Home / Rumah Tangga / Mengejar Cinta Rania / Laki-laki di Masa Lalu

Share

Laki-laki di Masa Lalu

Author: Okta Novita
last update Last Updated: 2022-12-07 15:29:30

"Cukup sekali ini aku menyentuhmu. Dan uang yang kamu inginkan akan aku beri di luar dari yang Hana berikan." Laki-laki itu kemudian berjalan ke luar, tapi urung membuka pintu dan kembali berbalik.

"Semoga kamu segera hamil dan segera juga pergi dari kehidupanku."

Mendengar ucapan terakhir Rasya itu justru makin membuat hati ini tersiksa. Dia menganggapku sama dengan perempuan di luaran sana. Perempuan yang telah menjual kehormatan demi uang. Nyeri di dada ini menyertai nyeri di bagian bawah.

"Aku benci kamu, Rasya!"

Aku hanya bisa menyesali apa yang sudah terjadi kali ini. Dia memang cinta pertamaku, tapi dia juga neraka bagi keluargaku.

Sekelebat ingatan masa lalu kembali membayang. Saat di mana Rasya begitu menghargaiku sebagai seorang perempuan dan dia memperjuangkan cinta kami meskipun orang tuanya melarang.

Hubungan yang terjalin selama tiga tahun sejak kami duduk di bangku SMA. Dia sebagai siswa kelas tiga yang begitu dikagumi oleh para siswa perempuan hampir satu sekolah karena ketampanannya dan pastinya kekayaan orang tuanya. Namun, entah kenapa cintanya jatuh kepadaku, seorang siswi kelas satu dari keluarga biasa saja dan pendiam.

Tiba saat Rasya lulus dan melanjutkan kuliah, kami masih tetap menjalin hubungan. Awalnya, semua baik-baik saja hingga hubungan kami diendus oleh orang tua Rasya. Mereka menganggapku hanya sebagai benalu yang mengincar kekayaan hingga usaha apa pun keluarga Rasya lakukan untuk memisahkan kami.

Aku dan Rasya masih mencoba bertahan, tapi semua usaha kami sia-sia. Bahkan, ayah Rasya bertindak nekat dengan membuat perusahaan kecil yang dibangun ayahku dari nol hancur karena fitnah yang keji. Keluarga kaya raya itu tiba-tiba menjalin kerja sama dengan perusahaan Ayah dan akhirnya memberikan tuduhan kepada Ayah tentang penggelapan uang.

Sejak saat itulah kesengsaraan menimpa keluargaku. Ayah sakit-sakitan, utang menggunung, dan aku terpaksa putus kuliah setelah laki-laki pertama dalam hidup ini pergi selamanya.

"Aku benci kamu, Rasya."

Aku hanya bisa menangis dalam diam. Aku bersumpah akan membuatnya menderita dengan menggunakan anak yang kukandung nantinya. Aku juga akan membuatnya jatuh cinta lagi kepada perempuan masa lalunya ini, lalu mencampakkannya. Aku ingin melihatnya hancur tidak cukup satu kali.

***

Waktu begitu cepat bergulir menjadi malam. Aku sama sekali tidak bisa keluar dari kamar meskipun perut sudah protes minta diisi. Aku tidak memegang kunci kamar ini dan ponsel juga kehabisan beterai. Lengkap sudah penderitaanku. Sementara aku juga tidak bisa menggunakan telepon kamar ini.

Aku memilih menghabiskan waktu dengan menonton televisi yang menyiarkan drama Korea. Paling tidak, bisa sedikit membuat hatiku yang membatu ini sedikit mencair. Dan lagi untuk mengalihkan pikiran agar cacing-cacing di perut ini tak kebanyakan tingkah.

"Kamu sedang apa, Ran? Sepertinya asyik?"

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Hana akhirnya datang membawa nampan berisi makanan, lalu meletakkannya di nakas. Sepiring nasi beserta lauk terlihat begitu menggoda di sana. Aku tidak sama sekali tidak menyadari kedatangannya.

"Maafin Mas Rasya, ya. Dia lupa kalau kamu tidak memegang kunci kamar ini. Kamu pasti belum makan sejak siang, 'kan?" Kini, Hana duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping kiriku.

