ke luar kota. Obat Mas juga sudah habis kemarin."Ini kali kelima aku melarang sejak tadi pagi Mas Narendra menerima telepon dari Gagah. Dia harus berangkat ke luar kota karena salah satu cabang hotelnya mengalami kebakaran di beberapa bagian semalam. Meskipun hanya sepuluh persen yang hangus, tetap kerugian yang dialami cukup banyak. Apalagi ada beberapa korban yang mengalami luka bakar. "Sayang, hari ini saja, kok. Kontrol bisa besok, Lagi pula, Mas harus tanggung jawab dengan korban terluka." Dia masih bersikeras. "Aku ikut!" ucapku spontan. "Di sana sedang kena musibah, Sayang. Mas juga nggak mau kamu kecapekan karena perjalanan jauh. Kamu di sini saja sama Febi, ya. Kali ini, jangan membantah suami.""Kalau Mas sehat-sehat saja, aku juga nggak akan masalah, tapi kondisi Mas berbeda." Entah kenapa, air mataku mulai luruh. Kesal bercampur sedih. "Aku sehat, Ran. Aku baik-baik saja. Jangan pernah menganggap kala

  • Mengejar Cinta Rania   Akhirnya Terungkap

    Berharap pada kejujuran yang akan mengungkap jati dirinya memang sulit. Apalagi jika menunggu dalam kurun waktu cukup lama pun, terkadang hal itu tidak juga terjadi. Sekuat apa pun kepercayaanku kepada Mas Narendra tidak bisa membuang bukti yang begitu nyata di hadapan. Selepas mengantar Febi sekolah, Mas Narendra mengajakku pergi untuk memeriksakan kandungan. Ya, memang hari ini sudah dijadwalkan oleh dokter sejak terakhir kontrol. Itu sebabnya dia langsung pulang pagi ini. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan memilih memandang ke kiri. Mas Narendra pun tidak berusaha membuka obrolan sejak tadi hingga senyap menjadi pengiring suasana dalam mobil. "Sudah sampai, Ran. Ayo, turun!" ajaknya.Aku bergeming. Selagi ini di rumah sakit, aku ingin menyampaikan apa yang mengganjal di hati. Mungkin, melakukan tes DNA akan bisa melegakan rasa penasaranku dan hubungan kami bisa segera membaik tanpa ada lagi prasangka. "Lakukan tes DNA, Mas," jawabku pelan setelah beberapa saat terdiam. T

  • Mengejar Cinta Rania   Hati yang Masih Tersayat

    Fakta memang harus diungkap meskipun menyakitkan. Namun, hal itu akan membawa ketenangan setelahnya karena tidak ada lagi yang membuat hati bertanya-tanya. Kebenaran tentang Farah dan Febi akhirnya bisa membuatku lega. Bahkan, kepercayaan kepada Mas Narendra sudah kembali. Tanpa perlu bukti lebih, aku sudah percaya sepenuhnya dengan laki-laki dua puluh delapan tahun itu. Warna matanya memang sama dengan Febi, tapi itu adalah keturunan dari almarhum Papa yang memiliki warna cokelat terang. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang mempunyai bola mata berwarna hitam. "Aku percaya sama Mas. Aku percaya ...." Setelah berucap, tubuhku melemas, tapi kesadaran ini masih terjaga. Mas Narendra pun menahanku yang hampir roboh. Kemudian, aku sudah berpindah dalam gedongannya. "Aku percaya, Mas," ucapku lagi sembari menyandarkan kepala di dadanya. Bisa kudengar detak jantung yang cukup cepat sambil menghidu aroma tubuh suami tercinta. Aku tidak peduli lagi dengan sekitar. Pastinya, adeg

DMCA.com Protection Status