Duniaku tidak sesempit urusan nasabah, jumlah saldo dan segala urusan kantor berlantai tiga.
Tidak hanya itu. Di kepalaku, di pundak dan segumpal darah di balik dada ini menyimpan kesakitan luar biasa. Termasuk bakal janin di dalam perutku ini. Semuanya terasa sulit diurai, sulit dimengerti oleh diri sendiri apalagi orang lain.
Logikaku nyaris mati bahkan pendidikan selama enam belas tahun serasa tidak berguna.
Oleh sebab itu akhir-akhir ini aku sering mengabarkan kematian dari akhir sebuah masalahku. Meskipun aku tahu itu sebuah kesalahan fatal. Tidak ada satupun manusia yang mengerti mengapa aku begitu rumit.
Aku merasa kehilangan diriku yang sesungguhnya.
Yollanda manusia tanpa jiwa.
Akan tetapi ketika pria yang mengaku bernama Ben, mengatakan jika ia mengerti keadaanku berat, satu persen beban di pundakku mulai lepas. Dan aku mulai ragu untuk loncat jembatan tempat aku berpijak sekarang. Membayangkan jika aku tidak mati, tapi hanya patah tulang. Itu justru semakin menambah sengsara hidupku sendiri.
Ben tersenyum penuh percaya diri, sambil membentangkan tangan dia berkata, “tarik napas dalam-dalam keluarkan dari mulut,” ucap Ben sambil mempraktekan ucapanya sendiri. Dan diulang tiga kali.
Dan ajaibnya, aku mengikuti arahan itu dengan tangan yang masih berpegang erat dengan tiang jembatan dan pandanganya tidak lepas dari pria yang berdiri tepat di sebelahku.
Aku benar-benar tidak fokus dengan rencana bunuh diri yang sudah aku yakini sebagai solusi dari semua masalah yang menderaku.
“Nona, percayalah padaku. Manusia tempatnya masalah. Kamu tahu aku juga punya masalah berat. Motor yang aku beli satu bulan lalu hancur. Masuk sungai. Temanku memaksa meminjam padahal dia tidak biasa mengendarai sepedah motor.”
“Aku tidak peduli!” teriakku keras.
Ben terus menerus ngoceh tanpa arah yang jelas. Sambil melangkah mendekati diriku yang masih erat berpegang tiang pagar jembatan. “Biarkan aku cerita masalahku yang berat itu Nona.” Ben diam sesaat lalu kembali berkata, “padahal temanku itu orang kaya. Dia punya mobil banyak. Mengapa masih tertarik dengan motor murahan. Bagaimana nanti aku harus bilang ayahku jika motor pemberiannya hancur?”
Dalam hitungan detik tiba-tiba Ben dengan gerakan secepat kilat meraih tubuhku dengan kasar, menyeret turun dari pagar jembatan. Aku terjatuh tepat di atas tubuh Ben. Dan beban lima puluh lima kilo cukup membuat Ben memekik kesakitan. Aku tak peduli.
Cepat-cepat aku menyingkir dari tubuh Ben. Lalu aku memeluk, mencium lutut dan menangis kencang. Tubuhku bergetar hebat, antara lemas dan kedinginan. Jangan tanya bagaimana perasaanku, aku seperti manusia tanpa logika. Persis orang gila yang baru saja masuk ke rumah sakit jiwa.
“Kamu sinting? Mau bunuh diri? Kalau kamu mati gimana?” Kini Ben yang memekikku keras semakin membuatku tertekan.
Sesaat tangisku terhenti, mataku melotot tajam kearah Ben, penuh kemarahan aku berkata, “biar aku mati bersama bayi dalam perutku ini.” Suaraku jauh lebih keras daripada Ben.
Saat itu Ben menatapku dalam, jelas aku melihatnya meskipun cahaya lampu tidak terlalu terang. Dia tampak menatapku iba . “Tenang … tenang … tenang semua masalah hadir bersama solusi?” Suaranya berubah seratus persen lebih lembut.
“Diam kamu! Pergi sana!” Aku kembali bicara setengah teriak kasar.
Kini aku sadar, jika pria itu sengaja mengarang cerita untuk mengalihkan fokusku bunuh diri. Hingga dia punya kesempatan menarik tubuhku dari pagar jembatan.
Malam itu aku pasrah, aku sudah tidak punya tenaga untuk terus pura-pura. Aku tidak peduli Ben berfikir buruk tentangku. Karena aku paham benar jika diriku sudah dalam balutan kotoran. Toh kami tidak saling mengenal, aku yakin dia tidak akan peduli denganku.
Aku kembali menangis frustasi, dan pria yang baru aku kenal itu hanya diam duduk di sampingku, atau justru dia juga bingung harus berbuat apa melihat aku menangis seperti seperti bocah kehilangan ibunya.
Nyaris setengah jam Ben menunggu tangisku reda. Tanpa bertanya dan menyentuhku, dia dengan sabar duduk menenamiku. Tak lama kemudian aku tersadar dan tangisku reda, dengan sigap dia memberikanku sebotol air mineral padaku.
“Minumlah, kamu pasti lelah. Ini bekasku. Tapi aman,” begitulah kata Ben.
Tapi tetap saja aku tak langsung menerimanya, aku ragu dia orang asing yang baru saja aku kenal. Melihat keraguanku Ben tak kurang akal, dengan sengaja dia minum air botol itu. “Percayalah ini aman, tidak ada racun.”
Aku raih air botol itu, lalu aku incip sedikit. Keraguan dalam hatiku semakin bertambah dengan kebaikan Ben. Mengingatkanku pada seseorang. Arya.
Arya dahulu juga sangat baik padaku, perhatian dan penuh kasih sayang. Namun, entah angin dari mana, tiga Minggu ini pria itu menghilang tanpa kabar. Dan meninggalkan bakal calon bayi di perutku.
Dengan berjalan kaki, Ben mengantarku pulang sampai depan kamar kost. Dan yang baru aku tahu, Ben juga salah satu penghuni kost Bu Suny, kawasan aku tinggal. Jika kamar kosku di lantai satu paling pojok sebelah utara, Ben di sebelah barat lantai dua. Namun Ben baru dua bulan kost di Bu Suny sedangkan aku warga lama.
Dan baru aku tahu dari bibir Ben sendiri, dia sering melihatku sewaktu berangkat kerja pagi hari dari lantai dua.
Bahkan selama tiga tahun aku kost di Bu Suny, aku tidak mengenal tetanggaku. Terlebih lagi Ben. Waktuku habis untuk bekerja dan jika libur aku habiskan di dalam kamar atau main bareng Sintia. Jika dahulu masih ada Arya sisa waktuku habis dengan pria itu. Namun sejak pria itu pergi entah kemana aku tidak lagi keluar kemana pun.
Sesampainya di kost dia memintaku untuk segera ganti baju dan dia bilang juga akan segera kembali. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan Ben, aku masih dalam balutan ketakutan dan ketidak pastian. Tapi aku turuti saja apa kata Ben, jiwa ragaku sudah sangat letih luar biasa.
Tapi hati kecilku bertanya, "untuk apa dia kembali?"
Satu jam berlalu, Ben hanya omong kosong. Dia tidak akan kemari. Lagipula untuk apa dia kemari? Untuk menertawakan diriku yang gagal bunuh diri? Aku tersenyum kecut sambil menutup wajah dengan bantal. Kuraba perutku yang masih rata, sedangkan pikiranku berlayar tanpa arah. Membayangkan tubuhku beberapa bulan yang akan datang dengan perut buncit. Sedangkan orang-orang akan bertanya siapa bapak dari anakku. Sebagian akan mencibir aku sebagai wanita tak bermartabat, wanita murahan. Mungkin sebagian orang yang mengenal diriku akan menyangkut pautkan pekerjaanku sebagai pegawai bank ternama. Dan aku yang bergelar sarjana tapi berotak udang, atau malah tidak berotak. Sungguh ngeri sekali jika aku membayangkan semua itu. Harus bagaimana aku menghadapi semuanya sendirian. Suara ketukan pintu membuat lamunan itu bubar. Aku bangun membuka pintu, ternyata aku salah besar, Ben datang dengan membawa makanan. “Aku beli makanan, ini untuk kamu. Katanya coklat bisa mengatasi gangguan mood.” W
Dari jam ke hari aku terus menunggu kedatangan Arya namun tak kunjung pria itu menunjukan batang hidungnya. Dan baru aku sadari setelah beberapa hari kemudian jika BPKB (Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor) di laci lemari hilang.Entah sejak kapan benda itu hilang. Yang jelas semua surat-surat berharga telah aku satukan salam map dan aku simpan dalam laci lemari. Aku tidak mungkin lupa!Kamar kostku hanya seluas lima kali lima, hanya ruang tidur dan kamar mandi. Dan furniture pun terbatas, satu tempat tidur, satu lemari kayu ukuran sedang, meja dan kursi hanya itu. Barang-barang pribadiku pun terhitung sedikit, aku hanya punya sesuatu yang benar-benar aku butuhkan. Aku bukan tipikal orang gemar belanja.Dan seluruh kamar sudah aku bongkar dan BPKB tidak aku temukan. Dan aku menduga Arya telah mengambilnya ketika aku pergi membeli jus waktu itu. Aku yakin seratus persen.Dan fakta yang memperkuat duganku itu, ketika beberapa hari lalu aku datang ke rumah dinas yang selama ini tempat
Dari pandangan mata Arya persis seorang tentara. Sosok yang kharismatik dengan otot-otot kuat melekat di kulit coklatnya, tingginya pun lebih 175 cm dan dengan gaya rambut selalu rapi. Yang aku sukai adalah bau tubuhnya selalu wangi dan segar. Teringat bagaimana pertama aku mengenal Arya. Saat itu aku dan Sintia ngopi di cafe, sedangkan Arya duduk di barisan tak jauh dariku. Sempat aku curi pandang karena dari sekian orang, hanya satu orang dengan baju seragam tentara lengkap, ngopi sendirian di cafe. Dan ternyata hal yang sama juga terjadi pada Arya, dia curi pandang padaku. Dan beberapa kali pandangan kami bertemu. Ketika aku hendak pulang dia menghampiriku di parkiran. “Mbak,” seru Arya setengah berlari menghapiriku. “Ya, ada apa Pak?” Naluri spontan memanggil seorang tentara “Pak” sebagai bentuk rasa hormat meskipun aku tahu sosok itu masih muda. “Jangan panggil saya Pak. Saya belum berkeluarga…perkenalkan saya Arya.” Dengan sopan dia mengulurkan tangan. Aku ragu-ragu t
Mata yang minus satu membuat pandanganku kabur ketika melihat sesuatu dari jarak jauh. Namun ketika sosok itu semakin mendekat aku mulai menyadari sesuatu. Dia bukan Arya tapi Ben. Sial, aku mengumpat dalam hati.Ben berhenti tepat di depanku yang berdiri di pinggiran teras, lalu membuka helm serta maskernya. "Ngapain di sini? Nunggu orang?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. Karena sejak melihat penampakan motor Yamaha NMAX jantungku berdendang keras. "Tidak kok." "Oh, aku bawa nasi goreng. Mau?" tanya Ben sambil berdiri dari atas motor.Karena kelamaan nunggu jawabanku Ben akhirnya menimpali, "tenang aja aku bawa dua bungkus." Dia raih dua bungkus nasi goreng di motornya lalu ia bawa ke teras kamar kostku. Namun, kini ia yang tersentak melihat satu kotak pizza di atas meja. "Wah ada pizza ini." "Iya itu buat kamu, sebagai gantinya sudah kasih makan aku tadi malam dan tadi pagi." "Ya, sudah begini saja, kita tukeran makanan. Dua nasi goreng dengan pizza. Bagai
Ben tertawa.Aku melihat giginya berjejer rapi lalu pandangannya ke arah barat tepatnya di lantai dua. “Beberapa kali aku melihatnya, dari sana.” Ben mengangkat dagu ke arah barat. Aku berdesis, “kamu mata-matain aku?”“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya menebak. Aku di sini baru dua bulan. Melihat pacarmu itu baru dua kali.” Aku buang muka, emosiku tersulut tapi aku tidak mampu marah. “Aku sudah putus.” Suaraku ketus. *Dua minggu berlalu, aku dan Ben menjadi saling kenal. Tapi tidak pernah bertanya mengapa aku hendak bunuh diri. Aneh, pria itu tidak penasaran mengapa aku hendak bunuh diri di malam itu. Tapi dalam lubuk hati aku juga tidak berharap dia ingin tahu. Dan sejak saat itu pula aku berteman dengan Ben, tidak terlalu akrab hanya saja sering saling sapa. Beberapa kali bertemu di jalan saat hendak berangkat kerja, dia menawarkan diri untuk mengantarku. Awalnya aku menolak.Aku memilih jalan kaki toh sejak motorku hilang dibawa Arya aku selalu berangkat kerja dengan j
Benang kusut semakin ruwet. Semalaman aku mengalami insomnia, isi kepalaku terus berputar memikirkan “aku harus bagaimana?” Keputusan apa yang harus aku pilih? Mempermainkan ikatan suci hanya untuk menutupi aib? Atau aku benar-benar menggugurkan janinku sendiri? Namun, setiap kali berpikir menggugurkan janinku sendiri entah mengapa ucapan Ben, "aku bukanlah bagian dari pembunuh," selalu menghantui pikiranku. Sialnya hati kecilku membenarkan ucapan Ben, jika aku menggugurkan janin ini aku bagian dari pembunuh. Tidak! Aku bukan pembunuh! Setelah semalaman suntuk aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan. Aku akan menerima tawaran Ben. Uang sepuluh juta barter dengan status perkawinan selama satu tahun. Aku masih punya tabungan sebelas juta. Biar bagaimanapun kehadiran bakal manusia kecil ini aku yang mempersilahkan. Aku tak ingin menambah dosa dengan membunuh calon manusia kecil dalam rahimku ini. Jika ada sosok yang harus aku hukum dalam hal ini, Arya-l
“Ya sudah nanti kita bicara…ayo masuk dulu. Makan dulu. Pasti Nak Yollanda capek habis motoran jauh.” Mama Eva merangkul pundakku, membimbingku masuk. Syukurlah Mama Eva tidak bereaksi berlebihan yang membuatku semakin gugup. Aku duduk di ruang tamu sendirian, sedangkan Ben mengikuti ibunya entah ke mana aku tidak tahu. Di ruang tamu itu aku lihat pigura besar dengan gambar Ben di tengah diapit Mama Eva dan disebelahnya seorang pria aku yakin itu ayah Ben. Rumah Ben tampak besar, tidak ada apa-apanya dengan rumah Kakek atau orang tuaku dulu di Malang. Halaman plesteran terbuka luas tanpa pagar, dan di samping rumah tampak pohon mangga dan rambutan menjulang tinggi. Suasananya pun tenang khas hawa perdesaan. Ruang tamunya dua kali lebih luas dari kamar kostku. Terdapat sebuah kursi kayu jati dengan ukiran dan pahatan indah berbentuk bunga. Dan tepat di tengah aku duduk terdapat bantalan empuk berlapis kain beludru berwarna merah maron. Yang membuatku sedikit terkesima ialah aq
"Sejak mengenal Yollanda.” Ben terdiam sesaat dengan mata menatap wajahku. “Ben berkeinginan menikah,” jawaban Ben menggema di seluruh ruangan. Bahkan gema itu mampu menembus tulang rusukku, masuk kedalam hatiku. Jantungku berdendang keras mendengar betapa serius Ben menjiwai sandiwara ini. Sorot matanya tidak menggambarkan kebohongan. Dia seperti laki-laki dengan tekad kuat untuk menikah tanpa basa basi. Ayah Anjas tersenyum tipis sambil menatapku. “Apakah kamu juga memiliki keinginan yang sama dengan Ben?” Aku lancarkan sandiwara Ben dengan mengangguk kepala dua kali. “Iya Om.” Bedanya aku menjawab sambil menundukan pandanganku. Sejak suasana ruang makan itu hening, seisi ruangan sibuk menikmati makanan. Hanya aku yang tak bisa fokus dengan sepiring makanan di hadapanku. Pikiranku terus melayang entah kemana arahnya. Sampai akhirnya pria yang aku takuti itu kembali menatapku dengan tajam. "Yollanda, kerja di mana? Lulusan sekolah dimana?" Dadaku hangat, aku semakin ragu dan
Tapi aku tidak lupa jika yang tidak suka denganku ialah ayah mertuaku. Tapi sikapnya yang diam dan tak komentar itu jauh lebih baik dari pada dia berucap tapi menyakitkan.Jam dua siang beberes kelar, termasuk mengambil tempat tidur, lemari dan beberapa meja di gudang kemudian di tata di kamar. Barulah sore hari Mama Eva kembali cerewet, memaksa Ben untuk mengantar USG ke dokter.Kami hanya bisa pasrah dengan permintaan itu. Bukan itu saja permintaan Mama Eva, dia memaksa Ben untuk ikut masuk kedalam ruangan periksa. Sebenarnya Ben sudah menolak dengan banyak alasan tapi Mama Eva kekeh memaksa. Aku berbaring di tempat tidur sedangkan seorang bidan berdiri di sampingku, bersebelahan dengan Mama Eva. Jarinya mulai membuka kemejaku. Sedangkan mataku justru menatap Ben, kwatir pria itu berfikir hal yang tidak-tidak setelah melihat kulit perutku.Sebuah alat untuk memeriksa dekat jantung telah melekat di perutku. Dan suara jantung anakku mulai terdengar dengan ritme stabil. Kulihat Mam
Genap dua hari aku di rumah mertua. Aku melihat serta merasakan suatu hal yang bertolak belakang. Yang pertama Mama Eva yang sangat perhatian dan Ayah Anjas yang terlampau culas. Pria itu sedikit pun tidak mau bertegur sapa denganku, bahkan duduk di ruangan yang sama dia menolak. Aku tak ambil pusing. Tidak aku pikirkan. Toh ini hanya sementara. Mama Eva sendiri mengatakan jika suaminya butuh waktu menerima kenyataan. Aku hanya perlu bersikap baik, selebihnya Ayah Anjas sendiri menyembuhkan rasa kecewa itu.Tepat di hari ketiga aku di rumah itu, aku dan Ben memutuskan untuk segera kembali ke kota. Cuti kerjaku tinggal dua hari, sedangkan Ben perlu mengurus cafe. Namun, rencana tidak sesuai harapan setelah kami dipanggil Mama Eva di ruang tamu. “Setelah menikah kalian mau tinggal dimana?” tanya Mama Eva membuka percakapan. Aku diam. Dan Ben menjawab, “di kost Ma.”“Kost?” Dahi Mama Eva mengkerut. Aku sendiri hanya bisa tersenyum tipis. “Kost suami istri. Kan ngak masalah, kami mas
