Part 3
Aku berhenti di anak tangga terakhir dan duduk disana. Menyandarkan kepala ke pegangannya. Mencoba menetralkan rasa sakit yang menyelusup tiba-tiba.
Tidak terasa air mata menetes dengan pelan membasahi kedua pipiku.
Aku masih kepikiran soal foto itu dan kemungkinan terburuk mengenai hubungan diantara mereka berdua.
"Aya, itu kamu Nak?" tanya mertuaku yang tiba-tiba datang menghampiriku dengan kursi rodanya.
"Hm." Aku berdeham mengiyakan. Cepat-cepat kuusap jejak air mata di kedua pipi dan segera bangkit dari duduk.
"Ada apa Bu, Ibu perlu apa? Biar Aya ambilkan," tawarku kepada Ibu mertua.
Ibu menatapku lekat seperti ada yang dipikirkannya.
"Ibu kira kamu masih di tempat Abang sayur, ini ... Dompetmu ketinggalan di kamar Ibu," ucap Ibu dengan menyodorkan dompet yang sedari tadi belum kutemukan keberadaannya.
"Astaga ..., di kamar Ibu rupanya? Aya cari kemana-mana Bu, dari tadi nggak ketemu." Aku mencoba bersikap sewajar mungkin di hadapan beliau.
Ibu mengangguk dan masih menatapku seperti tadi.
"Iya, kamu meninggalkannya saat membawakan sarapan pagi Ibu ke kamar. Ibu juga baru lihat, makanya cepat-cepat mau ke depan siapa tahu kamu belum jauh perginya."
"Ibu ... Ibu nggak perlu begitu, nanti Aya ambil sendiri, kan Ibu bisa panggil Aya dari dalam kamar Ibu. Nggak perlu repot begini mengantarkannya, Bu," ucapku. Ibu hanya membalasnya dengan tersenyum kepadaku.
"Jadi kamu belum belanja, Ya? Dari tadi kamu masih mencari dompet ini?" Ibu menanyaiku secara beruntun.
"E--e ..., Iya Bu, maaf, soalnya kan di sana sudah teratur pengelolaan untuk kebutuhan rumah, Bu. Sudah dihitung dengan baik, biar pengeluaran kita tiap bulan aman, Bu, nggak membengkak," jawabku menjelaskan dengan menunduk, merasa bersalah.
"Kamu kenapa Nak? Ada masalah? Sama Bintang? Cerita sama Ibu," duga Ibu sembari mengusap bahuku lembut.
Wajahku seketika pias menatap Ibu mertua tak percaya. Bagaimana mungkin Ibu bisa menduga begitu? Apa gelagatku saat ini terlihat mencurigakan baginya? Apa jejak air mata masih tampak menghiasi pipiku?
"Nggak Bu, Aya baik-baik saja," elakku sambil tersenyum mencoba menghindari tatapannya.
Aku tidak ingin Ibu tahu tentang kegundahanku, itu hanya akan membebaninya dan membuatnya jadi sakit. Biar masalah ini kuselesaikan sendiri. Aku hanya harus bertanya kepada Mas Bintang tentang foto itu, apapun jawabannya nanti dan bagaimanapun kemarahannya kepadaku, akan kuterima sebagai konsekuensi atas kelancanganku membuka dompetnya.
Part 4"Biar Aya antar Ibu ke kamar ya, buat istirahat," ujarku sambil mendorong kursi rodanya."Jangan Ya, Ibu mau duduk disana saja," tunjuknya ke arah meja makan yang berada di ruang dapur."Apa Ibu mau Aya buatkan makanan? Ibu lapar?" tanyaku sambil mengarahkan kursi roda Ibu menuju dapur.Ibu menggeleng. "Ibu masih kenyang, kan barusan makan, ini juga baru jam sebelas siang, nanti kamu makan siangnya pesan saja, kan sudah banyak jasa order makanan."Aku mengangguk pelan. "Ibu mau pesan apa? Biar sekalian, Aya pesankan," tawarku pada wanita paruh baya yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri.Ibu tersenyum, "Ibu mau makan lauk pagi tadi saja, masih ada kan? Kamu urus diri kamu sendiri, kalau ada yang diinginkan, bilang, beli, jangan dipendam, diam aja. Uang Bintang
Part 5"Ya sudah Ya, bawa Ibu masuk, awannya sudah mulai menghitam, sepertinya bakalan turun hujan, padahal tadi cerah ya, cuaca sekarang memang tidak bisa ditebak." Aku mendorong kembali kursi roda Ibu masuk ke dalam rumah."Bintang bawa jas hujan nggak Ya? Katamu Bintang hari ini pulang cepat," tanya Ibu duduk diatas kursi roda sepanjang aku mendorongnya. Ibu bertanya begitu karena beliau tahu kalau dua hari ini Mas Bintang tidak memakai mobilnya ke kantor, tapi menggunakan kendaraan roda dua--ku."Di dalam joknya sudah ada jas hujan Aya Bu, itupun kalau Mas Bintang tahu," sahutku."Kalau begitu kamu telepon Bintang, kasih tahu dia kalau di jok kendaraan kamu ada jas hujannya.""Iya Bu," jawabku sambil mengunci kursi roda Ibu dan mengangk
Part 6Aku menuju dapur, meletakkan serbet kotor tadi ke dalam keranjang tempat pakaian kotor dan mencuci tangan di wastafel. Aku terkejut ketika tangan ingin menyentuh pegangan kulkas ternyata ada tangan lain yang lebih dulu meraihnya. Tangan kami saling menumpuk.Aku menelan salivaku saat jarak pandang kami sangat dekat. Kami saling tatap dan lalu sama-sama membuang pandang ke arah lain.Sekaku itulah kami walau sudah tinggal serumah selama hampir dua tahun. Kadang kami masih merasa malu hanya karena tidak sengaja saling tatap.Aku mundur satu langkah kebelakang dan ingin berbalik pergi. Namun ada tangan yang mencengkramku kuat."Kamu mau minum? Ini!" ucapnya, sembari menyodorkan botol air mineral dingin dari dalam sana."Tidak, a--aku mau ke at
Part 7Aku memantapkan hati pergi ke dalam kamar setelah hampir tiga jam berada diluar. Setelah selesai makan malam, dan berberes sebentar di dapur, aku tidak langsung menyusul Mas Bintang ke atas. Tapi malah masuk ke kamar Ibu. Aku suka berada di kamarnya. Kami sering bertukar cerita atau bersenda gurau layaknya ibu dan anak. Dan diakhiri dengan memijit kaki dan tangannya sampai beliau tertidur. Walau kutahu salah satu kakinya tidak dapat berfungsi dengan baik.***"Hufh ...." Menarik nafas panjang sebelum menarik kenop pintu kamar.Aku membuka pintu dengan sangat pelan, lalu berjinjit masuk ke dalamnya. Takut suara langkahku terdengar nyaring di keheningan malam. Terkejut. Lampu kamar masih menyala. Mas Bintang ternyata belum tidur. Dia sedang berkutat di depan laptop, bekerja d
Part 8 "Ya Allah," ucapku saat terbangun. Kulihat jam menunjukkan pukul Lima subuh. Mas Bintang sudah tidak ada disebelahku. Apa Mas Bintang sudah pergi? Aku ingat malam tadi dia berjanji akan pergi pagi ini, tapi kemana? Bertemu siapa? Terdengar suara guyuran air dari dalam kamar mandi. Oh, Mas Bintang sedang mandi, gumamku dalam hati bernapas lega. Syukurlah. Tumben sepagi ini? Biasanya selalu kubangunkan dulu. Namun sekarang ia bangun sendiri, bahkan lebih awal dariku. Malam tadi aku berniat membuka ponsel Mas Bintang. Menunggu dia tertidur pulas karena ingin menyelidiki siapa orang yang telah menghubunginya semalam. Namun kenyataannya aku malah ketiduran karena kelamaan menunggu waktu yang pas. Gagal. Kulihat ponsel Mas Bintang masih tergeletak di atas nakas. Mataku awas ke arah pintu kamar mandi. Aman. Deng
Aku tak sadar, benda berbentuk persegi panjang dengan layar yang masih menyala itu terjatuh ke lantai. Lepas dari genggaman tanganku. Tubuhku pun ikut merosot ke bawah, turun dari sofa yang kududuki saat ini. Ada nyeri yang mengiris hati melihat gambar yang barusan kubuka. Penglihatanku mengabur bersamaan dengan embun yang berada di pelupuk mata. Aku kalah. Sudah kutahan sekuat mungkin buliran air itu tetap turun juga membasahi kedua pipi. Jadi ini kebenaran foto di dompetmu Mas. Wanita di gambar yang baru kudapat dari Mas Daffa sama persis dengan foto yang ingin kutahu siapa orang yang ada di dalam dompetmu itu. Satu hal yang dapat kutangkap dari gambar ini adalah potret keluarga bahagia. Lengkap dengan seorang anak kecil lucu berumur sekitar setahun lebih. Layar ponsel masih menyala dan terus berderin
Part 10 "Aya!""Suara itu, aku mengenalnya. Mas Bintang! apa aku sedang bermimpi?"Sayang, bangun!" Mataku mengerjap. Kurasakan sentuhan hangat di pipi.Tersentak kaget, ternyata aku tak bermimpi. Tetiba refleks kutepis tangannya yang menyentuh pipiku dengan kasar. Mas Bintang terperangah melihat tindakanku yang spontan tersebut."Aya? kamu kenapa sayang, kata mama, kamu sakit? kita ke dokter ya?" Manis sekali Mas Bintang bicara kepadaku. Mungkin setelah mendapatkan moodbooster dari dua orang tersebut, kepekaannya meningkat.Ibu mengatakan kepadanya aku sakit? iya Mas, aku sakit, bukan fisik tapi hati.Aku menatapnya dengan tajam. Lalu menggeleng cepat. Aku beranjak bangun dari tempat tidur, menjauh darinya. Tapi le
Part 11Sebuah pernikahan dijalankan oleh dua orang yang saling mencintai. Jika cinta belum datang diantara mereka berdua, maka pupuklah dan siram agar cinta tumbuh dengan subur di hati keduanya. Namun saat cuma satu hati saja yang terpaut dan berjuang untuk menumbuhkan cinta, sedang yang satunya tidak, lalu bagaimana bisa pernikahan itu tetap bisa bertahan?***"Ibu ...!" lirihku memanggil nama yang sangat berarti di hidupku.Aku merindukanmu Bu, kenapa kau pergi secepat itu? Apakah benar kau menginginkanku menikah dengannya? Apakah dia lelaki terbaik untukku? lelaki yang kuanggap suamiku itu tidak pernah berusaha untuk mencintaiku Bu. Tidak sekeras putrimu ini, jadi, haruskah ku tetap bertahan? Atau kepaskan? Ibu ....Masih dengan derai air mata hati merindu akan soso
Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.***Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata
Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka. Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat
"Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak
Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.
"Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.***Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,
"Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya."Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku."Kapan kalia
"Maaf Ya, kasih Mas waktu untuk membuktikan kalau Mas juga mencintaimu," aku meyakinkannya lagi. Perasaanku kali ini tidak enak. Ada rasa takut yang dalam saat Aya mulai bicara seperti ini. Yang lebih mengejutkan tiba-tiba Aya menanyakan tentang Salma. Pasti Ibu yang cerita, tapi kenapa? Bukankah kami sepakat untuk menyembunyikannya? Kutarik tubuhnya berbaring bersamaku. Kupeluk ia erat. Aku berusaha meyakinkannya kalau aku mencintainya, sangat mencintainya, apa pun yang diceritakan Ibu tentang Salma jangan sampai membuatnya meragukanku.Kuminta ia segera tidur karena aku pun juga sudah mengantuk. Kupejamkan mataku. Tapi firasatku mengatakan kalau ia belum tidur."Ehem ..., sudah puas menatap wajahku ini?"Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya, tapi dengan adanya pergerakan tubuhnya saat kupeluk aku tahu ia terkejut.
Ibu terkena stroke. Kaki sebelahnya tidak bisa digerakkan, tapi bukan lumpuh. Kata dokter ini masih ringan. Ibu diminta terus mengikuti terapi untuk pemulihan kakinya.Sungguh pukulan berat untukku. Karena akulah yang tanpa sengaja membuat Ibu mengalami hal itu.Cahaya tidak tahu penyebab Ibu masuk rumah sakit. Aku dan Ibu sepakat merahasiakannya dari Aya.Ibu mulai menjaga jarak denganku. Dia hanya bersikap hangat padaku, bila ada Aya di sisinya, setelah itu sikapnya dingin. Sedingin es. Tidak pernah Ibu begitu denganku. Ini baru seumur hidupku diacuhkan oleh orang yang paling kusayang.Ibu memintaku untuk tutup mulut dan jangan sampai masalah ini diketahui Aya. Ibu bahkan memaksaku untuk meninggalkan Salma. Maaf Bu, aku tidak bisa. Kia–anakku butuh sosok ibu dan ayahnya. Jadi selama ini aku
Kusentuh kembali lekuk wajah cantik Cahaya yang tertidur pulas di sebelahku. Sekarang entah kenapa ini jadi candu untukku. Aku tak bisa mengendalikan hasrat dalam diri. Semalam aku menggila dengan menyerangnya bertubi-tubi, hingga wanita cantik di sampingku ini terkulai lemah tak berdaya. Aneh, kenapa rasanya berbeda dengan Salma? Aku tidak merasakan sensasi menakjubkan seperti ini di malam pertama kami. Rasanya pun tak bisa kuingat seolah tak pernah menjamahnya. Dengan Salma, aku sekedar melampiaskan saja, tapi dengan Cahaya, aku ..., Ah sudahlah. Kalau dibandingkan begini aku merasa berdosa dengan Salma.***Setelah malam panas itu, aku berusaha keras menjauhi Cahaya. Sikapku malah semakin dingin dengannya. Bukan karena tak suka, tapi karena takut akan mengulangi lagi malam panas itu. Aku sangat merasa bersalah dengan Salma. Dua janji telah kulanggar. Namun tetap saja, pesona Cahaya lebih kuat hingga membuat