Share

Bawa Aku Pergi

Penulis: Suci Komala
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Memakai jas dan dasi, duduk di kursi empuk, serta mendapatkan gaji yang cukup besar, memanglah impian Darren sedari dulu. Kini, impian itu terwujud. Ia akan menggunakan kesempatan sebaik mungkin, walaupun ada misi tertentu dibalik itu. Dihari kedua, semangatnya kian bertambah karena Thalita akan datang. 

Pagi itu Darren sedang mematut di depan cermin sambil merapikan rambut. 

"Ganteng juga," gumamnya, kemudian ia terkekeh-kekeh. "Kayaknya lebih cocok jadi manager, deh, daripada asisten," celetuknya lagi. 

Ponsel berdering mengalihkan perhatiannya. 

"Ibu!" ucapnya saat tahu siapa yang menelepon. 

"Halo, Bu."

"Kamu di mana, Nak? Kenapa tidak pulang?"

Darren meminta maaf karena belum mengabari Rossi perihal pekerjaannya. Semalam, dirinya kerja lembur dan mencari tempat kos hingga larut.

"Syukurlah, Nak. Maaf, Ibu juga baru menghubungimu. Ibu sibuk menerima pesanan. Oh, ya, kamu kerja di kantor?"

"Iya, Bu. Tepatnya di PT. Aji Sadewo Grup, perusahaan terbesar yang ada di ibu kota. Ibu senang, kan?"

Hening. 

"Bu, halo ... kenapa diam?"

"Oh, maaf, Nak. Sudah dulu, ya, di depan ada orang. Ingat selalu Tuhan-mu dan berhati-hatilah."

Sambungan telepon terputus sepihak. Darren menatap layar ponsel yang sudah menghitam. 

"Ibu kenapa? Hah! Sudah, lah, waktunya aku berangkat," gumam Darren. 

***

Hanya berjalan kaki sekitar dua puluh menit, akhirnya Darren tiba di kantor. Pria itu sengaja memilih tempat kos yang dekat dengan tempat kerjanya. 

"Pagi, Mbak," sapanya kepada resepsionis. 

"Pagi, Tuan," balas sang resepsionis diiringi senyum. 

Sikap ramah Darren kepada para karyawan di sana membuat suasana menjadi hangat. Sungguh berbeda dengan sikap Bagas. 

Tiba di ruangan, hal yang pertama Darren lakukan adalah mengecek schedule Bagas.

"Hari ini dan beberapa hari ke depan tidak ada pekerjaan yang berarti untuknya. Tapi, kenapa dia malas mengecek dokumen penting itu?" gumam Darren. 

Jemarinya terus menggeser layar tablet. Darren menyipit ketika melihat file dokumen bertuliskan 'false data'. Rasa penasaran Darren membuat dirinya membuka file tersebut. Senyum penuh kemenangan tampak jelas menyelimuti Darren. 

Darren menggeleng. "Betapa sialnya dirimu, Bagas. Semua kebusukanmu aku tau."

Darren menyimpan tablet itu di atas meja dan fokus mengecek dokumen. Mengejutkan, Darren menemukan dua dokumen tentang kepemilikan perusahaan serta laporan keuangan. Satu per satu ia cek dengan seksama. Darren menarik napas dalam dan mengeluarkan kasar. Pria itu yakin jika dua dokumen tersebut tidak sengaja Bagas simpan dalam tumpukan dokumen lain. 

Brak! 

Pintu terbuka dengan kencang. 

"Astaga!" ucap Darren sambil melihat ke arah pintu. Rupanya Bagas berlari menghampiri. 

"Pagi, Bos," lanjut Darren menyapa.

Napas Bagas tersengal. "Apa kau melihat dua dokumen map merah?"

"Itu?" tanya Darren sambil menunjuk map. 

Tangan Bagas secepat kilat menyambar map itu. "Kau sudah mengeceknya?"

"Belum. Baru mau aku cek, tapi Bos keburu datang."

"Ini biar aku yang cek. Kau lanjutkan yang lain saja."

Bagas berlalu. Lagi, Darren hanya menatap heran kepergian Bagas. Ia tidak habis pikir dengan perilaku bosnya itu. Baru saja dua hari bekerja, sudah dua kejutan yang ia dapatkan. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh tentang hal itu, tetapi entah mengapa ada yang mengganjal di hatinya. 

***

Di ruang Manager Marketing, tampak Marisa tengah menunggu Bagas dengan dua gelas kopi susu yang ia hidangkan di meja. 

Brak! 

Marisa menoleh. Ia memperhatikan tingkah Bagas yang tergesa-gesa memasukan map berwarna merah ke dalam brankas. 

"Ada apa?" tanya Marisa. 

"Tidak!"

Marisa tidak memedulikan dengan apa yang Bagas lakukan. 

"Minumlah dulu. Masih pagi mukamu sudah tegang seperti itu."

Bagas duduk di samping Marisa. "Ada apa pagi-pagi sudah ke ruanganku?"

"Jangan berlaga bodoh! Mana bayaranku!"

Bagas menyesap kopi, kemudian tersenyum. Tangannya merangkul pundak Marisa, lalu berkata, "Tenanglah, sekarang juga aku transfer. Berapa?"

"Ck! Tentu saja sesuai kesepakatan. Kau tidak akan jatuh miskin, kan?!"

Bagas merogoh ponselnya di dalam saku jas. Tangannya dengan lincah menari di atas layar. Setelah transaksi usai, pria itu mengirim bukti transaksi kepada Marisa. 

"Silakan cek saldo Anda, Nona."

Marisa sumringah melihat nominal yang tertera pada layar. Tak segan wanita itu menawarkan kembali tubuhnya.

Tok tok tok! 

Suara ketukan pintu mengagetkan keduanya. Marisa bergegas merapikan pakaian serta rambutnya, begitu juga dengan Bagas. 

"Masuk!" titah Bagas. 

"Hai, selamat pagi!"

Bagas tersenyum melihat siapa yang datang. "Wow! Surprise! Kok, datang gak ngabarin dulu, sih, Sayang?"

Dialah Thalita. Ia menatap Marisa, kemudian tersenyum. "Memangnya kenapa? Aku disuruh papa untuk belajar bagaimana mengelola perusahaan."

Bagas berdalih jika dirinya akan menghadiri rapat penting. Pernyataan Bagas tentu saja membuat dirinya senang. 

"Kalau begitu antar aku ke ruangan Kak Ge!"

"Ge?" tanya Marisa heran. 

"Darren," kata Bagas menimpali. 

Tanpa diminta Marisa bersedia mengantar Thalita ke ruangan Darren. Pun Bagas berpesan agar Marisa kembali ke ruangannya. 

***

Marisa mengetuk pintu dan masuk saat Darren mempersilakan. 

"Ada tamu untuk Anda," kata Marisa. 

"Oh, silakan, suruh saja masuk," ucap Darren. 

Marisa meninggalkan ruangan Darren saat Thalita masuk. 

"Pagi menjelang siang, Pak Asmen."

Darren yang fokus mengecek dokumen, mendongak melihat ke arah suara. 

"Akhirnya datang juga," kata Darren sambil berdiri menyambut.

Thalita memeluk Darren erat. "Aku kangen Kakak."

Darren membalas pelukan dan berkata, "Sama. Tapi, tolong jaga sikap. Ingat, misi belum selesai."

Thalita melerai pelukan dan duduk di sofa dengan bibir cemberut. Gadis itu menceritakan keinginan Abimanyu. 

"Tapi, aku tidak mungkin juga menunjukan foto itu sekarang, Kak. Papa sedang sakit."

"Sabar. Nanti juga ada kesempatan. Oh, iya, kau tau, kan, siapa yang mengantarmu tadi?"

"Tau."

"Tidak cemburu?"

Thalita memukul lengan Darren pelan. "Ish! Jelas saja tidak. Aku cemburu kalau ada wanita lain dekat dengan Kakak."

Darren tersenyum menanggapi. 

"Oh, ya, Kakak tidak ikut rapat?"

"Rapat?" Darren beranjak untuk memastikan schedule hari itu. Siapa tahu dirinya salah lihat. 

"Tidak ada rapat hari ini." Darren memberikan tablet agar Thalita mengecek sendiri. 

Thalita tersenyum masam, kemudian beranjak dan berdiri di balik jendela dimana pemandangan langsung ke area parkir. 

"Bagas beralasan ada rapat?" sambung Darren bertanya. 

Thalita hanya bergumam sebagai jawaban. 

"Kak, sini!" pinta Thalita. "Lihatlah! Mereka mau rapat di hotel sepertinya," lanjut Thalita menebak. 

Rupanya Thalita melihat Bagas dan Marisa sedang berjalan menuju area parkir. Mereka menaiki mobil Bagas. Darren dengan gesit mengarahkan ponselnya. Kamera itu menangkap ketika Bagas membukakan pintu untuk Marisa. Di manapun seorang bos tidak akan membukakan pintu untuk sekretarisnya terkecuali mereka ada hubungan spesial, pikir Darren. 

"Kalian sedang melihat apa?"

Thalita dan Darren menoleh ke arah suara.

"Helena," ucap Thalita. 

Mata Helena berbinar tatkala melihat Darren. Langkahnya dibuat gemulai agar menarik perhatian Darren. 

"Tampan, kita bertemu lagi," ucap Helena sambil bergelayut manja pada lengan Darren. 

Melihat hal demikian tentu membuat Thalita cemburu. Namun, harus ia tahan. 

"Lepas!" sarkas Darren. 

Helena terkesiap dengan perlakuan Darren. Menurutnya baru pertama kali laki-laki berbuat seperti itu. 

"Astaga! Sombongnya," ujar Helena sambil mencolek dagu Darren. 

"Ada perlu apa kamu ke sini?" tanya Thalita. 

Helena menghela napas. "Sampe lupa ada Kakak ipar di sini. Kakak ipar sendiri sedang apa di sini? Tidak takut Kak Bagas marah? Gak ingat kalau dia pencemburu berat?"

Thalita berdecih dengan tangan ia lipat di dada. "Ada perlu dengan Tuan ini?"

Helena menghampiri Thalita, kemudian berbisik. "Kalian sudah saling kenal?"

"Dia sahabatku," jawab Thalita dingin. 

Mendengar hal itu membuat Helena senang. Helena akan menggunakan kesempatan itu untuk mendekati Darren melalui Thalita. 

"Hah! Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu." Helena tersenyum riang, lalu meninggalkan ruangan Darren. 

Darren dan Thalita hanya menatap kepergian Helena yang menurut mereka tidak jelas. Pasangan kekasih itu saling memandang dan mengangkat kedua bahu mereka.

"Orang aneh!" ucap Darren.

Darren melanjutkan pekerjaannya ditemani oleh Thalita. Darren yang baru saja bekerja dua hari, mampu mengajari Thalita hingga tak terasa semua dokumen selesai dicek.

"Kadar semangatku bertambah karena kau ada di sini," ucap Darren, membuat Thalita tersipu.

Jam istirahat tiba. Darren memutuskan untuk memesan makan siang dan menikmatinya bersama Thalita di ruangan. Tawa dan canda menyertai keduanya. Tak ayal, suasana hangat nan romantis pun terjalin. Tanpa Darren dan Thalita sadari, ada seseorang yang menyaksikan keakraban keduanya.

"Cih! Mereka sampai tidak menyadari suara ketukan pintu dan kehadiranku di sana," kata orang itu ketika ke luar dari ruangan Darren.

Ritual makan siang sudah selesai. Saatnya Darren kembali berkutat dengan pekerjaannya. Bukan lagi mengecek dokumen, melainkan mencari tahu seluk-beluk tentang PT. Aji Sadewo Grup termasuk perusahaan milik Abimanyu melalui laman internet. 

"Hampir sore. Tidak pulang?"

Thalita hanya menggeleng. Tidak ada yang dilakukan gadis itu selain duduk sambil menopang dagu dengan mata terus menatap lelaki pujaannya itu.

"Kak, bawa aku pergi!"

Darren menatap wajah Thalita dengan kening mengerut. "Maksudnya?"

"Kita kawin lari."

Darren mengembuskan napas kasar dan mengatakan agar Thalita jangan berpikir dan bertingkah yang macam-macam. Mendengar hal itu membuat Thalita cemberut. 

Kedua ponsel mereka berbunyi pertanda sebuah pesan masuk.

"Kau pulang saja. Aku tidak akan kembali ke kantor." Pesan Bagas kepada Darren. 

"Langsung pulang. Jangan ke mana-mana dulu. Apalagi dengan temanmu itu. Jika melanggar, aku akan marah besar." Pesan Bagas kepada Thalita. 

Keduanya menunjukkan pesan masing-masing. 

"Pulanglah," kata Darren.

"Tidak! Siapa dia? Aku tidak peduli. Aku ingin tau tempat tinggal Kakak sekarang."

Thalita terus memaksa. Darren pun tidak bisa menolak. 

"Baiklah. Tapi, menuju kosanku tidak bisa masuk mobil. Tidak apa jalan kaki?" tanya Darren memastikan. 

"Tidak masalah. Ayok!"

Tepat jam empat sore Darren dan Thalita meninggalkan kantor. 

***

Tiba di kosan, Darren mempersilakan Thalita masuk. Keduanya duduk di lantai beralaskan tikar dengan pintu dibiarkan terbuka.

"Kakak ambilkan minum dulu," kata Darren, kemudian berlalu. 

Derrt Derrt Derrt! 

Ponsel Thalita berdering. 

"Papa? Ada apa?" gumam Thalita saat melihat nama si penelepon. 

"Halo, Pa. Ada apa?"

"Kamu di mana?"

Thalita tergagap. "Di-di ... emm ... baru saja ke luar dari kantor Bagas, Pa."

Abimanyu mengatakan jika esok malam harus menghadiri undangan makan malam bersama keluarga Sadewo. 

"Bukankah Om Sadewo masih di luar negeri?"

"Besok pulang. Dan malamnya kita akan mengadakan acara penyambutan. Sekalian besok Papa akan bahas kamu dan Bagas."

Thalita bergeming. Ia bingung harus berbuat apa. 

"Ini minumnya," ucap Darren. "Loh, Sayang kenapa?" lanjutnya, sambil menatap heran. 

Terdengar jelas oleh Darren jika lawan bicara Thalita meminta jawaban gadis di hadapannya itu. 

Thalita mematikan sambungan telepon. "Tidak!"

Tanpa pikir panjang, Thalita mengirimkan foto mesum Bagas dan Marisa kepada Abimanyu serta mengirim pesan. 

"Lita harap Papa batalkan perjodohan itu. Lihatlah, calon menantu yang Papa banggakan tidak jauh dari lelaki hidung belang!" Isi pesannya. 

Darren yang tidak mengerti dengan sikap Thalita pun meminta penjelasan. Namun, bukannya menjawab, Thalia balik bertanya. 

"Kakak cinta padaku, kan?"

"Iya."

"Buktikan kalau Kakak cinta sama aku!" Thalia membuka kemejanya. 

Darren menahan tangan Thalita agar tidak membuka seluruh atasannya. "Astaga! Apa yang kau lakukan?!"

"Ayok, kita lakukan! Dengan begitu papa pasti akan menikahkan aku dengan Kakak!"

"Dengar, Kakak tidak akan merusak wanita yang Kakak cintai!"

Darren menenangkan Thalita. Adu mulut pun terjadi. Namun, Thalita tetap ingin membuka kemejanya hingga terkesan Darren yang memaksa Thalita untuk membuka. Tanpa mereka ketahui seseorang yang membuntuti mereka sedari tadi mengambil beberapa gambar. 

"Thalita!" bentak Darren, sambil mengguncang pundak sang gadis.

Thalita menangis sambil memeluk Darren. 

"Aku tidak mau menikah dengan Bagas. Bawa aku pergi!"

Darren membiarkan Thalita menangis sepuasnya. Setelah Thalita tenang dan kembali merapikan kemejanya, ia meminta penjelasan. Sang wanita pun menceritakan kabar apa yang sudah ia dapat. Darren bergeming. Pikirannya berkecamuk. Haruskah ia mempertahankan Thalita?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tony
menarik untuk dibaca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Hasutan Helena

    Sepulang Thalita dari kosan hingga malam menjelang, Darren hanya diam. Ia tidak rela jika Thalita jatuh ke tangan pria seperti Bagas. Namun, apalah daya? Secara karir dan harta ia kalah saing.Mata sipit itu melihat jam di dinding. Sudah jam dua dini hari. Darren memaksakan diri untuk tidur. Tepat pukul tujuh pagi, Darren terbangun dan bersiap untuk ke kantor. ***Tiba di kantor, Darren dikejutkan dengan hadirnya Helena. Gadis itu sedang duduk cantik di kursi kebesaran Darren. "Sedang apa kau di sini, Nona?""Menunggu kamu, Tampan," jawabnya santai sambil memutar kursi yang ia duduki ke kiri dan kanan. Darren bersikap acuh. Ia menyimpan tasnya di atas meja, menggulung kemejanya sebatas sikut, kemudian membawa tablet serta laptop dan duduk di sofa. Penampilan Darren seperti itu justru membuat Helena semakin jatuh hati. "Sebaiknya jauhi Thalita!" seru Helena, membuat Darren melihat ke arahnya. Darren menghela napas. "Jika maksud kedatangan Anda ke sini hanya untuk mengatakan itu,

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Pengakuan Thalita

    Jam kerja kantor sudah usai. Pun dengan data pengeluaran sudah selesai Darren cek. Sementara, ia mengesampingkan perkara tersebut karena itu menyangkut masalah Bagas. Penting baginya adalah perkara Thalita. Sore itu langit tampak gelap karena awan hitam bergelayut manja di sana. Tidak lama kemudian, angin kencang membawa bulir-bulir air hujan menabrak jendela kaca dimana Darren tengah berdiri. Mau tidak mau membuat dirinya tertahan di kantor. Pria itu bergeming, menatap lekat setiap tetesan hujan yang turun seolah-olah merenungi nasib percintaannya yang akan berujung tangis. "Tidak! Hujan adalah rezeki yang Tuhan turunkan. Tak patut aku samakan dengan nasibku," gumamnya. Hujan sudah reda, Darren pun meninggalkan kantor. ***Kaki jenjang Darren menapaki gang sempit, melewati kubangan-kubangan kecil di sekitar. Langkahnya kian cepat karena langit kembali menurunkan hujan. Tiba di kosan, Darren bergegas membuka pakaiannya yang basah. Ponsel yang ia simpan di atas meja berdentang p

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Nasib Marisa

    Pagi menjelang. Tepat pukul 07:30 WIB, Darren sudah tiba di loby kantor. Perusahaan yang bergerak dalam bidang properti itu banyak dipenuhi karangan bunga serta karpet merah menjadi alas di tangga depan. "Pagi, Mbak," sapa Darren kepada resepsionis. "Mau ada acara apa?""Loh, memangnya Tuan Bagas tidak memberitahu Anda?".Darren mengernyit. "Tidak. Ada apa memangnya?""Penyambutan Tuan Sadewo, pemilik perusahaan ini. Setelah dua tahun di negeri orang mengurus bisnis, hari ini beliau kembali."Darren mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh. Jadi, selama beliau tidak ada, siapa yang memegang kendali?""Tentu saja orang kepercayaannya.""Kenapa tidak putranya?"Sang resepsionis hanya mengangkat kedua pundaknya tertanda tidak tahu. "Mari, kita berbaris, Tuan."Semua petinggi berjajar dari mulai tangga masuk sampai ke dalam loby. Selang beberapa menit, mobil hitam nan mewah datang. Dialah Sadewo dan Bagas. "Selamat datang kembali, Tuan.""Lama tidak berjumpa, Tuan.""Apa kabar, Tuan?"Berb

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Peluang Emas

    Sepeninggal Marisa, Sadewo memberondong Bagas dengan berbagai pertanyaan mengenai dokumen. Walhasil, jawaban Bagas tidak sesuai dengan hasil revisi. "Kapan kau bekerja dengan serius, hah?!" bentak Sadewo. "Lihatlah asistenmu! Dia lebih pintar darimu bahkan dialah yang lebih cocok menjadi seorang manager!"Bagas bergeming. Rahangnya mengeras sambil menatap tajam ke arah Darren. Hal yang paling Bagas benci sedari kecil kembali menyapa. Dimana Sadewo selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Tanpa kata, Bagas berlalu. Pun dengan Darren yang berpamitan untuk kembali bekerja.Menuruni beberapa anak tangga dan melewati lorong menuju ruangan. Dari kejauhan, Darren melihat pria yang mengaku berhubungan dengan Marisa itu masuk ke dalam ruangan Bagas. Langkah Darren terhenti saat melewati ruangan itu. Terdengar suara pecahan kaca. Mungkin Bagas melempar barang, pikirnya. Lagi, pintu yang tidak tertutup rapat membuat Darren dengan leluasa menguping. "Darren sialan! Awas saja kau!" teria

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Kepercayaan Sadewo

    Darren dan Sadewo sudah kembali ke kantor. Baru saja masuk ruangan, ponsel Sadewo berdering. Rupanya Abimanyu menghubungi perihal foto tak senonoh itu. Abimanyu mengatakan jika Bagas berhasil meyakinkan dirinya. "Bagas datang ke sana?" tanya Sadewo. "Iya, tadi dia ke sini dengan pacarnya Marisa," jawab Abimanyu. "Putramu berhasil membuktikan jika dirinya tidak bersalah. Jadi, perjodohan tetap berlanjut," sambung Abimanyu. "Tentu. Semoga ke depannya tidak ada lagi masalah.""Sepertinya kita harus hati-hati dengan pemuda bernama Darren."Mendengar nama Darren membuat Sadewo mengernyit. "Darren?""Iya. Asisten Bagas."Abimanyu juga mengatakan bahwa Bagas mencurigai Darren. Sikap Thalita berubah setelah putrinya itu mengenal Darren sewaktu kuliah di luar negeri. Abimanyu meyakini jika Darren akan merusak hubungan Bagas dan Thalita."Bisa jadi si Darren itu mendekati putriku karena harta.""Tidak mungkin," sanggah Sadewo."Aku lihat anak itu baik, bahkan aku mempercayakan dia untuk mem

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Berhasilnya Rencana Bagas

    Tiba saatnya Darren pergi ke Surabaya. Dua koper besar sudah siap ia bawa. Satu yang membuatnya bernapas lega, yakni seminggu lalu Rossi sudah menempati kios yang sudah lengkap dengan peralatan dan perlengkapan kiriman darinya berikut lima orang karyawan. Koper sudah masuk bagasi mobil. Ya, Sadewo memberinya fasilitas berupa satu unit mobil sebagai inventaris untuk Darren pakai selama di Surabaya. Darren menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Kedua tangannya menggenggam stir. "Semoga perjalanannya lancar."Ponsel berdering. Gegas ia meraih benda pipih itu yang disimpan di dasbor.Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat nama yang tampak di layar. "Halo, Sayang, ada apa?""Sudah mau berangkat?""Iya, ini tinggal jalan.""Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampe, kasih kabar.""Siap, Tuan Putri.""Satu lagi, emm ...,""Apa?""Di sana, Kakak harus jaga mata, jaga hati."Darren kembali meyakinkan bahwa cintanya hanya untuk Thalita setelah Rossi.Percakapan usai. Saatnya Darren

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Masuk Penjara

    Tiga hari setelah kejadian, Sadewo meminta Darren serta Bagas untuk kembali ke Jakarta. Pagi itu Sadewo mengadakan rapat dengan semua pemilik saham, kontraktor, serta pihak berwajib yang menangani penyelidikan, pun dengan Darren dan Bagas turut hadir. Sadewo membahas perihal penyebab robohnya bangunan. "Hasil penyelidikan pihak berwajib adalah adanya kegagalan konstruksi," imbuh Sadewo. "Saya tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Kita sudah menjalin kerjasama bukan satu atau dua tahun. Tapi, puluhan tahun. Kenapa pengerjaan hotel ini tidak sesuai dengan spesifikasi sebagimana disepakati dalam kontrak kerja?"lanjutnya kepada kepala kontraktor."Maaf, Tuan. Kami bekerja selalu memegang teguh pada prinsip. Anda tahu sendiri dimana pekerjaan kami dibatasi oleh waktu penyelesaian, biaya, dan hal-hal yang harus diselesaikan sesuai kontrak."Sang kepala kontraktor terus menjelaskan perihal isi dari surat kontrak. Dimana awal biaya yang digelontorkan oleh PT. Aji Jaya Grup sebesar serat

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Pernikahan Thalita dan Bagas

    Satu minggu telah berlalu. Setelah Sadewo menjebloskan Darren ke dalam penjara, justru tidak membuatnya tenang. Hampir setiap malam ia tidur dalam gelisah. Tidak hanya Darren yang masuk bui, tetapi beberapa orang dari pihak kontraktor pun berstatus tersangka karena dianggap lalai. "Papi kenapa, sih? Mami perhatiin seperti ada beban. Seperti ada masalah. Coba cerita sama Mami," kata Olivia.Wanita paruh baya itu beranjak untuk mengambil minuman dingin di kulkas yang ada di kamar. Sadewo bangun dan duduk bersandar. "Entahlah, aku merasa bersalah kepada Darren."Olivia terbelalak. "Sejak kapan Papi peduli dengan nasib orang yang memang bermasalah?""Sejak aku bertemu dengannya. Kau tau ... dia mirip sekali denganku. Kata orang lain pun begitu. Bahkan ada yang bilang dia lebih pantas menjadi putraku daripada Bagas."Uhuk! Olivia tersedak. Dalam hatinya bermonolog, "Apakah dia putra dari ... ah, tidak mungkin!? ""Ck! Hati-hati kalau minum."Sadewo mengembuskan napas kasar, lalu berkata

Bab terbaru

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Keluarga Seutuhnya

    Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Pelengkap Kebahagiaan

    Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Thania Geraldine

    Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Ngidam

    Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Pingsan

    Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Sekretaris Pribadi

    Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Program Hamil

    Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Pesta Kejutan Untuk Darren & Thalita

    Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu

  • Aku Jadikan Kau Ratu   Rossi - Luluh

    Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad

DMCA.com Protection Status