Aku tersenyum tipis. Memangnya, dia baru tahu kalau suaminya itu menyebalkan. Padahal, memang sejak lama Rasya seperti itu.

"Makanlah, lalu istirahat. Besok pagi, kita akan pulang." Hana mengusap lenganku pelan.

"Besok? Pulang?" Aku begitu terkejut mendengar penuturan Hana.

Ah, syukurlah. Aku tidak perlu melakukannya lagi dengan laki-laki genderuwo itu.

Kedua ujung bibir perempuan berhidung mancung itu tertarik ke atas, membuat lengkungan indah yang makin menampakkan kecantikan alaminya. Lantas, meremas tanganku dengan lembut.

"Terima kasih, Ran. Semoga di dalam sini sudah ada anak Mas Rasya."

Aku memutar bola mata malas saat Hana beralih memegang perut ini yang entah sudah tertanam benih suaminya atau belum. Dia sangat antusias dengan rencana yang pasti melukai hatinya sendiri.

Aku berdecak dalam hati. Mana ada perempuan yang rela membagi suaminya dengan perempuan lain selain Hana. Baru satu perempuan ini yang kukenal begitu tegar, bahkan dia sendiri yang memilihkan istri kedua untuk laki-laki yang sepertinya sangat dicintainya.

Aku kembali tersenyum. "Aku mau menagih janjimu, Mbak Hana."

"Tentu, Ran. Uangnya sudah aku siapkan, tapi setelah memberikan uang itu, selanjutnya kamu akan tinggal bersamaku."

Ya, untung saja dia langsung paham apa yang menjadi maksud ucapanku. Jadi, tidak perlu lagi menjelaskan panjang-lebar seperti penagih utang. Hanya saja, untuk tinggal bersamanya itu terasa sangat berat. Namun, aku juga tidak punya pilihan lain.

"Apa? Itu tidak ada dalam perjanjian, Mbak," sanggahku dengan mata memelotot menatap perempuan berambut panjang itu.

"Aku tidak mau ambil risiko, Ran. Aku sendiri yang akan memastikan kesehatanmu. Dan jika hasil pemeriksaan minggu depan kamu sudah dinyatakan positif, aku juga yang akan melayani semua kebutuhanmu."

"Aku harus bilang apa sama Ibu?" ucapku pelan seraya menunduk.

Jemari ini saling meremas karena jika teringat tentang perempuan yang telah melahirkanku itu, hati ini terasa begitu takut. Aku tidak tahu apa yang akan Ibu katakan jika tahu putri sulungnya ini menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang.

"Aku yang akan bilang sama ibumu. Aku akan memberi alasan kalau kamu diterima menjadi asisten pribadiku dan akan ikut ke kota." Hana tampak sangat yakin dengan keputusannya.

"Aku tidak setuju membawanya pulang ke rumah kita, Han. Apa yang akan orang bilang nanti? Lalu, mamamu bagaimana? Hampir setiap pekan dia datang berkunjung, bahkan bisa dua hari sekali. Apa yang akan kamu katakan padanya?"

Ah, laki-laki dengan tubuh besar itu tiba-tiba saja muncul layaknya genderuwo yang mempunyai kekuatan ajaib. Apa dia tidak diajarkan sopan-santun oleh orang tuanya? Mentang-mentang orang kaya menjadikannya bisa seenaknya sendiri.

***

Malam terakhir di hotel, Hana mengizinkanku keluar dari kamar untuk sekadar menikmati suasana indah di kota ini. Aku juga sengaja membiarkan pasangan suami-istri itu menikmati kebersamaan mereka sebelum nantinya aku akan merusak rumah tangga mereka hingga ke akarnya. Bukan karena masih mencintai Rasya, tapi untuk menuntaskan dendam Ayah.

Cukup dengan berjalan kaki di sekitar hotel, aku bisa merasakan sedikit kebebasan. Tampak awan-awan putih berarak di bawah gelapnya langit yang hanya dihiasi sinar bulan sabit.

Aku duduk di tepi kolam renang yang terletak di area rooftop hotel sambil mengagumi ciptaan Sang Mahabesar. Aku begitu kecil di sini, sendirian, dan terjebak dalam permainan yang kubuat sendiri.

"Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini."

Aku menoleh saat suara yang sangat familier menyapa telinga. Seorang laki-laki berkulit putih dengan satu giwang di telinga kanan sudah duduk di sebelah kananku. Sorot matanya tidak sama dengan kebanyakan orang Indonesia, sedikit lebih terang dan agak kecokelatan saat terkena oantulan cahaya lampu.

Aku menelisik sosok itu dari atas sampai bawah, tapi masih belum bisa mengingat siapa dia. Hanya saja, suara itu sepertinya aku sangat mengenalnya.

"Belum ingat?" tanyanya seraya tersenyum. Kedua alisnya naik dan lama-lama tampak mengernyit.

Astaga! Manis sekali!

Entah bagaimana penampakan wajahku kali ini. Yang jelas, kedua pipi ini sudah terasa panas.

"Kamu masih sama saja seperti dulu, Ran. Nggak berubah! Selalu centil dengan laki-laki ganteng seperti aku."

"Narendra?" ucapku dengan nada sedikit terkejut.

Laki-laki di hadapan mengangguk. Ini kebetulan yang tidak kusangka. Bisa bertemu dengan Narendra bisa kusebut sebagai keajaiban dunia Rania.

"Kok, makin mirip sama Oppa-oppa Korea?" Keduantanganku menangkup wajahnya, lalu mencubit pipi mulus layaknya porselen itu.

"Iya, dong ... siapa dulu, Narendra gitu, loh,"

Kami tertawa lepas saat mengingat masa-masa kuliah dulu. Meskipun hanya dua tahun dan tidak lulus, aku sempat merasakannya. Narendra adalah salah satu teman yang selalu ada untukku. Tampangnya yang mirip aktor Korea membuatnya menjadi dambaan kaum Hawa, tapi lagi-lagi dia laki-laki kedua yang memilihku daripada ratusan perempuan cantik yang mengerubunginya.

"Kamu tahu, Ran ... sejak kamu dan keluargamu pergi tanpa kabar, aku selalu mencarimu. Dan akhirnya, Tuhan mempertemukan kita di sini. Tanpa kuduga sama sekali."

Aku sungguh tersipu dengan setiap perkataan Narendra. Dia memang pandai dalam menanggapi situasi. Dia bisa menjadi orang paling lucu saat menghibur, tapi dia juga bisa menjadi orang paling romantis di saat-saat tertentu.

Kami pun bertukar nomor ponsel, lalu Narendra menawarkan untuk mengajak jalan-jalan. Tentu aku menyetujuinya. Siapa yang menolak rezeki nomplok seperti ini?

Akan tetapi, baru saja kami akan memasuki lift yang terbuka untuk turun ke lantai dasar, tanganku dicekal cukup kuat.

"Siapa yang mengizinkanmu pergi? Dengan laki-laki pula."

Aku membalikkan badan setelah mundur satu langkah karena tidak jadi masuk lift. Aku membuang napas kasar saat melihat laki-laki menyebalkan sudah ada di hadapan. Kenapa dia mengurus apa yang akan kulakukan? Orang aneh!

"Siapa dia, Ran?" tanya Narendra yang ikut mengurungkan niat memasuki lift.

"Kakak Ipar," jawabku.

Namun, bersamaan pula Rasya menyahut. "Suaminya."

Related chapters

  • Mengejar Cinta Rania   Keputusan Telak

    "Aku ingat siapa dia, Ran. Dia, anak dari orang yang sudah menghancurkan keluargamu, 'kan?"Aku menarik napas panjang seraya memejam untuk sekadar menghalau sesak di dada. Saat kembali mengingat luka lama itu, hati ini begitu perih terasa. Narendra memang tahu semuanya, bahkan dia satu-satunya orang yang selalu ada saat teman yang lain mulai menjauh karena fitnah matre yang diaebarkan di seantero kampus. Mungkin bukan Rasya yang menyebarkan berita hoax itu, tapi sakit hatiku untuknya sudah telanjur mengakar. "Kalian ada hubungan apa? Kamu bilang, dia kakak ipar, tapi dia bilang suamimu. Mana yang benar?" Narendra terus mencecar.Setelah cukup lama terdiam, semua yang mengganjal di hati ini pun keluar. Aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Narendra. Bahkan, tentang pernikahan siriku dengan Rasya yang baru dua hari ini terjadi. Aku terisak sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dan sebuah dekapan membuat hati ini menghangat. Narendra memelukku tanpa bertanya a

    Last Updated : 2022-12-07
  • Mengejar Cinta Rania   Tidak Mungkin Positif

    Perempuan paruh baya yang tubuhnya hampir mirip dengan tulang berbungkus kulit saja itu tergopoh-gopoh mrnghampiriku yang baru saja turun dari mobil Narendra. Padahal, waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari. Perempuan berjilbab hitam itu langsung memelukku dengan tubuhnya yang terasa bergetar. Bahkan, napasnya yang sedikit berat pun, aku bisa merasakannya dari gerakan dada dan suaranya. "Kamu ke mana saja, Rania? Ibu cemas mikirin kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. "Nia ceritakan di dalam, ya, Bu. Di luar dingin, nggak bagus buat kesehatan Ibu." Kulepas pelukan Ibu, lalu menggamit lengannya. Kami berjalan masuk ke rumah diikuti Narendra. Entah kenapa, Ibu bisa sehisteris itu, padahal aku sudah berpamitan jika akan pergi selama dua hari untuk mencari uang. Sore ini adalah hari jatuh tempo utang Ayah yang jumlahnya masih mencapai lima puluh juta rupiah, sedangkan tabungan pun kami tidak ada. Gaji bulananku dari bekerja sebagai kurir online dan penyanyi kafe setiap malam habis

    Last Updated : 2022-12-07
  • Mengejar Cinta Rania   Ancaman Rasya

    Aku sudah bersiap sejak selepas Asar dan menunggu kedatangan Narendra. Sebenarnya, tidak ingin terlalu berharap jika laki-laki itu akan datang. Namun, hati ini seolah tidak mengindahkan. Harapan saat ini hanyalah Narendra tidak mengingkari janjinya. Akan tetapi, hingga jarum pendek dan panjang jam kompak menunjuk angka lima, orang yang kutunggu tidak kunjung datang. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Mana mungkin seorang laki-laki muda, tampan, kaya, dan memiliki segalanya, mau pergi berdua denganku.Kutenggelamkan wajah pada kedua tangan yang terlipat di meja rias dengan mata terpejam. Jangan terlalu lugu, Rania. Ayolah, buang jauh-jauh rasa untuk laki-laki seperti sebelumnya! Tanpa terasa, ada sesuatu yang hangat mengalir dari kedua mata ini. Sebaiknya memang aku tidak membawa perasaan untuk laki-laki. "Mbak, pangeranmu datang, tuh!" Suara derit pintu disusul panggilan Rendy membuatku membuka mata. "Naren?" sahutku antusias sambil mengangkat kepala. Rendy memiringkan kepa

    Last Updated : 2022-12-27
  • Mengejar Cinta Rania   Rasa yang Membuat Dilema

    Narendra masuk ke ruang tangga darurat setelah melepas pelukannya. Meskipun aku berusaha menahan dengan mencekal pergelangan tangannya, dia tidak peduli. Laki-laki bermata cokelat itu langsung melampiaskan amarah kepada Rasya yang ternyata masih mematung di tempatnya. Untuk kali ini, suami Hana itu sama sekali tidak melawan. Bahkan, dia sama sekali tidak peduli dengan keberingasan Narendra yang memukulinya dengan membabi buta. Matanya justru terus saja menatapku tanpa beralih. Entah apa yang dipikirkannya tentangku dan Narendra. Apa pun itu, aku tidak peduli. Namun, melihatnya tidak berdaya dengan cukup banyak luka di wajah, aku sedikit iba. Segera kutangkap tangan Narendra yang tidak berhenti melayangkan bogem mentah. "Cukup, Naren. Kita pergi dari sini sebelum ada security yang melihat. Kita bisa mendapat masalah nanti."Narendra pun menurut dan kamu segera pergi dari hadapan laki-laki yang meringis kesakitan itu. Sakit di wajah dan tubuhnya tidak setara dengan luka yang dia ber

    Last Updated : 2022-12-27
  • Mengejar Cinta Rania   Menjadi Asisten Pribadi

    "Sudah siap, Ran?"Pertanyaan Narendra membuatku tersadar dari lamunan. Rupanya, kami sudah sampai di tempat tujuan, hotel milik keluarga Narendra yang ada di pusat kota. "Kamu sudah tahu tugasmu, 'kan?" tanyanya lagi sesaat setelah melepas sabuk pengaman. Sebuah gelengan menjadi jawabanku. Tentunya, aku masih bingung dengan tugas sebagai asisten pribadi bos. Namun, Narendra hanya menanggapi dengan senyum. "Kamu harus mengurusku, Rania.""Hah?!" Aku seketika memekik. "Mengurus bagaimana maksudmu?"Lagi-lagi, Narendra justru tertawa. Menyebalkan! "Ayo, turun! Nanti aku jelaskan di ruanganku."Laki-laki itu! Ah, aku harus bersabar menghadapi bos. Apalagi, dia sudah berbaik hati melunasi utang Ayah dan memberiku pekerjaan. Aku melihat bagaimana karyawan hotel menghormatinya. Narendra sepertinya atasan yang sangat disegani karena semua orang menyapa dengan santun, tanpa terlihat ketakutan terhadap atasan di matanya. Kami tiba di ruangan cukup luas dengan satu meja kerja yang terleta

    Last Updated : 2022-12-28
  • Mengejar Cinta Rania   Talak yang Kunanti

    Kejadian tadi siang membuatku harus dirawat inap sekarang. Aku pingsan saat sedang bekerja dan Narendra yang membawaku ke rumah sakit. Malu, itu yang kurasakan saat ini. Baru dua pekan bekerja, tapi kesehatan justru menurun. Di kamar yang terlihat mewah ini, aku hanya melihat Ibu. Beliau sedang tidur di sofa. Pasti tidak nyaman tidur dengan posisi seperti itu. Aku masih belum tahu tentang sakit apa yang menimpa tubuh ini. Tadi, aku sempat sadar sebentar, tapi setelah minum obat dan diberi suntikan oleh dokter, aku kembali tertidur. Bahkan, aku masih ingat kalau Natendra menemani di sini. "Kamu sudah bangun, Ran?" "Alhamdulillah, Mbak sudah bangun."Narendra dan Rendy berucap bersamaan saat baru saja membuka pintu. Mereka tampak kompak dengan postur tubuh yang hampir sama. "Kalian dari mana?" tanyaku lirih. Tenagaku masih belum terlalu pulih. "Habis makan malam, Mbak. Aku ditraktir calon suamimu yang ganteng ini. Padahal, aku tadi sudah hampir nonjok dia, tapi nggak jadi." Rendy

    Last Updated : 2022-12-29
  • Mengejar Cinta Rania   Kedatangan Rasya Lagi

    Narendra begitu panik. Dia membungkus pergelangan tanganku dengan selimut sambil berulang kali memencet bel darurat. Sakit memang, bahkan kepalaku kembali terasa ringan. Aku ingin segera memejam dan meninggalkan kesengsaraan ini. Namun, ada yang mengganjal perasaan. Aku yang awalnya tidak ingin mengandung benih Rasya, kini mencoba ikhlas setelah laki-laki itu sah menalakku. Ya, talak tiga dengan lantang diucapkan Rasya meskipun aku tahu jika dia melakukannya dengan ragu. Dia tahu persis bagaimana sifatku. Rania paling tidak suka dengan keputusan setengah-setengah. Karena jika dia hanya mengucap satu talak saja, kupastikan pecahan gelas itu akan menekan dan melukai lebih dalam."Jangan tidur dulu, Ran! Sebentar lagi, dokter datang dan mengobati lukamu." Narendra menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku tersenyum melihat wajah tampan Narendra saat panik seperti ini. Dia terlihat layaknya laki-laki sempurna yang memiliki banyak cinta untuk Rania. Akan tetapi, di sisi lain masih ada Rasya dan

    Last Updated : 2023-01-01
  • Mengejar Cinta Rania   Pilihan

    PoV RasyaAwalnya, aku tidak percaya saat pertama kali melihat perempuan yang dipilih Hana untuk menjadi adik madunya. Wajah itu, wajah yang selama ini kucari. Dosa keluargaku kepadanya sangatlah besar. Namun, aku tidak bisa berkutik karena ada Hana di antara kami. Hingga akhirnya aku setuju untuk menikahi Rania. Tentu itu adalah keinginan terdalamku sejak dulu, menjadikan Rania bagian penting dalam hidup ini. Namun, kekuasaan dan kediktatoran Papa membuatku tidak bisa menolak apa pun yang beliau perintahkan. Termasuk meninggalkan Rania dan menikahi Hana meskipun masih berstatus mahasiswa semester empat, sedangkan Hana yang usianya beberapa tahun di atasku sudah sukses menjadi seorang dokter.Aku ingin sekali memiliki Rania seutuhnya setelah kami sah menjadi suami-istri secara agama, tapi hati ini menolak. Masih ada yang mengganjal karena aku melihat keterpaksaan di wajah perempuan berjilbab itu. Pasti kebenciannya kepadaku masih sangat besar. Namun, aku juga tidak bisa mengabaikan p

    Last Updated : 2023-01-02

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Rania   Rasa Sakit yang Terbayar

    Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban

  • Mengejar Cinta Rania   Kepanikan Tengah Malam

    "Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa

  • Mengejar Cinta Rania   Bertemu Rasya Lagi

    Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare

  • Mengejar Cinta Rania   Bercanda yang Keterlaluan

    Moment seru yang masih ingin kunikmati harus berhenti karena telepon dari Bi Harni. Katanya ada tamu yang menunggu. Suami-istri yang mengaku sebagai kakek dan nenek dari Febi. Aku dan Mas Narendra memutuskan untuk pulang karena dia juga mengenal siapa tamu yang dimaksud. Mereka mantan mertuanya, atau lebih tepatnya, orang tua Farah. Aku bisa menebaknya dari arah pembicaraan Bi Harni tadi karena memang dinyalakan loudspeaker saat panggilan berlangsung. "Mereka mau apa, ya, Mas? Kok, tiba-tiba aja datang nggak kasih pemberitahuan. Padahal, Febi sudah sama kita tiga bulanan." Pikiran yang tadi terus berputar di kepala, akhirnya kuungkapkan. "Aku juga nggak tahu, Ran. Semoga aja cuma kengen sama cucu," jawabnya. Aku bisa menafsirkan kalau ada keraguan dari nada suaranya.Sepasang suami-istri yang kutaksir usianya sekitar lima puluh tahunan itu saling pandang saat Mas Narendra menanyakan perihal kedatangan mereka. Keduanya seperti berdebat, tapi pelan. Mungkin agar percakapan mereka tid

  • Mengejar Cinta Rania   Nyaman Bersamanya

    Setelah dua pekan Mas Narendra dirawat, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Dari pemeriksaan terakhir, dikatakan kalau tumornya sudah hilang. Meskipun begitu, akan tetap dilakukan MRI saat kontrol selanjutnya untuk memastikan lagi. Dan sekarang--satu pekan setelah dia menjalani rawat jalan--kami sedang berjalan-jalan di taman area apartemen. Memang kawasan apartemen ini tergolong mewah dengan penghuninya kebanyakan orang berpunya. Itu sebabnya ada fasilitas umum yang dibuat untuk warga, seperti taman yang cukup luas ini. Mas Narendra memang dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan setiap harinya untuk menjaga kesehatan. Dan aku memulai dengan mengajaknya jalan kaki setiap pagi mulai hari ini. Dengan kaus, celana training, dan topi yang dipakai terbalik ke belakang, Mas Narendra terlihat begitu tampan. Meskipun masih ada rasa malu karena takut orang melihat kepalanya masih belum ditumbuhi rambut, dia tidak menolak ajakanku. "Sayang, apa kamu nggak capek?" tanyanya sambil menghentik

  • Mengejar Cinta Rania   Memohon Kesembuhan

    Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken

  • Mengejar Cinta Rania   Malu Dilihat Orang

    "Hari ini jadwal kontrol kamu, Mas. Aku nggak akan izinin Mas pergi ke luar kota. Obat Mas juga sudah habis kemarin."Ini kali kelima aku melarang sejak tadi pagi Mas Narendra menerima telepon dari Gagah. Dia harus berangkat ke luar kota karena salah satu cabang hotelnya mengalami kebakaran di beberapa bagian semalam. Meskipun hanya sepuluh persen yang hangus, tetap kerugian yang dialami cukup banyak. Apalagi ada beberapa korban yang mengalami luka bakar. "Sayang, hari ini saja, kok. Kontrol bisa besok, Lagi pula, Mas harus tanggung jawab dengan korban terluka." Dia masih bersikeras. "Aku ikut!" ucapku spontan. "Di sana sedang kena musibah, Sayang. Mas juga nggak mau kamu kecapekan karena perjalanan jauh. Kamu di sini saja sama Febi, ya. Kali ini, jangan membantah suami.""Kalau Mas sehat-sehat saja, aku juga nggak akan masalah, tapi kondisi Mas berbeda." Entah kenapa, air mataku mulai luruh. Kesal bercampur sedih. "Aku sehat, Ran. Aku baik-baik saja. Jangan pernah menganggap kala

  • Mengejar Cinta Rania   Akhirnya Terungkap

    Berharap pada kejujuran yang akan mengungkap jati dirinya memang sulit. Apalagi jika menunggu dalam kurun waktu cukup lama pun, terkadang hal itu tidak juga terjadi. Sekuat apa pun kepercayaanku kepada Mas Narendra tidak bisa membuang bukti yang begitu nyata di hadapan. Selepas mengantar Febi sekolah, Mas Narendra mengajakku pergi untuk memeriksakan kandungan. Ya, memang hari ini sudah dijadwalkan oleh dokter sejak terakhir kontrol. Itu sebabnya dia langsung pulang pagi ini. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan memilih memandang ke kiri. Mas Narendra pun tidak berusaha membuka obrolan sejak tadi hingga senyap menjadi pengiring suasana dalam mobil. "Sudah sampai, Ran. Ayo, turun!" ajaknya.Aku bergeming. Selagi ini di rumah sakit, aku ingin menyampaikan apa yang mengganjal di hati. Mungkin, melakukan tes DNA akan bisa melegakan rasa penasaranku dan hubungan kami bisa segera membaik tanpa ada lagi prasangka. "Lakukan tes DNA, Mas," jawabku pelan setelah beberapa saat terdiam. T

  • Mengejar Cinta Rania   Hati yang Masih Tersayat

    Fakta memang harus diungkap meskipun menyakitkan. Namun, hal itu akan membawa ketenangan setelahnya karena tidak ada lagi yang membuat hati bertanya-tanya. Kebenaran tentang Farah dan Febi akhirnya bisa membuatku lega. Bahkan, kepercayaan kepada Mas Narendra sudah kembali. Tanpa perlu bukti lebih, aku sudah percaya sepenuhnya dengan laki-laki dua puluh delapan tahun itu. Warna matanya memang sama dengan Febi, tapi itu adalah keturunan dari almarhum Papa yang memiliki warna cokelat terang. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang mempunyai bola mata berwarna hitam. "Aku percaya sama Mas. Aku percaya ...." Setelah berucap, tubuhku melemas, tapi kesadaran ini masih terjaga. Mas Narendra pun menahanku yang hampir roboh. Kemudian, aku sudah berpindah dalam gedongannya. "Aku percaya, Mas," ucapku lagi sembari menyandarkan kepala di dadanya. Bisa kudengar detak jantung yang cukup cepat sambil menghidu aroma tubuh suami tercinta. Aku tidak peduli lagi dengan sekitar. Pastinya, adeg

DMCA.com Protection Status