“Terus kapan kamu tahu jika ayahmu kandung meninggal?” tanya Ben, sepertinya dia mulai tidak sabar mendengar puncak ceritaku yang bertele-tele. “Umur lima belas tahun. Ketika aku terus-terusan bertanya mengapa ibu harus sembunyi setiap kali ke makam yang tidak aku kenal orangnya. Saat itu ibu mengatakan sejujurnya padaku siapa sebenarnya ayah kandungku. Dan aku juga harus berjanji untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun. Kenyataan itu menjadikan bibit kebencian pada Sasmitha.” Setiap kali mengingat dan menyebut nama pria aku tak bisa menahan senyum sinisku. “Hal itu yang membuatmu tidak mengundang dia?” Ben memandangku dengan kedua alis berkerut. “Banyak hal. Sejak aku tahu dia bukan ayah kandungku, dia juga yang menjauhkan aku dengan Kakek. Aku semakin tidak berempati pada pria itu. Terlebih lagi kenyataan di depan mata, bagaimana pria itu memperlakukan aku dengan dua anak kembarnya cukup tumpang tindih.”“Jika aku yang mendapatkan prestasi aku tidak mendapatkan pujian. Tapi
Ben berada di sampingku dengan tubuh menghadapku, dan sengaja di tengah-tengah aku letakan sebuah guling ukuran sedang. Aku anggap itu adalah pembatas tubuh kami. Beberapa kali Ben tersenyum kadang juga mengerutkan kening mendengar ceritaku. Cerita itu yang aku rangkai berdasarkan cerita ibu, cerita kakek dan juga beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah aku alami di masa lalu.“Ini sudah jam setengah satu, kamu tak ngatuk Ben?” tanyaku mengalihkan perhatian. “Tidak.”Aku menghela nafas panjang. Butuh energi yang kuat untuk aku menceritakan kenangan buruk itu.“Lanjutkan! Terlanjur penasaran,” ucap Ben.Aku diam sesaat dan tersenyum nyengir. “Tapi aku lapar.”“Kamu mau makan apa?”“Terserah,” jawabku. Ben lantas bangun lalu keluar kamar dan kembali dengan membawa air mineral, satu toples kripik pisang dan biskuit coklat. “Tidak ada makanan padat yang enak di makan malam hari. Makanlah cemilan.” Ben meletakan semua makanan dan minuman di pangkuanku. Aku tersenyum girang.
Tiga hari berlalu Sasmitha benar-benar menepati janjinya Ia kini datang bukan hanya membawa dua bungkus bakso, tapi si kembar; Roni dan Ronal ikut serta berjalan mengapit dirinya. “Maaf Dek Rati aku sengaja membawa mereka untuk kuperkenalkan padamu dan Yollanda.” Sasmita tersenyum malu-malu sambil melepas mengusap dua kelapa dua bocah yang berada di kanan kiri. Sasmitha tidak langsung membombardir Rati dengan pertanyaan seputar lamaranya kemarin. Dia justru ikut bermain dengan Si Kembar dan Yollanda. Sedangkan Rati duduk mengamati. Pandangannya terhadap Sasmitha sedikit berubah, Sasmitha tidak terlalu buruk. Pekerjaan Sasmitha juga jelas, meskipun sekelas tukang bakso dengan karyawan satu orang. Pasti suatu saat sukses bisa menghidupi empat orang. “Dek Rati bagaimana dengan lamaran Akang kemarin?” Akhirnya setelah tiga puluh menit bertamu Sasmitha bertanya. “Ada syarat jika memang Ak
Rati hidup dengan suaminya di rumah pemberian orang tuanya. Ayahnya sudah meninggal sejak usianya tujuh belas tahun. Sedangkan ibunya meninggal setelah Rati menikah selama satu tahun. Ketika usia pernikahan menginjak enam belas bulan Rati positif hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang dia beri nama Yollanda Kartika. Rati berharap anaknya seperti memiliki sifat seperti namanya; Yollanda yang berarti kuat. Dan nama Kartika berasal dari nama pahlawan perempuan yang dia kagumi; Dewi Sartika. Ketika Yollanda usia satu tahun, wabah demam berdarah terjadi di desa tempat ia dilahirkan. Puluhan anak-anak dan orang tua terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan tidak sedikit yang meninggal, dan salah satu orang yang menjadi korban ialah ayah Yollanda. Sejak saat itu Rati menjadi seorang janda muda satu anak. Enam bulan menjadi janda seorang pria berkumis tebal datang ke rumah dengan menenteng dua bungkus bakso.Sasmitha siapa yang tak kenal dengan pedagang bakso itu. Termasuk Rati
Aku sempat tertawa terpingkal-pingkal ketika pertama kali melihat Ben keluar dari kamar mandi, dengan mengenakan piyama motif polkadot warna biru laut. "Ganti ah, jelek." Ben menatap badannya sendiri. "Ngak, itu lucu. Pake itu aja kenapa sih?" tanyaku tak peduli protes Ben. Aku sengaja memaksa Ben mencoba piyama itu, perpaduan warna terang dan motifnya jadi kesan unik tersendiri. Bukan itu saja, aku terkesan dengan seseorang memberikan kado istimewa ini. Ada-ada saja idenya memberi piyama warna terang. "Ngak. Mau ganti!" Aku berdiri menghampiri Ben lalu menatapnya dengan mata sinis. "Kamu tahu ngak ini dari Mama." "Masa?" "Tanya aja kalo nggak percaya!" Aku meninggalkan Ben lalu duduk kembali di ranjang. Seketika itu Ben keluar kurang dari lima menit lalu kembali tanpa komentar. Kemudian dia melompat dan membanting tubuhnya ke ranjang tepat di sampingku. "Masih ngak percaya?" Aku kembali mesem mengejek. "Ya sudahlah, lagian cuma buat tidur." Dua alisku mengkerut. "B
Lupakan kejadian tadi malam. Bada subuh aku terbangun ketika suara dari luar memanggil namaku sembari mengetuk pintu. Astaga aku baru sadar jika aku tidur sendirian tanpa Ben. Tidurku sangat lelap, mungkin terlalu letih setelah seharian bermain drama. Aku bangkit dan segera kubuka pintu sebelum pintu kamar yang semakin keras memanggil namaku. “Ben tadi malam tidur di mana?” tanyaku ketika buka pintu tak bisa menahan diri. Ben langsung melangkah masuk kamar melewati aku yang berdiri di ambang pintu. Langsung saja aku tutup pintu dan menguncinya, khawatir ada yang dengar pembicaraan kami. “Di luar.” Ben langsung duduk di tepi ranjang. “Gila, anak-anak kafe sama temen-temen kampus dulu pada dateng jam sebelas malam. Jam dua mereka masih disini sampek aku ketiduran. Bangun-bangun mereka sudah menghilang. Kayaknya memang mau ngerjain aku.” Aku tertawa. “Mau ngerusak malam pertama?” “Mungkin begitu maunya mereka.” Aku menarik nafas lega setidaknya kedatangan teman-teman Ben bisa j
Acara makan malam usai sekitar jam sepuluh. Mama Eva sendiri yang mengantarku lebih dahulu ke kamar. “Ini kamar Ben. Sudah dibereskan. Nak Yolla mending tidur, kelihatannya capek sekali,” ujar Mama Eva sambil membuka pintu kamar. “Tidak terlalu kok Ma,” jawabku santai. Untung saja Ben waktu itu menyarankan aku untuk ke dokter, vitamin dan obat-obatan itu memperlancar jalannya pernikahan hari ini tanpa mual dan muntah; batinku.Mama Eva memandang ke arah meja. “Tidak ada air minum. Mama akan suruh Ben bawa minum kemari.”“Tidak usah repot-repot Ma, tadi kan Yollanda sudah minum.”"Tidak ada yang repot Nak Yolla." Wanita itu kemudian meninggalkan aku di dalam kamar seorang diri. Sikapnya masih sama seperti pertama kali bertemu. Ramah dan murah senyum, lama-lama aku jauh lebih bisa menyayangi Mama Eva daripada Ben. Aku terpesona dengan kamar ini. Tempat tidur luar dengan bedcover dan selimut warna pink. Di atas meja terdapat buku-buku tertata rapi. Beberapa judul terlihat seputar bu