Tiga hari setelah kejadian, Sadewo meminta Darren serta Bagas untuk kembali ke Jakarta. Pagi itu Sadewo mengadakan rapat dengan semua pemilik saham, kontraktor, serta pihak berwajib yang menangani penyelidikan, pun dengan Darren dan Bagas turut hadir. Sadewo membahas perihal penyebab robohnya bangunan. "Hasil penyelidikan pihak berwajib adalah adanya kegagalan konstruksi," imbuh Sadewo. "Saya tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Kita sudah menjalin kerjasama bukan satu atau dua tahun. Tapi, puluhan tahun. Kenapa pengerjaan hotel ini tidak sesuai dengan spesifikasi sebagimana disepakati dalam kontrak kerja?"lanjutnya kepada kepala kontraktor."Maaf, Tuan. Kami bekerja selalu memegang teguh pada prinsip. Anda tahu sendiri dimana pekerjaan kami dibatasi oleh waktu penyelesaian, biaya, dan hal-hal yang harus diselesaikan sesuai kontrak."Sang kepala kontraktor terus menjelaskan perihal isi dari surat kontrak. Dimana awal biaya yang digelontorkan oleh PT. Aji Jaya Grup sebesar serat
Satu minggu telah berlalu. Setelah Sadewo menjebloskan Darren ke dalam penjara, justru tidak membuatnya tenang. Hampir setiap malam ia tidur dalam gelisah. Tidak hanya Darren yang masuk bui, tetapi beberapa orang dari pihak kontraktor pun berstatus tersangka karena dianggap lalai. "Papi kenapa, sih? Mami perhatiin seperti ada beban. Seperti ada masalah. Coba cerita sama Mami," kata Olivia.Wanita paruh baya itu beranjak untuk mengambil minuman dingin di kulkas yang ada di kamar. Sadewo bangun dan duduk bersandar. "Entahlah, aku merasa bersalah kepada Darren."Olivia terbelalak. "Sejak kapan Papi peduli dengan nasib orang yang memang bermasalah?""Sejak aku bertemu dengannya. Kau tau ... dia mirip sekali denganku. Kata orang lain pun begitu. Bahkan ada yang bilang dia lebih pantas menjadi putraku daripada Bagas."Uhuk! Olivia tersedak. Dalam hatinya bermonolog, "Apakah dia putra dari ... ah, tidak mungkin!? ""Ck! Hati-hati kalau minum."Sadewo mengembuskan napas kasar, lalu berkata
Sadewo dan Olivia menyambut menantunya dengan suka cita. Pesta kecil mereka persembahkan. Sadewo berjanji akan mengadakan pesta yang mewah jika masalah proyek selesai. Kini, dua keluarga tengah menikmati jamuan makan malam. "Kalian akan tinggal di sini, kan?" tanya Sadewo. "Tidak, Pi. Kami akan tinggal di rumah yang dulu Papi kasih," jawab Bagas. "Gak pa-pa, kan?" lanjut Bagas bertanya kepada Thalita. "Tidak masalah," jawab Thalita malas. Bagas meminta Helena untuk tinggal bersamanya. Selain jarak yang dekat ke kampus, pun bisa menemani Thalita di rumah. Helena menyanggupi, begitu juga dengan Thalita yang tidak merasa keberatan. "Tapi, aku ke sana sekitar dua minggu lagi, ya?" kata Helena. "Oke, tidak masalah."Sedari tadi Angelina tidak mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi. "Sudah larut, lebih baik kita pulang," ujarnya kepada Abimanyu. "Lita ikut!" seru Thalita. "Loh, kamu, kan, baru saja menikah. Ini rumahmu," kata Abimanyu. Thalita men
Jarum jam masih menunjuk pada angka lima. Bagas sudah terbangun. Gegas ia membersihkan diri. Di bawah kucuran shower, Bagas tersenyum puas mengingat kejadian semalam. Entah mengapa, ia merasa puas jika menyiksa Thalita terlebih dahulu. Dirinya merasakan sensasi lain. Tiga puluh menit berselang, ritual mandi selesai.Bagas membuka lemari miliknya. Sedikit tercengang, karena beberapa pakaian Marisa masih berada di sana. Gegas tangannya meraih dan membawanya ke luar. "Bi, tolong buang pakaian ini! titah Bagas kepada Inah --asisten rumah tangga. "Baik, Tuan." Inah pun berlalu. "Tunggu!" cegah Bagas, membuat Inah kembali menghadap. "Di kamar ada istri saya. Tolong layani dia dengan baik. Dan yang terpenting adalah jangan biarkan dia ke luar rumah!"Mendengar kata istri membuat Inah bengong. Bagas mengerti dengan sikap Inah. Pun Bagas mengatakan jika nanti akan ada paket yang ditujukan untuknya. "Berikan kepada istri saya!""Iya, siap, Tuan."Bagas pergi meninggalkan rumah. Tepat pu
Helena dan Sadewo baru saja tiba di sebuah kafe. Mereka menempati ruang VIP. Dua cangkir minuman menemani obrolan mereka. "Cepat ceritakan!" desak Sadewo. "Tapi, Papi janji dulu. Jangan sampe bilang tau dari Lena, ya?""Iya, kamu tenang saja.""Jadi, gini, loh, Pi. Dari mulai kasus foto mesum di kantor sampai terjadinya kecelakaan proyek hotel, itu adalah ulah Kak Bagas," ungkap Helena. "Tidak mungkin! Lagipula, apa tujuannya?"Helena mengatakan, itu semua karena rasa benci Bagas kepada Darren. Darren yang memang sudah merebut Thalita, pun disebut ikut campur urusan pribadi Bagas. "Tapi, sebagai perempuan, Lena juga pasti akan melakukan hal yang sama dengan Thalita, Pi. Cari pacar baru."Sadewo bergeming. Inilah jawaban atas kegelisahannya. Ia memenjarakan orang yang tidak bersalah. "Papi ke kantor polisi dulu," kata Sadewo. "Loh, Pi, pesanannya gimana?!"Sadewo tidak memedulikan teriakan Helena. Pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu bergegas menuju parkiran. ***Tiba d
Tiga bulan sudah berlalu.Hari demi hari Darren lalui dengan hampa. Janji Sadewo waktu lalu ternyata tidak terjadi. Padahal, ia sungguh berharap karena teringat akan Rossi. Jangan tanyakan urusan cinta, karena Darren sulit melupakan Thalita. Apalagi, hampir setiap malam ia memimpikan Thalita yang seakan-akan meminta pertolongannya. Untung saja kesibukan di lapas membuat Darren melupakan sejenak masalah yang tengah ia hadapi. "Darren, ada tamu untukmu!"Darren menghela napas, kemudian ke luar dari sel. Mata Darren membulat sempurna melihat siapa yang berkunjung. "Tha-Thalita," sapanya. Thalita berdiri menyambut kedatangan Darren. Matanya berkaca, lalu berkata, "Kakak apa kabar?""Baik," sahut Darren. Keduanya duduk saling berhadapan. Pandangan mereka tidak lepas satu sama lain. Ada rasa rindu yang tidak dapat dibantahkan. Thalita memalingkan muka. "Maafkan aku, Kak," ucap Thalita, dengan bulir bening yang berhasil menetes. Darren tersenyum. "Tidak ada yang salah. Kenapa harus me
Pagi pun tiba. Sinar mentari hangat mampu menusuk kulit Darren yang saat itu sedang membersihkan rumput. Matanya merasakan perih karena semalam tidak tidur. Pun sakit di tangan mulai ia rasakan. Plak! Tepukan di pundak membuat Darren menoleh. "Istirahat saja. Ini biar Kakek yang bereskan."Darren tersenyum tipis. "Kakek saja yang istirahat. "Kau meragukan tenagaku, Anak Muda?!"Keduanya saling melempar senyum dan membersihkan rumput bersama. Di tengah kegiatan, Darren bercerita perihal dirinya meninju tembok. "Aku berharap orang kaya itu menepati janjinya, Kek," kata Darren. "Berdo'a saja. Kalaupun bukan orang kaya itu, siapa tau Tuhan menggerakkan hati orang lain untuk membantumu. Tidak ada yang tidak mungkin."Darren merasa tenang setelah mendengar ucapan sang kakek. Setelah kegiatan selesai, semua narapidana kembali ke sel untuk beristirahat sejenak sebelum mengikuti bimbingan selanjutnya. "Darren, kau dibebaskan!" seru seorang sipir sambil membuka kunci gembok. Darren, kak
Tiba di gang menuju kosan, Darren turun terlebih dahulu sedangkan Helena memarkirkan mobilnya di PT. Aji Jaya grup. Setelah lima belas menit Darren menunggu, Helena datang. Keduanya menapaki gang sempit di bawah terik matahari.Helena meraih kedua tangan Darren. "Gini, dong, Sayang. Aku, kan, kepanasan," kata Helena manja, sambil meletakkan tangan Darren di atas kepalanya. "Astaga!" gumam Darren. Mau tidak mau, Darren menuruti keinginan Helena. Tiba di kosan, Darren dan Helena disuguhi dengan tebalnya debu yang menempel di kursi bahkan lantai. "Uhuk! Uhuk!" Helena terbatuk. "Ya, ampun. Kita bersihkan sama-sama. Gimana?" tawar Helena. Tentu saja Darren tidak menolak ajakan itu. Keduanya membagi tugas dimana Helena menyapu dan Darren mengepel. Namun, ada sesuatu hal yang tidak Darren sukai, yakni Helena melepas foto Thalita yang terbingkai cantik di dinding. "Ingat! Sekarang aku pacarmu!" Helena membuang foto Thalita ke dalam tempat sampah. Darren hanya mengangguk dan lagi-la
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad