Rate 21+ Sesuaikan umur kalian jika membaca novel ini karena adegan panas bisa membuat jantung kalian berdetak jauh lebih kencang seperti benderang mau perang! Yollanda yang tengah berbadan dua tanpa suami hendak bunuh diri karena depresi berat, tapi digagalkan oleh Ben. Gilanya, pria itu siap bertanggung jawab atas bayi yang dikandung Yollanda, dengan imbalan uang sepuluh juta. Setelah mencapai kesepakatan, pernikahan mereka berjalan mulus, hingga masalah besar mengguncang keluarga mereka. Sebenarnya apa yang terjadi antara Ben dengan Yollanda?
View MoreTapi aku tidak lupa jika yang tidak suka denganku ialah ayah mertuaku. Tapi sikapnya yang diam dan tak komentar itu jauh lebih baik dari pada dia berucap tapi menyakitkan.Jam dua siang beberes kelar, termasuk mengambil tempat tidur, lemari dan beberapa meja di gudang kemudian di tata di kamar. Barulah sore hari Mama Eva kembali cerewet, memaksa Ben untuk mengantar USG ke dokter.Kami hanya bisa pasrah dengan permintaan itu. Bukan itu saja permintaan Mama Eva, dia memaksa Ben untuk ikut masuk kedalam ruangan periksa. Sebenarnya Ben sudah menolak dengan banyak alasan tapi Mama Eva kekeh memaksa. Aku berbaring di tempat tidur sedangkan seorang bidan berdiri di sampingku, bersebelahan dengan Mama Eva. Jarinya mulai membuka kemejaku. Sedangkan mataku justru menatap Ben, kwatir pria itu berfikir hal yang tidak-tidak setelah melihat kulit perutku.Sebuah alat untuk memeriksa dekat jantung telah melekat di perutku. Dan suara jantung anakku mulai terdengar dengan ritme stabil. Kulihat Mam
Genap dua hari aku di rumah mertua. Aku melihat serta merasakan suatu hal yang bertolak belakang. Yang pertama Mama Eva yang sangat perhatian dan Ayah Anjas yang terlampau culas. Pria itu sedikit pun tidak mau bertegur sapa denganku, bahkan duduk di ruangan yang sama dia menolak. Aku tak ambil pusing. Tidak aku pikirkan. Toh ini hanya sementara. Mama Eva sendiri mengatakan jika suaminya butuh waktu menerima kenyataan. Aku hanya perlu bersikap baik, selebihnya Ayah Anjas sendiri menyembuhkan rasa kecewa itu.Tepat di hari ketiga aku di rumah itu, aku dan Ben memutuskan untuk segera kembali ke kota. Cuti kerjaku tinggal dua hari, sedangkan Ben perlu mengurus cafe. Namun, rencana tidak sesuai harapan setelah kami dipanggil Mama Eva di ruang tamu. “Setelah menikah kalian mau tinggal dimana?” tanya Mama Eva membuka percakapan. Aku diam. Dan Ben menjawab, “di kost Ma.”“Kost?” Dahi Mama Eva mengkerut. Aku sendiri hanya bisa tersenyum tipis. “Kost suami istri. Kan ngak masalah, kami mas
“Terus kapan kamu tahu jika ayahmu kandung meninggal?” tanya Ben, sepertinya dia mulai tidak sabar mendengar puncak ceritaku yang bertele-tele. “Umur lima belas tahun. Ketika aku terus-terusan bertanya mengapa ibu harus sembunyi setiap kali ke makam yang tidak aku kenal orangnya. Saat itu ibu mengatakan sejujurnya padaku siapa sebenarnya ayah kandungku. Dan aku juga harus berjanji untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun. Kenyataan itu menjadikan bibit kebencian pada Sasmitha.” Setiap kali mengingat dan menyebut nama pria aku tak bisa menahan senyum sinisku. “Hal itu yang membuatmu tidak mengundang dia?” Ben memandangku dengan kedua alis berkerut. “Banyak hal. Sejak aku tahu dia bukan ayah kandungku, dia juga yang menjauhkan aku dengan Kakek. Aku semakin tidak berempati pada pria itu. Terlebih lagi kenyataan di depan mata, bagaimana pria itu memperlakukan aku dengan dua anak kembarnya cukup tumpang tindih.”“Jika aku yang mendapatkan prestasi aku tidak mendapatkan pujian. Tapi
