Masuk sel tahanan, bahkan hampir meregang nyawa. Darren Gerald lalui saat membantu orang terkasihnya. Menyerah, satu kata yang berhasil singgah dalam benak Darren. Namun, kata itu ia kubur dalam-dalam. Ia pertahankan cintanya dan tetap setia walau kekasih hati sudah berstatus janda dan mengalami gangguan mental. Disaat restu datang dari orang tua sang pujaan hati, justru penolakan dari Rossi --ibunda Darren. Bagaimana perjuangan Darren mendapatkan sang pujaan hati? Apa yang menjadi alasan Rossi tidak memberikan restu? Dan siapakah Darren sebenarnya? Ikuti keseruan kisah Darren sampai akhir!
View MorePagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad
Seorang pria tampan duduk termangu menatap ponsel. Foto seorang wanita paruh baya tampak memenuhi layar. Jarinya mengusap seolah-olah mengelus pipi. Ya, dialah Darren Gerald atau yang senang dipanggil 'Ge' --pria berusia dua puluh lima tahun itu tengah dirundung rindu kepada wanita cantik yang telah melahirkannya. Bagaimana tidak? Sembilan tahun yang lalu, Darren pergi ke luar negeri untuk menuntut ilmu meninggalkan ibunya seorang diri. Seharusnya ia pulang satu tahun yang lalu, tetapi terhalang oleh ongkos yang terbilang mahal. Bekerja sebagai montir ternyata tidak cukup dimana uang yang didapat ia gunakan untuk keperluan sehari-hari dan dikirim kepada ibunya. Nomor kontak yang bertuliskan 'My Mom' pun ia tekan. Terhubung. Saling menyapa satu sama lain mengawali percakapan antara ibu dan anak itu. "Maaf, Bu, Ge belum bisa pulang. Nanti kalau uangnya sudah cukup, Ge cepet-cepet pulang, kok," kata Darren pada sambungan telepon."Iya, Nak, tidak apa-apa. Lebih baik uangmu simpan, ja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments