Part 8
"Ya Allah," ucapku saat terbangun. Kulihat jam menunjukkan pukul Lima subuh. Mas Bintang sudah tidak ada disebelahku. Apa Mas Bintang sudah pergi? Aku ingat malam tadi dia berjanji akan pergi pagi ini, tapi kemana? Bertemu siapa?
Terdengar suara guyuran air dari dalam kamar mandi. Oh, Mas Bintang sedang mandi, gumamku dalam hati bernapas lega. Syukurlah. Tumben sepagi ini? Biasanya selalu kubangunkan dulu. Namun sekarang ia bangun sendiri, bahkan lebih awal dariku.
Malam tadi aku berniat membuka ponsel Mas Bintang. Menunggu dia tertidur pulas karena ingin menyelidiki siapa orang yang telah menghubunginya semalam. Namun kenyataannya aku malah ketiduran karena kelamaan menunggu waktu yang pas. Gagal.
Kulihat ponsel Mas Bintang masih tergeletak di atas nakas. Mataku awas ke arah pintu kamar mandi. Aman. Deng
Aku tak sadar, benda berbentuk persegi panjang dengan layar yang masih menyala itu terjatuh ke lantai. Lepas dari genggaman tanganku. Tubuhku pun ikut merosot ke bawah, turun dari sofa yang kududuki saat ini. Ada nyeri yang mengiris hati melihat gambar yang barusan kubuka. Penglihatanku mengabur bersamaan dengan embun yang berada di pelupuk mata. Aku kalah. Sudah kutahan sekuat mungkin buliran air itu tetap turun juga membasahi kedua pipi. Jadi ini kebenaran foto di dompetmu Mas. Wanita di gambar yang baru kudapat dari Mas Daffa sama persis dengan foto yang ingin kutahu siapa orang yang ada di dalam dompetmu itu. Satu hal yang dapat kutangkap dari gambar ini adalah potret keluarga bahagia. Lengkap dengan seorang anak kecil lucu berumur sekitar setahun lebih. Layar ponsel masih menyala dan terus berderin
Part 10 "Aya!""Suara itu, aku mengenalnya. Mas Bintang! apa aku sedang bermimpi?"Sayang, bangun!" Mataku mengerjap. Kurasakan sentuhan hangat di pipi.Tersentak kaget, ternyata aku tak bermimpi. Tetiba refleks kutepis tangannya yang menyentuh pipiku dengan kasar. Mas Bintang terperangah melihat tindakanku yang spontan tersebut."Aya? kamu kenapa sayang, kata mama, kamu sakit? kita ke dokter ya?" Manis sekali Mas Bintang bicara kepadaku. Mungkin setelah mendapatkan moodbooster dari dua orang tersebut, kepekaannya meningkat.Ibu mengatakan kepadanya aku sakit? iya Mas, aku sakit, bukan fisik tapi hati.Aku menatapnya dengan tajam. Lalu menggeleng cepat. Aku beranjak bangun dari tempat tidur, menjauh darinya. Tapi le
Part 11Sebuah pernikahan dijalankan oleh dua orang yang saling mencintai. Jika cinta belum datang diantara mereka berdua, maka pupuklah dan siram agar cinta tumbuh dengan subur di hati keduanya. Namun saat cuma satu hati saja yang terpaut dan berjuang untuk menumbuhkan cinta, sedang yang satunya tidak, lalu bagaimana bisa pernikahan itu tetap bisa bertahan?***"Ibu ...!" lirihku memanggil nama yang sangat berarti di hidupku.Aku merindukanmu Bu, kenapa kau pergi secepat itu? Apakah benar kau menginginkanku menikah dengannya? Apakah dia lelaki terbaik untukku? lelaki yang kuanggap suamiku itu tidak pernah berusaha untuk mencintaiku Bu. Tidak sekeras putrimu ini, jadi, haruskah ku tetap bertahan? Atau kepaskan? Ibu ....Masih dengan derai air mata hati merindu akan soso
"Bu, bolehkah Aya besok pergi ke rumah Fajar? Aya kangen sama dia," bujukku padanya. Meminta lagi untuk yang kedua kalinya.Kulihat ibu terkejut mendengar keinginanku. Dia menatap Bintang dengan sorot mata cemas. "Besok Ya?" tanyanya mengulang permintaanku. Aku mengangguk. Aku tak tahu ekspresi wajah Mas Bintang mendengar permintaanku ini karena mataku fokus ke wajah Ibu.Ibu mengembuskan nafas berat. "Kalau itu yang Aya mau, ibu izinkan. Biar Bintang yang mengantarmu kesana. Pasti kamu kangen Fajar ya?""Tidak Bu. Aya bisa sendiri. Aya nggak enak sama Mas Bintang, dia sangat sibuk Bu dengan pekerjaannya." Tatapku sinis pada lelaki di sebelah Ibu."Jangan Ya, Ibu nggak tenang kalau kamu berangkat sendiri. Biar Bintang yang an--""TIDAK Bu!" Tanpa s
"Ibu," panggilku. Kulihat Ibu duduk di depan teras dengan mata menerawang memikirkan sesuatu. Aku rasa Ibu pasti mengkhawatirkan hubunganku dengan Mas Bintang."Bu, sarapan yuk, makanan sudah siap di meja makan," ujarku sambil mengusap bahunya pelan.Ibu tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku mendorong kursi roda Ibu, membawanya masuk ke dalam menuju meja makan. Mas Bintang sudah berada disana, duduk menunggu kedatangan kami. Dia tidak berhenti menatapku, namun tidak kupedulikan."Cukup Ya, Ibu takut tidak habis," ucap Ibu mencegahku menambahkan satu centong nasi lagi ke dalam piringnya. Sedangkan Mas Bintang tetap kulayani seperti biasa. Mengambilkan keperluan makannya sama seperti Ibu. Walaupun hati ini masih sakit karenanya, tapi tidak benar kalau aku bersikap buruk kepadanya dihadapan Ibu. Apalagi dia masih suamiku.
Aku bangun dan menegakkan punggungku untuk duduk. Mas Bintang sigap membantuku duduk. Tatapanku tak berpaling pada sosok wanita tersebut. Dia tersenyum manis dan menghampiri."Syukurlah Bu Cahaya sudah sadar," ucapnya sembari tangannya mengambil sesuatu dari dalam tas hitamnya. Aku beralih menatap Mas Bintang dan Ibu, berharap mereka memberikan penjelasan."Aya, ini Bu Dokter Aminah. Kamu pingsan dan tidak mau bangun walaupun Ibu dan Bintang berusaha menyadarkanmu, jadi Bintang berinisiatif memanggil Dokter Aminah kemari, takut terjadi apa-apa denganmu," jelas Ibu dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya."Ini ada alat tes kehamilan, saya harap Ibu Cahaya mau mencobanya. Saya baru menduga saja kalau Bu Cahaya sedang mengandung. Tapi cek saja dulu, nanti kalau hasil tes ini positif, maka saya harap Bu Cahaya dite
"Bi Sri! Bibi ... Cepat kemari." Teriak Mas Bintang memanggil keras Bibi Sri. Aku masih terpaku di atas tempat tidur dengan raut khawatir."Ya Allah ..., Ibu kenapa?" Bi Sri datang tergopoh-gopoh dengan wajah yang terkejut."Ibu," ratapku cemas memanggil namanya.Mas Bintang segera mengangkat Ibu ke atas tempat tidur kami, dan membaringkannya disana.Mas Bintang meraih ponselnya dalam saku celana lalu menghubungi seseorang dengan cemas."Halo, assalamualaikum. Bu Dokter bisa kembali kesini, Ibu ... Ibu saya pingsan, saya takut terjadi sesuatu dengannya.""Itu ... Saya tidak dapat menjelaskannya, saya harap Bu Dokter bisa kesini secepatnya.""Benarkah? Terima kasih Dok, saya t
"Bu Aya!" Panggil Bu dokter Aminah."Eh, iya Dok? Bagaimana? Ibu baik-baik saja kan?" tanyaku khawatir. Lamunanku tentang Mas Bintang seketika buyar."Sejauh ini beliau baik-baik saja. Cuma tadi saya periksa tekanan darah ibu naik. Cukup tinggi. Saya harap kalian jangan membuat Ibu stres atau menambah beban pikirannya. Jaga makannya, dan jangan lupa kontrol kaki Ibu. Masih melakukan terapi kan? Ingat, kaki ibu masih ada kemungkinan sembuh. Karena ibu hanya mengalami stroke ringan. Tapi tetap hati-hati." Dokter Aminah menjelaskan dengan panjang lebar tentang kondisi ibu saat ini dan memberikan anjuran yang harus kami patuhi agar ibu tetap sehat."Ibu Cahaya juga tolong jaga kesehatannya. Jangan terlalu banyak pikiran. Jangan juga bekerja atau melakukan aktivitas terlalu berat karena tiga bulan pertama kehamilan ini masih sangat lemah. Rawan ke
Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.***Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata
Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka. Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat
"Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak
Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.
"Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.***Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,
"Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya."Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku."Kapan kalia
"Maaf Ya, kasih Mas waktu untuk membuktikan kalau Mas juga mencintaimu," aku meyakinkannya lagi. Perasaanku kali ini tidak enak. Ada rasa takut yang dalam saat Aya mulai bicara seperti ini. Yang lebih mengejutkan tiba-tiba Aya menanyakan tentang Salma. Pasti Ibu yang cerita, tapi kenapa? Bukankah kami sepakat untuk menyembunyikannya? Kutarik tubuhnya berbaring bersamaku. Kupeluk ia erat. Aku berusaha meyakinkannya kalau aku mencintainya, sangat mencintainya, apa pun yang diceritakan Ibu tentang Salma jangan sampai membuatnya meragukanku.Kuminta ia segera tidur karena aku pun juga sudah mengantuk. Kupejamkan mataku. Tapi firasatku mengatakan kalau ia belum tidur."Ehem ..., sudah puas menatap wajahku ini?"Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya, tapi dengan adanya pergerakan tubuhnya saat kupeluk aku tahu ia terkejut.
Ibu terkena stroke. Kaki sebelahnya tidak bisa digerakkan, tapi bukan lumpuh. Kata dokter ini masih ringan. Ibu diminta terus mengikuti terapi untuk pemulihan kakinya.Sungguh pukulan berat untukku. Karena akulah yang tanpa sengaja membuat Ibu mengalami hal itu.Cahaya tidak tahu penyebab Ibu masuk rumah sakit. Aku dan Ibu sepakat merahasiakannya dari Aya.Ibu mulai menjaga jarak denganku. Dia hanya bersikap hangat padaku, bila ada Aya di sisinya, setelah itu sikapnya dingin. Sedingin es. Tidak pernah Ibu begitu denganku. Ini baru seumur hidupku diacuhkan oleh orang yang paling kusayang.Ibu memintaku untuk tutup mulut dan jangan sampai masalah ini diketahui Aya. Ibu bahkan memaksaku untuk meninggalkan Salma. Maaf Bu, aku tidak bisa. Kia–anakku butuh sosok ibu dan ayahnya. Jadi selama ini aku
Kusentuh kembali lekuk wajah cantik Cahaya yang tertidur pulas di sebelahku. Sekarang entah kenapa ini jadi candu untukku. Aku tak bisa mengendalikan hasrat dalam diri. Semalam aku menggila dengan menyerangnya bertubi-tubi, hingga wanita cantik di sampingku ini terkulai lemah tak berdaya. Aneh, kenapa rasanya berbeda dengan Salma? Aku tidak merasakan sensasi menakjubkan seperti ini di malam pertama kami. Rasanya pun tak bisa kuingat seolah tak pernah menjamahnya. Dengan Salma, aku sekedar melampiaskan saja, tapi dengan Cahaya, aku ..., Ah sudahlah. Kalau dibandingkan begini aku merasa berdosa dengan Salma.***Setelah malam panas itu, aku berusaha keras menjauhi Cahaya. Sikapku malah semakin dingin dengannya. Bukan karena tak suka, tapi karena takut akan mengulangi lagi malam panas itu. Aku sangat merasa bersalah dengan Salma. Dua janji telah kulanggar. Namun tetap saja, pesona Cahaya lebih kuat hingga membuat