Berkemeja putih dan celana panjang hitam. Darren turun dari taksi yang terparkir di loby sebuah gedung. Matanya menyusuri sekeliling dengan tatapan penuh kagum. Ya, Darren tiba di sebuah perusahaan besar yang Thalita tunjukkan. Rasa grogi menyelimuti tatkala langkahnya tiba di meja resepsionis.
"Pagi, Mbak," sapa Darren.
Senyum ramah dan balasan sapaan pun Darren dapatkan dari sang resepsionis. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
"Bisa bertemu dengan Tuan Bagas?"
"Sudah membuat janji?"
"Tentu."
"Anda Darren Gerald?"
"Iya, Mbak."
"Silakan langsung saja. Tuan Bagas sudah menunggu." Sang resepsionis menunjukkan arah ruangan Bagas, dimana anak pemilik perusahaan itu berada di lantai tujuh.
Tiba di lantai tujuh, Darren disuguhkan dengan banyaknya pelamar. Duduk menunggu panggilan untuk interview tentu saja pengalaman kali pertama baginya. Meskipun Thalita menjamin dirinya akan diterima, tetap saja Darren merasa grogi.
Setelah sekian lama menunggu, tiba saatnya Darren masuk ke dalam ruangan bertuliskan 'Manager Marketing'.
"Selamat pagi, Tuan Bagas," sapa Darren.
"Hemm, duduk!" titah Bagas sambil menunjuk kursi di hadapannya.
Seorang wanita berpakaian layaknya sekretaris menyerahkan dokumen milik Darren kepada Bagas.
"Tinggalkan kami!" titah Bagas kepada wanita itu.
Sang wanita mengangguk dan meninggalkan ruangan.
Bagas beranjak dan duduk di tepi meja tepat di samping Darren.
"Darren Gerald," ucap Bagas saat membuka dokumen milik Darren, lalu memasukannya kembali.
"Kau tau, kan, aku adalah pacarnya Thalita? Ups! Bukan pacar, melainkan calon suami."
Darren mengangguk. "Tau!"
"Bagus! Jadi, aku pastikan jangan pernah dekati Thalita. Mengerti?"
Darren tersenyum masam. "Sangat dimengerti. Lalu, apa ini interview untuk masuk ke perusahaan ini?"
Bagas tertawa. "Hahh! Pertanyaan yang bagus. Tapi, sepertinya cukup. Hanya peringatan itu saja yang dari kemarin ingin aku sampaikan kepadamu."
"Tidak mengecek dokumen milikku?"
Bagas berdecih. "Aku percaya kepada Thalita. Tidak mungkin dia mempromosikan orang bodoh ke perusahaan ini."
"Jadi?"
"Kau diterima dan berada di bawahku. Lebih tepatnya kau adalah asistenku."
Darren tersenyum. Mendapat jabatan itu tentu saja akan memudahkan jalannya untuk mengawasi Bagas.
"Cih! Kau senang? Jangan besar kepala dulu. Bagaimanapun juga aku tidak senang dengan kehadiranmu di sini. Ini hanya karena Thalita."
Darren tidak memedulikan bagaimana sikap Bagas terhadapnya, karena yang terpenting adalah jalannya sudah terbuka lebar.
"Kapan mulai bekerja?"
Bagas beranjak dan bertepuk tangan. "Woow! Itu pertanyaan yang aku suka. Kau bekerja mulai hari ini."
Brugh!
Bagas menyimpan tumpukan dokumen tepat di hadapan Darren. Ia memerintahkan agar Darren mengeceknya dengan teliti dan harus selesai dalam kurun waktu tiga hari sebelum pemilik perusahaan kembali dari luar negeri.
"Meskipun kau lebih tua diriku, aku tetap bosmu! Kau harus hafal Pasal 1 dan Pasal 2. Pasal 1, bos tidak pernah salah dan Pasal 2, jika bos salah ... kembali lagi ke Pasal 1. Mengerti?!"
Darren hanya mengangguk. Terlalu malas baginya untuk beradu argumen.
***
Darren menempati ruang kerjanya yang tak jauh dari ruang Bagas.
Tok tok tok!
"Masuk!" titah Darren.
"Pagi," sapa seorang wanita cantik.
"Pagi, Nona, eh ... Bu," balas Darren canggung.
Wanita itu tersenyum. "Namaku Marisa. Sepertinya kita seumuran. Panggil saja Ica."
"Oh, baiklah. Salam kenal, Nona Ica."
Marisa diperintahkan oleh Bagas untuk mengajari Darren dalam mengecek dokumen.
"Kau yang sabar, ya, punya bos seperti Bagas. Sudah ada dua orang yang menjadi asistennya, tetapi memilih ke luar karena sikapnya yang seenak hati," ujar Marisa.
Darren tersenyum samar.
"Maklum saja, pacarku itu putra dari pemilik perusahaan ini," lanjut Marisa.
Darren menyipit. "Pacar?"
Marisa membekap mulutnya. "E-eh, ma-maksudku--"
"Tidak apa-apa, Nona. Bukankah wajar bos berpacaran dengan karyawannya? Apalagi kau sangat cantik."
Marisa tersipu mendapatkan pujian dari Darren. Wanita itu meminta agar Darren merahasiakan tentang hubungannya dengan Bagas.
"Kau pura-pura tidak tau, ya. Bagas sangat mewanti-wanti agar tidak ada satu orang pun yang tau."
Dalam hati Darren bersorak. Ia bisa menggali informasi dari Marisa.
"Tenang saja. Aku bisa menjaga rahasia."
Marisa mulai mengajari Darren. Bukan hanya itu, Marisa memberitahu tentang schedule Bagas setiap harinya.
"Kau bisa lihat semuanya di sini," kata Marisa sambil memperlihatkan sebuah tablet. "Kau juga bisa mencatat apa saja di sini," sambungnya.
Tidak butuh waktu lama Marisa mengajarkan Darren. Pun Marisa mengatakan jika Darren pasti mampu menyelesaikan dalam waktu yang Bagas beri.
"Jika sudah selesai atau ada yang perlu kau tanyakan, bisa menemuiku di ruangan Bagas atau di ruangan presdir."
"Baiklah. Tapi, kenapa Anda bekerja didua tempat, Nona?"
Marisa menarik napas dalam dan mengeluarkan kasar. "Sebetulnya aku sekretaris Tuan Sadewo. Setelah putranya lulus kuliah, Bagas dipaksa untuk belajar bisnis. Walhasil, yaahh ... kerjanya ngasal. Sesuka hati."
"Pantas jabatannya tidak langsung jadi CEO," ucap Darren.
"Masih tahap belajar jadi pemimpin saja ancur, apalagi langsung diposisi itu," terang Marisa.
Darren mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi, Nona juga keren. Bisa pacaran dengan anak bos."
Marisa terkekeh-kekeh. "Zaman sekarang kalo bukan karena duit mana mau. Sudah, ah, malah bahas masalahku."
Marisa meninggalkan ruangan Darren. Pun dengan Darren yang fokus dengan pekerjaan dihari pertamanya.
Jam berputar terasa sangat cepat menurut Darren. Waktunya makan siang.
***
Darren yang mudah bergaul membuat suasana di kantin tidaklah canggung. Terlebih lagi, banyak kaum hawa yang ingin duduk menikmati makan siang bersamanya. Tanpa Darren ketahui, di meja pojok sana ada seorang gadis yang menatapnya kagum. Tidak membuang kesempatan, gadis itu menghampiri. Seketika para staf yang duduk bersama Darren menarik diri.
"Eh, ada apa?" tanya Darren heran.
"Hati-hati!" bisik salah seorang staf.
Darren menyipit ketika wanita itu mendekat. Bukannya senang, justru Darren merasa risih. Bagaimana tidak? Wanita itu memakai rok di atas lutut dengan atasan kemeja yang ketat memperlihatkan dua gundukan benda kenyal nan sintal. Ditambah, riasan wajah yang tebal.
"Boleh duduk di sini?" tanyanya.
"Silakan, Nona. Tempat ini untuk semua karyawan di sini," ujar Darren dingin.
"Kenalin, gue Helena. Putri dari pemilik perusahaan ini." Wanita itu mengulurkan tangan.
Darren terus saja menyuapkan nasi sampai habis, kemudian berkata, "Salam kenal, Nona. Maaf, saya sudah selesai. Permisi."
Helena menatap kepergian Darren diiringi senyum yang sinis. "Wow, menarik! Kau akan menjadi milikku, Tampan."
***
Darren memilih kembali ke ruangan meskipun masih jam istirahat. Langkahnya terhenti saat mendengar suara benda yang terjatuh di ruangan Bagas. Pria itu mengendap, mendekatkan diri ke arah pintu. Jelas Darren bisa mendengar karena pintu tidak tertutup rapat. Pun dengan leluasa bisa melihat apa yang terjadi di dalam.
"Emmm ... aaahh!" desah seorang perempuan.
"Lebih cepat lagi, Sayang! Aaahh ... aku suka," ucap seorang laki-laki.
Darren terbelalak. Antara percaya dan tidak dengan apa yang ia lihat. Dirinya yakin jika dua orang itu adalah Bagas dan Marisa. Mereka tengah bercinta, dimana Marisa yang memegang kendali. Darren segera merogoh ponsel yang ada di saku celana dan dengan hati-hati membidikkan kamera. Posisi Marisa yang duduk di pangkuan menghadap lawannya tentu saja membuat Darren leluasa. Tampak jelas punggung Marisa yang putih dan mulus dengan tangan sang pria mengusap-usap lembut punggung itu.
"Cih! Menjijikan!" gumam Darren. Gegas ia meninggalkan tempat itu dan memasuki ruangannya.
"Kartu As-mu ada padaku, Bagas. Tidak akan aku biarkan Thalita jatuh ke tanganmu! Aku akan pertahankan Thalita! Terserah kau mau bilang aku perebut pacar orang atau apa pun. Thalita tidak pantas denganmu!"
Darren menghubungi Thalita.
"Ha--"
"Simpan foto itu baik-baik. Jangan menghubungi atau mengirim pesan sebelum Kakak yang menghubungimu terlebih dulu," terang Darren memotong ucapan Thalita.
Darren mematikan sambungan sepihak, kemudian mengirim foto tadi. Jemarinya dengan lincah menghapus foto, pesan terkirim dan panggilan ke luar, serta menyeting layar agar tidak terkunci.
"Kita lihat, apa tebakanku benar?" ucap Darren, lalu menghidupkan lampu ruangannya.
Darren melihat jam dinding. Sisa lima belas menit lagi waktu istirahat. Ponsel disimpan di meja, kemudian duduk bersandar pada kursi berbantal lengan. Pun dengan kaki yang ia naikkan ke atas meja.
Mata pun terpejam. Tidak berselang lama, terdengar suara pintu terbuka. Darren sedikit membuka matanya. Ia melihat seseorang mengendap masuk, melangkah ke arahnya. Dialah Bagas. Ia melihat jika pria itu dengan hati-hati mengambil ponsel miliknya. Matanya fokus dan jemarinya lincah mengusap layar.
Setelah beberapa menit, Darren pura-pura menggeliat dan membuka mata. "Eh, Bos. Loh, kenapa ponselku ada di tanganmu?"
Bagas gelagapan. "Oh, a-aku hanya melihat ponselmu saja. Dan ternyata tidak kau kunci. Pake, dong, kata sandi atau pola. Nanti dilihat orang bagaimana?"
"Contohnya Anda, begitu?"
Bagas mendengkus. "Ingat Pasal 1 dan 2! Aku hanya ingin bertanya, kenapa belum waktunya masuk kau sudah menyalakan lampu? Peraturan di sini, jika belum jam masuk dilarang menyalakan lampu."
"Oh," ucap Darren acuh. "Maaf, aku tidak biasa tidur dalam gelap," lanjutnya.
Darren berdiri hendak pergi.
"Tunggu!" titah Bagas.
Sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku celana, Darren mengembuskan napas kasar. "Ada apa?"
"Emm ... apa sebelum kau masuk melihat ke ruanganku terlebih dulu?"
Darren menyipit. "Ke ruangan Bos? Tidak. Memangnya kenapa?"
"Ah, tidak!" Bagas berlalu pergi.
"Satu yang aku tau!" seru Darren, membuat langkah Bagas terhenti, lalu menoleh.
"Apa?"
"Lampu ruangan Anda menyala."
Bagas hanya ber-oh saja, kemudian meneruskan langkah.
Darren menatap kepergian Bagas. Bibirnya menyunggingkan senyum puas. Ternyata dugaannya benar. Bagas pasti menyadari hal itu karena melihat lampu ruangan Darren sudah menyala. Bukan Darren tidak tahu akan peraturan, melainkan sengaja melanggar.
Bagas kembali ke ruangan.
"Gimana, Sayang?" tanya Marisa cemas.
Bagas mengangkat kedua bahunya.
"Tenang saja, dia tidak tau apa pun. Lain kali, tutup pintu dan kunci!"Marisa hanya mengangguk sebagai jawaban.
***
Di kediaman Abimanyu, Thalita mondar-mandir sambil menggenggam ponsel erat. Bukan cemburu, melainkan rasa benci dan jijik terhadap Bagas. Ingin rasanya saat itu juga ia perlihatkan foto itu kepada Abimanyu, tetapi dirinya tidak mau gegabah.
"Kakak, ayok, dong, telepon aku," gumam Thalita.
Sepuluh menit, dua puluh menit, dan tepat dimenit ketiga puluh, Darren menghubunginya.
"Hal--"
"Halo, Kak, gimana ini? Apa aku langsung beritahu papa?" tanya Thalita antusias memotong ucapan Darren.
"Astaga! Kebiasaan, deh, nyamber aja kayak bensin."
"Hehe ... maaf, Kak. Lalu gimana, nih?"
Darren menyarankan agar Thalita bersabar. Ia akan mengumpulkan bukti lain dimana foto terfokus kepada wajah Bagas, jika ada kesempatan.
"Tunggu waktu yang tepat," kata Darren."
"Oke. Oh, ya, besok aku ke Kantor Bagas. Tunggu aku, ya?"
"Oke, Tuan Putri. Hamba akan menunggu."
Sambungan telepon terputus.
Tok tok tok!
"Sayang, boleh Papa masuk?"
Thalita menyimpan ponselnya di atas nakas.
"Iya, Pa, masuk aja."
Abimanyu duduk di tepi ranjang. Pun ia meminta Thalita duduk di sampingnya.
"Ada apa, Pa? Papa merasa sakit? Di mana? Apa perlu Lita pijat?"
Abimanyu menggeleng dengan senyum mengiringi. "Tidak, Nak. Papa hanya ingin bicara denganmu saja."
Thalita mengernyit. "Tentang?"
Abimanyu mengatakan jika Thalita harus meresmikan hubungannya dengan Bagas.
"Papa sudah tua. Sering sakit-sakitan juga. Kamu lihat, kan, tadi pagi mamamu yang malah sibuk pergi ke kantor menggantikan Papa?"
"Untuk belajar bisnis, Lita siap, Pa. Jika nanti Lita sudah bisa terjun langsung, Papa sama mama cukup diam di rumah saja. Tapi, untuk meresmikan hubungan, tidak. Bukankah sudah jelas dahulu Bagas menolak?"
Abimanyu berucap jika nanti dirinya akan berbicara kembali kepada Bagas.
"Tidak, Pa!"
Namun, bukanlah Abimanyu jika tidak memaksakan keinginannya. Segala cara akan ia lakukan agar Thalita tetap bersama Bagas.
"Ada sesuatu yang ingin Lita tunjukan kepada Papa, tapi nanti. Jadi, untuk sekarang biarkan Lita fokus untuk belajar bisnis dulu."
Abimanyu memberi Thalita waktu dua bulan. Tentu saja keputusan itu disambut gembira oleh Thalita, karena selama dua bulan itu ia akan mengumpulkan bukti jika ternyata Bagas yang Abimanyu banggakan tidak seperti yang ada dalam bayangan.
Memakai jas dan dasi, duduk di kursi empuk, serta mendapatkan gaji yang cukup besar, memanglah impian Darren sedari dulu. Kini, impian itu terwujud. Ia akan menggunakan kesempatan sebaik mungkin, walaupun ada misi tertentu dibalik itu. Dihari kedua, semangatnya kian bertambah karena Thalita akan datang. Pagi itu Darren sedang mematut di depan cermin sambil merapikan rambut. "Ganteng juga," gumamnya, kemudian ia terkekeh-kekeh. "Kayaknya lebih cocok jadi manager, deh, daripada asisten," celetuknya lagi. Ponsel berdering mengalihkan perhatiannya. "Ibu!" ucapnya saat tahu siapa yang menelepon. "Halo, Bu.""Kamu di mana, Nak? Kenapa tidak pulang?"Darren meminta maaf karena belum mengabari Rossi perihal pekerjaannya. Semalam, dirinya kerja lembur dan mencari tempat kos hingga larut."Syukurlah, Nak. Maaf, Ibu juga baru menghubungimu. Ibu sibuk menerima pesanan. Oh, ya, kamu kerja di kantor?""Iya, Bu. Tepatnya di PT. Aji Sadewo Grup, perusahaan terbesar yang ada di ibu kota. Ibu sena
Sepulang Thalita dari kosan hingga malam menjelang, Darren hanya diam. Ia tidak rela jika Thalita jatuh ke tangan pria seperti Bagas. Namun, apalah daya? Secara karir dan harta ia kalah saing.Mata sipit itu melihat jam di dinding. Sudah jam dua dini hari. Darren memaksakan diri untuk tidur. Tepat pukul tujuh pagi, Darren terbangun dan bersiap untuk ke kantor. ***Tiba di kantor, Darren dikejutkan dengan hadirnya Helena. Gadis itu sedang duduk cantik di kursi kebesaran Darren. "Sedang apa kau di sini, Nona?""Menunggu kamu, Tampan," jawabnya santai sambil memutar kursi yang ia duduki ke kiri dan kanan. Darren bersikap acuh. Ia menyimpan tasnya di atas meja, menggulung kemejanya sebatas sikut, kemudian membawa tablet serta laptop dan duduk di sofa. Penampilan Darren seperti itu justru membuat Helena semakin jatuh hati. "Sebaiknya jauhi Thalita!" seru Helena, membuat Darren melihat ke arahnya. Darren menghela napas. "Jika maksud kedatangan Anda ke sini hanya untuk mengatakan itu,
Jam kerja kantor sudah usai. Pun dengan data pengeluaran sudah selesai Darren cek. Sementara, ia mengesampingkan perkara tersebut karena itu menyangkut masalah Bagas. Penting baginya adalah perkara Thalita. Sore itu langit tampak gelap karena awan hitam bergelayut manja di sana. Tidak lama kemudian, angin kencang membawa bulir-bulir air hujan menabrak jendela kaca dimana Darren tengah berdiri. Mau tidak mau membuat dirinya tertahan di kantor. Pria itu bergeming, menatap lekat setiap tetesan hujan yang turun seolah-olah merenungi nasib percintaannya yang akan berujung tangis. "Tidak! Hujan adalah rezeki yang Tuhan turunkan. Tak patut aku samakan dengan nasibku," gumamnya. Hujan sudah reda, Darren pun meninggalkan kantor. ***Kaki jenjang Darren menapaki gang sempit, melewati kubangan-kubangan kecil di sekitar. Langkahnya kian cepat karena langit kembali menurunkan hujan. Tiba di kosan, Darren bergegas membuka pakaiannya yang basah. Ponsel yang ia simpan di atas meja berdentang p
Pagi menjelang. Tepat pukul 07:30 WIB, Darren sudah tiba di loby kantor. Perusahaan yang bergerak dalam bidang properti itu banyak dipenuhi karangan bunga serta karpet merah menjadi alas di tangga depan. "Pagi, Mbak," sapa Darren kepada resepsionis. "Mau ada acara apa?""Loh, memangnya Tuan Bagas tidak memberitahu Anda?".Darren mengernyit. "Tidak. Ada apa memangnya?""Penyambutan Tuan Sadewo, pemilik perusahaan ini. Setelah dua tahun di negeri orang mengurus bisnis, hari ini beliau kembali."Darren mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh. Jadi, selama beliau tidak ada, siapa yang memegang kendali?""Tentu saja orang kepercayaannya.""Kenapa tidak putranya?"Sang resepsionis hanya mengangkat kedua pundaknya tertanda tidak tahu. "Mari, kita berbaris, Tuan."Semua petinggi berjajar dari mulai tangga masuk sampai ke dalam loby. Selang beberapa menit, mobil hitam nan mewah datang. Dialah Sadewo dan Bagas. "Selamat datang kembali, Tuan.""Lama tidak berjumpa, Tuan.""Apa kabar, Tuan?"Berb
Sepeninggal Marisa, Sadewo memberondong Bagas dengan berbagai pertanyaan mengenai dokumen. Walhasil, jawaban Bagas tidak sesuai dengan hasil revisi. "Kapan kau bekerja dengan serius, hah?!" bentak Sadewo. "Lihatlah asistenmu! Dia lebih pintar darimu bahkan dialah yang lebih cocok menjadi seorang manager!"Bagas bergeming. Rahangnya mengeras sambil menatap tajam ke arah Darren. Hal yang paling Bagas benci sedari kecil kembali menyapa. Dimana Sadewo selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Tanpa kata, Bagas berlalu. Pun dengan Darren yang berpamitan untuk kembali bekerja.Menuruni beberapa anak tangga dan melewati lorong menuju ruangan. Dari kejauhan, Darren melihat pria yang mengaku berhubungan dengan Marisa itu masuk ke dalam ruangan Bagas. Langkah Darren terhenti saat melewati ruangan itu. Terdengar suara pecahan kaca. Mungkin Bagas melempar barang, pikirnya. Lagi, pintu yang tidak tertutup rapat membuat Darren dengan leluasa menguping. "Darren sialan! Awas saja kau!" teria
Darren dan Sadewo sudah kembali ke kantor. Baru saja masuk ruangan, ponsel Sadewo berdering. Rupanya Abimanyu menghubungi perihal foto tak senonoh itu. Abimanyu mengatakan jika Bagas berhasil meyakinkan dirinya. "Bagas datang ke sana?" tanya Sadewo. "Iya, tadi dia ke sini dengan pacarnya Marisa," jawab Abimanyu. "Putramu berhasil membuktikan jika dirinya tidak bersalah. Jadi, perjodohan tetap berlanjut," sambung Abimanyu. "Tentu. Semoga ke depannya tidak ada lagi masalah.""Sepertinya kita harus hati-hati dengan pemuda bernama Darren."Mendengar nama Darren membuat Sadewo mengernyit. "Darren?""Iya. Asisten Bagas."Abimanyu juga mengatakan bahwa Bagas mencurigai Darren. Sikap Thalita berubah setelah putrinya itu mengenal Darren sewaktu kuliah di luar negeri. Abimanyu meyakini jika Darren akan merusak hubungan Bagas dan Thalita."Bisa jadi si Darren itu mendekati putriku karena harta.""Tidak mungkin," sanggah Sadewo."Aku lihat anak itu baik, bahkan aku mempercayakan dia untuk mem
Tiba saatnya Darren pergi ke Surabaya. Dua koper besar sudah siap ia bawa. Satu yang membuatnya bernapas lega, yakni seminggu lalu Rossi sudah menempati kios yang sudah lengkap dengan peralatan dan perlengkapan kiriman darinya berikut lima orang karyawan. Koper sudah masuk bagasi mobil. Ya, Sadewo memberinya fasilitas berupa satu unit mobil sebagai inventaris untuk Darren pakai selama di Surabaya. Darren menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Kedua tangannya menggenggam stir. "Semoga perjalanannya lancar."Ponsel berdering. Gegas ia meraih benda pipih itu yang disimpan di dasbor.Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat nama yang tampak di layar. "Halo, Sayang, ada apa?""Sudah mau berangkat?""Iya, ini tinggal jalan.""Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampe, kasih kabar.""Siap, Tuan Putri.""Satu lagi, emm ...,""Apa?""Di sana, Kakak harus jaga mata, jaga hati."Darren kembali meyakinkan bahwa cintanya hanya untuk Thalita setelah Rossi.Percakapan usai. Saatnya Darren
Tiga hari setelah kejadian, Sadewo meminta Darren serta Bagas untuk kembali ke Jakarta. Pagi itu Sadewo mengadakan rapat dengan semua pemilik saham, kontraktor, serta pihak berwajib yang menangani penyelidikan, pun dengan Darren dan Bagas turut hadir. Sadewo membahas perihal penyebab robohnya bangunan. "Hasil penyelidikan pihak berwajib adalah adanya kegagalan konstruksi," imbuh Sadewo. "Saya tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Kita sudah menjalin kerjasama bukan satu atau dua tahun. Tapi, puluhan tahun. Kenapa pengerjaan hotel ini tidak sesuai dengan spesifikasi sebagimana disepakati dalam kontrak kerja?"lanjutnya kepada kepala kontraktor."Maaf, Tuan. Kami bekerja selalu memegang teguh pada prinsip. Anda tahu sendiri dimana pekerjaan kami dibatasi oleh waktu penyelesaian, biaya, dan hal-hal yang harus diselesaikan sesuai kontrak."Sang kepala kontraktor terus menjelaskan perihal isi dari surat kontrak. Dimana awal biaya yang digelontorkan oleh PT. Aji Jaya Grup sebesar serat
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad