"Mbak Fika. Sudah tahu tidak Mbak Hana bertengkar dengan Mas Rendra?""Memang, Rendra sudah kembali berlayarnya?" tanyaku balik. Rendra itu suami Dek Hana. Sebelum mereka menikahpun, aku sudah kenal dia. Rendra pernah satu kelas denganku saat SMA."Sudah, Mbak. Baru tiga hari. Nah, tadi malam Mbak Hana ke rumah, trus di susul Mas Rendra. Mereka bertengkar sampai ada kata-kata cerai gitu." Ucapan Santi sontak membuatku kaget. Kata itu menakutkan saat diucap oleh pasangan suami istri. Kalau khilaf bisa bahaya. Sering ada kasus, pasangan bertengkar dengan amarah yang membuncah. Kemudian sang istri menuntut cerai, dan karena emosi yang tidak stabil, sang suami menalaknya. Akhirnya, perceraian terjadi."Rendra ngomong gitu?!""Bukan, Mbak Fika. Mbak Hana yang bilang minta cerai. Tapi, Mas Rendra langsung pergi," jawab Santi kembali menjulurkan leher ke arah depan. Dian sesaat, kemudian mendekat kepadaku sambil berbisik kembali. "Tapi, ini rahasia, ya, Mbak." Kemudian, dia berjalan berjing
"Hana!" teriakan lain membuat kami berpaling ke arah pintu masuk secara bersamaan. Teriakan Dek Hana langsung terhentikan, setelah melihat siapa yang di sana."Mas Farhan," ucapku lirih tanpa tenaga. Suamiku berdiri ditengah pintu, wajahnya mengeras dengan mata yang menyiratkan amarah. Aku tidak pernah menemui sorot seperti itu selama ini. "Hana! Kamu semakin dibiarkan semakin melunjak, ya! Adik tidak tahu diri! Disayang malah menggigit! Kamu tidak tahu, bagaimana mbakmu ini memperjuangkanmu? Kenapa kami tidak sopan kepadanya?!" teriak Mas Farhan ke arah adiknya."Mas, aku tidak memintanya untuk memperjuangkan aku. Biaya sekolah? Biaya kuliah? Itu saja yang diungkit-ungkit. Dulu bayarnya saja telat-telat, gitu saja sok!""Hana! Kamu semakin kurang ajar, ya!" teriak Mas Farhan dengan tangan terkepal dan meninju tembok di sampingnya. Dia seperti kehabisan kata-kata untuk memberi tahu adiknya itu.Rendra yang sedari tadi berdiri, langsung menghampiri suamiku itu. Mencoba menenangkan dan
Aku mulai sesak napas, tanganku menggapai-gapai mencari pertolongan. Dan, sebuah tangan menggenggamku erat dan menarikku, membebaskan aku dari napas yang sesak."Dek Fika ... Dek. Bangun, Dek!""Astagfirullahaladzim," seruku setelah membuka mata. Ternyata aku bermimpi. Aku menatap tangan kananku yang dipegang erat oleh Mas Farhan, wajahnya menunjukkan kecemasan."Dek Fika, kamu mimpi? Tanganmu tadi seperti menggapai-gapai. Ini, sekarang minum dulu," ucapnya, kemudian membantuku untuk duduk, dan meletakkan bantal di punggungku."Kamu deman, Dek. Untung sekarang sudah tidak terlalu panas lagi," ucapnya setelah menyerahkan gelas berisi air putih."A-aku tertidur lama, Mas?" tanyaku setelah menajamkan mata ke arah jam dinding. Kepalaku masih terasa berat, aku menekan-nekan pelipis untuk mengurangi sakit kepala."Iya, Dek. Aku tadi sempat kompres kamu." Mas Farhan menatapku lekat, kemudian meraih tanganku kembali. Menepuk punggung tangan ini sambil berujar, "Maafkan Dek Hana, ya. Dia begit
Apa yang dikatakan Rendra seperti duri dalam ingatan. Aku tidak mungkin bersikap seperti biasa kepadanya. Jarak akan terbentang, apalagi diperparah dengan tuduhan Dek Hana kepadaku. Dulu saat SMA, aku terkenal sebagai perempuan yang cuek, tidak peduli dengan kehidupan remaja terutama cinta-cintaan. Bagiku itu hal yang membuang waktu, apalagi laki-laki sesekolahan tidak ada yang bersikap dewasa, menurutku. Namun lain saat bertemu Mas Farhan. Dia sosok yang menyita perhatianku. Dengan tanpa tahu malu, aku mengintipnya saat mengirim pesanan ibu. Cara bertuturnya sopan dan yang terlihat keren saat dia masih tetap tersenyum, walaupun baju sudah basah dengan keringat. Sejak itulah, tidak ada nama laki-laki lain selain Mas Farhan. Apalagi, teman sekolah yang masih ingusan seperti Rendra, saat itu.*Mas Farhan memegang janjinya, beberapa hari ini tidak menyebut nama Dek Hana. Begitu juga Santi, Fariz, dan anak-anak. Kami melakukan kegiatan seperti biasanya. Konsentrasi dengan pekerjaan t
Sekarang aku kembali ke hutan yang mengerikan itu. Namun, rasa takutku berkurang karena ada Mas Farhan di sampingku. Dia memapahku dan kami menuju gua yang sudah ada perapian kecil dari ranting pohon. "Tahan, ya. Ini hanya perih sedikit," ucap suamiku ini sambil tersenyum. Luka goresan saat aku berlari tadi ternyata tersebar di kaki dan tanganku. "Iiish. Perih," desisku menahan sakit, saat luka itu dibersihkan dan diobati. Tatapan dan senyum Mas Farhan yang teduh mengurangi rasa sakit ini. Pelan, dia merengkuhku ke dalam pelukannya dan berbisik, "Bersandarlah kalau itu membuatmu nyaman. Mas di sini untuk menemanimu."Aku tersenyum dan melingkarkan tangan di tubuhnya. Kami terdiam berbagi rasa dalam diam, tetapi, kenapa tangan ini merasa ada yang basah. Secepatnya aku mengurai pelukan dan memastikan apa yang ada di tanganku."Darah?! Mas, kamu berdarah!?" Mas Farhan hanya tersenyum seperti tadi, tidak ada kata yang terucap. Perlahan, sorot mata meredup dan tubuh terkulai dalam pelu
“Mas Farhan. E …,” ucapku menggantung karena keraguan. Inginnya tidak mau merusak hari dengan masalah itu. Namun, rasa penasaranku tidak tertahan lagi.“Ada apa? Bilang saja,” jawabnya sembari menampilkan senyuman."Survey untuk Dek Arif apa sudah, Mas?" tanyaku dengan rasa ragu masih menggelayut. "Sudah. Jangan kawatir, Istriku sayang.""Htss .... Mas, jangan keras-keras. Malu," ucapku lirih sambil menyenggol lengannya. Lega rasanya, ternyata pertanyaanku ditanggapi santai olehnya. "Gantian," ucapnya balik. Dia membalas kejahilanku saat di jalan tadi."Dua hari setelah dia telpon itu. Pertanyaannya gampang, kok. Cuma ditanya kenal apa tidak, hubungannya apa, rumah Dek Arif di mana, kerja apa. Gitu aja, kok. Aku juga sudah kasih tahu Dek Arif kalau sudah dihubungi.""Trus, Dek Arif sudah hubungi Mas Farhan lagi? Mungkin kreditnya disetujui atau tidak, gitu? Ini sudah dua minggu lebih," "Belum ada. Yah, semoga yang dia inginkan terpenuhi. Bisa menyenangkan Emak di sana," jaw
Ini memang tidak bisa disalahkan. Orang tua ingin melihat keadaan ekonomi anak-anaknya lebih baik dan mapan. Celakanya, menjadikan pandangan umum sebagai patokan. Biasanya menjadikan rumah bagus, mobil bagus, dan penampilan yang wah, menjadi tolok ukur keberhasilan, yang berimbas tuntutan untuk mengadakan padahal belum siap.Bukannya kami tidak mau mempunyai mobil, tetapi karena waktu dan kesempatan yang belum tepat. Aku tidak mau terjebak penampilan yang menyilaukan, sedangkan kenyataannya menyedihkan.Mungkin ibuku tidak tahu, mobil bagus Dek Arif itu kredit dengan cicilan setiap bulannya bernominal tidak sedikit. Menjadi beban berat di setiap bulannya. Itupun, untuk meloloskan meminta bantuan Mas Farhan untuk menjadi data pendukung.Seandainya, ibuku tahu.*Seiring bertambahnya usia, peran anak dan orang tua mulai berubah. Dahulu orang tua yang bertanggung jawab kepada anak. Namun saat orang tua mulai berusia senja, anak dituntut bisa 'ngemong' orang tua.Perbedaan cara pandang te
"Mbak hanya mengingatkan kamu untuk menghubungi Mas Farhan, bukan yang lain. Lebih baik uangnya kamu simpan untuk cicilan bulan depan. Kamu lebih membutuhkan daripada Mbak. Mbak memang tidak punya materi yang dibanggakan, tetapi ini sudah cukup."Iya, Mbak Fika. Maaf," jawab adikku ini, kemudian terdengar helaan napas darinya. Mungkin dia menyadari nadaku tadi terdengar lebih tinggi daripada biasanya. Aku tidak pernah berkata keras kepadanya. Mungkin dia kaget dengan reaksiku tadi."Nanti pakai nomorku saja, kalau Mas Farhan akan kredit mobil," ucapnya membuka percakapan baru."Tidak, Dek.""Kenapa? Apalagi Mas Farhan sekarang kerja proyek-proyek begitu. Kapan hari dia cerita. Itu butuh fasilitas yang menunjang penampilan, Mbak. Kalau naiknya sepeda motor, dapat kerjaan, ya, yang rumahan. Hasilnya tidak seberapa, hanya capek doang, dan gitu-gitu aja.""Mas Farhan bilang, dia tidak memerlukan itu," sanggahku tentang pendapatnya. Mana ada teori seperti itu."Mbak Fika, aku bilangin, ya.