Apa yang dikatakan Rendra seperti duri dalam ingatan. Aku tidak mungkin bersikap seperti biasa kepadanya. Jarak akan terbentang, apalagi diperparah dengan tuduhan Dek Hana kepadaku. Dulu saat SMA, aku terkenal sebagai perempuan yang cuek, tidak peduli dengan kehidupan remaja terutama cinta-cintaan. Bagiku itu hal yang membuang waktu, apalagi laki-laki sesekolahan tidak ada yang bersikap dewasa, menurutku. Namun lain saat bertemu Mas Farhan. Dia sosok yang menyita perhatianku. Dengan tanpa tahu malu, aku mengintipnya saat mengirim pesanan ibu. Cara bertuturnya sopan dan yang terlihat keren saat dia masih tetap tersenyum, walaupun baju sudah basah dengan keringat. Sejak itulah, tidak ada nama laki-laki lain selain Mas Farhan. Apalagi, teman sekolah yang masih ingusan seperti Rendra, saat itu.*Mas Farhan memegang janjinya, beberapa hari ini tidak menyebut nama Dek Hana. Begitu juga Santi, Fariz, dan anak-anak. Kami melakukan kegiatan seperti biasanya. Konsentrasi dengan pekerjaan t
Sekarang aku kembali ke hutan yang mengerikan itu. Namun, rasa takutku berkurang karena ada Mas Farhan di sampingku. Dia memapahku dan kami menuju gua yang sudah ada perapian kecil dari ranting pohon. "Tahan, ya. Ini hanya perih sedikit," ucap suamiku ini sambil tersenyum. Luka goresan saat aku berlari tadi ternyata tersebar di kaki dan tanganku. "Iiish. Perih," desisku menahan sakit, saat luka itu dibersihkan dan diobati. Tatapan dan senyum Mas Farhan yang teduh mengurangi rasa sakit ini. Pelan, dia merengkuhku ke dalam pelukannya dan berbisik, "Bersandarlah kalau itu membuatmu nyaman. Mas di sini untuk menemanimu."Aku tersenyum dan melingkarkan tangan di tubuhnya. Kami terdiam berbagi rasa dalam diam, tetapi, kenapa tangan ini merasa ada yang basah. Secepatnya aku mengurai pelukan dan memastikan apa yang ada di tanganku."Darah?! Mas, kamu berdarah!?" Mas Farhan hanya tersenyum seperti tadi, tidak ada kata yang terucap. Perlahan, sorot mata meredup dan tubuh terkulai dalam pelu
“Mas Farhan. E …,” ucapku menggantung karena keraguan. Inginnya tidak mau merusak hari dengan masalah itu. Namun, rasa penasaranku tidak tertahan lagi.“Ada apa? Bilang saja,” jawabnya sembari menampilkan senyuman."Survey untuk Dek Arif apa sudah, Mas?" tanyaku dengan rasa ragu masih menggelayut. "Sudah. Jangan kawatir, Istriku sayang.""Htss .... Mas, jangan keras-keras. Malu," ucapku lirih sambil menyenggol lengannya. Lega rasanya, ternyata pertanyaanku ditanggapi santai olehnya. "Gantian," ucapnya balik. Dia membalas kejahilanku saat di jalan tadi."Dua hari setelah dia telpon itu. Pertanyaannya gampang, kok. Cuma ditanya kenal apa tidak, hubungannya apa, rumah Dek Arif di mana, kerja apa. Gitu aja, kok. Aku juga sudah kasih tahu Dek Arif kalau sudah dihubungi.""Trus, Dek Arif sudah hubungi Mas Farhan lagi? Mungkin kreditnya disetujui atau tidak, gitu? Ini sudah dua minggu lebih," "Belum ada. Yah, semoga yang dia inginkan terpenuhi. Bisa menyenangkan Emak di sana," jaw
Ini memang tidak bisa disalahkan. Orang tua ingin melihat keadaan ekonomi anak-anaknya lebih baik dan mapan. Celakanya, menjadikan pandangan umum sebagai patokan. Biasanya menjadikan rumah bagus, mobil bagus, dan penampilan yang wah, menjadi tolok ukur keberhasilan, yang berimbas tuntutan untuk mengadakan padahal belum siap.Bukannya kami tidak mau mempunyai mobil, tetapi karena waktu dan kesempatan yang belum tepat. Aku tidak mau terjebak penampilan yang menyilaukan, sedangkan kenyataannya menyedihkan.Mungkin ibuku tidak tahu, mobil bagus Dek Arif itu kredit dengan cicilan setiap bulannya bernominal tidak sedikit. Menjadi beban berat di setiap bulannya. Itupun, untuk meloloskan meminta bantuan Mas Farhan untuk menjadi data pendukung.Seandainya, ibuku tahu.*Seiring bertambahnya usia, peran anak dan orang tua mulai berubah. Dahulu orang tua yang bertanggung jawab kepada anak. Namun saat orang tua mulai berusia senja, anak dituntut bisa 'ngemong' orang tua.Perbedaan cara pandang te
"Mbak hanya mengingatkan kamu untuk menghubungi Mas Farhan, bukan yang lain. Lebih baik uangnya kamu simpan untuk cicilan bulan depan. Kamu lebih membutuhkan daripada Mbak. Mbak memang tidak punya materi yang dibanggakan, tetapi ini sudah cukup."Iya, Mbak Fika. Maaf," jawab adikku ini, kemudian terdengar helaan napas darinya. Mungkin dia menyadari nadaku tadi terdengar lebih tinggi daripada biasanya. Aku tidak pernah berkata keras kepadanya. Mungkin dia kaget dengan reaksiku tadi."Nanti pakai nomorku saja, kalau Mas Farhan akan kredit mobil," ucapnya membuka percakapan baru."Tidak, Dek.""Kenapa? Apalagi Mas Farhan sekarang kerja proyek-proyek begitu. Kapan hari dia cerita. Itu butuh fasilitas yang menunjang penampilan, Mbak. Kalau naiknya sepeda motor, dapat kerjaan, ya, yang rumahan. Hasilnya tidak seberapa, hanya capek doang, dan gitu-gitu aja.""Mas Farhan bilang, dia tidak memerlukan itu," sanggahku tentang pendapatnya. Mana ada teori seperti itu."Mbak Fika, aku bilangin, ya.
POV FARHAN"Le .... Pak De tu, mengkawatirkan masa depanmu. Semenjak ayahmu meninggal, kamu tidak pernah memikirkan diri sendiri. Semua tanggung jawab dipundakmu. Ibumu, Hana, Santi, dan Fariz. Apa ada perempuan yang rela menjadi istrimu? Melihat bebanmu yang begitu berat ini."Itu kekawatiran Pakde Ji, kakak almarhum ayah. Dia sering menjenguk kami dengan membawa kebutuhan pokok seadanya, beras, minyak, dan bahan lauk yang awet. Walaupun Pakde Ji loyal kepada kami, aku tidak mungkin meminta bantuan kepadanya. Ini dikarenakan kehidupan secara ekonomipun juga tidak berlebih.Namun, keberadaan Pakde Ji ini menjadi pengganti sosok ayah yang sudah tiada. Aku, Hana, dan adik-adik sangat hormat kepadannya. Tak jarang dia memberi petuah, bahkan memarahi kami, tentunya karena kebandelan kami. Seperti yang dikatakan tadi, dia mengkawatirkan aku.Farhan yang dulu ketua Osis, siswa berprestasi, bahkan masuk ke perguruan tinggi negri tanpa tes, kebanggaan ini tidak berbekas setelah lulus SMA. Men
Terlebih, setelah mendengar penjelasan istriku lagi. Dia menyampaikan yang Santi ceritakan tentang Dek Hana yang menaruh rasa cemburu kepada istriku ini. Tanganku mengepal keras, entah aku marah kepada Dek Hana, Rendra, atau malah kepada istriku. Yang aku tahu, aku tidak suka dengan keadaan ini."Mas. Sebenarnya aku sudah tidak mau membahas tentang Dek Hana. Aku sudah tutup telinga, mata, mulut, dan kalau bisa hati. Tetapi, Dek Hana seperti mencari gara-gara denganku," ucapnya kemudian berhenti mengambil jeda untuk bernapas. Napasnya begitu tersengal dengan wajah mulai mengetat. "Aku marah, Mas. Maaf, walaupun dia itu adikmu. Aku tidak suka namaku diseret pada permasalahan mereka. Seakan Dek Hana mencari kambing hitam untuk disalahkan. Dia itu sudah cukup umur, tapi otaknya tidak jalan! Maaf, ya, Mas!""Maafkan Dek Hana, ya. Nanti aku bicara dengannya.""Aku juga tidak ingin dia menjadi janda di usia masih muda. Nanti dia nyesel." Dek Hana memegang kedua tanganku dan menatap dengan
Aku menatap wajah adikku dengan memasang tatapan rindu, kerinduan akan adikku Hana yang manis dulu. Kebersamaan kami dulu seperti terkikis, tertimpa dengan kesibukanku untuk bertahan hidup. Semenjak aku mengambil alih tanggung jawab keluarga, waktu luang tidak berpihak dan menjadi kebiasaan. Tak sadar, aku sudah lama tidak berdua seperti saat ini. Bersama adik yang dulu biasanya meletakkan kemanjaannya kepadaku.Dari menemui Rendra, aku langsung ke rumah mereka. Dek Hana tidak masuk kerja, dia bilang tidak enak badan. Pastilah, ini dikarenakan perselisihan mereka. Pertengkaran, sering kali tidak hanya menyakiti hati, tetapi badan pun terikut tidak sehat."Kenapa sih, Mas. Lihat aku terus? Aneh, tahu," celetuknya dengan mencembik. Ekspresi yang biasa ditampilkan dulu saat mulai merajuk."Adikku ini ternyata sudah besar, ya. Sudah bukan remaja lagi.""Ya iya, lah, Mas. Aku sudah berumur hampir tiga puluh tahun, sudah berkeluarga. Mas Farhan saya sudah tampang bapak-bapak. Sudah--""