Ben berada di sampingku dengan tubuh menghadapku, dan sengaja di tengah-tengah aku letakan sebuah guling ukuran sedang. Aku anggap itu adalah pembatas tubuh kami. Beberapa kali Ben tersenyum kadang juga mengerutkan kening mendengar ceritaku. Cerita itu yang aku rangkai berdasarkan cerita ibu, cerita kakek dan juga beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah aku alami di masa lalu.“Ini sudah jam setengah satu, kamu tak ngatuk Ben?” tanyaku mengalihkan perhatian. “Tidak.”Aku menghela nafas panjang. Butuh energi yang kuat untuk aku menceritakan kenangan buruk itu.“Lanjutkan! Terlanjur penasaran,” ucap Ben.Aku diam sesaat dan tersenyum nyengir. “Tapi aku lapar.”“Kamu mau makan apa?”“Terserah,” jawabku. Ben lantas bangun lalu keluar kamar dan kembali dengan membawa air mineral, satu toples kripik pisang dan biskuit coklat. “Tidak ada makanan padat yang enak di makan malam hari. Makanlah cemilan.” Ben meletakan semua makanan dan minuman di pangkuanku. Aku tersenyum girang.
Tiga hari berlalu Sasmitha benar-benar menepati janjinya Ia kini datang bukan hanya membawa dua bungkus bakso, tapi si kembar; Roni dan Ronal ikut serta berjalan mengapit dirinya. “Maaf Dek Rati aku sengaja membawa mereka untuk kuperkenalkan padamu dan Yollanda.” Sasmita tersenyum malu-malu sambil melepas mengusap dua kelapa dua bocah yang berada di kanan kiri. Sasmitha tidak langsung membombardir Rati dengan pertanyaan seputar lamaranya kemarin. Dia justru ikut bermain dengan Si Kembar dan Yollanda. Sedangkan Rati duduk mengamati. Pandangannya terhadap Sasmitha sedikit berubah, Sasmitha tidak terlalu buruk. Pekerjaan Sasmitha juga jelas, meskipun sekelas tukang bakso dengan karyawan satu orang. Pasti suatu saat sukses bisa menghidupi empat orang. “Dek Rati bagaimana dengan lamaran Akang kemarin?” Akhirnya setelah tiga puluh menit bertamu Sasmitha bertanya. “Ada syarat jika memang Ak
Rati hidup dengan suaminya di rumah pemberian orang tuanya. Ayahnya sudah meninggal sejak usianya tujuh belas tahun. Sedangkan ibunya meninggal setelah Rati menikah selama satu tahun. Ketika usia pernikahan menginjak enam belas bulan Rati positif hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang dia beri nama Yollanda Kartika. Rati berharap anaknya seperti memiliki sifat seperti namanya; Yollanda yang berarti kuat. Dan nama Kartika berasal dari nama pahlawan perempuan yang dia kagumi; Dewi Sartika. Ketika Yollanda usia satu tahun, wabah demam berdarah terjadi di desa tempat ia dilahirkan. Puluhan anak-anak dan orang tua terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan tidak sedikit yang meninggal, dan salah satu orang yang menjadi korban ialah ayah Yollanda. Sejak saat itu Rati menjadi seorang janda muda satu anak. Enam bulan menjadi janda seorang pria berkumis tebal datang ke rumah dengan menenteng dua bungkus bakso.Sasmitha siapa yang tak kenal dengan pedagang bakso itu. Termasuk Rati
Aku sempat tertawa terpingkal-pingkal ketika pertama kali melihat Ben keluar dari kamar mandi, dengan mengenakan piyama motif polkadot warna biru laut. "Ganti ah, jelek." Ben menatap badannya sendiri. "Ngak, itu lucu. Pake itu aja kenapa sih?" tanyaku tak peduli protes Ben. Aku sengaja memaksa Ben mencoba piyama itu, perpaduan warna terang dan motifnya jadi kesan unik tersendiri. Bukan itu saja, aku terkesan dengan seseorang memberikan kado istimewa ini. Ada-ada saja idenya memberi piyama warna terang. "Ngak. Mau ganti!" Aku berdiri menghampiri Ben lalu menatapnya dengan mata sinis. "Kamu tahu ngak ini dari Mama." "Masa?" "Tanya aja kalo nggak percaya!" Aku meninggalkan Ben lalu duduk kembali di ranjang. Seketika itu Ben keluar kurang dari lima menit lalu kembali tanpa komentar. Kemudian dia melompat dan membanting tubuhnya ke ranjang tepat di sampingku. "Masih ngak percaya?" Aku kembali mesem mengejek. "Ya sudahlah, lagian cuma buat tidur." Dua alisku mengkerut. "B
Lupakan kejadian tadi malam. Bada subuh aku terbangun ketika suara dari luar memanggil namaku sembari mengetuk pintu. Astaga aku baru sadar jika aku tidur sendirian tanpa Ben. Tidurku sangat lelap, mungkin terlalu letih setelah seharian bermain drama. Aku bangkit dan segera kubuka pintu sebelum pintu kamar yang semakin keras memanggil namaku. “Ben tadi malam tidur di mana?” tanyaku ketika buka pintu tak bisa menahan diri. Ben langsung melangkah masuk kamar melewati aku yang berdiri di ambang pintu. Langsung saja aku tutup pintu dan menguncinya, khawatir ada yang dengar pembicaraan kami. “Di luar.” Ben langsung duduk di tepi ranjang. “Gila, anak-anak kafe sama temen-temen kampus dulu pada dateng jam sebelas malam. Jam dua mereka masih disini sampek aku ketiduran. Bangun-bangun mereka sudah menghilang. Kayaknya memang mau ngerjain aku.” Aku tertawa. “Mau ngerusak malam pertama?” “Mungkin begitu maunya mereka.” Aku menarik nafas lega setidaknya kedatangan teman-teman Ben bisa j
Acara makan malam usai sekitar jam sepuluh. Mama Eva sendiri yang mengantarku lebih dahulu ke kamar. “Ini kamar Ben. Sudah dibereskan. Nak Yolla mending tidur, kelihatannya capek sekali,” ujar Mama Eva sambil membuka pintu kamar. “Tidak terlalu kok Ma,” jawabku santai. Untung saja Ben waktu itu menyarankan aku untuk ke dokter, vitamin dan obat-obatan itu memperlancar jalannya pernikahan hari ini tanpa mual dan muntah; batinku.Mama Eva memandang ke arah meja. “Tidak ada air minum. Mama akan suruh Ben bawa minum kemari.”“Tidak usah repot-repot Ma, tadi kan Yollanda sudah minum.”"Tidak ada yang repot Nak Yolla." Wanita itu kemudian meninggalkan aku di dalam kamar seorang diri. Sikapnya masih sama seperti pertama kali bertemu. Ramah dan murah senyum, lama-lama aku jauh lebih bisa menyayangi Mama Eva daripada Ben. Aku terpesona dengan kamar ini. Tempat tidur luar dengan bedcover dan selimut warna pink. Di atas meja terdapat buku-buku tertata rapi. Beberapa judul terlihat seputar bu
Duniaku tidak sesempit urusan nasabah, jumlah saldo dan segala urusan kantor berlantai tiga. Tidak hanya itu. Di kepalaku, di pundak dan segumpal darah di balik dada ini menyimpan kesakitan luar biasa. Termasuk bakal janin di dalam perutku ini. Semuanya terasa sulit diurai, sulit dimengerti oleh diri sendiri apalagi orang lain. Logikaku nyaris mati bahkan pendidikan selama enam belas tahun serasa tidak berguna.Oleh sebab itu akhir-akhir ini aku sering mengabarkan kematian dari akhir sebuah masalahku. Meskipun aku tahu itu sebuah kesalahan fatal. Tidak ada satupun manusia yang mengerti mengapa aku begitu rumit.Aku merasa kehilangan diriku yang sesungguhnya. Yollanda manusia tanpa jiwa.Akan tetapi ketika pria yang mengaku bernama Ben, mengatakan jika ia mengerti keadaanku berat, satu persen beban di pundakku mulai lepas. Dan aku mulai ragu untuk loncat jembatan tempat aku berpijak sekarang. Membayangkan jika aku tidak mati, tapi hanya patah tulang. Itu justru semakin menambah se...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments