Hangat sinar mentari pagi berhasil masuk ke dalam kamar tatkala jendela terbuka lebar. Tangan kanan menggeliat seiring dengan tangan kiri yang menutup mulut karena menguap. Dialah Darren. Sudah menjadi kebiasaan bagi dirinya ketika bangun tidur, berdiri tepat di balik jendela kaca sambil menatap lalu-lalang kendaraan.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya.
"Sebentar!" seru Darren sambil melangkah untuk membuka.
"Eh, pagi, Bang?" sapanya. "Tumben ke sini, ada apa?"
"Boleh bicara sebentar?" Dialah Reyhan --seorang dokter sekaligus pemilik bengkel.
Darren mengangguk dan mengikuti langkah Reyhan. Mereka duduk di sofa saling berhadapan.
"Sepertinya serius. Ada apa?" tanya Darren lagi.
Reyhan mengatakan jika dirinya akan pindah ke Indonesia. Ayahnya meminta agar Reyhan memegang rumah sakit milik keluarga.
"Lalu, siapa yang megang bengkel ini, Bang?"
Sesungguhnya Reyhan menginginkan Darren yang mengambil kendali. Selain jujur, kinerja Darren patut diacungi jempol walau skill Darren didapat secara otodidak.
"Nanti keponakanku datang. Dan ini gaji plus bonus dariku," ucap Reyhan sambil memberikan amplop berwarna putih.
Darren melihat apa yang ada di dalam amplop karena memang tidak disegel.
"I-ini ... gak salah, Bang?" Mata Darren terbelalak melihat banyaknya lembaran uang.
Reyhan tersenyum, kemudian menepuk pundak Darren. "Itu hakmu. Kinerjamu sangat bagus. Setiap hari bengkel ini tidak sepi bahkan melebihi target."
Bagaimana tidak? Customer yang datang ke bengkel itu rata-rata mahasiswi yang sekadar ingin melihat Darren dengan alasan motor atau mobil mereka butuh servis. Ketampanan Darren memang menyedot perhatian.
Darren terkekeh-kekeh. "Kebanyakan yang mau diservis hatinya, Bang."
Pria berbeda usia tiga tahun itu pun tertawa. Tidak membuang waktu lama, Reyhan berpamitan. Saling memeluk menjadi tanda perpisahan mereka. Pun kata terima kasih atas kebaikan Reyhan terucap dari mulut Darren. Sejak kedatangannya ke Amerika, Reyhan menampung Darren dan menjadikannya sebagai karyawan. Tidak hanya itu, Reyhan menganggap Darren sebagai adiknya.
Selepas kepergian Reyhan, Darren termangu memandangi amplop. Tanpa ia ketahui, Thalita tengah menatap. Gadis itu berdiri di bibir pintu setelah saling sapa dengan Reyhan di pintu gerbang.
"Apa yang terjadi?"
Darren melihat ke arah suara. "Eh, Sayang. Sini, masuk."
Thalita tersenyum dan masuk, lalu duduk tepat di samping Darren.
"Bang Rey sepertinya mau pergi jauh. Aku liat tadi bawa koper," kata Thalita.
"Bang Rey mau ke Indonesia," ucap Darren.
Darren menceritakan apa yang sudah Reyhan katakan kepadanya termasuk uang yang Reyhan beri.
"Waah, semoga nanti kita bisa bertemu lagi sama Bang Rey," kata Thalita.
Darren mengangguk. "Ya, semoga."
Pun Darren mengatakan jika ia bingung dengan uang yang ada di dalam amplop akan digunakan untuk apa, membuat Thalita menepuk kening.
"Astaga, Kakak Sayang ... gunakan uang itu ongkos pulang atau shoping. Terserah Kakak."
Darren tersenyum malu. "Maklum, Kakak belum pernah memegang uang sebanyak ini. Apalagi ini dalam bentuk dollar. Dan untuk masalah pulang, sebetulnya tabungan Kakak sudah cukup."
Thalita mengernyit. "Lah, lalu?"
"Uang Kakak sudah terkumpul sekitar enam bulan yang lalu. Tapi, Kakak nunggu kamu biar kita pulang bareng. Kalo Kakak pulang lebih dulu, siapa nanti yang jagain kamu di sini? Dan ..."
"Dan apa?"
Darren menggenggam tangan Thalita. "Takut ada bule yang godain kamu."
Thalita terkekeh-kekeh. "Waw, terima kasih atas perhatiannya. Tapi, kasian ibunya Kakak. Kalian sudah lama tidak bertemu. Pulanglah, toh acara wisudaku minggu depan."
Memang, Darren sudah berbohong kepada Rossi, tetapi pria itu yakin jika Rossi akan mengerti dengan alasan yang ia berikan nanti dan tentu saja Darren ingin menghadiri acara wisuda sang kekasih. Jika ia pulang terlebih dahulu, tidak mungkin baginya kembali ke Amerika sekadar untuk menghadiri wisuda saja. Lagi, terhalang ongkos.
Ponsel milik thalita berbunyi. Gegas ia merogoh benda pipih itu di dalam tas. Thalita memandang Darren saat tahu siapa yang menghubunginya.
"Siapa?"
"Ba-Bagas, Kak," jawab Thalita gugup karena merasa tidak enak hati kepada Darren.
Darren tersenyum, lalu berkata, "Angkat saja."
Thalita mengangguk, lalu menerima panggilan. "Halo," sapanya.
Darren memberi isyarat jika Thalita harus menyalakan pengeras suara. Wanita itu pun mengikuti perintah Darren.
"Halo, Sayang. Apa kabar?" tanya Bagas.
"Ba-baik. A-ada apa?"
Bukannya menjawab, Bagas balik bertanya. "Kamu gak lagi sakit, kan?"
Thalita menatap Darren dan menarik napas dalam. "Enggak. Kenapa emangnya?"
Bagas mengatakan jika suara Thalita bergetar dan terbata. Namun, Bagas segera mengalihkan pembicaraan.
"Aku ditugaskan papamu untuk menghadiri acara wisudamu, Sayang. Kau senang, kan?"
Thalita menepuk kening. "Memangnya papa ke mana?"
"Ada rapat penting sama papi. Mungkin mamamu yang akan ikut."
Mau tidak mau Thalita menjawab senang, walau kenyataannya kehadiran Bagas tidak diharapkan.
"Sampai ketemu nanti, Sayang. Love you," ucap Bagas.
"Oke!" Thalita mematikan sambungan telepon sepihak.
Ting!
Bunyi pesan singkat masuk seiring dengan Thalita menyimpan ponsel di atas meja.
"Astaga! Apalagi, sih?!" gerutunya.
Rupanya Abimanyu --ayah Thalita, yang mengirim pesan. Permintaan maaf tertulis di sana. pun ia menyarankan agar sang putri kembali ke tanah air setelah acara wisuda selesai saja karena Bagas akan menggunakan pesawat jet milik Sadewo --ayah Bagas. Pesan balasan pun Thalita kirim. Ia menyetujui saran Abimanyu.
Melihat mimik Thalita yang berubah-ubah, membuat Darren bertanya.
"Ada apa? Tadi cemberut setelah menerima panggilan dan sekarang senyum-senyum."
Thalita terkekeh-kekeh. "Intinya kita akan pulang bareng, Kak. Sana mandi!"
Darren mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian pergi untuk mandi. Thalita, dengan hati senang membuatkan Darren sarapan lengkap dengan secangkir cokelat panas. Menyediakan sarapan serta menikmatinya bersama sudah Thalita lakukan sejak mereka menjalin hubungan. Thalita akan berada di sana sampai bengkel beroperasi setelah itu ia akan pergi kuliah. Namun, tidak semenjak kuliahnya selesai. Thalita akan menemani Darren sampai bengkel tutup.
***
Hari yang ditunggu tiba. Hari dimana perayaan atau pelantikan kelulusan mahasiswa perguruan tinggi sudah di depan mata.
"Cantiknya putri Mama," puji Angelina --ibu Thalita, saat melihat wajah putrinya selesai dipoles oleh seorang MUA di sebuah salon.
Berbalut kebaya modern warna peach dengan rambut digerai gaya half updo ditambah dengan jepit rambut berbentuk bunga menambah penampilan Thalita semakin memesona.
"Mama juga cantik. Makasih udah mau direpotin membuat kebaya untukku, Ma."
"Sama-sama, Sayang," ucap Angelina sambil mengusap pundak sang putri. Sudah menjadi impian Angelina yang merupakan seorang designer membuatkan dress atau gaun untuk dikenakan Thalita dihari bersejarahnya.
"Di mana Bagas, Ma?"
Angelina menjawab jika Bagas masih di hotel dan akan menemui Thalita di kampus.
"Kenapa? Kangen, ya?" goda Angelina.
Thalita tersenyum kecut. "Tidak. Cuman mau nyuruh bawain koper ke mobil. Bukankah kita akan langsung pulang?"
"Urusan koper belakangan, Nak. Fokus sama acaramu saja."
Thalita mengangguk sebagai jawaban.
***
Di kampus, Darren tampak gagah dengan stelan kemeja putih dilapis jas berwarna navy. Pria tampan yang tak lain adalah alumni kampus itu tengah duduk menunggu kedatangan Thalita dekat area parkir. Tidak lama berselang, mobil hitam nan mewah terparkir tepat dihadapannya.
Darren menyipit memperhatikan siapa yang akan turun.
Brug!
Suara pintu mobil yang tertutup cukup kencang tidak membuat Darren mengalihkan pandangan.
"Kakak!"
"E-eh, ka-kamu cantik sekali." Darren terperanjat saat sebuah tangan melambai tepat di depan mata.
Thalita terkekeh-kekeh. "Ciee, yang terpesona."
Darren memalingkan muka, kemudian berdiri. Matanya mengisyaratkan tanya kepada Thalita, siapa wanita paruh baya yang ada di sampingnya.
"Oh, iya, kenalin, Kak, ini Mamaku," ucapnya kepada Darren.
"Ma, ini Kak Ge. Yang aku ceritain sama Mama tadi," lanjut Thalita kepada Angelina.
Sepanjang perjalanan menuju kampus, Thalita dengan antusias menceritakan siapa Darren, kecuali mengenai hubungannya.
Saling sapa dan berjabat tangan antara Darren dan Angelina membuat Thalita senang. Namun, Angelina terpaku melihat wajah Darren.
"Tante, eh, maaf ... Nyonya baik-baik saja, kan?" tanya Darren.
Angelina tergagap sambil melepaskan jabatan. "Si-siapa nama orang tuamu?"
"Nama ibuku ad-"
"Ayok, kita masuk," ajak Thalita memotong ucapan Darren ketika mendengar seorang pembawa acara mengatakan bahwa acara akan segera dimulai.
Darren menyetujui, sedangkan Angelina mempertanyakan keberadaan Bagas yang tentu saja Thalita tidak mengetahui.
"Ah, biarkan saja, Ma. Kalaupun dia niat mau menghadiri acara ini, seharusnya datang bersama kita," kata Thalita, kemudian melangkah pergi sambil menarik tangan Darren.
Angelina menghela napas, lalu mengikuti putrinya melangkah.
Acara dimulai. Semua mahasiswa dan para tamu yang hadir mengikuti rangkaian acara dengan khidmat. Riuh tepuk tangan menggema tatkala nama Thalita disebut sebagai salah satu mahasiswi terbaik dengan predikat cumlaude. Darren dan Angelina merasa bangga akan prestasi yang Thalita raih.
"Putriku memang cerdas. Sedari kecil, teman seusianya masuk taman kanak-kanak, tapi dia memaksa ingin masuk SD," ucap Angelina sambil menatap putrinya di panggung.
Darren yang mendengar hal tersebut hanya tersenyum sekaligus bangga.
"Oh, ya, siapa nama ayahmu?"
Darren tersenyum. "Ayahku sudah tiada, Nyonya. Memangnya kenapa?"
Angelina menggeleng. "Tidak, hanya saja jika aku perhatikan ... wajahmu mirip dengan seseorang."
Darren hanya ber-oh ria saja. Pun tidak bertanya lebih lanjut.
Akhirnya acara selesai.
Angelina memeluk Thalita erat sambil memberikan selamat atas prestasi yang didapat.
Darren mengeluarkan satu tangkai bunga mawar dari saku jasnya dan ia berikan kepada Thalita. "Selamat, ya. Akhirnya kamu lulus juga."
Thalita menerima bunga mawar itu, lalu menciumnya. "Makasih, Kakak."
Darren tersenyum. "Maaf, Kakak gak bisa kasih kado apa-apa sekarang, Sayang."
Thalita dengan tegas mengatakan, jika dirinya tidak menginginkan apa pun kecuali kehadiran Darren.
"Ekhm!" Angelina mengalihkan perhatian Thalita dan Darren yang menurutnya terlihat romantis.
"Ma-maaf, Nyonya," kata Darren kepada Angelina.
"Kakak ke toilet dulu," sambungnya kepada Thalita.
***
Di toilet, Darren berdiri tepat di depan cermin sambil mengusap wajahnya kasar.
"Astaga! Kenapa mulut ini tidak bisa direm. Seenaknya saja bilang sayang di depan mamanya Thalita."
Tidak mau ambil pusing, Darren membasuh wajah, kemudian mengelapnya dengan sapu tangan dan ke luar.
Di luar, Darren dikejutkan dengan pemandangan yang menurutnya menyesakkan hati. Dadanya bergemuruh. Ingin rasanya ia marah, tetapi dirinya sadar posisinya saat itu, yakni perebut pacar orang. Bukan salah cinta, tetapi salah dirinya yang sedari awal bertemu tidak menanyakan status.
Menarik napas dalam dan mengeluarkannya kasar. Darren melangkah melewati dua sejoli yang mungkin sedang dilanda rindu, menurutnya.
"Maaf, sebaiknya kalian lakukan di tempat lain saja. Di sini menghalangi jalan," ucap Darren ketus.
Ya, mereka adalah Thalita dan Bagas. Darren melihat dengan jelas jika mereka tengah berciuman.
Langkah Darren semakin cepat. Samar ia mendengar jika Thalita mencaci Bagas karena tidak menerima atas perlakuannya.
"Kakak, tunggu!" seru Thalita, tetapi Darren tidak memedulikan. Pun Bagas menahan Thalita untuk pergi.
***
Darren sudah kembali ke bengkel. Tentu saja setelah berpamitan kepada Angelina.
Duduk di tepi ranjang sambil menatap foto Thalita dalam ponsel.
"Apa ini rasa cemburu?" gumamnya. "Ya, aku cemburu kepada jodoh orang," lanjutnya, lalu melempar ponsel ke kasur.
Ting!
Ponsel berbunyi pertanda pesan singkat masuk. Darren kembali meraih ponselnya.
"Kakak, please ... jangan berfikir yang macem-macem. Tunggu aku di bengkel. Jangan ke mana-mana!" isi pesan dari Thalita.
Darren tersenyum masam, kemudian memilih mengepak pakaiannya. Ia berencana akan kembali ke tanah air esok lusa.
Satu jam berselang, terdengar suara ketukan pintu. Gegas Darren membuka. Ia mencoba tersenyum saat melihat Thalita di balik pintu.
"Kakak marah?" tanya Thalita.
"Tidak."
"Tapi, kenapa tadi aku panggil malah pergi begitu saja?"
Darren menghela napas. "Mana mungkin Kakak mengganggu dua sejoli yang sedang ..."
"Cukup!" seru Thalita.
Di saat mereka berdebat, Bagas menghampiri. Ia menarik tangan Thalita agar segera naik ke mobil. Sangat jelas terpancar dari sorot matanya pria itu tidak suka kepada Darren.
"Ayok, Mamamu menunggu," kata Bagas.
Thalita mengajak Darren untuk pulang ke tanah air, tetapi Bagas melarang.
"Apa-apaan kamu? Enak saja mengajak laki-laki lain pulang bersama kita," ketus Bagas.
Thalita menarik tangan yang digenggam Bagas. "Kakak Ge ikut dan aku pun pulang! Atau tidak sama sekali! Pilih saja yang mana?!"
Bagas geram. Ia mengatakan tidak suka jika Thalita dekat dengan laki-laki lain.
Darren meminta Thalita untuk pulang terlebih dahulu tetapi Thalita bersikeras ingin pulang bersamanya. Akhirnya, setelah perdebatan panjang, Bagas mengalah. Namun, selama di perjalanan, Darren harus bisa menahan cemburu. Melihat gelagat Bagas yang genit tentu saja tidak akan membiarkan Thalita jauh darinya, pikir Darren.
Keputusan sudah bulat. Darren akan kembali ke tanah air bersama Thalita. Dua koper besar siap masuk bagasi mobil, tetapi Darren terus menatap ke arah bengkel. Tempat itulah yang mempertemukannya dengan Thalita. Saat itu Thalita datang mengantar temannya untuk memperbaiki motor. Diamnya Thalita justru menarik perhatian Darren daripada temannya yang terkesan ganjen, menurutnya. Modus teman Thalita yang datang setiap hari dengan dalih motor atau mobilnya yang rusak justru menumbuhkan benih-benih cinta antara Darren dan Thalita. Kisah cinta pun terjalin. Namun, kisah itu akan berakhir di tempat yang sama pula, pikir Darren. "Mau ke mana?" tanya Bagas saat melihat Thalita membuka pintu mobil. "Ck! Mau samperin Kak Ge!"Suara sepatu yang beradu dengan lantai memecah lamunan Darren. "Kak, ada apa?" tanya Thalita. Darren menoleh, lalu mengembuskan napas kasar. "Tempat ini menjadi kenangan terindah sekaligus memilukan buat Kakak."Thalita mengernyit. "Maksudnya?"Darren tersenyum, kemudia
Berkemeja putih dan celana panjang hitam. Darren turun dari taksi yang terparkir di loby sebuah gedung. Matanya menyusuri sekeliling dengan tatapan penuh kagum. Ya, Darren tiba di sebuah perusahaan besar yang Thalita tunjukkan. Rasa grogi menyelimuti tatkala langkahnya tiba di meja resepsionis."Pagi, Mbak," sapa Darren.Senyum ramah dan balasan sapaan pun Darren dapatkan dari sang resepsionis. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Bisa bertemu dengan Tuan Bagas?""Sudah membuat janji?""Tentu.""Anda Darren Gerald?""Iya, Mbak.""Silakan langsung saja. Tuan Bagas sudah menunggu." Sang resepsionis menunjukkan arah ruangan Bagas, dimana anak pemilik perusahaan itu berada di lantai tujuh.Tiba di lantai tujuh, Darren disuguhkan dengan banyaknya pelamar. Duduk menunggu panggilan untuk interview tentu saja pengalaman kali pertama baginya. Meskipun Thalita menjamin dirinya akan diterima, tetap saja Darren merasa grogi. Setelah sekian lama menunggu, tiba saatnya Darren masuk ke dalam ruangan
Memakai jas dan dasi, duduk di kursi empuk, serta mendapatkan gaji yang cukup besar, memanglah impian Darren sedari dulu. Kini, impian itu terwujud. Ia akan menggunakan kesempatan sebaik mungkin, walaupun ada misi tertentu dibalik itu. Dihari kedua, semangatnya kian bertambah karena Thalita akan datang. Pagi itu Darren sedang mematut di depan cermin sambil merapikan rambut. "Ganteng juga," gumamnya, kemudian ia terkekeh-kekeh. "Kayaknya lebih cocok jadi manager, deh, daripada asisten," celetuknya lagi. Ponsel berdering mengalihkan perhatiannya. "Ibu!" ucapnya saat tahu siapa yang menelepon. "Halo, Bu.""Kamu di mana, Nak? Kenapa tidak pulang?"Darren meminta maaf karena belum mengabari Rossi perihal pekerjaannya. Semalam, dirinya kerja lembur dan mencari tempat kos hingga larut."Syukurlah, Nak. Maaf, Ibu juga baru menghubungimu. Ibu sibuk menerima pesanan. Oh, ya, kamu kerja di kantor?""Iya, Bu. Tepatnya di PT. Aji Sadewo Grup, perusahaan terbesar yang ada di ibu kota. Ibu sena
Sepulang Thalita dari kosan hingga malam menjelang, Darren hanya diam. Ia tidak rela jika Thalita jatuh ke tangan pria seperti Bagas. Namun, apalah daya? Secara karir dan harta ia kalah saing.Mata sipit itu melihat jam di dinding. Sudah jam dua dini hari. Darren memaksakan diri untuk tidur. Tepat pukul tujuh pagi, Darren terbangun dan bersiap untuk ke kantor. ***Tiba di kantor, Darren dikejutkan dengan hadirnya Helena. Gadis itu sedang duduk cantik di kursi kebesaran Darren. "Sedang apa kau di sini, Nona?""Menunggu kamu, Tampan," jawabnya santai sambil memutar kursi yang ia duduki ke kiri dan kanan. Darren bersikap acuh. Ia menyimpan tasnya di atas meja, menggulung kemejanya sebatas sikut, kemudian membawa tablet serta laptop dan duduk di sofa. Penampilan Darren seperti itu justru membuat Helena semakin jatuh hati. "Sebaiknya jauhi Thalita!" seru Helena, membuat Darren melihat ke arahnya. Darren menghela napas. "Jika maksud kedatangan Anda ke sini hanya untuk mengatakan itu,
Jam kerja kantor sudah usai. Pun dengan data pengeluaran sudah selesai Darren cek. Sementara, ia mengesampingkan perkara tersebut karena itu menyangkut masalah Bagas. Penting baginya adalah perkara Thalita. Sore itu langit tampak gelap karena awan hitam bergelayut manja di sana. Tidak lama kemudian, angin kencang membawa bulir-bulir air hujan menabrak jendela kaca dimana Darren tengah berdiri. Mau tidak mau membuat dirinya tertahan di kantor. Pria itu bergeming, menatap lekat setiap tetesan hujan yang turun seolah-olah merenungi nasib percintaannya yang akan berujung tangis. "Tidak! Hujan adalah rezeki yang Tuhan turunkan. Tak patut aku samakan dengan nasibku," gumamnya. Hujan sudah reda, Darren pun meninggalkan kantor. ***Kaki jenjang Darren menapaki gang sempit, melewati kubangan-kubangan kecil di sekitar. Langkahnya kian cepat karena langit kembali menurunkan hujan. Tiba di kosan, Darren bergegas membuka pakaiannya yang basah. Ponsel yang ia simpan di atas meja berdentang p
Pagi menjelang. Tepat pukul 07:30 WIB, Darren sudah tiba di loby kantor. Perusahaan yang bergerak dalam bidang properti itu banyak dipenuhi karangan bunga serta karpet merah menjadi alas di tangga depan. "Pagi, Mbak," sapa Darren kepada resepsionis. "Mau ada acara apa?""Loh, memangnya Tuan Bagas tidak memberitahu Anda?".Darren mengernyit. "Tidak. Ada apa memangnya?""Penyambutan Tuan Sadewo, pemilik perusahaan ini. Setelah dua tahun di negeri orang mengurus bisnis, hari ini beliau kembali."Darren mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh. Jadi, selama beliau tidak ada, siapa yang memegang kendali?""Tentu saja orang kepercayaannya.""Kenapa tidak putranya?"Sang resepsionis hanya mengangkat kedua pundaknya tertanda tidak tahu. "Mari, kita berbaris, Tuan."Semua petinggi berjajar dari mulai tangga masuk sampai ke dalam loby. Selang beberapa menit, mobil hitam nan mewah datang. Dialah Sadewo dan Bagas. "Selamat datang kembali, Tuan.""Lama tidak berjumpa, Tuan.""Apa kabar, Tuan?"Berb
Sepeninggal Marisa, Sadewo memberondong Bagas dengan berbagai pertanyaan mengenai dokumen. Walhasil, jawaban Bagas tidak sesuai dengan hasil revisi. "Kapan kau bekerja dengan serius, hah?!" bentak Sadewo. "Lihatlah asistenmu! Dia lebih pintar darimu bahkan dialah yang lebih cocok menjadi seorang manager!"Bagas bergeming. Rahangnya mengeras sambil menatap tajam ke arah Darren. Hal yang paling Bagas benci sedari kecil kembali menyapa. Dimana Sadewo selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Tanpa kata, Bagas berlalu. Pun dengan Darren yang berpamitan untuk kembali bekerja.Menuruni beberapa anak tangga dan melewati lorong menuju ruangan. Dari kejauhan, Darren melihat pria yang mengaku berhubungan dengan Marisa itu masuk ke dalam ruangan Bagas. Langkah Darren terhenti saat melewati ruangan itu. Terdengar suara pecahan kaca. Mungkin Bagas melempar barang, pikirnya. Lagi, pintu yang tidak tertutup rapat membuat Darren dengan leluasa menguping. "Darren sialan! Awas saja kau!" teria
Darren dan Sadewo sudah kembali ke kantor. Baru saja masuk ruangan, ponsel Sadewo berdering. Rupanya Abimanyu menghubungi perihal foto tak senonoh itu. Abimanyu mengatakan jika Bagas berhasil meyakinkan dirinya. "Bagas datang ke sana?" tanya Sadewo. "Iya, tadi dia ke sini dengan pacarnya Marisa," jawab Abimanyu. "Putramu berhasil membuktikan jika dirinya tidak bersalah. Jadi, perjodohan tetap berlanjut," sambung Abimanyu. "Tentu. Semoga ke depannya tidak ada lagi masalah.""Sepertinya kita harus hati-hati dengan pemuda bernama Darren."Mendengar nama Darren membuat Sadewo mengernyit. "Darren?""Iya. Asisten Bagas."Abimanyu juga mengatakan bahwa Bagas mencurigai Darren. Sikap Thalita berubah setelah putrinya itu mengenal Darren sewaktu kuliah di luar negeri. Abimanyu meyakini jika Darren akan merusak hubungan Bagas dan Thalita."Bisa jadi si Darren itu mendekati putriku karena harta.""Tidak mungkin," sanggah Sadewo."Aku lihat anak itu baik, bahkan aku mempercayakan dia untuk mem
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al
Pesta mewah itu telah usai. Pesta yang tak hanya memberi kebahagiaan untuk Darren dan Thalita saja, melainkan semua tamu undangan. Rasa kantuk dan lelah sudah pasti menyergap pasangan itu. Bagaimana tidak? Pesta itu berlangsung hingga malam hari. "Tidur, Sayang," kata Darren. Thalita tersenyum. "Aku memang lelah dan ngantuk. Tapi, semua rasa itu kalah dengan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, Kak. Mata ini seolah-olah menolak untuk terpejam. Aku tidak sedang bermimpi, kan?"Darren tersenyum penuh arti. "Coba pejamkan matamu."Thalita menuruti perintah Darren tanpa menaruh curiga. Bibir Darren membekap bibir Thalita, bahkan gigitan kecil pria itu berikan membuat Thalita membuka mulutnya. Tidak membuang kesempatan, dengan leluasa lidah Darren menyusuri setiap rongga mulut Thalita. Ciuman itu kian rakus saat tangan Darren memegang bagian dada Thalita. Darren melepaskan ciuman yang menyisakan napas Thalita yang memburu dan bibir yang basah. "Tidak mimpi, kan?" tanya Darren. Th
Muach ... muach ... muach!"Kecupan bertubi-tubi Darren sematkan di bibir Thalita. "Sayang, bangun!""Heemm ...." Thalita merubah posisi tidurnya tanpa membuka mata. Darren tersenyum sambil membetulkan selimut yang membungkus tubuh istrinya itu. Belaian penuh kasih sayang pun Darren usapkan pada pucuk kepala."Maaf, kamu pasti lelah," gumam Darren. Bagaimana tidak? Permainan yang katanya malam pertama itu berakhir pada dini hari. Darren memutuskan untuk membersihkan diri. Setelah ritual mandi selesai, rupanya Thalita belum juga bangun. Pria itu tidak mempermasalahkan.Setelah berpakaian rapi, Darren pergi ke dapur."Bi, tolong siapkan saja sarapan untuk istriku. Dia tidak masak pagi ini.""Baiklah, Tuan. Saya lebih senang seperti ini. Menyiapkan sarapan untuk majikan, daripada hanya melihat. Malu, Tuan."Darren tersenyum. "Anggap itu bonus untuk Bibi. Pekerjaan Bibi berkurang, walaupun sedikit. Oh, ya, untuk saya tolong siapin sandwich saja."Darren kembali ke kamar dan sang ART pu
Kamar bernuansa putih, selang infus dan oksigen menjadi pemandangan Rossi malam itu. Terlebih lagi suara dari mesin pendeteksi jantung membuat suasana bertambah tegang. Ya, tepat di hadapannya Sadewo terbaring tak sadarkan diri. Ia mengalami kecelakaan tunggal. Wanita paruh baya itu hanya mampu menatap wajah Sadewo yang pucat, tetapi masih tampak tampan, menurutnya. Tidak terasa air mata pun menetes. "Sadarlah, Mas. Aku Mohon ...." Rossi berucap tanpa ia sadari. Semula, Rossi akan menghubungi Darren. Akan tetapi, ia urungkan karena tidak mau mengganggu kebahagiaan sang putra. Sudah tiga jam, Sadewo tak kunjung sadar. Ada rasa sakit dalam hati Rossi melihat kemalangan yang menimpa mantan suaminya itu. Malam kian larut. Rasa kantuk menyergap. Rossi memutuskan untuk tidur sembari duduk di kursi dekat dengan Sadewo.Usapan di kepala membuat Rossi perlahan membuka mata. "Mas, Mas sudah sadar?!" serunya sambil menggenggam tangan Sadewo. Sadewo tersenyum. "Terima kasih telah sudi berad