Ben tertawa.
Aku melihat giginya berjejer rapi lalu pandangannya ke arah barat tepatnya di lantai dua. “Beberapa kali aku melihatnya, dari sana.” Ben mengangkat dagu ke arah barat.
Aku berdesis, “kamu mata-matain aku?”
“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya menebak. Aku di sini baru dua bulan. Melihat pacarmu itu baru dua kali.”
Aku buang muka, emosiku tersulut tapi aku tidak mampu marah. “Aku sudah putus.” Suaraku ketus.
*
Dua minggu berlalu, aku dan Ben menjadi saling kenal.
Tapi tidak pernah bertanya mengapa aku hendak bunuh diri. Aneh, pria itu tidak penasaran mengapa aku hendak bunuh diri di malam itu. Tapi dalam lubuk hati aku juga tidak berharap dia ingin tahu.
Dan sejak saat itu pula aku berteman dengan Ben, tidak terlalu akrab hanya saja sering saling sapa. Beberapa kali bertemu di jalan saat hendak berangkat kerja, dia menawarkan diri untuk mengantarku.
Awalnya aku menolak.
Aku memilih jalan kaki toh sejak motorku hilang dibawa Arya aku selalu berangkat kerja dengan jalan kaki melewati jembatan tempat yang nyaris aku bunuh diri. Tapi tambah hari fisikku payah, badan mudah capek dan letih padahal hari masih pagi.
Ben juga bebal, meskipun beberapa kali aku menolak, tetap menawarkan diri mengantarku. Akhirnya aku menerima tawaran Ben, berangkat kerja bareng. Pikirku juga tidak merepotkan dia, karena kantor dan cafe Ben, satu arah.
Dan selama dua minggu aku benar-benar kalut dengan janin yang kukandung, aku belum menemukan solusi.
Belum lagi kondisi fisikku semakin hari makin payah sedangkan janin semakin bertumbuh. Bahkan aku juga belum berani untuk ke dokter. Pasti dokter akan bertanya perihal suami, aku tak bisa membayangkan harus aku jawab apa.
Aku berharap janin dalam rahimku ini tiba-tiba lenyap dari tubuhku, kadang aku juga sengaja makan pedas atau makan nanas; yang konon katanya bisa menggugurkan kandungan. Padahal beberapa kali makan itu sedikit pun tidak timbul reaksi.
Namun, setelah aku pikir matang akan aku menggugurkan kandungan ini sebelum usianya empat bulan. Sebelum malaikat meniupkan ruh padanya.
Aku pun telah memikirkan bagaimana cara paling tepat menggugurkan kandungan ini.
Dari pada aku menelan pil penggugur kandungan yang entah manjur atau tidak lebih baik aku bertindak cepat. Janin ini harus segera diangkat, sebelum tumbuh besar. Aku tahu ini salah, tapi aku harus bagaimana jika Arya satu bulan lebih menghilang. Aku tidak kuat jika menanggung ini sendirian.
Aku berjanji jika masalah ini tuntas aku tidak akan mengulangi dosa yang sama.
Dan satu-satunya orang yang bisa membantuku ialah Ben.
Karena dia satu-satunya orang yang tahu kondisiku saat ini. Meskipun pria itu tidak pernah bertanya tentang kehamilanku. Aku yakin dia bisa membantuku mencari dokter yang bisa membantuku menggugurkan kandungan ini.
Dia pria muda sekaligus pengusaha, aku yakin jika dia punya relasi banyak.
Dan tepat malam minggu aku sengaja memesan pizza, aku tunggu Ben di teras. Dan seperti dugaanku, dia sampai kost di jam sembilan lewat lima belas menit. Seperti biasanya. Langsung aku tawarkan pizza sekaligus minuman, setelah dia sedikit santai baru aku bicara.
“Ben, kamu bisa membantuku mencari dokter yang bisa membantuku aborsi?” tanyaku dengan wajah tertunduk, sedikitpun aku tidak berani menampakkan wajah. Aku malu luar biasa.
Reaksi Ben diluar dugaanku, dia meletakan setengah potong pizza ditangan lalu menelan paksa. Kemudian dia minum dari botol yang aku sudah sediakan. “Kamu serius?”
Aku mengangguk pelan.
“Sudah kamu pikir matang-matang?”
“Ya,” jawabku singkat.
“Pacarmu sudah tahu kamu hamil?” tanya Ben dengan nada suara sangat tenang.
Aku justru tersentak, Ben akan bertanya hal itu.
Tiba-tiba dua bola mataku terasa panas, aku tutup wajah dengan telapak tangan sambil berkata, “karena hal itu Ben aku minta tolong carikan dokter yang bisa membantuku. Hingga saat ini dia tidak bisa aku hubungi.”
Kini aku sudah tersedu-sedu, sungguh aku sudah tidak punya kekuatan apapun jika ditanya soal Arya. “Jujur aku belum putus tapi dia yang meninggalkan aku hampir dua bulan.”
Ben tidak langsung menjawab, dia justru menatapku sejenak lalu meraih kembali botol air mineral. “Dasar brengsek. Pria macam apa itu pacarmu!”
“Tolong ya Ben, cari dokter yang bisa bantu aku,” jawabku iba. Sungguh aku merasa sudah tidak punya harga diri sebagai seorang perempuan.
“Kamu sudah gila?” Ben menatapku tajam.
“Terus aku harus gimana Ben?” suaraku sedikit meninggi melihat respon Ben yang tidak senang dengan pilihanku.
Ben berdiri berjalan mondar mandir di hadapanku, yang membuat aku semakin pusing. Lalu ia menatapku kembali dan berkata, “kamu punya uang sepuluh juta?”
“Buat apa?” Sungguh aku semakin dibuat gemas dengan tingkah Ben.
“Begini, aku harus melunasi pinjaman online. Paling telat minggu ini, kalau tidak bunganya bertambah, belum lagi debt collector datang terus ke cafe. Aku malu kalau sampai ada yang tahu. Aku siap tanggung jawab asal kamu kasih aku sepuluh juta.”
“Kamu gila Ben.” Sengaja aku potong pembicaraan Ben.
“Kita sama-sama gila. Kamu bingung siapa yang tanggung jawab atas calon bayi itu, aku butuh uang yang mendesak. Kita bisa cerai setelah bayi itu lahir.”
Aku menatap Ben dengan emosi yang bergejolak, dadaku kembang kempis menahan amarah yang nyaris meledak. Bibirku bergetar menahan untuk tidak mengumpat kasar, duga prasangka kini bukan semata ilusi tapi fakta.
Pria manapun sama. Manipulatif.
Termasuk Ben, memanfaatkan wanita yang tengah tidak berdaya.
Sungguh aku ingin sekali menghantam wajah Ben dengan pizza di sampingku.
“Kamu kurang waras Ben! Aku tidak bisa!” Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirku, lalu aku buang muka. Bicara dengan Ben tentang masalahku bukan memberi solusi justru membuat kepalaku meledak.
“Terus aku harus bagaimana? Membantumu mencari dokter yang bisa…” Ben terdiam wajahnya sangat resah. “Aku tidak bisa! Aku bukan bagian dari pembunuh.” Suara Ben terdengar lemas putus asa.
Dan kalimat Ben yang terakhir justru menikamku. “Pembunuh”. Kali ini pria itu menamparku keras, secara tidak langsung dia mengatakan aku seorang pembunuh. Aku diam sudah tak bernafsu untuk bicara apa pun.
"Kamu pikirkan matang-matang, aku tunggu jawabanmu besok. Yang jelas kita sama-sama untung Yollanda. Toh kita nikah hanya untuk status saja, setelah anakmu lahir kita pisah. Aku juga tidak akan melakukan hal gila ini kalo bukan karena diburu debt collector." Ben berdiri dan meninggalkan aku sendirian di teras.
Dadaku gemuruh, kepalaku nyaris meledak. Ben benar-benar gila, mempertaruhkan harga diriku untuk kepentinganya sendiri! Bangsat!
