Benar, dengan apa yang dikatakan seorang office girl itu. Bagas ke luar dari hotel dua jam kemudian. Pun dengan ponsel sudah dalam genggaman Darren kembali. Lagi, Darren mengikuti ke mana Bagas pergi. Beruntung, ternyata Bagas kembali ke kantor dan dengan demikian, Darren bisa memasang CCTV di rumah Bagas dengan tenang. Darren kembali ke kosan. Ia menyalin rekaman pada laptop. Lekas, perangkat lunak itu disimpan ke dalam lemari. Setelah dirasa aman, Darren merapikan barang yang ia beli untuk dibawa ke rumah Bagas. Berdiri di depan cermin menatap wajah asli membuat Darren betah. Ya, bagaimana tidak? Memakai kumis dan jenggot membuat wajahnya lengket karena lem. Belum lagi dengan taburan make-up di sekitar mata. Darren menghela napas. "Baiklah, Darren si ganteng, akan berubah menjadi Doni si ... ya, tetep ganteng'lah."Celoteh yang ke luar dari mulut Darren menjadi teman sendiri selama merias wajah. Ponsel Darren berbunyi. "Helena," gumamnya saat melihat nama yang tertera di layar
Thalita meminta kepada Darren untuk tidak mencampuri urusan rumah tangganya. Ia tidak mau Darren terlibat masalah yang lebih dalam lagi. Sudah cukup satu kali Thalita melakukan kesalahan dengan melibatkan Darren yang mengakibatkan masuknya Darren ke dalam penjara. "Jika Bagas berubah, Kakak mundur!" tegas Darren. "Bagas memang seperti itu, Kak.""Itu gimana? Gila? Tidak waras?"Thalita hanya bisa diam. Pikirannya berkecamuk. Ketika melakukan dengan orang lain, Bagas menikmati bahkan terkesan memuaskan pasangan, tetapi dengannya jangankan memuaskan yang ada hanya menyakiti. Tidak hanya hati yang sakit karena dipaksa menikah, tetapi raga ikut menjadi korban. "Tapi, aku bahagia.""Bohong!""Terarah Kakak!" Thalita memilih pergi. "Kakak akan tetap di sini sampai Kakak melihatmu benar-benar bahagia!" teriak Darren karena Thalita sudah menjauh.Senang. Thalita tidak memungkiri itu. Pun tidak menampik jika dirinya merasa aman dengan hadirnya Darren. Thalita bermonolog, "Terima kasih, Ka
Setelah tiga jam menunggu, akhirnya Darren kembali dengan membawa dua majikannya pulang. "Kenapa mamamu sampai bilang 'jangan sakiti' Thalita? Kamu mengadu, hah?!" tanya Bagas. Thalita mendengkus. "Seorang ibu pasti akan meminta hal yang sama kepada setiap menantu laki-lakinya. Meskipun sang menantu tidak berbuat seperti itu!""Aku tidak percaya!""Terserah!"Bagas menekan kedua pipi Thalita dengan satu tangannya."Oh, jadi kau sudah berani, ya? Tidak takut ancamanku rupanya!"Darren dengan jelas mendengar perdebatan keduanya mengintip melalui spion. Tidak terima Thalita diperlakukan seperti itu, Darren melakukan tindakan. Tin! Tin! Tin! Darren terus menekan klakson seolah-olah di depan sana ada yang menghalangi laju mobil dan ... Ciiitt! Darren menginjak rem secara mendadak membuat Bagas terjerembab jatuh dari kursi. Tentu saja ia melakukan itu dengan perhitungan dan yang terpenting baginya Thalita mengenakan sabuk pengaman. Bagas yang tidak memakai, sudah dipastikan akan seper
Di perjalanan pulang, Helena masih setia dengan bibir mengerucut. Darren bersikap acuh dan tidak peduli sama sekali dengan keadaan wanita itu. Darren hanya ingin cepat sampai karena Bagas ada di rumah, takut terjadi hal tidak diinginkan menimpa Thalita. "Nanti ajak lagi aku main ke sana, ya?" rengek Helena. "Oke!"Helena mendengkus dan melipat kedua tangannya di dada. Ia merasa kesal karena hanya jawaban itu yang ke luar dari mulut Darren. "Kau tidak bertanya padaku?""Tanya apa?" Darren balik bertanya tanpa menoleh. Helena mendelik. "Iiiih ... tidak jadi!"Darren mengangkat kedua pundaknya. "Ya, udah."Sesungguhnya Darren tahu jika Helena sedang merajuk dan ingin dirinya merayu. Akan tetapi, semua itu tidak akan Darren lakukan karena dirinya tidak akan membiarkan Helena terlalu nyaman dengannya. Mobil melesat memecah keramaian ibu kota. Tidak ada kata dari keduanya. Hanya lolongan klakson yang terdengar dan para seniman jalanan yang terlihat hilir mudik berpindah dari mobil satu
Setelah Darren pulang, Angelina mengunci diri di kamar. Tangisnya pecah. Namun, seketika ia mengusap air matanya. Wanita paruh baya itu tidak akan tinggal diam. Ia meraih tas serta kunci mobilnya. "Mau ke mana?" tanya Abimanyu, ketika istrinya menuruni anak tangga. "Jemput Thalita!" jawab Angelina dingin. "Tunggu!" Abimanyu mencekal lengan Angelina. "Jangan lakukan hal bodoh! Pemuda itu bisa saja membohongi kita!" lanjut Abimanyu. Angelina menarik lengannya. "Tidak! Hatiku berkata benar. Putri kita sedang kesakitan di sana!"Angelina melanjutkan langkahnya. "Jika tetap pergi, aku pastikan kau tidak bisa melihat lagi putrimu!"Angelina menghentikan langkah dan berbalik. Sorot matanya tajam penuh dengan kebencian."Kau mengancam?" tanya Angelina. "Kau tau persis bagaimana aku. Sekadar ancaman atau bukan tentu kau bisa membedakannya!"Angelina mendekati Abimanyu, kemudian berkata, "Kau tak ubahnya seperti ayah tiri yang tidak menginginkan kehadiran anak tirinya!"Bibir Angelina be
Pagi menjelang. Thalita sudah membaik. Hanya saja masih terlihat lemas dan wajah pucat pasi masih tergambar jelas. "Sarapan dulu, Nyonya," tawar Inah, sambil menyimpan semangkuk bubur di atas nampan. "Iya, terima kasih, Bi. Oh, iya, apa Bagas sudah berangkat ke kantor?"Inah menepuk kening. "Sepertinya belum bangun, deh, Nyonya.""Loh, memangnya dia tidur di mana?"Inah tampak ragu untuk menjelaskan. Namun, akhirnya Inah bercerita tentang semua yang sudah terjadi. Thalita bergeming. Inah menggenggam tangan Thalita. "Jujur, Bibi senang dengan hadirnya Nak Darren di sini."Thalita menatap Inah. "Bibi sudah tau dia siapa?""Iya, dia sendiri yang bercerita karena misinya di sini yang tak lain ingin melindungi Nyonya. Andai saja suami Nyonya itu dia."Thalita tersenyum samar. "Tapi, takdir berkata lain, Bi."Inah menyudahi pembicaraan karena melihat Thalita murung. ART itu memilih membujuk Thalita untuk makan. Inah bernapas lega karena sang majikan menerima suapan darinya. Brak! Daun
"Stop!" teriak Helena, saat turun dari mobil. Ya, rupanya keluarga Sadewo dan Abimanyu turut ke rumah Bagas. "Hentikan, Kak!" Helena kembali berteriak karena Bagas tetap brutal. Sadewo dan Abimanyu melerai. "Pergi kau dari sini! Dasar pengganggu!" teriak Bagas. Tanpa bicara, Darren masuk ke paviliun hendak membereskan pakaiannya dan barang lainnya. "Uhuk! Sialan! Tunggu saja saat itu tiba, Bagas. Aku pastikan Thalita jatuh ke tanganku!"Pakaian dan barang lainnya sudah masuk dalam koper. Darren menaiki motornya di saksikan oleh Sadewo dan lainnya. "Ada ap-" Rupanya Thalita dipapah oleh Inah melihat situasi di luar karena mendengar kegaduhan. Thalita tercengang melihat kondisi Darren. Tidak ia pungkiri bahwa hatinya terasa sakit. Ingin rasanya ia menangis. "Sayang, kamu sakit apa, Nak?" tanya Abimanyu, menghampiri memecah perhatian Thalita. "Lita baik-baik saja, Pa," jawab Thalita santai.Darren melihat interaksi ayah dan anak itu, lalu berkata, "Tuan Abimanyu, jika Anda tida
Setelah menyelesaikan administrasi, Rossi dengan setia menunggu di luar ruang operasi. Tidak ada sanak saudara yang menemani karena memang ia hanya hidup berdua dengan Darren. Lantunan doa tak henti Rossi panjatkan. "Maaf, Nyonya, ini barang milik Tuan Darren," kata salah seorang perawat. Rossi menerima dua koper dan ponsel, lalu berkata, "Terima kasih."Tanpa dikomando, derai air mata membasahi pipi. Rossi mengusap air matanya saat melihat lampu ruang operasi mati. Wanita paruh baya itu berdiri di dekat pintu menunggu dokter ke luar.Tidak berselang lama, seorang dokter ke luar dengan memberikan keterangan pasiennya. "Bagaimana putra saya, Dok?" tanya Rossi. "Operasinya lancar. Hanya saja ...""Kenapa, Dok?""Pasien mengalami koma."Tubuh Rossi lemas dan ambruk ke lantai. Sang dokter dibantu oleh seorang suster memapah Rossi duduk di kursi. Dokter itu mengatakan jika Darren masih dalam pengawasan dan ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Darren. Rossi mulai tenan
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad