Dari pandangan mata Arya persis seorang tentara. Sosok yang kharismatik dengan otot-otot kuat melekat di kulit coklatnya, tingginya pun lebih 175 cm dan dengan gaya rambut selalu rapi. Yang aku sukai adalah bau tubuhnya selalu wangi dan segar. Teringat bagaimana pertama aku mengenal Arya.
Saat itu aku dan Sintia ngopi di cafe, sedangkan Arya duduk di barisan tak jauh dariku. Sempat aku curi pandang karena dari sekian orang, hanya satu orang dengan baju seragam tentara lengkap, ngopi sendirian di cafe.
Dan ternyata hal yang sama juga terjadi pada Arya, dia curi pandang padaku. Dan beberapa kali pandangan kami bertemu. Ketika aku hendak pulang dia menghampiriku di parkiran.
“Mbak,” seru Arya setengah berlari menghapiriku.
“Ya, ada apa Pak?” Naluri spontan memanggil seorang tentara “Pak” sebagai bentuk rasa hormat meskipun aku tahu sosok itu masih muda.
“Jangan panggil saya Pak. Saya belum berkeluarga…perkenalkan saya Arya.” Dengan sopan dia mengulurkan tangan.
Aku ragu-ragu tapi tetap jabat tangan. “Saya Yollanda. Ada apa?”
“Saya ingin kenalan dan berteman jika Mbak Yollanda mengizinkan.” Sungguh pria yang gentleman. Wanita mana yang tak tersipu dengan pria yang mengajak kenalan dengan cara seperti itu? Apalagi seorang tentara.
Aku tak bisa menolak kenalan itu dan akhirnya kita tukeran kontak. Jika boleh jujur, aku memang sudah tertarik sejak pertama kali melihat Arya di cafe. Sungguh dia tampan menawan. Dia idamanku selama ini.
Dua bulan kenal, Arya sering mengajakku nonton bioskop atau sekedar jalan-jalan. Akhirnya dia menyatakan cinta dan kami pun sepakat untuk menjalin hubungan bernama pacaran.
Tiga bulan pacaran dia berani menciumku, enam bulan berlalu dia mulai merangkulku dan aku tanpa penolakan. Dan titik dimana aku bodoh berotak udang, sembilan bulan pacaran melakukan hubungan haram. Sungguh, aku sendiri malu jika mengingat mengapa aku bisa semudah itu.
Kini aku sadar mengapa Arya selalu berkelit jika aku bertanya tentang keluarganya. Padahal sejak awal hubungan dia menyatakan akan serius membawa aku ke pelaminan. Namun, sekalipun aku tidak pernah berniat untuk memperkenalkan aku dengan keluarganya.
Dan aku sendiri beberapa kali mengajak Arya pulang kampung ke rumah Kakek di Malang, dia selalu menolak dengan seribu alasan. Dan ketika dia sudah menghilang kini aku sadar jika semua yang dilakukan Arya adalah skenario yang dia buat.
Arya menjadi sutradara sekaligus aktor utama dan aku sebagai peran pembantu, yang membuat seluruh karangan Arya menjadi dramatis dan menguntungkan.
Kini aku pun binggung harus berbuat apa dengan cabang bayi dalam perutku ini. Dan segala hal yang Arya lakukan menimbulkan kebencian terhadap diriku sendiri dan cabang bayi yang tak berdosa.
Pernah terfikirkan aku untuk menggugurkan kandungan ini tapi aku menyadari jika kehadirannya juga karena aku yang mempersilahkan. Tapi di sisi lain aku juga takut perutku membesar, tak bisa aku pikirkan bagaimana pandangan orang mengenai diriku.
Seharian penuh aku di dalam kamar kost, hanya keluar ketika sore itu pun ke depan bertemu dengan kurir yang mengantar makanan yang aku pesan di online. Dan ketika malam tiba, aku mulai merasa sesak dan semakin penat kemudian aku memutuskan untuk duduk di teras.
Memandang langit, pintu gerbang atau halaman kost yang lumayan luas. Separuh terisi motor dan mobil penghuni kost.
Kost yang aku tinggali ini terdiri dari dua puluh rumah kost, terdiri dari penghuni pria dan wanita. Lantai bawah khusus wanita sedangkan lantai bawah untuk pria. Siapa pun boleh berkunjung dengan syarat tidak boleh menginap.
Itu syarat mutlak yang diberikan Bu Suny untuk semua penghuni kost. Jika ketahuan ada yang berkunjung lalu menginap berarti siap-siap angkat kaki untuk selama-lamanya dari kost Bu Suny.
Dan ketentuan itu yang membuat kost ini tenang dan tidak bising, meskipun semua penghuni kamar kost nyaris punya karakter yang sama. Cuek, tidak peduli dengan urusan sesama penghuni kost.
Oleh sebab itu aku betah tinggal di kamar kost ini.
Aku menatap ke lantai dua, ujung barat mencari sosok Ben, tak nampak sedikit pun. Justru yang ada sunyi senyap.
Dari peristiwa di jembatan hingga tadi pagi dia mengantarkan makanan, aku belum mengatakan “terima kasih.”
Bukan aku tidak mau mengucapkan itu tapi entah kenapa aku merasa berat untuk mengucapkan hal itu, aku tidak mau menaruh harapan atau mudah terpengaruh dengan pria. Tidak akan!
Hanya saja sepertinya aku harus mengganti makanan yang diberikan Ben untukku, aku tidak ingin pria itu mengasihi dan ujung-ujungnya hanya akan memanfaatkan aku seperti Arya.
Segera aku pesan pizza. Dan akan aku antar ke kamarnya sebagai bentuk ganti makanan yang dia berikan padaku. Jika aku ganti bentuk uang aku yakin pria itu tidak akan terima dan bisa saja malah tersinggung.
Satu jam berlalu, seorang kurir telah sampai pintu gerbang membawa pizza ukuran medium. Dan segera aku naik lantai dua untuk mengantar pizza itu, akan tetapi aku ketuk berkali-kali Ben tidak nampak. Justru tetangga sebelah kamar Ben yang keluar memberitahuku jika Ben biasanya akan pulang kerja di atas jam sembilan.
Oleh sebab itu aku memutuskan untuk kembali turun dan menunggu Ben di teras kamarku sendiri.
Namun, sosok yang aku tunggu tak kunjung datang hingga pukul setengah sepuluh. Ketika ngantuk dan letih di badan menyerangku sosok dengan sepedah motor Yamaha NMAX melewati gerbang.
Aku tercengang, Arya akhirnya datang padaku. Membawa motor kesayanganku.
“Arya…”Aku berdiri dengan mulut melolong menatap Arya dengan helm hitam bermasker memutar stir ke arahku.
Mata yang minus satu membuat pandanganku kabur ketika melihat sesuatu dari jarak jauh. Namun ketika sosok itu semakin mendekat aku mulai menyadari sesuatu. Dia bukan Arya tapi Ben. Sial, aku mengumpat dalam hati.Ben berhenti tepat di depanku yang berdiri di pinggiran teras, lalu membuka helm serta maskernya. "Ngapain di sini? Nunggu orang?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. Karena sejak melihat penampakan motor Yamaha NMAX jantungku berdendang keras. "Tidak kok." "Oh, aku bawa nasi goreng. Mau?" tanya Ben sambil berdiri dari atas motor.Karena kelamaan nunggu jawabanku Ben akhirnya menimpali, "tenang aja aku bawa dua bungkus." Dia raih dua bungkus nasi goreng di motornya lalu ia bawa ke teras kamar kostku. Namun, kini ia yang tersentak melihat satu kotak pizza di atas meja. "Wah ada pizza ini." "Iya itu buat kamu, sebagai gantinya sudah kasih makan aku tadi malam dan tadi pagi." "Ya, sudah begini saja, kita tukeran makanan. Dua nasi goreng dengan pizza. Bagai
Ben tertawa.Aku melihat giginya berjejer rapi lalu pandangannya ke arah barat tepatnya di lantai dua. “Beberapa kali aku melihatnya, dari sana.” Ben mengangkat dagu ke arah barat. Aku berdesis, “kamu mata-matain aku?”“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya menebak. Aku di sini baru dua bulan. Melihat pacarmu itu baru dua kali.” Aku buang muka, emosiku tersulut tapi aku tidak mampu marah. “Aku sudah putus.” Suaraku ketus. *Dua minggu berlalu, aku dan Ben menjadi saling kenal. Tapi tidak pernah bertanya mengapa aku hendak bunuh diri. Aneh, pria itu tidak penasaran mengapa aku hendak bunuh diri di malam itu. Tapi dalam lubuk hati aku juga tidak berharap dia ingin tahu. Dan sejak saat itu pula aku berteman dengan Ben, tidak terlalu akrab hanya saja sering saling sapa. Beberapa kali bertemu di jalan saat hendak berangkat kerja, dia menawarkan diri untuk mengantarku. Awalnya aku menolak.Aku memilih jalan kaki toh sejak motorku hilang dibawa Arya aku selalu berangkat kerja dengan j
Benang kusut semakin ruwet. Semalaman aku mengalami insomnia, isi kepalaku terus berputar memikirkan “aku harus bagaimana?” Keputusan apa yang harus aku pilih? Mempermainkan ikatan suci hanya untuk menutupi aib? Atau aku benar-benar menggugurkan janinku sendiri? Namun, setiap kali berpikir menggugurkan janinku sendiri entah mengapa ucapan Ben, "aku bukanlah bagian dari pembunuh," selalu menghantui pikiranku. Sialnya hati kecilku membenarkan ucapan Ben, jika aku menggugurkan janin ini aku bagian dari pembunuh. Tidak! Aku bukan pembunuh! Setelah semalaman suntuk aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan. Aku akan menerima tawaran Ben. Uang sepuluh juta barter dengan status perkawinan selama satu tahun. Aku masih punya tabungan sebelas juta. Biar bagaimanapun kehadiran bakal manusia kecil ini aku yang mempersilahkan. Aku tak ingin menambah dosa dengan membunuh calon manusia kecil dalam rahimku ini. Jika ada sosok yang harus aku hukum dalam hal ini, Arya-l
“Ya sudah nanti kita bicara…ayo masuk dulu. Makan dulu. Pasti Nak Yollanda capek habis motoran jauh.” Mama Eva merangkul pundakku, membimbingku masuk. Syukurlah Mama Eva tidak bereaksi berlebihan yang membuatku semakin gugup. Aku duduk di ruang tamu sendirian, sedangkan Ben mengikuti ibunya entah ke mana aku tidak tahu. Di ruang tamu itu aku lihat pigura besar dengan gambar Ben di tengah diapit Mama Eva dan disebelahnya seorang pria aku yakin itu ayah Ben. Rumah Ben tampak besar, tidak ada apa-apanya dengan rumah Kakek atau orang tuaku dulu di Malang. Halaman plesteran terbuka luas tanpa pagar, dan di samping rumah tampak pohon mangga dan rambutan menjulang tinggi. Suasananya pun tenang khas hawa perdesaan. Ruang tamunya dua kali lebih luas dari kamar kostku. Terdapat sebuah kursi kayu jati dengan ukiran dan pahatan indah berbentuk bunga. Dan tepat di tengah aku duduk terdapat bantalan empuk berlapis kain beludru berwarna merah maron. Yang membuatku sedikit terkesima ialah aq
"Sejak mengenal Yollanda.” Ben terdiam sesaat dengan mata menatap wajahku. “Ben berkeinginan menikah,” jawaban Ben menggema di seluruh ruangan. Bahkan gema itu mampu menembus tulang rusukku, masuk kedalam hatiku. Jantungku berdendang keras mendengar betapa serius Ben menjiwai sandiwara ini. Sorot matanya tidak menggambarkan kebohongan. Dia seperti laki-laki dengan tekad kuat untuk menikah tanpa basa basi. Ayah Anjas tersenyum tipis sambil menatapku. “Apakah kamu juga memiliki keinginan yang sama dengan Ben?” Aku lancarkan sandiwara Ben dengan mengangguk kepala dua kali. “Iya Om.” Bedanya aku menjawab sambil menundukan pandanganku. Sejak suasana ruang makan itu hening, seisi ruangan sibuk menikmati makanan. Hanya aku yang tak bisa fokus dengan sepiring makanan di hadapanku. Pikiranku terus melayang entah kemana arahnya. Sampai akhirnya pria yang aku takuti itu kembali menatapku dengan tajam. "Yollanda, kerja di mana? Lulusan sekolah dimana?" Dadaku hangat, aku semakin ragu dan
Sebagai orang tua, pemimpin masyarakat dan terpelajar, Ayah Anjas tidak hanya menduga-duga. Kasus asusila di masyarakat sering dia jumpai, dari orang-orang yang berumur belia hingga lanjut usia. Dan yang sering terjadi ialah kasus wanita hamil diluar nikah. Dan perselingkuhan. Dari banyaknya pengalaman itu, hanya dengan melihat sorot mata dan gestur tubuh Yollanda, pria itu bisa meraba ada hal yang tidak beres. Ketakutan dan cemas. Terlebih lagi tingkah anaknya yang sering berulah, Ayah Anjas bisa membaca situasi yang sebenarnya terjadi di ruang meja makan. Ayah Anjas tahu dan cukup mengerti Ben adalah fotocopy dirinya. Sama-sama pembangkang dan keras kepala. Akan tetapi jika Ayah Anjas harus mendidik putranya seperti istrinya, dia angkat tangan. Tidak mampu. Bagaimana bisa seorang kepala keluarga lemah lembut? Yang paling dibenci Ayah Anjas ialah, keinginannya selalu bertolak belakang dengan anaknya. Sejak Ben kecil.Termasuk menolak dipanggil dengan sebutan “Eliezer” nama yang
Aku berharap Ben menolongku, sungguh bibirku tidak bisa bergerak. Dan dalam hitungan detik serangan migren menyerang, perutku mulai terasa kaku. Haruskan aku jujur jika aku tengah hamil? “Bukankah ini terlalu dini untuk ditanyakan Ayah?” tanya Mama Eva dengan suara sangat lembut, aku yakin wanita paruh baya itu sedang merayu suaminya. “Tidak, aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” Ayah Anjas terdiam sesaat lalu melanjutkan ucapannya. “Eliezer, masih masa merintis. Bahkan, kadang masih bergantung pada kita. Lalu dia ingin menikah dalam waktu dekat. Dia pikir berumah tangga itu gampang?” Ayah Anjas terdiam, lalu kembali bergumam, “Anak zaman sekarang kalo mau nikah cepet-cepet, pasti ada alasannya.” Ben mengangkat wajah, memandangku lalu ke arah ayahnya. “Iya Ayah, mohon maaf seribu maaf Yollanda tengah hamil anak Ben.” Petir menyambar tubuhku untuk kedua kalinya, kali ini bukan hanya sakit kepala tapi nyaris pingsan. Dalam hitungan detik warah Ayah Anjas berubah merah. Matanya nya
Aku menarik tanganku dengan kasar, akan tetapi cekaman pria itu terlalu kuat. “Ben!” Aku kembali teriak kencang.“Di sana hujan, lihat kamu basah! Siapa yang mau macam-macam sama kamu?” Ben melepas genggamannya. Dan aku kembali menjauh dari Ben. “Jika kamu macam-macam aku beneran potong jari kelingkingmu!” Gerahamku mengigit kuat-kuat, kedua tanganku bertumpuk di dada dengan tubuh gemetar. Kini aku tidak lagi merasakan kedinginan tapi juga ketakutan luar biasa. “Ya ampun, aku tidak macam-macam. Cuma kamu sini…disitu basah,” jawab Ben. Aku terdiam, dan Ben masih memandang diriku yang berdiri yang berjarak dua meter.Kilat menyambar kembali bersama dengan suara petir menggelegar. Aku semakin ketakutan. Ben kemudian mudur beberapa langkah. “Berteduhlah!” Aku kemudian berpindah tempat hingga air hujan tidak membasahi tubuhku. Aku melirik Ben sekilas, pria itu masih tampak memperhatikan aku. Lalu Ben melepas jaketnya dan dilempar tepat mengenai wajahku. Aku sedikit tersinggung, namun
Tapi aku tidak lupa jika yang tidak suka denganku ialah ayah mertuaku. Tapi sikapnya yang diam dan tak komentar itu jauh lebih baik dari pada dia berucap tapi menyakitkan.Jam dua siang beberes kelar, termasuk mengambil tempat tidur, lemari dan beberapa meja di gudang kemudian di tata di kamar. Barulah sore hari Mama Eva kembali cerewet, memaksa Ben untuk mengantar USG ke dokter.Kami hanya bisa pasrah dengan permintaan itu. Bukan itu saja permintaan Mama Eva, dia memaksa Ben untuk ikut masuk kedalam ruangan periksa. Sebenarnya Ben sudah menolak dengan banyak alasan tapi Mama Eva kekeh memaksa. Aku berbaring di tempat tidur sedangkan seorang bidan berdiri di sampingku, bersebelahan dengan Mama Eva. Jarinya mulai membuka kemejaku. Sedangkan mataku justru menatap Ben, kwatir pria itu berfikir hal yang tidak-tidak setelah melihat kulit perutku.Sebuah alat untuk memeriksa dekat jantung telah melekat di perutku. Dan suara jantung anakku mulai terdengar dengan ritme stabil. Kulihat Mam
Genap dua hari aku di rumah mertua. Aku melihat serta merasakan suatu hal yang bertolak belakang. Yang pertama Mama Eva yang sangat perhatian dan Ayah Anjas yang terlampau culas. Pria itu sedikit pun tidak mau bertegur sapa denganku, bahkan duduk di ruangan yang sama dia menolak. Aku tak ambil pusing. Tidak aku pikirkan. Toh ini hanya sementara. Mama Eva sendiri mengatakan jika suaminya butuh waktu menerima kenyataan. Aku hanya perlu bersikap baik, selebihnya Ayah Anjas sendiri menyembuhkan rasa kecewa itu.Tepat di hari ketiga aku di rumah itu, aku dan Ben memutuskan untuk segera kembali ke kota. Cuti kerjaku tinggal dua hari, sedangkan Ben perlu mengurus cafe. Namun, rencana tidak sesuai harapan setelah kami dipanggil Mama Eva di ruang tamu. “Setelah menikah kalian mau tinggal dimana?” tanya Mama Eva membuka percakapan. Aku diam. Dan Ben menjawab, “di kost Ma.”“Kost?” Dahi Mama Eva mengkerut. Aku sendiri hanya bisa tersenyum tipis. “Kost suami istri. Kan ngak masalah, kami mas
“Terus kapan kamu tahu jika ayahmu kandung meninggal?” tanya Ben, sepertinya dia mulai tidak sabar mendengar puncak ceritaku yang bertele-tele. “Umur lima belas tahun. Ketika aku terus-terusan bertanya mengapa ibu harus sembunyi setiap kali ke makam yang tidak aku kenal orangnya. Saat itu ibu mengatakan sejujurnya padaku siapa sebenarnya ayah kandungku. Dan aku juga harus berjanji untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun. Kenyataan itu menjadikan bibit kebencian pada Sasmitha.” Setiap kali mengingat dan menyebut nama pria aku tak bisa menahan senyum sinisku. “Hal itu yang membuatmu tidak mengundang dia?” Ben memandangku dengan kedua alis berkerut. “Banyak hal. Sejak aku tahu dia bukan ayah kandungku, dia juga yang menjauhkan aku dengan Kakek. Aku semakin tidak berempati pada pria itu. Terlebih lagi kenyataan di depan mata, bagaimana pria itu memperlakukan aku dengan dua anak kembarnya cukup tumpang tindih.”“Jika aku yang mendapatkan prestasi aku tidak mendapatkan pujian. Tapi
Ben berada di sampingku dengan tubuh menghadapku, dan sengaja di tengah-tengah aku letakan sebuah guling ukuran sedang. Aku anggap itu adalah pembatas tubuh kami. Beberapa kali Ben tersenyum kadang juga mengerutkan kening mendengar ceritaku. Cerita itu yang aku rangkai berdasarkan cerita ibu, cerita kakek dan juga beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah aku alami di masa lalu.“Ini sudah jam setengah satu, kamu tak ngatuk Ben?” tanyaku mengalihkan perhatian. “Tidak.”Aku menghela nafas panjang. Butuh energi yang kuat untuk aku menceritakan kenangan buruk itu.“Lanjutkan! Terlanjur penasaran,” ucap Ben.Aku diam sesaat dan tersenyum nyengir. “Tapi aku lapar.”“Kamu mau makan apa?”“Terserah,” jawabku. Ben lantas bangun lalu keluar kamar dan kembali dengan membawa air mineral, satu toples kripik pisang dan biskuit coklat. “Tidak ada makanan padat yang enak di makan malam hari. Makanlah cemilan.” Ben meletakan semua makanan dan minuman di pangkuanku. Aku tersenyum girang.
Tiga hari berlalu Sasmitha benar-benar menepati janjinya Ia kini datang bukan hanya membawa dua bungkus bakso, tapi si kembar; Roni dan Ronal ikut serta berjalan mengapit dirinya. “Maaf Dek Rati aku sengaja membawa mereka untuk kuperkenalkan padamu dan Yollanda.” Sasmita tersenyum malu-malu sambil melepas mengusap dua kelapa dua bocah yang berada di kanan kiri. Sasmitha tidak langsung membombardir Rati dengan pertanyaan seputar lamaranya kemarin. Dia justru ikut bermain dengan Si Kembar dan Yollanda. Sedangkan Rati duduk mengamati. Pandangannya terhadap Sasmitha sedikit berubah, Sasmitha tidak terlalu buruk. Pekerjaan Sasmitha juga jelas, meskipun sekelas tukang bakso dengan karyawan satu orang. Pasti suatu saat sukses bisa menghidupi empat orang. “Dek Rati bagaimana dengan lamaran Akang kemarin?” Akhirnya setelah tiga puluh menit bertamu Sasmitha bertanya. “Ada syarat jika memang Ak
Rati hidup dengan suaminya di rumah pemberian orang tuanya. Ayahnya sudah meninggal sejak usianya tujuh belas tahun. Sedangkan ibunya meninggal setelah Rati menikah selama satu tahun. Ketika usia pernikahan menginjak enam belas bulan Rati positif hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang dia beri nama Yollanda Kartika. Rati berharap anaknya seperti memiliki sifat seperti namanya; Yollanda yang berarti kuat. Dan nama Kartika berasal dari nama pahlawan perempuan yang dia kagumi; Dewi Sartika. Ketika Yollanda usia satu tahun, wabah demam berdarah terjadi di desa tempat ia dilahirkan. Puluhan anak-anak dan orang tua terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan tidak sedikit yang meninggal, dan salah satu orang yang menjadi korban ialah ayah Yollanda. Sejak saat itu Rati menjadi seorang janda muda satu anak. Enam bulan menjadi janda seorang pria berkumis tebal datang ke rumah dengan menenteng dua bungkus bakso.Sasmitha siapa yang tak kenal dengan pedagang bakso itu. Termasuk Rati
Aku sempat tertawa terpingkal-pingkal ketika pertama kali melihat Ben keluar dari kamar mandi, dengan mengenakan piyama motif polkadot warna biru laut. "Ganti ah, jelek." Ben menatap badannya sendiri. "Ngak, itu lucu. Pake itu aja kenapa sih?" tanyaku tak peduli protes Ben. Aku sengaja memaksa Ben mencoba piyama itu, perpaduan warna terang dan motifnya jadi kesan unik tersendiri. Bukan itu saja, aku terkesan dengan seseorang memberikan kado istimewa ini. Ada-ada saja idenya memberi piyama warna terang. "Ngak. Mau ganti!" Aku berdiri menghampiri Ben lalu menatapnya dengan mata sinis. "Kamu tahu ngak ini dari Mama." "Masa?" "Tanya aja kalo nggak percaya!" Aku meninggalkan Ben lalu duduk kembali di ranjang. Seketika itu Ben keluar kurang dari lima menit lalu kembali tanpa komentar. Kemudian dia melompat dan membanting tubuhnya ke ranjang tepat di sampingku. "Masih ngak percaya?" Aku kembali mesem mengejek. "Ya sudahlah, lagian cuma buat tidur." Dua alisku mengkerut. "B
Lupakan kejadian tadi malam. Bada subuh aku terbangun ketika suara dari luar memanggil namaku sembari mengetuk pintu. Astaga aku baru sadar jika aku tidur sendirian tanpa Ben. Tidurku sangat lelap, mungkin terlalu letih setelah seharian bermain drama. Aku bangkit dan segera kubuka pintu sebelum pintu kamar yang semakin keras memanggil namaku. “Ben tadi malam tidur di mana?” tanyaku ketika buka pintu tak bisa menahan diri. Ben langsung melangkah masuk kamar melewati aku yang berdiri di ambang pintu. Langsung saja aku tutup pintu dan menguncinya, khawatir ada yang dengar pembicaraan kami. “Di luar.” Ben langsung duduk di tepi ranjang. “Gila, anak-anak kafe sama temen-temen kampus dulu pada dateng jam sebelas malam. Jam dua mereka masih disini sampek aku ketiduran. Bangun-bangun mereka sudah menghilang. Kayaknya memang mau ngerjain aku.” Aku tertawa. “Mau ngerusak malam pertama?” “Mungkin begitu maunya mereka.” Aku menarik nafas lega setidaknya kedatangan teman-teman Ben bisa j
Acara makan malam usai sekitar jam sepuluh. Mama Eva sendiri yang mengantarku lebih dahulu ke kamar. “Ini kamar Ben. Sudah dibereskan. Nak Yolla mending tidur, kelihatannya capek sekali,” ujar Mama Eva sambil membuka pintu kamar. “Tidak terlalu kok Ma,” jawabku santai. Untung saja Ben waktu itu menyarankan aku untuk ke dokter, vitamin dan obat-obatan itu memperlancar jalannya pernikahan hari ini tanpa mual dan muntah; batinku.Mama Eva memandang ke arah meja. “Tidak ada air minum. Mama akan suruh Ben bawa minum kemari.”“Tidak usah repot-repot Ma, tadi kan Yollanda sudah minum.”"Tidak ada yang repot Nak Yolla." Wanita itu kemudian meninggalkan aku di dalam kamar seorang diri. Sikapnya masih sama seperti pertama kali bertemu. Ramah dan murah senyum, lama-lama aku jauh lebih bisa menyayangi Mama Eva daripada Ben. Aku terpesona dengan kamar ini. Tempat tidur luar dengan bedcover dan selimut warna pink. Di atas meja terdapat buku-buku tertata rapi. Beberapa judul terlihat seputar bu