Benang kusut semakin ruwet. Semalaman aku mengalami insomnia, isi kepalaku terus berputar memikirkan “aku harus bagaimana?” Keputusan apa yang harus aku pilih? Mempermainkan ikatan suci hanya untuk menutupi aib? Atau aku benar-benar menggugurkan janinku sendiri? Namun, setiap kali berpikir menggugurkan janinku sendiri entah mengapa ucapan Ben, "aku bukanlah bagian dari pembunuh," selalu menghantui pikiranku. Sialnya hati kecilku membenarkan ucapan Ben, jika aku menggugurkan janin ini aku bagian dari pembunuh. Tidak! Aku bukan pembunuh! Setelah semalaman suntuk aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan. Aku akan menerima tawaran Ben. Uang sepuluh juta barter dengan status perkawinan selama satu tahun. Aku masih punya tabungan sebelas juta. Biar bagaimanapun kehadiran bakal manusia kecil ini aku yang mempersilahkan. Aku tak ingin menambah dosa dengan membunuh calon manusia kecil dalam rahimku ini. Jika ada sosok yang harus aku hukum dalam hal ini, Arya-l
“Ya sudah nanti kita bicara…ayo masuk dulu. Makan dulu. Pasti Nak Yollanda capek habis motoran jauh.” Mama Eva merangkul pundakku, membimbingku masuk. Syukurlah Mama Eva tidak bereaksi berlebihan yang membuatku semakin gugup. Aku duduk di ruang tamu sendirian, sedangkan Ben mengikuti ibunya entah ke mana aku tidak tahu. Di ruang tamu itu aku lihat pigura besar dengan gambar Ben di tengah diapit Mama Eva dan disebelahnya seorang pria aku yakin itu ayah Ben. Rumah Ben tampak besar, tidak ada apa-apanya dengan rumah Kakek atau orang tuaku dulu di Malang. Halaman plesteran terbuka luas tanpa pagar, dan di samping rumah tampak pohon mangga dan rambutan menjulang tinggi. Suasananya pun tenang khas hawa perdesaan. Ruang tamunya dua kali lebih luas dari kamar kostku. Terdapat sebuah kursi kayu jati dengan ukiran dan pahatan indah berbentuk bunga. Dan tepat di tengah aku duduk terdapat bantalan empuk berlapis kain beludru berwarna merah maron. Yang membuatku sedikit terkesima ialah aq
"Sejak mengenal Yollanda.” Ben terdiam sesaat dengan mata menatap wajahku. “Ben berkeinginan menikah,” jawaban Ben menggema di seluruh ruangan. Bahkan gema itu mampu menembus tulang rusukku, masuk kedalam hatiku. Jantungku berdendang keras mendengar betapa serius Ben menjiwai sandiwara ini. Sorot matanya tidak menggambarkan kebohongan. Dia seperti laki-laki dengan tekad kuat untuk menikah tanpa basa basi. Ayah Anjas tersenyum tipis sambil menatapku. “Apakah kamu juga memiliki keinginan yang sama dengan Ben?” Aku lancarkan sandiwara Ben dengan mengangguk kepala dua kali. “Iya Om.” Bedanya aku menjawab sambil menundukan pandanganku. Sejak suasana ruang makan itu hening, seisi ruangan sibuk menikmati makanan. Hanya aku yang tak bisa fokus dengan sepiring makanan di hadapanku. Pikiranku terus melayang entah kemana arahnya. Sampai akhirnya pria yang aku takuti itu kembali menatapku dengan tajam. "Yollanda, kerja di mana? Lulusan sekolah dimana?" Dadaku hangat, aku semakin ragu dan
Sebagai orang tua, pemimpin masyarakat dan terpelajar, Ayah Anjas tidak hanya menduga-duga. Kasus asusila di masyarakat sering dia jumpai, dari orang-orang yang berumur belia hingga lanjut usia. Dan yang sering terjadi ialah kasus wanita hamil diluar nikah. Dan perselingkuhan. Dari banyaknya pengalaman itu, hanya dengan melihat sorot mata dan gestur tubuh Yollanda, pria itu bisa meraba ada hal yang tidak beres. Ketakutan dan cemas. Terlebih lagi tingkah anaknya yang sering berulah, Ayah Anjas bisa membaca situasi yang sebenarnya terjadi di ruang meja makan. Ayah Anjas tahu dan cukup mengerti Ben adalah fotocopy dirinya. Sama-sama pembangkang dan keras kepala. Akan tetapi jika Ayah Anjas harus mendidik putranya seperti istrinya, dia angkat tangan. Tidak mampu. Bagaimana bisa seorang kepala keluarga lemah lembut? Yang paling dibenci Ayah Anjas ialah, keinginannya selalu bertolak belakang dengan anaknya. Sejak Ben kecil.Termasuk menolak dipanggil dengan sebutan “Eliezer” nama yang
Aku berharap Ben menolongku, sungguh bibirku tidak bisa bergerak. Dan dalam hitungan detik serangan migren menyerang, perutku mulai terasa kaku. Haruskan aku jujur jika aku tengah hamil? “Bukankah ini terlalu dini untuk ditanyakan Ayah?” tanya Mama Eva dengan suara sangat lembut, aku yakin wanita paruh baya itu sedang merayu suaminya. “Tidak, aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” Ayah Anjas terdiam sesaat lalu melanjutkan ucapannya. “Eliezer, masih masa merintis. Bahkan, kadang masih bergantung pada kita. Lalu dia ingin menikah dalam waktu dekat. Dia pikir berumah tangga itu gampang?” Ayah Anjas terdiam, lalu kembali bergumam, “Anak zaman sekarang kalo mau nikah cepet-cepet, pasti ada alasannya.” Ben mengangkat wajah, memandangku lalu ke arah ayahnya. “Iya Ayah, mohon maaf seribu maaf Yollanda tengah hamil anak Ben.” Petir menyambar tubuhku untuk kedua kalinya, kali ini bukan hanya sakit kepala tapi nyaris pingsan. Dalam hitungan detik warah Ayah Anjas berubah merah. Matanya nya
Aku menarik tanganku dengan kasar, akan tetapi cekaman pria itu terlalu kuat. “Ben!” Aku kembali teriak kencang.“Di sana hujan, lihat kamu basah! Siapa yang mau macam-macam sama kamu?” Ben melepas genggamannya. Dan aku kembali menjauh dari Ben. “Jika kamu macam-macam aku beneran potong jari kelingkingmu!” Gerahamku mengigit kuat-kuat, kedua tanganku bertumpuk di dada dengan tubuh gemetar. Kini aku tidak lagi merasakan kedinginan tapi juga ketakutan luar biasa. “Ya ampun, aku tidak macam-macam. Cuma kamu sini…disitu basah,” jawab Ben. Aku terdiam, dan Ben masih memandang diriku yang berdiri yang berjarak dua meter.Kilat menyambar kembali bersama dengan suara petir menggelegar. Aku semakin ketakutan. Ben kemudian mudur beberapa langkah. “Berteduhlah!” Aku kemudian berpindah tempat hingga air hujan tidak membasahi tubuhku. Aku melirik Ben sekilas, pria itu masih tampak memperhatikan aku. Lalu Ben melepas jaketnya dan dilempar tepat mengenai wajahku. Aku sedikit tersinggung, namun
Dua hari sebelum lamaran aku mengalami masalah. Aku terus muntah-muntah dan mengalami sakit kepala luar biasa. Padahal besok pagi aku harus berangkat ke Malang untuk mempersiapkan acara lamaran. Malam itu tepat pukul sembilan malam ketika aku masih jongkok di kamar mandi, suara ketukan pintu memaksaku untuk menerima tamu dengan kondisi kepayahan. “Kamu sakit?” tanya ketika pertama kali melihatku di balik pintu. “Tidak.”“Pucat sekali?” Ben terus memandangku. Mungkin dia heran dengan tampilan rambutku mirip singa jantan dengan kulit bibir kering. “Aku…” Rasa mual kembali menderaku. Aku tak tahan kemudian meninggalkan Ben yang berdiri di ambang pintu untuk segera masuk kamar mandi. Aku muntah untuk sekian kali. Saking habisnya seluruh isi perutku kini yang keluar hanya air dan lendir menjijikan. Ben masuk ke dalam kamar, menghampiri yang berada di dalam kamar mandi. “Kamu sakit?”Sungguh aku didera kejengkelan berlipat, padahal sudah peringatkan batas dia bertamu hanya di teras.“
Waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Sandiwara yang diperankan sendiri dan Ben. Di rumah Kakek di gelar acara lamaran sederhana tanpa kehadiran Ayah Anjas. Yang datang hanyalah Mama Eva, Ben dan Paman Aryo; adik kandung Ayah Anjas dan beberapa anggota keluarga lainnya. Mama Eva bilang jika Ayah Anjas sedang rapat di luar kota, aku menduga hal itu hanya semata-mata untuk menghindari acara lamaran. Aku yakin dengan watak kerasnya dia tidak mungkin dengan mudah memaafkan aku dengan Ben. Tak heran acara sepenting ini Ayah Anjas memilih untuk tidak datang. Dari pihak keluargaku cukup memaklumi, terlebih lagi mengetahui profesi penting Ayah Anjas. Tidak terlalu mempermasalahkan kehadiran Ayah Anjas. Dan acara lamaran berjalan lancar. Bahkan ketika Paman Aryo mengatakan, “pernikahan akan jauh lebih baik dilaksanakan. Mereka sama-sama dewasa, Ben juga sudah memiliki sumber penghasilan jadi tidak perlu ada yang dikuatirkan.” Kakek langsung mengiyakan. * Dua minggu berlalu dengan
Tapi aku tidak lupa jika yang tidak suka denganku ialah ayah mertuaku. Tapi sikapnya yang diam dan tak komentar itu jauh lebih baik dari pada dia berucap tapi menyakitkan.Jam dua siang beberes kelar, termasuk mengambil tempat tidur, lemari dan beberapa meja di gudang kemudian di tata di kamar. Barulah sore hari Mama Eva kembali cerewet, memaksa Ben untuk mengantar USG ke dokter.Kami hanya bisa pasrah dengan permintaan itu. Bukan itu saja permintaan Mama Eva, dia memaksa Ben untuk ikut masuk kedalam ruangan periksa. Sebenarnya Ben sudah menolak dengan banyak alasan tapi Mama Eva kekeh memaksa. Aku berbaring di tempat tidur sedangkan seorang bidan berdiri di sampingku, bersebelahan dengan Mama Eva. Jarinya mulai membuka kemejaku. Sedangkan mataku justru menatap Ben, kwatir pria itu berfikir hal yang tidak-tidak setelah melihat kulit perutku.Sebuah alat untuk memeriksa dekat jantung telah melekat di perutku. Dan suara jantung anakku mulai terdengar dengan ritme stabil. Kulihat Mam
Genap dua hari aku di rumah mertua. Aku melihat serta merasakan suatu hal yang bertolak belakang. Yang pertama Mama Eva yang sangat perhatian dan Ayah Anjas yang terlampau culas. Pria itu sedikit pun tidak mau bertegur sapa denganku, bahkan duduk di ruangan yang sama dia menolak. Aku tak ambil pusing. Tidak aku pikirkan. Toh ini hanya sementara. Mama Eva sendiri mengatakan jika suaminya butuh waktu menerima kenyataan. Aku hanya perlu bersikap baik, selebihnya Ayah Anjas sendiri menyembuhkan rasa kecewa itu.Tepat di hari ketiga aku di rumah itu, aku dan Ben memutuskan untuk segera kembali ke kota. Cuti kerjaku tinggal dua hari, sedangkan Ben perlu mengurus cafe. Namun, rencana tidak sesuai harapan setelah kami dipanggil Mama Eva di ruang tamu. “Setelah menikah kalian mau tinggal dimana?” tanya Mama Eva membuka percakapan. Aku diam. Dan Ben menjawab, “di kost Ma.”“Kost?” Dahi Mama Eva mengkerut. Aku sendiri hanya bisa tersenyum tipis. “Kost suami istri. Kan ngak masalah, kami mas
“Terus kapan kamu tahu jika ayahmu kandung meninggal?” tanya Ben, sepertinya dia mulai tidak sabar mendengar puncak ceritaku yang bertele-tele. “Umur lima belas tahun. Ketika aku terus-terusan bertanya mengapa ibu harus sembunyi setiap kali ke makam yang tidak aku kenal orangnya. Saat itu ibu mengatakan sejujurnya padaku siapa sebenarnya ayah kandungku. Dan aku juga harus berjanji untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun. Kenyataan itu menjadikan bibit kebencian pada Sasmitha.” Setiap kali mengingat dan menyebut nama pria aku tak bisa menahan senyum sinisku. “Hal itu yang membuatmu tidak mengundang dia?” Ben memandangku dengan kedua alis berkerut. “Banyak hal. Sejak aku tahu dia bukan ayah kandungku, dia juga yang menjauhkan aku dengan Kakek. Aku semakin tidak berempati pada pria itu. Terlebih lagi kenyataan di depan mata, bagaimana pria itu memperlakukan aku dengan dua anak kembarnya cukup tumpang tindih.”“Jika aku yang mendapatkan prestasi aku tidak mendapatkan pujian. Tapi
Ben berada di sampingku dengan tubuh menghadapku, dan sengaja di tengah-tengah aku letakan sebuah guling ukuran sedang. Aku anggap itu adalah pembatas tubuh kami. Beberapa kali Ben tersenyum kadang juga mengerutkan kening mendengar ceritaku. Cerita itu yang aku rangkai berdasarkan cerita ibu, cerita kakek dan juga beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah aku alami di masa lalu.“Ini sudah jam setengah satu, kamu tak ngatuk Ben?” tanyaku mengalihkan perhatian. “Tidak.”Aku menghela nafas panjang. Butuh energi yang kuat untuk aku menceritakan kenangan buruk itu.“Lanjutkan! Terlanjur penasaran,” ucap Ben.Aku diam sesaat dan tersenyum nyengir. “Tapi aku lapar.”“Kamu mau makan apa?”“Terserah,” jawabku. Ben lantas bangun lalu keluar kamar dan kembali dengan membawa air mineral, satu toples kripik pisang dan biskuit coklat. “Tidak ada makanan padat yang enak di makan malam hari. Makanlah cemilan.” Ben meletakan semua makanan dan minuman di pangkuanku. Aku tersenyum girang.
Tiga hari berlalu Sasmitha benar-benar menepati janjinya Ia kini datang bukan hanya membawa dua bungkus bakso, tapi si kembar; Roni dan Ronal ikut serta berjalan mengapit dirinya. “Maaf Dek Rati aku sengaja membawa mereka untuk kuperkenalkan padamu dan Yollanda.” Sasmita tersenyum malu-malu sambil melepas mengusap dua kelapa dua bocah yang berada di kanan kiri. Sasmitha tidak langsung membombardir Rati dengan pertanyaan seputar lamaranya kemarin. Dia justru ikut bermain dengan Si Kembar dan Yollanda. Sedangkan Rati duduk mengamati. Pandangannya terhadap Sasmitha sedikit berubah, Sasmitha tidak terlalu buruk. Pekerjaan Sasmitha juga jelas, meskipun sekelas tukang bakso dengan karyawan satu orang. Pasti suatu saat sukses bisa menghidupi empat orang. “Dek Rati bagaimana dengan lamaran Akang kemarin?” Akhirnya setelah tiga puluh menit bertamu Sasmitha bertanya. “Ada syarat jika memang Ak
Rati hidup dengan suaminya di rumah pemberian orang tuanya. Ayahnya sudah meninggal sejak usianya tujuh belas tahun. Sedangkan ibunya meninggal setelah Rati menikah selama satu tahun. Ketika usia pernikahan menginjak enam belas bulan Rati positif hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang dia beri nama Yollanda Kartika. Rati berharap anaknya seperti memiliki sifat seperti namanya; Yollanda yang berarti kuat. Dan nama Kartika berasal dari nama pahlawan perempuan yang dia kagumi; Dewi Sartika. Ketika Yollanda usia satu tahun, wabah demam berdarah terjadi di desa tempat ia dilahirkan. Puluhan anak-anak dan orang tua terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan tidak sedikit yang meninggal, dan salah satu orang yang menjadi korban ialah ayah Yollanda. Sejak saat itu Rati menjadi seorang janda muda satu anak. Enam bulan menjadi janda seorang pria berkumis tebal datang ke rumah dengan menenteng dua bungkus bakso.Sasmitha siapa yang tak kenal dengan pedagang bakso itu. Termasuk Rati
Aku sempat tertawa terpingkal-pingkal ketika pertama kali melihat Ben keluar dari kamar mandi, dengan mengenakan piyama motif polkadot warna biru laut. "Ganti ah, jelek." Ben menatap badannya sendiri. "Ngak, itu lucu. Pake itu aja kenapa sih?" tanyaku tak peduli protes Ben. Aku sengaja memaksa Ben mencoba piyama itu, perpaduan warna terang dan motifnya jadi kesan unik tersendiri. Bukan itu saja, aku terkesan dengan seseorang memberikan kado istimewa ini. Ada-ada saja idenya memberi piyama warna terang. "Ngak. Mau ganti!" Aku berdiri menghampiri Ben lalu menatapnya dengan mata sinis. "Kamu tahu ngak ini dari Mama." "Masa?" "Tanya aja kalo nggak percaya!" Aku meninggalkan Ben lalu duduk kembali di ranjang. Seketika itu Ben keluar kurang dari lima menit lalu kembali tanpa komentar. Kemudian dia melompat dan membanting tubuhnya ke ranjang tepat di sampingku. "Masih ngak percaya?" Aku kembali mesem mengejek. "Ya sudahlah, lagian cuma buat tidur." Dua alisku mengkerut. "B
Lupakan kejadian tadi malam. Bada subuh aku terbangun ketika suara dari luar memanggil namaku sembari mengetuk pintu. Astaga aku baru sadar jika aku tidur sendirian tanpa Ben. Tidurku sangat lelap, mungkin terlalu letih setelah seharian bermain drama. Aku bangkit dan segera kubuka pintu sebelum pintu kamar yang semakin keras memanggil namaku. “Ben tadi malam tidur di mana?” tanyaku ketika buka pintu tak bisa menahan diri. Ben langsung melangkah masuk kamar melewati aku yang berdiri di ambang pintu. Langsung saja aku tutup pintu dan menguncinya, khawatir ada yang dengar pembicaraan kami. “Di luar.” Ben langsung duduk di tepi ranjang. “Gila, anak-anak kafe sama temen-temen kampus dulu pada dateng jam sebelas malam. Jam dua mereka masih disini sampek aku ketiduran. Bangun-bangun mereka sudah menghilang. Kayaknya memang mau ngerjain aku.” Aku tertawa. “Mau ngerusak malam pertama?” “Mungkin begitu maunya mereka.” Aku menarik nafas lega setidaknya kedatangan teman-teman Ben bisa j
Acara makan malam usai sekitar jam sepuluh. Mama Eva sendiri yang mengantarku lebih dahulu ke kamar. “Ini kamar Ben. Sudah dibereskan. Nak Yolla mending tidur, kelihatannya capek sekali,” ujar Mama Eva sambil membuka pintu kamar. “Tidak terlalu kok Ma,” jawabku santai. Untung saja Ben waktu itu menyarankan aku untuk ke dokter, vitamin dan obat-obatan itu memperlancar jalannya pernikahan hari ini tanpa mual dan muntah; batinku.Mama Eva memandang ke arah meja. “Tidak ada air minum. Mama akan suruh Ben bawa minum kemari.”“Tidak usah repot-repot Ma, tadi kan Yollanda sudah minum.”"Tidak ada yang repot Nak Yolla." Wanita itu kemudian meninggalkan aku di dalam kamar seorang diri. Sikapnya masih sama seperti pertama kali bertemu. Ramah dan murah senyum, lama-lama aku jauh lebih bisa menyayangi Mama Eva daripada Ben. Aku terpesona dengan kamar ini. Tempat tidur luar dengan bedcover dan selimut warna pink. Di atas meja terdapat buku-buku tertata rapi. Beberapa judul terlihat seputar bu