Home / Pernikahan / Pernikahan Sepuluh Juta / Bab 2. Skenario Hebat Arya

Share

Bab 2. Skenario Hebat Arya

Author: Zedanzee
last update Last Updated: 2022-08-15 14:58:15

Satu jam berlalu, Ben hanya omong kosong. Dia tidak akan kemari. Lagipula untuk apa dia kemari? Untuk menertawakan diriku yang gagal bunuh diri? Aku tersenyum kecut sambil menutup wajah dengan bantal. 

Kuraba perutku yang masih rata, sedangkan pikiranku berlayar tanpa arah. Membayangkan tubuhku  beberapa bulan yang akan datang dengan perut buncit. Sedangkan orang-orang akan bertanya siapa bapak dari anakku.  

Sebagian akan mencibir aku sebagai wanita tak bermartabat, wanita murahan. 

Mungkin sebagian orang yang mengenal diriku akan menyangkut pautkan pekerjaanku sebagai pegawai bank ternama. Dan aku yang bergelar sarjana tapi berotak udang, atau malah tidak berotak. 

Sungguh ngeri sekali jika aku membayangkan semua itu. Harus bagaimana aku menghadapi semuanya sendirian. 

Suara ketukan pintu membuat lamunan itu bubar. Aku bangun membuka pintu, ternyata aku salah besar, Ben datang dengan membawa makanan. 

“Aku beli makanan, ini untuk kamu. Katanya coklat bisa mengatasi gangguan mood.” Wajah Ben terlihat begitu tenang, matanya masih teduh seperti beberapa jam lalu. Aku melihat dari guratan wajahnya, dia seperti orang baik. 

Tapi aku masih ingat jika aku pernah terperosok dengan orang yang kusangka baik. 

Bisa saja Ben dengan Arya orang yang sama. Manipulatif.

“Aku kenyang. Mungkin bisa kamu makan sendiri,” jawabku terus terang menolak.

“Terima saja aku beli dua. Satu untukmu, satu lagi untukku.” ucap Ben sambil menyerahkan satu bungkus nasi goreng dan satu gelas coklat panas diserahkan aku. Entah mengapa aku tak bisa menolaknya. 

"Ini nomorku, jika butuh bantuan kamu bisa hubungi aku." Ben tersenyum nyengir sambil menyerahkan sepotong kertas. "Dari pada buruh diri, kamu bisa minta bantuan aku?" 

Sontak aku melotot, tersinggung dengan ucapan Ben. Dan pria itu sadar jika aku tidak suka dengan ucapannya. 

"Bercanda…” Ben kembali tersenyum sambil mengusap kepalanya. “Ya sudah aku balik kamarku sendiri." Kemudian dia berlari meninggalkan aku.

Aku langsung menutup pintu tanpa berkata apa pun. Ucapan "terima kasih" pun tidak aku ucapkan. Aku benar-benar stres, mendapatkan perlakuan baik dari pria yang baru aku kenal justru membuat aku terngiang-ingan dengan Arya.

Dan keesok harinya ketika mataku masih terlelap, terdengar ketukan pintu. Dengan otak setengah sadar aku berdiri membuka pintu. Ben datang kembali. 

“Ini jam berapa? Kamu masih tidur?” Ben berbicara kepadaku seolah-olah dia sudah mengenalku sepuluh tahun lalu. Padahal baru semalam kami saling kenal.

“Ada apa?” jawabku sengit.

“Cuma mau kasih sarapan.” Ben menyodorkan satu kotak makanan dari styrofoam, entah apa isinya. “Kalo butuh sesuatu kamu bisa hubungi aku.” 

“Aku tidak meminta makanan.”

“Anggap saja Jumat berkah.” Ben tersenyum lebar, sedikit pun tidak tersinggung dengan ucapanku.

Aku menghela nafas panjang. “Ini hari Sabtu.”

Kini Ben tertawa keras sambil mengusap rambutnya yang sebahu. “Oh aku salah ya. Ku pikir ini hari Jumat.” 

Aku hanya tersenyum tipis tidak terpancing dengan lelucon Ben. 

“Terima saja. Oke.” Ben menyerahkan salah satu bingkisan yang dia bawa. Lalu pergi entah ke mana tidak tahu. Dan tidak mau tahu. Aku tidak peduli.

Sebenarnya makanan yang Ben berikan tadi malam tidak aku sentuh sama sekali. Hanya coklat panas yang aku nikmat sampai habis. 

Namun, bubur ayam dari Ben pagi ini cukup menggugah selera. Aku makan dikit demi sedikit sambil menahan perut yang mual luar biasa. 

Dua minggu belakangan ini aku merasakan perut dan separuh badanku tidak beres, aku yakin ini bukan karena aku sakit tapi hormon hamil muda. Seandainya aku memiliki keberanian ke dokter mungkin yang aku rasakan saat ini ada solusi. 

Hari ini aku jauh lebih lega, tidak terlalu stres seperti kemarin. Setidaknya aku tidak memikirkan soal bunuh diri lagi. Kalau dipikir-pikir aku bodoh sekali, sampai kepikiran hal semacam itu. Ada rasa syukur Ben datang saat yang tepat kalo tidak. Mungkin hari ini telah gemar kabar soal pegawai bank terbaik di Indonesia mati bunuh dini.

Setengah hari lebih aku berdiam diri di dalam kamar kost berdoa, berharap Arya datang. Lalu menjelaskan mengapa ia menghilang selama ini. Karena aku sudah kesulitan menanggung beban ini sendirian.  

Sejak dua minggu lalu, aku mengetahui ada seonggok daging hidup di tubuhku melalui testpack. Sedangkan Arya sudah satu tiga Minggu tidak bisa dihubungi, W******p selalu ceklis satu. Aku telepon provider juga tidak nyambung.

Aku sebenarnya tidak percaya Arya pergi dariku. 

Dia seorang prajurit negara, seorang tentara angkatan laut tak mungkin jika akan sejahat ini padaku. Dan selama satu tahun pacaran aku tidak pernah bermasalah dengannya.

Beberapa bulan lalu Arya meminjam uang, sebesar lima belas juta. Uang tabungan hasil jerih payahku selama ini aku percayakan pada Arya, karena dia bilang sendiri jika aku adalah calon istrinya. Dan Arya juga berjanji bulan ini akan dikembalikan. Nyatanya zonk. Bohong, justru dia lenyap dari muka bumi. 

Sialnya terakhir ketemu Arya, keparat itu membawa motorku Yamaha NMAX yang aku beli cash enam bulan lalu, meskipun motor bekas. Akan tetapi harganya masih di atas dua puluh juta. Entah mengapa waktu itu aku percaya semua kata-katanya. 

Dia datang tepat hari Minggu; terakhir dia menemuiku, datang ke kost siang hari dengan ojek online. 

“Tumben tidak kasih kabar kalau mau ke sini? Kenapa musti pake ojek online. Kan bisa aku jemput.” Aku sedikit heran mengapa dia tidak membawa mobil seperti biasanya.  

“Mobilku trouble sayang, sekarang di bengkel deket sini. Padahal aku mau jemput kamu, jalan-jalan. Eh mogok. Dan baru setengah jam lalu aku dapat panggilan komandan kudu cepet sampai di kantor. Aku pinjem motormu dulu ya.” 

Kalimat itu masih sangat jelas di kepalaku hingga saat itu. Sedikit pun waktu itu aku tidak menaruh curiga apa pun. Aku serahkan kunci motor beserta STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan), dan sebelum pergi kami masih mesra. 

Bahkan sempat melakukan hubungan haram selama tiga menit lima detik, aku menduga saat itulah aku hamil karena Arya tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Related chapters

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 3. Terlanjur Hamil

    Dari jam ke hari aku terus menunggu kedatangan Arya namun tak kunjung pria itu menunjukan batang hidungnya. Dan baru aku sadari setelah beberapa hari kemudian jika BPKB (Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor) di laci lemari hilang.Entah sejak kapan benda itu hilang. Yang jelas semua surat-surat berharga telah aku satukan salam map dan aku simpan dalam laci lemari. Aku tidak mungkin lupa!Kamar kostku hanya seluas lima kali lima, hanya ruang tidur dan kamar mandi. Dan furniture pun terbatas, satu tempat tidur, satu lemari kayu ukuran sedang, meja dan kursi hanya itu. Barang-barang pribadiku pun terhitung sedikit, aku hanya punya sesuatu yang benar-benar aku butuhkan. Aku bukan tipikal orang gemar belanja.Dan seluruh kamar sudah aku bongkar dan BPKB tidak aku temukan. Dan aku menduga Arya telah mengambilnya ketika aku pergi membeli jus waktu itu. Aku yakin seratus persen.Dan fakta yang memperkuat duganku itu, ketika beberapa hari lalu aku datang ke rumah dinas yang selama ini tempat

    Last Updated : 2022-08-15
  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 4. Arya Kembali

    Dari pandangan mata Arya persis seorang tentara. Sosok yang kharismatik dengan otot-otot kuat melekat di kulit coklatnya, tingginya pun lebih 175 cm dan dengan gaya rambut selalu rapi. Yang aku sukai adalah bau tubuhnya selalu wangi dan segar. Teringat bagaimana pertama aku mengenal Arya. Saat itu aku dan Sintia ngopi di cafe, sedangkan Arya duduk di barisan tak jauh dariku. Sempat aku curi pandang karena dari sekian orang, hanya satu orang dengan baju seragam tentara lengkap, ngopi sendirian di cafe. Dan ternyata hal yang sama juga terjadi pada Arya, dia curi pandang padaku. Dan beberapa kali pandangan kami bertemu. Ketika aku hendak pulang dia menghampiriku di parkiran. “Mbak,” seru Arya setengah berlari menghapiriku. “Ya, ada apa Pak?” Naluri spontan memanggil seorang tentara “Pak” sebagai bentuk rasa hormat meskipun aku tahu sosok itu masih muda. “Jangan panggil saya Pak. Saya belum berkeluarga…perkenalkan saya Arya.” Dengan sopan dia mengulurkan tangan. Aku ragu-ragu t

    Last Updated : 2022-08-29
  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 5. Nasi Goreng ditukar Pizza

    Mata yang minus satu membuat pandanganku kabur ketika melihat sesuatu dari jarak jauh. Namun ketika sosok itu semakin mendekat aku mulai menyadari sesuatu. Dia bukan Arya tapi Ben. Sial, aku mengumpat dalam hati.Ben berhenti tepat di depanku yang berdiri di pinggiran teras, lalu membuka helm serta maskernya. "Ngapain di sini? Nunggu orang?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. Karena sejak melihat penampakan motor Yamaha NMAX jantungku berdendang keras. "Tidak kok." "Oh, aku bawa nasi goreng. Mau?" tanya Ben sambil berdiri dari atas motor.Karena kelamaan nunggu jawabanku Ben akhirnya menimpali, "tenang aja aku bawa dua bungkus." Dia raih dua bungkus nasi goreng di motornya lalu ia bawa ke teras kamar kostku. Namun, kini ia yang tersentak melihat satu kotak pizza di atas meja. "Wah ada pizza ini." "Iya itu buat kamu, sebagai gantinya sudah kasih makan aku tadi malam dan tadi pagi." "Ya, sudah begini saja, kita tukeran makanan. Dua nasi goreng dengan pizza. Bagai

    Last Updated : 2022-08-29
  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 6. Uang ditukar Nikah

    Ben tertawa.Aku melihat giginya berjejer rapi lalu pandangannya ke arah barat tepatnya di lantai dua. “Beberapa kali aku melihatnya, dari sana.” Ben mengangkat dagu ke arah barat. Aku berdesis, “kamu mata-matain aku?”“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya menebak. Aku di sini baru dua bulan. Melihat pacarmu itu baru dua kali.” Aku buang muka, emosiku tersulut tapi aku tidak mampu marah. “Aku sudah putus.” Suaraku ketus. *Dua minggu berlalu, aku dan Ben menjadi saling kenal. Tapi tidak pernah bertanya mengapa aku hendak bunuh diri. Aneh, pria itu tidak penasaran mengapa aku hendak bunuh diri di malam itu. Tapi dalam lubuk hati aku juga tidak berharap dia ingin tahu. Dan sejak saat itu pula aku berteman dengan Ben, tidak terlalu akrab hanya saja sering saling sapa. Beberapa kali bertemu di jalan saat hendak berangkat kerja, dia menawarkan diri untuk mengantarku. Awalnya aku menolak.Aku memilih jalan kaki toh sejak motorku hilang dibawa Arya aku selalu berangkat kerja dengan j

    Last Updated : 2022-08-29
  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 7. Bakal Calon Mertua

    Benang kusut semakin ruwet. Semalaman aku mengalami insomnia, isi kepalaku terus berputar memikirkan “aku harus bagaimana?” Keputusan apa yang harus aku pilih? Mempermainkan ikatan suci hanya untuk menutupi aib? Atau aku benar-benar menggugurkan janinku sendiri? Namun, setiap kali berpikir menggugurkan janinku sendiri entah mengapa ucapan Ben, "aku bukanlah bagian dari pembunuh," selalu menghantui pikiranku. Sialnya hati kecilku membenarkan ucapan Ben, jika aku menggugurkan janin ini aku bagian dari pembunuh. Tidak! Aku bukan pembunuh! Setelah semalaman suntuk aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan. Aku akan menerima tawaran Ben. Uang sepuluh juta barter dengan status perkawinan selama satu tahun. Aku masih punya tabungan sebelas juta. Biar bagaimanapun kehadiran bakal manusia kecil ini aku yang mempersilahkan. Aku tak ingin menambah dosa dengan membunuh calon manusia kecil dalam rahimku ini. Jika ada sosok yang harus aku hukum dalam hal ini, Arya-l

    Last Updated : 2022-08-29
  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 8. Siapakah Sebenarnya Ben?

    “Ya sudah nanti kita bicara…ayo masuk dulu. Makan dulu. Pasti Nak Yollanda capek habis motoran jauh.” Mama Eva merangkul pundakku, membimbingku masuk. Syukurlah Mama Eva tidak bereaksi berlebihan yang membuatku semakin gugup. Aku duduk di ruang tamu sendirian, sedangkan Ben mengikuti ibunya entah ke mana aku tidak tahu. Di ruang tamu itu aku lihat pigura besar dengan gambar Ben di tengah diapit Mama Eva dan disebelahnya seorang pria aku yakin itu ayah Ben. Rumah Ben tampak besar, tidak ada apa-apanya dengan rumah Kakek atau orang tuaku dulu di Malang. Halaman plesteran terbuka luas tanpa pagar, dan di samping rumah tampak pohon mangga dan rambutan menjulang tinggi. Suasananya pun tenang khas hawa perdesaan. Ruang tamunya dua kali lebih luas dari kamar kostku. Terdapat sebuah kursi kayu jati dengan ukiran dan pahatan indah berbentuk bunga. Dan tepat di tengah aku duduk terdapat bantalan empuk berlapis kain beludru berwarna merah maron. Yang membuatku sedikit terkesima ialah aq

    Last Updated : 2022-08-29
  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 9. Tikaman Ayah Anjas

    "Sejak mengenal Yollanda.” Ben terdiam sesaat dengan mata menatap wajahku. “Ben berkeinginan menikah,” jawaban Ben menggema di seluruh ruangan. Bahkan gema itu mampu menembus tulang rusukku, masuk kedalam hatiku. Jantungku berdendang keras mendengar betapa serius Ben menjiwai sandiwara ini. Sorot matanya tidak menggambarkan kebohongan. Dia seperti laki-laki dengan tekad kuat untuk menikah tanpa basa basi. Ayah Anjas tersenyum tipis sambil menatapku. “Apakah kamu juga memiliki keinginan yang sama dengan Ben?” Aku lancarkan sandiwara Ben dengan mengangguk kepala dua kali. “Iya Om.” Bedanya aku menjawab sambil menundukan pandanganku. Sejak suasana ruang makan itu hening, seisi ruangan sibuk menikmati makanan. Hanya aku yang tak bisa fokus dengan sepiring makanan di hadapanku. Pikiranku terus melayang entah kemana arahnya. Sampai akhirnya pria yang aku takuti itu kembali menatapku dengan tajam. "Yollanda, kerja di mana? Lulusan sekolah dimana?" Dadaku hangat, aku semakin ragu dan

    Last Updated : 2022-08-30
  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 10. Eliezer Anak Cengeng!

    Sebagai orang tua, pemimpin masyarakat dan terpelajar, Ayah Anjas tidak hanya menduga-duga. Kasus asusila di masyarakat sering dia jumpai, dari orang-orang yang berumur belia hingga lanjut usia. Dan yang sering terjadi ialah kasus wanita hamil diluar nikah. Dan perselingkuhan. Dari banyaknya pengalaman itu, hanya dengan melihat sorot mata dan gestur tubuh Yollanda, pria itu bisa meraba ada hal yang tidak beres. Ketakutan dan cemas. Terlebih lagi tingkah anaknya yang sering berulah, Ayah Anjas bisa membaca situasi yang sebenarnya terjadi di ruang meja makan. Ayah Anjas tahu dan cukup mengerti Ben adalah fotocopy dirinya. Sama-sama pembangkang dan keras kepala. Akan tetapi jika Ayah Anjas harus mendidik putranya seperti istrinya, dia angkat tangan. Tidak mampu. Bagaimana bisa seorang kepala keluarga lemah lembut? Yang paling dibenci Ayah Anjas ialah, keinginannya selalu bertolak belakang dengan anaknya. Sejak Ben kecil.Termasuk menolak dipanggil dengan sebutan “Eliezer” nama yang

    Last Updated : 2022-09-01

Latest chapter

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 23. USG Pertama

    Tapi aku tidak lupa jika yang tidak suka denganku ialah ayah mertuaku. Tapi sikapnya yang diam dan tak komentar itu jauh lebih baik dari pada dia berucap tapi menyakitkan.Jam dua siang beberes kelar, termasuk mengambil tempat tidur, lemari dan beberapa meja di gudang kemudian di tata di kamar. Barulah sore hari Mama Eva kembali cerewet, memaksa Ben untuk mengantar USG ke dokter.Kami hanya bisa pasrah dengan permintaan itu. Bukan itu saja permintaan Mama Eva, dia memaksa Ben untuk ikut masuk kedalam ruangan periksa. Sebenarnya Ben sudah menolak dengan banyak alasan tapi Mama Eva kekeh memaksa. Aku berbaring di tempat tidur sedangkan seorang bidan berdiri di sampingku, bersebelahan dengan Mama Eva. Jarinya mulai membuka kemejaku. Sedangkan mataku justru menatap Ben, kwatir pria itu berfikir hal yang tidak-tidak setelah melihat kulit perutku.Sebuah alat untuk memeriksa dekat jantung telah melekat di perutku. Dan suara jantung anakku mulai terdengar dengan ritme stabil. Kulihat Mam

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 22. Ibu Mertua Impian

    Genap dua hari aku di rumah mertua. Aku melihat serta merasakan suatu hal yang bertolak belakang. Yang pertama Mama Eva yang sangat perhatian dan Ayah Anjas yang terlampau culas. Pria itu sedikit pun tidak mau bertegur sapa denganku, bahkan duduk di ruangan yang sama dia menolak. Aku tak ambil pusing. Tidak aku pikirkan. Toh ini hanya sementara. Mama Eva sendiri mengatakan jika suaminya butuh waktu menerima kenyataan. Aku hanya perlu bersikap baik, selebihnya Ayah Anjas sendiri menyembuhkan rasa kecewa itu.Tepat di hari ketiga aku di rumah itu, aku dan Ben memutuskan untuk segera kembali ke kota. Cuti kerjaku tinggal dua hari, sedangkan Ben perlu mengurus cafe. Namun, rencana tidak sesuai harapan setelah kami dipanggil Mama Eva di ruang tamu. “Setelah menikah kalian mau tinggal dimana?” tanya Mama Eva membuka percakapan. Aku diam. Dan Ben menjawab, “di kost Ma.”“Kost?” Dahi Mama Eva mengkerut. Aku sendiri hanya bisa tersenyum tipis. “Kost suami istri. Kan ngak masalah, kami mas

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 21. Susu Ibu Hamil

    “Terus kapan kamu tahu jika ayahmu kandung meninggal?” tanya Ben, sepertinya dia mulai tidak sabar mendengar puncak ceritaku yang bertele-tele. “Umur lima belas tahun. Ketika aku terus-terusan bertanya mengapa ibu harus sembunyi setiap kali ke makam yang tidak aku kenal orangnya. Saat itu ibu mengatakan sejujurnya padaku siapa sebenarnya ayah kandungku. Dan aku juga harus berjanji untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun. Kenyataan itu menjadikan bibit kebencian pada Sasmitha.” Setiap kali mengingat dan menyebut nama pria aku tak bisa menahan senyum sinisku. “Hal itu yang membuatmu tidak mengundang dia?” Ben memandangku dengan kedua alis berkerut. “Banyak hal. Sejak aku tahu dia bukan ayah kandungku, dia juga yang menjauhkan aku dengan Kakek. Aku semakin tidak berempati pada pria itu. Terlebih lagi kenyataan di depan mata, bagaimana pria itu memperlakukan aku dengan dua anak kembarnya cukup tumpang tindih.”“Jika aku yang mendapatkan prestasi aku tidak mendapatkan pujian. Tapi

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 20. Rencana Rati

    Ben berada di sampingku dengan tubuh menghadapku, dan sengaja di tengah-tengah aku letakan sebuah guling ukuran sedang. Aku anggap itu adalah pembatas tubuh kami. Beberapa kali Ben tersenyum kadang juga mengerutkan kening mendengar ceritaku. Cerita itu yang aku rangkai berdasarkan cerita ibu, cerita kakek dan juga beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah aku alami di masa lalu.“Ini sudah jam setengah satu, kamu tak ngatuk Ben?” tanyaku mengalihkan perhatian. “Tidak.”Aku menghela nafas panjang. Butuh energi yang kuat untuk aku menceritakan kenangan buruk itu.“Lanjutkan! Terlanjur penasaran,” ucap Ben.Aku diam sesaat dan tersenyum nyengir. “Tapi aku lapar.”“Kamu mau makan apa?”“Terserah,” jawabku. Ben lantas bangun lalu keluar kamar dan kembali dengan membawa air mineral, satu toples kripik pisang dan biskuit coklat. “Tidak ada makanan padat yang enak di makan malam hari. Makanlah cemilan.” Ben meletakan semua makanan dan minuman di pangkuanku. Aku tersenyum girang.

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 19. Sasmitha

    Tiga hari berlalu Sasmitha benar-benar menepati janjinya Ia kini datang bukan hanya membawa dua bungkus bakso, tapi si kembar; Roni dan Ronal ikut serta berjalan mengapit dirinya. “Maaf Dek Rati aku sengaja membawa mereka untuk kuperkenalkan padamu dan Yollanda.” Sasmita tersenyum malu-malu sambil melepas mengusap dua kelapa dua bocah yang berada di kanan kiri. Sasmitha tidak langsung membombardir Rati dengan pertanyaan seputar lamaranya kemarin. Dia justru ikut bermain dengan Si Kembar dan Yollanda. Sedangkan Rati duduk mengamati. Pandangannya terhadap Sasmitha sedikit berubah, Sasmitha tidak terlalu buruk. Pekerjaan Sasmitha juga jelas, meskipun sekelas tukang bakso dengan karyawan satu orang. Pasti suatu saat sukses bisa menghidupi empat orang. “Dek Rati bagaimana dengan lamaran Akang kemarin?” Akhirnya setelah tiga puluh menit bertamu Sasmitha bertanya. “Ada syarat jika memang Ak

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 18. Rati

    Rati hidup dengan suaminya di rumah pemberian orang tuanya. Ayahnya sudah meninggal sejak usianya tujuh belas tahun. Sedangkan ibunya meninggal setelah Rati menikah selama satu tahun. Ketika usia pernikahan menginjak enam belas bulan Rati positif hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang dia beri nama Yollanda Kartika. Rati berharap anaknya seperti memiliki sifat seperti namanya; Yollanda yang berarti kuat. Dan nama Kartika berasal dari nama pahlawan perempuan yang dia kagumi; Dewi Sartika. Ketika Yollanda usia satu tahun, wabah demam berdarah terjadi di desa tempat ia dilahirkan. Puluhan anak-anak dan orang tua terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan tidak sedikit yang meninggal, dan salah satu orang yang menjadi korban ialah ayah Yollanda. Sejak saat itu Rati menjadi seorang janda muda satu anak. Enam bulan menjadi janda seorang pria berkumis tebal datang ke rumah dengan menenteng dua bungkus bakso.Sasmitha siapa yang tak kenal dengan pedagang bakso itu. Termasuk Rati

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 17. Piyama Polkadot

    Aku sempat tertawa terpingkal-pingkal ketika pertama kali melihat Ben keluar dari kamar mandi, dengan mengenakan piyama motif polkadot warna biru laut. "Ganti ah, jelek." Ben menatap badannya sendiri. "Ngak, itu lucu. Pake itu aja kenapa sih?" tanyaku tak peduli protes Ben. Aku sengaja memaksa Ben mencoba piyama itu, perpaduan warna terang dan motifnya jadi kesan unik tersendiri. Bukan itu saja, aku terkesan dengan seseorang memberikan kado istimewa ini. Ada-ada saja idenya memberi piyama warna terang. "Ngak. Mau ganti!" Aku berdiri menghampiri Ben lalu menatapnya dengan mata sinis. "Kamu tahu ngak ini dari Mama." "Masa?" "Tanya aja kalo nggak percaya!" Aku meninggalkan Ben lalu duduk kembali di ranjang. Seketika itu Ben keluar kurang dari lima menit lalu kembali tanpa komentar. Kemudian dia melompat dan membanting tubuhnya ke ranjang tepat di sampingku. "Masih ngak percaya?" Aku kembali mesem mengejek. "Ya sudahlah, lagian cuma buat tidur." Dua alisku mengkerut. "B

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 16. Pesta Sederhana

    Lupakan kejadian tadi malam. Bada subuh aku terbangun ketika suara dari luar memanggil namaku sembari mengetuk pintu. Astaga aku baru sadar jika aku tidur sendirian tanpa Ben. Tidurku sangat lelap, mungkin terlalu letih setelah seharian bermain drama. Aku bangkit dan segera kubuka pintu sebelum pintu kamar yang semakin keras memanggil namaku. “Ben tadi malam tidur di mana?” tanyaku ketika buka pintu tak bisa menahan diri. Ben langsung melangkah masuk kamar melewati aku yang berdiri di ambang pintu. Langsung saja aku tutup pintu dan menguncinya, khawatir ada yang dengar pembicaraan kami. “Di luar.” Ben langsung duduk di tepi ranjang. “Gila, anak-anak kafe sama temen-temen kampus dulu pada dateng jam sebelas malam. Jam dua mereka masih disini sampek aku ketiduran. Bangun-bangun mereka sudah menghilang. Kayaknya memang mau ngerjain aku.” Aku tertawa. “Mau ngerusak malam pertama?” “Mungkin begitu maunya mereka.” Aku menarik nafas lega setidaknya kedatangan teman-teman Ben bisa j

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 15. Ben Sebenarnya Tampan

    Acara makan malam usai sekitar jam sepuluh. Mama Eva sendiri yang mengantarku lebih dahulu ke kamar. “Ini kamar Ben. Sudah dibereskan. Nak Yolla mending tidur, kelihatannya capek sekali,” ujar Mama Eva sambil membuka pintu kamar. “Tidak terlalu kok Ma,” jawabku santai. Untung saja Ben waktu itu menyarankan aku untuk ke dokter, vitamin dan obat-obatan itu memperlancar jalannya pernikahan hari ini tanpa mual dan muntah; batinku.Mama Eva memandang ke arah meja. “Tidak ada air minum. Mama akan suruh Ben bawa minum kemari.”“Tidak usah repot-repot Ma, tadi kan Yollanda sudah minum.”"Tidak ada yang repot Nak Yolla." Wanita itu kemudian meninggalkan aku di dalam kamar seorang diri. Sikapnya masih sama seperti pertama kali bertemu. Ramah dan murah senyum, lama-lama aku jauh lebih bisa menyayangi Mama Eva daripada Ben. Aku terpesona dengan kamar ini. Tempat tidur luar dengan bedcover dan selimut warna pink. Di atas meja terdapat buku-buku tertata rapi. Beberapa judul terlihat seputar bu

DMCA.com Protection Status