Cahaya, seorang wanita yang terjebak dalam pernikahan wasiat orang tuanya, rela menerima seorang lelaki bernama Bintang untuk menjadi suaminya dengan ikhlas dan apa adanya. Semua itu demi menjalankan amanah dan rasa baktinya pada kedua orang tuanya. Belajar mencintai sang Suami hingga rasa cinta itu tumbuh dengan berjalannya waktu. Hanya saja dia tidak tahu kalau sebenarnya lelaki yang ia anggap suami itu mempunyai rahasia besar yang disembunyikannya selama dua tahun pernikahan mereka. Selama menjalankan biduk pernikahan, Cahaya tidak pernah menyentuh benda pribadi milik suaminya karena itu sudah kesepakatan yang disetujuinya sejak awal diminta Bintang. Ia juga tidak tahu kalau sebenarnya Bintang belum mencintainya dengan sepenuh hati. Ternyata ada wanita lain yang bertahta di hati bintang hingga suatu hari kebenaran itu terungkap. Ada sebuah foto yang disembunyikan Bintang dari Cahaya. Foto yang mengiris hatinya, tapi demi menjalankan amanat orangtuanya, ia memilih bertahan. Namun ternyata tidak hanya satu rahasia besar saja yang terungkap, ternyata ada rahasia lainnya yang akhirnya diketahui oleh Cahaya. Tentang rahasia Ibu mertuanya pun ikut terungkap dengan sendirinya. Disini Cahaya mulai bimbang dan menanyakan hatinya, apakah ia akan tetap bertahan atau lepaskan.
Lihat lebih banyakBagian 1
"Yur... sayur...! Ibu... Ibu... sayur...! Sayur segar baru dipetik dijamin segar, ada ikannya juga." Sayup, terdengar jauh Abang tukang sayur sedang teriak menawarkan dagangannya.
"Bu Aya! Belanja nggak? Tuh Abang sayurnya sudah di depan rumah Bu Hani, bentar lagi mau pergi!" Teriak Bu Tuti, tetangga sebelahku.
Waduh, motor matic-ku dibawa Mas Bintang karena mobilnya sedang diservice. Kalau jalan kaki apa terkejar ya?
Aku berusaha turun dari lantai atas dengan langkah cepat untuk menyempatkan berbelanja pada Abang sayur. Hari ini berniat membeli satu kilo ayam dan dua ikat sayur kangkung, jangan lupa tahu-tempe sebagai tambahannya. Makanan sederhana favorit Mas Bintang--suamiku.
Sayangnya hari ini aku bangun kesiangan, malam tadi aku tidur dengan nyenyaknya, bahkan sampai tidak tahu jam berapa Mas Bintang pulang ke rumah.
Jam segini aku baru saja membersihkan rumah, biasanya selesai lebih awal, bahkan biasanya sudah duduk santai menunggu kedatangan Abang sayur.
***
Aku mencari-cari dompet panjang-ku. Tidak ditemukan, entah dimana meletakkannya. Sedangkan aku takut Abang sayurnya sudah keburu pergi.
***
"Iya Bu, aku mau belanja, tapi kok Abang sayur-nya masih disana? Memangnya nggak kemari?" tanya sambil membuka pintu pagar menoleh ke rumah sebelah.
"Tidak katanya. Bang Wiro-nya mau langsung balik, ada urusan keluarga, tapi kamu tenang saja, tadi aku berpesan, nyuruh dia buat nunggu kamu sebentar lagi, siapa tahu kamu mau belanja, tuh abangnya nunggu di rumah Bu Hani, cepatan!" jelas Bu Tuti memberitahu. Syukurlah memiliki tetangga yang perhatian.
"Oh begitu, kalau begitu saya cari dompet dulu," ujarku berlalu masuk lagi ke dalam rumah dengan berlari.
Aku cepat-cepat naik ke lantai dua menuju kamar.
"Dimana ya aku meletakan dompet itu," gumamku ngos-ngosan sambil menyisir tiap sisi kamar.
Mataku harta ke atas nakas. Ada dompet disana, tapi bukan dompet yang kucari, dan itu juga bukan dompetku.
Itu kan dompet Mas Bintang? sepertinya dia tidak sengaja meninggalkannya di kamar.
Bimbang. Apa aku pinjam saja uangnya dulu, nanti setelah dompetku ketemu baru kuganti dengan diam. Mas Bintang tidak akan tahu. Daripada ditinggal abang sayur, nanti bakal gak bisa makan siang.
Selama ini saya tidak pernah menyentuh barang pribadinya Mas Bintang, termasuk dompet. itu janjiku dengannya di awal pernikahan. Bukan aku yang meminta perjanjian itu, tapi itu keinginannya. Katanya dia risih kalau barangnya disentuh orang lain, walaupun itu istrinya sendiri. Nyesek sih dengarnya. Mau bagaimana lagi, kami menikah di atas dasar perjodohan.
Kuyakinkan hati membuka isi dompetnya. Berniat mengambil uang seratus ribu saja, kalau dihitung itu cukup untuk belanja kebutuhan masakan hari ini, bahkan ada lebihannya.
Dengan cepat kuhampiri nakas di samping tempat tidur. Kuambil dompetnya dan kubuka. Mataku langsung tertuju ke slot ruang tempat penyimpanan uang. Ada beberapa lembar uang Seratus ribu dan Lima puluh ribu. Kuambil yang berwarna merah senilai seratus ribu. Lalu kututup kembali. Aku mau beranjak, tapi tidak jadi.
Ada yang janggal. Ada yang membuat hatiku tidak nyaman. Ada yang mengusik penglihatanku, tapi apa? Kubuka dompet dompet tersebut.
Jleb.
ini dia. Ada warna putih menyembul di selipan slot kecil berjejer kartu-kartu di bagian sampingnya. Entah kenapa aku penasaran apa itu? Aku yakin itu seperti pas foto ukuran kecil , dan arahnya menghadap terbalik. Jadi aku tidak bisa melihat apa dan siapa dibalik foto tersebut.
Apakah aku harus melihatnya?
Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.***Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata
Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka. Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat
"Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak
Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.
"Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.***Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,
"Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya."Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku."Kapan kalia
"Maaf Ya, kasih Mas waktu untuk membuktikan kalau Mas juga mencintaimu," aku meyakinkannya lagi. Perasaanku kali ini tidak enak. Ada rasa takut yang dalam saat Aya mulai bicara seperti ini. Yang lebih mengejutkan tiba-tiba Aya menanyakan tentang Salma. Pasti Ibu yang cerita, tapi kenapa? Bukankah kami sepakat untuk menyembunyikannya? Kutarik tubuhnya berbaring bersamaku. Kupeluk ia erat. Aku berusaha meyakinkannya kalau aku mencintainya, sangat mencintainya, apa pun yang diceritakan Ibu tentang Salma jangan sampai membuatnya meragukanku.Kuminta ia segera tidur karena aku pun juga sudah mengantuk. Kupejamkan mataku. Tapi firasatku mengatakan kalau ia belum tidur."Ehem ..., sudah puas menatap wajahku ini?"Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya, tapi dengan adanya pergerakan tubuhnya saat kupeluk aku tahu ia terkejut.
Ibu terkena stroke. Kaki sebelahnya tidak bisa digerakkan, tapi bukan lumpuh. Kata dokter ini masih ringan. Ibu diminta terus mengikuti terapi untuk pemulihan kakinya.Sungguh pukulan berat untukku. Karena akulah yang tanpa sengaja membuat Ibu mengalami hal itu.Cahaya tidak tahu penyebab Ibu masuk rumah sakit. Aku dan Ibu sepakat merahasiakannya dari Aya.Ibu mulai menjaga jarak denganku. Dia hanya bersikap hangat padaku, bila ada Aya di sisinya, setelah itu sikapnya dingin. Sedingin es. Tidak pernah Ibu begitu denganku. Ini baru seumur hidupku diacuhkan oleh orang yang paling kusayang.Ibu memintaku untuk tutup mulut dan jangan sampai masalah ini diketahui Aya. Ibu bahkan memaksaku untuk meninggalkan Salma. Maaf Bu, aku tidak bisa. Kia–anakku butuh sosok ibu dan ayahnya. Jadi selama ini aku
Kusentuh kembali lekuk wajah cantik Cahaya yang tertidur pulas di sebelahku. Sekarang entah kenapa ini jadi candu untukku. Aku tak bisa mengendalikan hasrat dalam diri. Semalam aku menggila dengan menyerangnya bertubi-tubi, hingga wanita cantik di sampingku ini terkulai lemah tak berdaya. Aneh, kenapa rasanya berbeda dengan Salma? Aku tidak merasakan sensasi menakjubkan seperti ini di malam pertama kami. Rasanya pun tak bisa kuingat seolah tak pernah menjamahnya. Dengan Salma, aku sekedar melampiaskan saja, tapi dengan Cahaya, aku ..., Ah sudahlah. Kalau dibandingkan begini aku merasa berdosa dengan Salma.***Setelah malam panas itu, aku berusaha keras menjauhi Cahaya. Sikapku malah semakin dingin dengannya. Bukan karena tak suka, tapi karena takut akan mengulangi lagi malam panas itu. Aku sangat merasa bersalah dengan Salma. Dua janji telah kulanggar. Namun tetap saja, pesona Cahaya lebih kuat hingga membuat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen