Memiliki seorang suami yang dingin membuat Esha harus terus menelan kekecewaan. Esha juga selalu disalahkan atas kegagalannya dalam memberikan pewaris dalam keluarga Prawiryo. Bahkan, tak jarang ibu mertua Esha dan keluarga lain menuduhnya mandul. Bertahun-tahun Bram selalu memperlakukan Esha semaunya, membawa wanita lain masuk ke dalam rumahnya dan tak pernah memberikan nafkah batin bagi istrinya. Esha menginginkan perceraian, namun Bram menolak dan tetap membiarkan Esha menjadi istrinya. Setahun setelah pernikahan kedua suaminya, baru Esha tahu bahwa semua masalah ini adalah karena Bram yang mandul dan tak bisa ‘bangun’. Esha dan istri kedua Bram yang terjebak dalam pernikahan menyakitkan seperti ini, lantas membuat rencana agar Bram menyesali perbuatannya. Namun siapa sangka, ada alasan dibalik itu semua. Tidak ada manusia yamg benar-benar sempurna, dan tak ada manusia yang benar-benar bisa dipercaya. Esha menemukan fakta diantara dia, suami dan juga madunya.
View MoreTING!
TING!“Sebentar, mas!”Buru-buru, Esha segera meraih cardigan hitam dan memakainya sembari berlari kecil menuju pintu utama.Sekilas, Esha melirik ke arah jam gantung besar yang berada di dinding ruang tamu. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Sembari menutup bibirnya yang terus menguap, Esha berusaha lebih cepat untuk membuka pintu.KLAK! KLAK!“Lama sekali kamu!” ujar Bram dengan nada bicara tinggi.“Aku yang seharusnya bertanya. Darimana saja kamu mas jam segini baru pulang?”Bram tak kunjung menjawabnya. Ia hanya menatap Esha dengan tatapan yang ambigu. Tak lebih dari tiga menit, Bram lantas masuk ke dalam rumah dan segera membersihkan diri.Lagi dan lagi, Esha harus bersabar dalam menghadapi suaminya. Ia ingin sekali meminta jawaban atas pertanyaannya tadi, tapi Esha mengalah karena sepertinya Bram sedang tertekan oleh pekerjaannya.Sudah lebih dari tiga hari, Bram selalu pulang malam. Esha juga selalu menanyakan hal yang sama. Darimana dan bagaimana keadaan mas Bram. Tak jarang, Esha selalu menunggu kepulangan Bram sampai tertidur di meja makan karena kelelahan menyiapkan makan malam terbaik untuk suaminya.Namun setiap kali Esha menyambutnya, Bram seolah enggan untuk menghampiri atau sekedar mencicipi masakan Esha. Mau bagaimana lagi, Bram juga pulang terlalu larut. Sudah pasti ia kehilangan nafsu makannya.“Mas … apa kamu akan terus menerus tidur di sofa?”Esha sengaja menanti Bram di atas ranjangnya. Berharap Bram akan kembali segar setelah membersihkan diri dan mereka bisa memadu kasih bersama. Namun kekecewaan kembali Esha rasakan, tatkala ia mengetahui bahwa Bram hanya mengambil sebuah bantal dari sisinya dan bergerak menuju ke sofa.Merasa diabaikan, Esha lantas sedikit memekik, “Mas!?”“Apa? Kau mau apa? Tidurlah di situ, masih untung aku tidak memintamu tidur di sini dan aku yang di ranjang!”“Memang apa yang salah denganku, Mas? apa kamu tidak ingin kita tidur bersama?”“Tidak. Aku lelah.”“Sampai kapan kamu tidak akan memberikan nafkah untukku, Mas? apa aku begitu menjijikkan bagimu?”“Aku lelah, Esha. Apa kau tidak mendengarnya?”“Sudah dua tahun kamu mengatakan hal yang sama. Tidakkah itu hal yang aneh? Kalau kau tak ingin menyentuhku setidaknya jangan menghindariku, Mas … jangan membuat aku merasa seperti kotoran yang engkau benci.”“Terserah apa katamu. Mulai besok, kita akan pindah rumah agar aku bisa tidur di ranjang terpisah!”Esha tak bisa menahan rasa kecewanya. Ia kesulitan menelan salivanya mendengar suaminya yang seolah begitu jijik terhadapnya.Dan yang lebih membuatnya sakit hati, Esha benar-benar tak habis pikir dengan sikap suaminya. Bagaimana bisa ia tidak pernah disentuh oleh suaminya lagi sejak hari-hari pertama pernikahannya?Terlebih, kini usia pernikahan mereka sudah menginjak tiga tahun. Esha ingat betul berapa kali Bram dan dirinya saling menikmati romansa malam awal pernikahannya. Tak lebih dari lima kali.Hingga detik ini, Esha masih tak mengerti apa yang ia lakukan pada suaminya hingga Bram benar-benar tidak tertarik untuk menyentuh tubuhnya sama sekali. Alhasil, Esha berusaha memejamkan matanya secara paksa meskipun bulir-bulir air mata masih terus membasahi kedua pipinya.“Mas ... aku sudah menyiapkan bekal untukmu, dan yang ini sudah aku ambilkan sarapan untukmu di piring,” ujar Esha dengan begitu lembut dan perhatian.Tak hanya kepada suaminya, Esha juga menyiapkan sarapan pagi untuk mertuanya, Ibu Lidya dan Pak Prawiryo. Setiap hari, Esha harus menyiapkan sarapan untuk mereka. Beruntung, ada Bi Ningsih yang membantu selama Esha mengalami kerepotan di dapur.Bram melirik sekilas ke wajah mama dan papanya. Ia lantas mengangguk dan ikut bergabung ke meja makan. Mungkin, kalau tak ada mama dan papanya, Bram tak akan mau untuk ikut sarapan bersama di pagi ini.“Masakan Esha ini enak lo… kamu kan menantu papa satu-satunya, jangan sampai lelah. Papa nggak mau kamu sampai sakit karena kelelahan…” ujar Prawiryo yang memulai percakapan dalam meja makan.“Ah, enggak Pah … sudah jadi kewajiban bagi Esha untuk menyiapkan hal-hal semacam ini…” senyum Esha mulai mengembang.“Hmm, ya ya …. Oiya Bram, bagaimana kantor? Katanya akan ada launching produk baru hari ini?”“Iya, Pah. Beberapa hari belakang ini memang ada meeting dadakan karena kita harus kejar target. Banyak sekali yang harus dikerjakan… Rasanya, Bram hampir tak punya waktu untuk mengurus perusahaan lainnya.”Prawiryo lantas mulai berhenti mengunyah. “Iya.. ini juga yang papa pikirkan. Kalau bukan kamu yang mengurusnya, papa juga ragu. Intinya, papa tidak akan percaya jika bukan keluarga papa sendiri yang mengurus perusahaan kita yang di Bandung. Apa lebih baik papa jual saja ya, kita investasikan dengan saham yang lebih dekat dan mudah dijangkau.”Tiba-tiba saja mama Lidya ikut bersuara. “Jangan dijual, Pah. Hmm, coba saja kalau mereka bisa segera punya anak laki-laki. Pasti semuanya mudah. Esha, kamu segera hamil dong. Minum jamu atau herbal apa gitu biar rahimmu subur!”Uhukkk!Esha lantas tersedak. Ia segera mengambil tissue dan menutup bibirnya. Jujur saja, Esha terkejut. Bagaimana bisa pembicaraan kantor mengarah pada kehamilan seseorang?“Mama bicara apa sih, kita sendiri saja hanya bisa punya anak laki-laki satu. Nggak baik bicara begitu, Ma. Nanti juga Esha akan segera memberikan cucu kok, tenang saja.”Esha dan Bram tak menanggapi. Esha hanya tersenyum getir sementara Bram terlihat acuh dan tak ambil pusing.“Tapi harus laki-laki. Lagipula Bram ini hebat bisa mengurus 8 dari 10 aset kita. Dan ingat, Pah … jangan di jual. Susah payah papa mengumpulkan semua aset ini. semua orang juga tahu dengan kekayaan papa! Akan jadi apa anak cucu kita jika saham itu dijual,” sahut mama Lidya dengan gaya bicaranya bak ibu-ibu sosialita yang silau akan harta dan kekayaan.“Kalau tak boleh dijual, bagaimana jika Esha saja yang mengurusnya? Papa pikir itu ide yang bagus, nanti biar papa urus untuk pergantian kepemilikannya.”“Eh, tidak usah Pah.. aku --”Mama Lidya menunjukkan ekspresi yang kesal dengan ucapan suaminya. Seolah, ia menganggap bahwa Esha tak akan mampu untuk mengurus sebuah perusahaan besar miliknya.“Papa yakin Esha bisa. Kalau mama tidak percaya biar kita kasih kesempatan dulu. Ok?”Bram sama sekali tidak memberi tanggapannya terkait hal ini. Ia masih asik mengunyah sembari menunjukkan senyum tipisnya. Di hadapan kedua orang tuanya, Bram sama sekali tidak mempermasalahkan soal hubungan rumah tangganya dengan Esha.Ia juga sama sekali tidak keberatan dengan apa yang Esha minta atau apa yang Esha terima. Bram benar-benar bersikap seolah ia adalah seorang suami yang akan selalu ada untuk mendukung istrinya.“Oiya mah, pah … hari ini aku dan Esha akan pindah rumah. sore nanti aku akan minta mang Ujang untuk mengangkat barang-barang kita. Meski tak begitu besar, aku yakin rumah baruku akan cukup nyaman untuk istriku. Ya kan sayang?”Tentu saja Esha terkejut. Ia tak menyangka bahwa suaminya benar-benar serius dengan perkataannya semalam.‘Hanya untuk berpisah kamar dan ranjang denganku, sampai harus pindah rumah seperti ini? Benar-benar keterlaluan kamu ya Mas! sampai kapan kamu akan menutupi kekuranganmu sebagai suami di hadapan kedua orang tuamu ini!’ pikir Esha.Antara Aku, Suami, dan Maduku – 67“Kamu tunggu saja disini, aku akan bawa dia secepatnya ke hadapanmu. Aku janji, Esha.” Entah mengapa bagi Esha, setiap kata – kata yang kemudian keluar dari bibir dokter Haris terasa begitu menenangkan. Esha tak tahu ada ramuan apa di dalamnya, atau ada sihir apa yang sedang digunakan oleh laki – laki tampan yang ada di hadapannya itu.Bukan hanya sekali dua kali saja, sudah banyak kali rasanya Esha merasakan tatapan hangat dan kata – kata yang begitu hangat dari bibir dokter Haris. Benar – benar sosok laki – laki idaman yang memang Esha butuhkan dalam kondisi seperti ini.Tidak, mungkin tidak hanya dalam kondisi seperti ini saja. Melainkan banyak kondisi lain yang Esha butuhkan seperti halnya hidup bersama sampai akhirnya maut memisahkan keduanya.‘Hentikan Esha … jangan sampai kamu berpikiran yang tidak – tidak soal dokter Haris. Ini bukan saatnya kamu untuk memikirkan dia laki – laki terbaik atau semacamnya. Kamu harus selesaikan urusanmu. Berap
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 66“Esha, lebih baik kita bersiap untuk pergi sekarang. Langit sudah semakin terlihat gelap. Khawatir kita akan terlambat untuk menemukan Bram,” ujar dokter Haris dengan tegas. Ia tak menatap wajah Esha sehingga ia tidak tahu bagaimana persisnya ekspresi wajah Esha saat ini.Yang dokter Haris tahu, saat ini ia bahkan kesulitan mengatur detak jantungnya sendiri. Ia buru – buru mengalihkan perhatiannya sembari memasangkan sabuk pengaman miliknya dan mengutak – atik kunci mobil yang berada di sebelah kemudi.Esha tahu. Ia sudah berlebihan. Segera ia mengalihkan wajahnya dari hadapan Dokter Haris.‘Bodoh sekali kamu Eshaaa … bagaimana bisa kamu, argh!!’ gumamnya dalam hati. Esha memaki – maki dirinya sendiri sembari menggigit bibirnya bagian bawah. Jujur saja, Esha merasa malu bukan main. Meski memang benar bahwa niat dan tujuannya adalah untuk mengekspresikan rasa senangnya, namun tetap saja … tetap saja itu bisa dianggap sebagai perasaan yang berlebih. A
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 65“ … Aku akan pinjamkan modal padamu sebagai langkah awal kita berbisnis. Itu pun kalau memang kamu mau. Yang mau saya tekankan disini adalah, kamu jangan sampai merasa jatuh sendiri hanya karena kejahatan orang lain. Mereka semua tidak berhak mendapatkan perhatian dan rasa belas kasihmu sama sekali.” Begitu bijak dan menenangkan. Esha tiddak bisa mengelak bahwa pesona dokter Haris begitu membuatnya silau. Bukan karena harta semata, namun dari segi kedewasaan dan tanggungjawabnya pada apa yang sedang menjadi amanahnya.Tapi Esha tidak pernah berpikir untuk bisa mendapatkan perhatian dokter Haris lebih dari ini. Ia pun tidak pernah berharap lebih. Esha menyadari dirinya siapa, dan dokter Haris itu siapa. Yang ada, Esha justru akan selalu merepotkan dokter Haris jika terus begini. Padahal, mereka tidak ada hubungan apapun dan perkenalan mereka juga masih dalam hitungan bulan saja. “Jadi bagaimana, Esha?” suara dokter Haris membuat Esha merasa terkesia
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 64“Dasar br*ngs*k!!” ujar Esha yang memekik dengan cukup melengking dari bibirnya yang mungil itu.Meski mungkin menurut Esha tidak terlalu lantang, namun tetap saja dokter Haris bisa mendengarnya dengan sangat jelas baagaimana cara Esha meluapkan kekesalannya itu. Esha benar – benar terlihat penuh amarah dan kekesalan yang memuncak.“Are you okay?” dokter Haris pelan – pelan mulai membuka suaranya kala Esha nampak lebih tenang dari sebelumnya.Dan hal ini tidak bisa dilihat hanya dari satu dua menit saja. lebih dari itu, dokter Haris sampai harus menunggu sampai beberapa menit ke depan.Karena jujur saja, dokter Haris terkejut bukan main. Belum pernah dalam sejarahnya ia mendengar seorang perempuan yang begitu marah pada keadaan yang tidak bisa ia perbuat apa – apa. “Ya, I’m okay.” Esha menjawabnya singkat. Tanpa senyum, tanpa ekspresi. Dan tak lama berselang, bulir – bulir air mata mulai menetes membasahi pipi kanan Esha yang nampak bulat sempurna.
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 63“Apa nggak lebih baik kalau kamu segera menghubungi Ibu Lidya sekarang?” “Nggak, dok. Saya nggak bisa bilang sekarang. saya harus temukan mas Bram lebih dulu baru saya akan bilang. lagipula, kalau dipikir – pikir, bagaimana mungkin kita tidak bisa menemukan seorang Bram dalam satu kota yang sama seperti ini. aneh kan?” Esha menolak dengan tegas meski dokter Haris memintanya beberapa kali untuk menghubungi mama mertuanya itu. alasan Esha memang tegas, dan menurutnya memang logis bahwa terasa aneh jika saja Bram ada di satu daerah yang sama, semestinya sudah lebih cepat di temukan. Peristiwa kabur – kaburan ini tidak akan berhasil kalau memang tidak ada yang membantu Bram untuk bersembunyi. Atau justru … sebentar lagi Bram akan berniat untuk pergi lebih jauh dari jangkauan Esha. Esha benar – benar tidak akan bisa membiarkannya. Esha harus bergerak cepat. cepat untuk menemukan Bram dan meminta klarifikasi suaminya itu dengan sejelas – jelasnya.“Iya
ANTARA AKU, SUAMI, DAN MADUKU – 62“Hmmph. Perempuan..” “Dokter mau bilang saya tidak bisa baca google maps, begitu kan?” sergah Esha dengan rasa kesalnya. Bukan kesal, lebih tepatnya Esha tak suka dengan sikap dokter Haris yang nampak jengkel karena ulah Esha. Padahal, Esha benar – benar tidak sengaja melakukan itu. “Eh?” dokter Haris meringis pahit kala secara tak sengaja telinga Esha rupanya menangkap jelas apa yang dokter Haris keluhkan itu.“Um, bukan … bukan begitu maksut saya,” bela dokter Haris persis seperti seorang pencuri yang tidak bisa berkutik.“Lantas?” sambung Esha lagi seolah – olah ia tidak tahu. Padahal, Esha juga sangat tahu kemana arah kekesalan dokter Haris tadi sampai harus melengkuh seperti itu.“Tidak mengapa. Fokus saja, ini kita kembali bertemu persimpangan. Setelahnya kemana?” balas doketr Haris yang masih sangat sibuk melihat ke kanan dan ke kiri memperhatikan sekeliling. Khawatir ada sesuatu di sekitar mobilnya. dan yang jelas, dokter Haris sedang mema
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 61“Kamu jangan khawatir, aku bisa jaga rahasia kok. lagi pula, memang sudah sewajarnya aku bantu kamu. Karena memang sejak awal, dokter Luis sudah menitipkan kamu padaku.” Dokter Haris menatap Esha dengan tatapannya yang sendu.Esha menarik kedua alisnya ke atas seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya. “Hum? Maksutnya, dok?”Senyum dokter Haris mengembang. Tak terlalu tinggi, namun cukup berhasil membuat Esha mulai merasakan detakan yang semakin cepat di dalam peredaran darahnya. Masih dengan ciri khasnya yang manis sembari menggenggam kedua bahu Esha, dokter Haris lantas mengatakan sesuatu dengan lirih. “Nanti saja. aku bisa ceritakan itu dengan lebar. Sekarang, kita cari Bram dulu. Bagaimana?” Mendapatkan perlakuan seperti itu, tentu saja Esha semakin tidak karuan. Perasaannya mulai kacau dan menjadi – jadi. Esha malu, kikuk, canggung, ingin tahu tapi tak bisa berbuat banyak. Yang ada, Esha hanya bisa diam menahan napasnya agar tak
ANTARA AKU, SUAMI, DAN MADUKU – 60“Ba – bagaimana, bisa?? Laki – laki itu?” ujar Esha yang masih tidak mengerti dengan apa yang kini ia lihat di hadapannya.Rupanya benar, Esha benar – benar mengenali siapa pria itu. Dia adalah orang yang sedang Esha cari. Dia adalah Bram. suami Esha sendiri. Tepat di depan matanya, Bram dibonceng oleh seseorang yang entah siapa. mereka terlihat begitu tergesa – gesa meninggalkan tempat ini sampai beberapa kali mereka harus di teriaki dan di klakson oleh beberapa orang pengendara mobil lainnya. “Mau kemana dia? Apakah mas Bram tahu kalau ini aku?” pikir Esha yang masih berbicara dengan dirinya sendiri.Tapi kalau dipikir – pikir, tidak mungkin rasanya Bram tidak tahu Esha. Meskipun dengan tumpukan mobil yang saling berjejer seperti ikan asin di tengah lautan jalan raya seperti itu, seharusnya Bram masih tetap tahu dimana Esha dan mobil yang sedang dikenakan oleh istrinya. Tidak mungkin Bram tidak tahu.Begitulah kiranya apa yang masih tersimpan di d
Antara Aku, Suami, dan Maduku – 59“Jadi benar bahwa siapa yang menghubungi ponsel Alysa tadi adalah Bram?” ujar laki – laki itu, ditambah dengan senyum tipisnya yang memiliki banyak arti yang berbeda.Esha yang semula hampir melangkah pergi, lantas menahan kakinya dan diam berdiri di sisi pintu keluar kamar Alysa. Posisi tubuh Esha, sudah menghadap ke arah laki – laki tersebut.“Siapa kamu sebenarnya? Dan bagaimana kamu tahu persis tentang keluargaku?” tanya Esha.“Tidak. Aku tidak tahu banyak soal kalian. Aku hanya orang lama yang sakit hati dengan kalian. Dan aku sudah bilang kan, bahwa Alysa memiliki hutang denganku sehingga ia harus membayar semuanya termasuk dengan rumah ini.” laki – laki itu menjelaskan dengan begitu santai.Esha mungkin mengerti, tapi ia tak terlalu paham hutang apa yang dimaksud oleh laki – laki itu.“Hutang apa?” tanya Esha penuh dengan rasa penasaran.“Hutang janin antara aku dan Alysa yang pernah kami nantikan bersama,” jawab laki – laki dengan suara yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments