Tiga bulan sudah berlalu.Hari demi hari Darren lalui dengan hampa. Janji Sadewo waktu lalu ternyata tidak terjadi. Padahal, ia sungguh berharap karena teringat akan Rossi. Jangan tanyakan urusan cinta, karena Darren sulit melupakan Thalita. Apalagi, hampir setiap malam ia memimpikan Thalita yang seakan-akan meminta pertolongannya. Untung saja kesibukan di lapas membuat Darren melupakan sejenak masalah yang tengah ia hadapi. "Darren, ada tamu untukmu!"Darren menghela napas, kemudian ke luar dari sel. Mata Darren membulat sempurna melihat siapa yang berkunjung. "Tha-Thalita," sapanya. Thalita berdiri menyambut kedatangan Darren. Matanya berkaca, lalu berkata, "Kakak apa kabar?""Baik," sahut Darren. Keduanya duduk saling berhadapan. Pandangan mereka tidak lepas satu sama lain. Ada rasa rindu yang tidak dapat dibantahkan. Thalita memalingkan muka. "Maafkan aku, Kak," ucap Thalita, dengan bulir bening yang berhasil menetes. Darren tersenyum. "Tidak ada yang salah. Kenapa harus me
Pagi pun tiba. Sinar mentari hangat mampu menusuk kulit Darren yang saat itu sedang membersihkan rumput. Matanya merasakan perih karena semalam tidak tidur. Pun sakit di tangan mulai ia rasakan. Plak! Tepukan di pundak membuat Darren menoleh. "Istirahat saja. Ini biar Kakek yang bereskan."Darren tersenyum tipis. "Kakek saja yang istirahat. "Kau meragukan tenagaku, Anak Muda?!"Keduanya saling melempar senyum dan membersihkan rumput bersama. Di tengah kegiatan, Darren bercerita perihal dirinya meninju tembok. "Aku berharap orang kaya itu menepati janjinya, Kek," kata Darren. "Berdo'a saja. Kalaupun bukan orang kaya itu, siapa tau Tuhan menggerakkan hati orang lain untuk membantumu. Tidak ada yang tidak mungkin."Darren merasa tenang setelah mendengar ucapan sang kakek. Setelah kegiatan selesai, semua narapidana kembali ke sel untuk beristirahat sejenak sebelum mengikuti bimbingan selanjutnya. "Darren, kau dibebaskan!" seru seorang sipir sambil membuka kunci gembok. Darren, kak
Tiba di gang menuju kosan, Darren turun terlebih dahulu sedangkan Helena memarkirkan mobilnya di PT. Aji Jaya grup. Setelah lima belas menit Darren menunggu, Helena datang. Keduanya menapaki gang sempit di bawah terik matahari.Helena meraih kedua tangan Darren. "Gini, dong, Sayang. Aku, kan, kepanasan," kata Helena manja, sambil meletakkan tangan Darren di atas kepalanya. "Astaga!" gumam Darren. Mau tidak mau, Darren menuruti keinginan Helena. Tiba di kosan, Darren dan Helena disuguhi dengan tebalnya debu yang menempel di kursi bahkan lantai. "Uhuk! Uhuk!" Helena terbatuk. "Ya, ampun. Kita bersihkan sama-sama. Gimana?" tawar Helena. Tentu saja Darren tidak menolak ajakan itu. Keduanya membagi tugas dimana Helena menyapu dan Darren mengepel. Namun, ada sesuatu hal yang tidak Darren sukai, yakni Helena melepas foto Thalita yang terbingkai cantik di dinding. "Ingat! Sekarang aku pacarmu!" Helena membuang foto Thalita ke dalam tempat sampah. Darren hanya mengangguk dan lagi-la
Sudah satu minggu Darren berdiam diri di kosan. Rasa bosan dan kesal berhasil menyelimuti. Ingin mencari pekerjaan, tetapi harus yang berhubungan dengan Thalita, pikirnya. Tok tok tok! "Sayang, kau ada di dalam?!" "Astaga! Wanita itu tidak juga menyerah," ucap Darren, saat tahu siapa yang datang. Ya, dialah Helena. Itu adalah hari ke tujuh Helena mencari Darren. Darren yang memang sengaja tidak ingin diganggu sama sekali tidak membukakan pintu untuk wanita itu. Darren bermonolog, "Apa aku meminta pekerjaan saja kepadanya, ya? Tapi, apa?" Helena mengetuk kaca jendela, lalu berteriak, "Sayaaang!"Darren tersenyum licik. Terbersit dalam otaknya tentang apa yang akan ia lakukan. Berdiri di depan cermin, mengacak rambutnya sedikit, memasang wajah memelas dan lekas membuka pintu. "Say-"Helena tidak melanjutkan ucapannya ketika melihat mimik Darren. "Astaga, Sayang. Kau sakit?" tanya Helena panik sambil mengecek suhu tubuh Darren dengan menempelkan punggung tangannya pada kening si
Hari itu adalah hari pertama Darren bekerja. Lebih beruntung lagi ia diperbolehkan untuk tinggal di sana. Darren menempati paviliun. Tidak hanya sebagai tukang kebun, Darren dipekerjakan untuk mencuci mobil Bagas serta membantu Inah mengangkat barang berat. Tidak masalah, yang terpenting bisa memantau Thalita, pikirnya. Darren memulai hari dengan mencuci mobil Bagas. Setelah satu jam berkutat, pekerjaan itu akhirnya selesai. "Kerjamu bagus, rapi dan bersih," puji Bagas, kemudian masuk ke dalam mobilnya dan tancap gas.Darren melihat Thalita sedang menyiram bunga mawar. Gegas ia menghampiri. "Biar saya saja, Nyonya," kata Darren. Thalita menoleh ke arah suara dan melihat kanan-kiri memastikan tidak ada orang lain di sana. "Kamu siapa sebenarnya?"Darren tersentak, tetapi mencoba untuk bersikap tenang. "Maksud Anda apa, Nyonya?"Bukannya menjawab, Thalita justru balik bertanya, "Tolong jawab jujur. Kamu siapa?"Darren tersenyum. "Nama saya Doni, Nyonya."Tanpa kata, Darren menyamb
Siang berganti malam. Waktunya Darren beristirahat dari segala aktivitas.Segala rencana sedang Darren susun. Mulai dari mengikuti Bagas ke mana pun ia pergi sampai mengawasi Thalita di dalam rumah. Agar semuanya berjalan lancar, Darren sudah memutuskan akan meminta bantuan Inah. Pun dengan demikian ia harus membuka siapa jatidirinya. "Tapi, untuk membuntuti ke mana Bagas pergi tentu saja butuh akomodasi. Motor? Gak punya. Mobil? Apalagi. Duuuhhh!"Darren meraih ponsel yang ia simpan di atas kasur. Seingatnya masih ada tabungan dan masih cukup untuk membeli sebuah sepeda motor."A-apa ini?" Mata Darren membulat sempurna ketika melihat nominal tabungan yang tertera. Pasti ada yang salah, pikirnya. Ya, saldo yang tertera di sana mencapai hampir satu milliar. Gegas Darren mengecek mutasi rekening. Degh! "Tidak mungkin! Apa maksud semua ini?"Di sana sangat jelas tertulis nama pengirim 'Sadewo' dengan isi note 'Tanda maaf'. Darren mengangkat kedua pundaknya. Merasa ngeri. Ia takut t
Malam sudah berganti pagi. Darren sudah meninggalkan rumah Bagas sedari subuh. Menaiki ojek online, pria itu kembali ke kosan yang ia tempati dahulu. Di sana masih tersimpan sebagian pakaian dan barang-barang miliknya yang lain. Pun dengan masa sewa yang masih tersisa beberapa bulan lagi, itu yang membuat ia enggan untuk membawa semua barangnya ke rumah Bagas. Darren menyusun jadwalnya hari itu. Pergi ke bank, membeli motor serta beberapa CCTV portable, menemui Sadewo dan mengintai Bagas. Jam yang melingkar di tangan sudah menunjuk angka delapan. Gegas Darren mengenakan kaos yang di dobel dengan jaket, dilengkapi dengan topi, masker dan kaca mata. Sesuai rencana awal, Darren berangkat ke bank. Setelah melakukan transaksi di bank, Darren bergegas ke showroom motor. Tidak perlu waktu lama, satu unit motor matic sudah menjadi hak milik. Ada sisa waktu satu jam tiga puluh menit lagi untuk dirinya menemui Sadewo. Di perjalanan menuju PT. Aji Jaya Grup, Darren singgah di sebuah toko. Pe
Benar, dengan apa yang dikatakan seorang office girl itu. Bagas ke luar dari hotel dua jam kemudian. Pun dengan ponsel sudah dalam genggaman Darren kembali. Lagi, Darren mengikuti ke mana Bagas pergi. Beruntung, ternyata Bagas kembali ke kantor dan dengan demikian, Darren bisa memasang CCTV di rumah Bagas dengan tenang. Darren kembali ke kosan. Ia menyalin rekaman pada laptop. Lekas, perangkat lunak itu disimpan ke dalam lemari. Setelah dirasa aman, Darren merapikan barang yang ia beli untuk dibawa ke rumah Bagas. Berdiri di depan cermin menatap wajah asli membuat Darren betah. Ya, bagaimana tidak? Memakai kumis dan jenggot membuat wajahnya lengket karena lem. Belum lagi dengan taburan make-up di sekitar mata. Darren menghela napas. "Baiklah, Darren si ganteng, akan berubah menjadi Doni si ... ya, tetep ganteng'lah."Celoteh yang ke luar dari mulut Darren menjadi teman sendiri selama merias wajah. Ponsel Darren berbunyi. "Helena," gumamnya saat melihat nama yang tertera di layar
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad