Arumi Nasha Azzahra yang baru memasuki semester 4, harus menerima fakta pahit, bahwa ia harus menikah dengan orang yang tidak ia kenal. Ia tak tahu bagaimana kebiasaan, sifat, bahkan wajah orang yang akan menjadi suaminya nanti. Dan jika ia menolak, ia diancam tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Ia harus mengorbankan masa mudanya demi menikah dan hidup bersama seorang laki-laki sombong nan angkuh, Saka Rama Sadewa namanya, laki-laki dengan tatapan mata tajam itu kini duduk di hadapannya. Dari tatapan mata yang seakan mengintimidasi itu, entah mengapa Arumi merasa, lelaki itu membencinya. Dan benar saja, setelah memasuki dunia pernikahan, Arum tak pernah mendapat perlakuan romantis dari suaminya, bahkan sebaliknya, hatinya sering terluka karena perlakuan buruk dan perkataan kasar Saka. Ia pun harus menerima kenyataan bahwa tujuan Saka meminangnya adalah demi menghancurkan keluarga dan kehidupannya. Demi dendam yang sejak lama laki-laki itu simpan. Akankah hidup Arum hancur dalam genggaman suaminya sendiri? Benarkah tak ada sedikitpun cinta yang tumbuh dalam hati keduanya?
View MoreSuara ricuh seketika memenuhi ruang kelas ketika jam kuliah berakhir, diikuti dosen yang meninggalkan ruangan. Masing-masing sibuk merapikan barang mereka untuk kemudian meninggalkan lingkungan kampus. Sama halnya dengan seorang gadis berusia 20 tahun yang duduk di kursi depan, sembari sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, dengan terburu-buru ia memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas, yang tanpa disengaja membuat salah satu pulpennya terjatuh ke lantai. Belum sempat tangannya meraih pulpen hitam yang tergeletak di lantai, sebuah tangan yang lebih besar darinya meraih pulpen itu dan meletakkannya di atas meja.
"Buru-buru banget, santai aja dulu" Ucap Sekala, laki-laki berwajah teduh dengan mata coklat dan rambut comma hair nya. "Ga bisa, Kal! Rapatnya jam 3 dan sekarang udah jam 14.50... Aku duluan ya" Pamit Arum yang sudah selesai merapikan barang-barangnya. "Bentar..." Panggil Sekala dengan suara lembut, tangannya meraih pergelangan tangan Arum yang sudah berdiri hendak meninggalkan tempat itu. "Bawa ini, makan di sana" Ucap Sekala seraya memberikan sebuah roti dengan selai coklat kesukaan Arum di tangan gadis itu. Arum terdiam sebentar menatap mata coklat Sekala yang menatapnya dengan hangat, lalu tersenyum manis membalas tatapan hangat itu. "Makasih, Kala" Balas Arum sebelum melangkah meninggalkan kelas, serta Sekala di dalamnya. Arum berlari kecil menuruni anak tangga menuju ruang 2.9, tempat rapat besar dilaksanakan. Setibanya di depan ruangan, ia memutar kenop pintu dan menyapa teman-teman sekaligus para junior yang sudah lebih dulu sampai. Setelah duduk, ia kembali melirik jam tangannya dan tersenyum karena waktu istirahat baginya masih tersisa 5 menit. Tak menunggu lama, Arum membuka bungkus roti pemberian Sekala dan memakannya. Hampir tiga jam berlalu sejak rapat dimulai, kini Arum bisa menghirup napas dengan lega karena semua divisi telah menyampaikan progres mereka dan semua berjalan dengan lancar. Setelah menyampaikan beberapa pesan untuk para panitianya, dan memastikan lcd serta proyektor sudah dirapikan dengan baik, satu per satu keluar meninggalkan ruangan. Setelah kakinya melangkah keluar dari ruangan, Arum menoleh ke arah kiri setelah ujung matanya menangkap sosok seseorang. Di sana berdiri Sekala yang sedang menatapnya dengan tatapan hangat dan tersenyum. Entah mengapa setiap kali Sekala menatapnya dengan tatapan seperti itu, ia merasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya, rasanya sungguh membahagiakan. "Capek?" Arum menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Sekala. Lelaki itu tersenyum, tangannya bergerak meraih jemari Arum dan menggandengnya. "Ayo pulang? Aku anter sampai rumah" Ajak Sekala yang dengan segera mendapat persetujuan Arum dengan anggukan kepala dari gadis itu. Sesampainya di parkiran, Sekala mengambil helm yang sudah ia siapkan lalu memakaikannya pada Arum. Setelah Arum menaiki motor, Saka meraih tangan Arum dan meletakkannya ke dalam saku jaketnya, menjaga agar tangan gadis itu tetap hangat. Merasa yakin gadis di belakangnya sudah merasa aman dan nyaman, Sekala melajukan motornya menuju kediaman Arum. Selama perjalanan, Arum tersenyum seraya menatapi gedung serta pemandangan yang mereka lewati. Angin sore yang menyibak rambutnya membuat mood perempuan itu sedikit membaik, rasanya energinya kembali sedikit demi sedikit. Namun senyum yang terukir di wajahnya itu perlahan memudar ketika sesuatu mulai mengganggu pikirannya. Pikiran mengenai hubungannya dengan Sekala yang menggantung entah apa artinya dan akan dibawa kemana. Sebab, hubungan mereka yang begitu dekat saat ini tidak terjadi karena mereka adalah sepasang remaja yang tengah merajut kasih atau semacamnya. Siapa yang tidak berdebar jika terus-menerus mendapat perhatian serta perlakuan spesial dari seseorang seperti Sekala, begitu batin Arum. Laki-laki yang menjadi incaran banyak gadis di kampus itu memang dikenal sebagai laki-laki yang ramah, namun perlakuannya pada Arum jelas berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Terkadang terlintas di pikiran Arum untuk menanyakan terkait maksud perlakuan Sekala padanya, namun ia takut jika ia hanya menyimpan rasa seorang diri, ia pun mengurungkan niat itu. Perlahan motor berhenti di kediaman Arum. Tak membiarkan gadis itu melepaskan helm dengan tangannya sendiri, tangan Sekala bergerak untuk melepaskan helm yang masih terpasang di kepala Arum. Lagi-lagi pikiran mengenai kejelasan hubungannya dengan Sekala kembali terlintas di kepalanya. Tanpa kejelasan itu, Sekala bisa kapan saja meninggalkannya dan berpacaran dengan wanita lain, atau bisa saja selama ini Sekala hanya menganggapnya sebagai adik perempuan karena lelaki itu tak memiliki saudara perempuan. Di tengah lamunannya, ia tersadar ketika tangan Sekala melambai di depan wajahnya. "Rum? Kenapa? Ada yang sakit?" Tanya Sekala memastikan, ada kekhawatiran yang terlihat dari raut wajah lelaki itu. Arum menggeleng pelan lalu tersenyum pada Sekala. "Aku ga papa kok" Diam sebentar, Arum kembali membuka pembicaraan. "Kala" Panggilnya sedikit ragu. Sekala menyauti dengan dehaman. "Kita ini... Apa?" *** "... Rum?" Panggil Sekala membuat lamunan Arum kembali buyar. Rupanya pertanyaannya barusan hanyalah ada di dalam pikirannya. Arum menggelengkan kepalanya lalu tersenyum kecil pada Sekala. "Kamu hati-hati pulangnya ya, makasih udah nganterin pulang" Sekala mengangguk lalu kembali menyalakan mesin motornya. Setelah menyempatkan untuk mengelus lembut puncak kepala Arum, Sekala menarik gas dan meninggalkan kediaman Arum. Setelah Sekala hilang sepenuhnya dari pandangan, Arum berbalik dan masuk ke dalam rumah. Setelah mengasah otak sejak pagi di kampus, ditambah rapat organisasi yang memuakkan, akhirnya Arum kembali menginjakkan kakinya di rumah. Ia melepas sepatu dan kaos kaki yang sudah seharian ia gunakan kemudian menatanya dengan rapi ke dalam rak sepatu. Langkahnya kini terhenti di ruang tamu, lebih tepatnya di hadapan orang tuanya yang sedang duduk di sofa untuk mencium punggung tangan keduanya. "Akhirnya kamu pulang juga, ayo cepet bantu ibu beresin rumah. Piring di dapur belum dicuci, makan malamnya juga habis, kamu bisa masak sendiri kan? Ada telur tuh di lemari" Ucap Ratna setelah Arum mencium punggung tangannya. Sembari berusaha tetap tersenyum, Arum mengiyakan perkataan ibu tirinya dan melangkahkan kakinya menuju kamar untuk berganti pakaian sekaligus membersihkan dirinya. Setelah selesai, Arum pergi menuju dapur dan membuka lemari yang biasa digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti telur, mie instan, dan lain-lain. Ia mengambil sebutir telur dan menggorengnya. Sambil menggoreng, sesekali matanya melirik pada Sarah, adik tirinya yang kini ada di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Mereka sedang melihat pakaian-pakaian baru yang kemarin baru saja mereka beli di mall. "Oh ya, baju buat Arum mana?" Tanya Budi, ayah Arum. Tangannya bergerak mencari sesuatu di tumpukan baju. Melihat itu, Ratna meliriknya dengan tatapan sinis. "Ga ada! Lagian bajunya Arum kan udah banyak!" Sahut Ratna dengan ketus. "Bukan gitu, Arum kan mau ketemu calonnya, masa ga pakai baju baru" Timpal Budi membuat Ratna menghembuskan napas kesal. "Duh! Udah deh, mas! Arum itu cuma ketemu sama calon suaminya, ga perlu lah pakai baju yang bagus! Lebay banget! Udah ah, ayo sayang kita lihat bajunya di kamar aja" Ajak Ratna pada putrinya Sarah, mereka mengambil pakaian yang berserakan lalu membawanya ke kamar. Arum yang dapat mendengar percakapan tersebut menghentikan aktivitasnya yang sedang menuangkan kecap ke atas nasi. Ia berjalan perlahan menghampiri ayahnya lalu duduk di samping pria paruh baya itu. “Ayah, aku salah denger, kan? Apa maksud dengan calon suami?” tanya Arum dengan penuh penekanan, ia tidak ingin jika hal itu adalah benar. “Iya, Rum. Ayah belum sempat bilang sama kamu, ini rencananya ayah mau ngasih tau kamu. Begini... Um,” ucapan Budi terjeda, raut wajahnya nampak bingung hendak menjelaskan mulai dari mana. “Kenapa, yah?” Arum menyentuh lengan Budi, membuat pandangan lelaki paruh baya itu kini sepenuhnya menatap dirinya. “Kamu tahu, kan? Kalau dalam beberapa bulan terakhir perusahaan lagi dalam masalah dan kita hampir bangkrut?” Arum mengangguk dengan raut wajah serius, ingin tahu apa kalimat berikutnya yang akan Budi ucapkan. “Beberapa hari lalu lawan bisnis kita tiba-tiba menghubungi ayah, dia menawarkan bantuan berupa modal untuk memperbaiki masalah kita ini, dan dia juga mengatakan akan menganggap lunas semua hutang yang pernah ayah pinjam dari dia. Tapi...” Arum mengerutkan keningnya, mulai menebak alur cerita berikutnya. “.. Dia ingin ayah menyerahkan salah satu putri ayah untuk dijadikan sebagai istri keduanya,” Arum melepas pegangan tangannya pada Budi, ia menggelengkan kepalanya pelan dengan tatapan mata tak percaya mendengar apa yang Budi katakan barusan. “.. Jadi maksudnya, ayah jual aku?” Arum diam sebentar memperhatikan wajah panik Budi, lalu beranjak hendak meninggalkan lelaki itu. Tak ingin Arum pergi tanpa persetujuan, Budi memegang tangan Arum dan menahan gadis itu untuk pergi. “Dengar ayah dulu, Rum. Ga ada yang salah dengan sebuah perjodohan, banyak kok yang berakhir bahagia, walau usia yang terpaut jauh sekalipun. Percaya sama ayah, kamu akan bahagia dengan calon kamu ini. Selain itu, masalah ayah juga jadi berkurang, kan? Lakukan ini demi ayah, ya?” Bujuk Budi dengan raut wajah memelas. “Ayah juga ga bisa membiarkan Sarah yang menikah dengan lelaki tua itu, Rum. Dia baru lulus SMA dan masih sangat muda, kasihan dia,” lanjut Budi membuat Arum membulatkan matanya, lalu apa bedanya dengan Arum yang hanya berbeda dua tahun dengan Sarah, begitu pikir Arum. Mau dipikir dan ditolak berapa kalipun, Arum tau, ia tak akan bisa menolak atau lari dari masalah ini. Mau tidak mau, ia harus mengiyakan apa yang Budi inginkan. Dengan terpaksa, Arum mengangguk mengiyakan permintaan Budi. Melihat itu lantas membuat senyuman terukir lebar di wajah Budi. Tanpa memastikan bagaimana perasaan putri sulungnya setelah pembicaraan itu, Budi berdiri dan meraih ponselnya yang berada di atas meja lalu menelepon seseorang dengan girang, sepertinya itu adalah pihak yang akan segera memberinya uang dalam jumlah besar. Arum tersenyum pahit lalu berlalu meninggalkan Budi menuju kamar miliknya. Sesampainya di dalam kamar, Arum mengunci pintu dan merebahkan dirinya di atas kasur. Moodnya hancur seketika memikirkan apa yang baru saja ia bicarakan dengan ayahnya, bahkan nasi yang sudah ia siapkan di dapur pun ia tinggal begitu saja. Matanya terpejam, lalu bulir air mata jatuh begitu saja. Pikirannya berkecamuk membayangkan harus menghabiskan sisa hidupnya bersama orang asing yang bahkan mungkin sebaya dengan ayahnya. “.. Kala...” Gumam Arum semakin terisak.Saka menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum simpul, tak habis pikir dengan tingkah Sarah yang jauh berbeda dengan kakaknya, Arum. Sudah beberapa hari ini, Sarah terus-menerus mengirim pesan padanya, berharap bisa bertemu lagi, berharap bisa melanjutkan apa yang sudah mereka mulai. Senyum itu perlahan memudar, tergantikan tatapan datar yang saat ini tengah menatap layar ponsel. Perasaannya mulai lelah dengan permainan ini. Di layar itu, tertera nama Sarah yang tercatat di daftar kontaknya. Dengan mantap, jari-jarinya bergerak, dengan sekali ketukan ia memblokir nomor Sarah.Ponsel di tangannya kini terasa lebih ringan, seolah sebuah beban telah hilang begitu saja. Saka menghela napas, menatap layar ponselnya yang gelap. Tidak ada lagi pesan masuk dari Sarah yang mengganggu. Pandangan Saka kini tertuju pada Arum yang terbangun, perempuan itu mengucek matanya lalu menguap dengan tangan yang menutupi mulutnya. Matanya yang masih setengah terbuka melirik ke arah Saka dan terseny
"Tuan..." Rengek Arum, suaranya bergetar bercampur dengan isak tangis. Ia maju perlahan dan kembali memeluk Saka.Ketika kembali memeluk Saka, Arum mengeratkan pelukannya dan menangis lebih keras, menumpahkan semuanya di pelukan yang terasa hangat itu. Tak seperti sebelumnya, Saka kini benar-benar diam membatu. Merasa canggung dengan situasi saat ini, namun ia tak tahu harus bereaksi seperti apa pada Arum yang terlihat sangat rapuh malam ini. Dalam diam, Saka berusaha menenangkan dirinya, meski sebenarnya hatinya pun tengah bergejolak. Ada perasaan bersalah yang entah mengapa tiba-tiba muncul. Ia benci untuk mengakui jika hatinya mulai terasa sesak saat melihat Arum terisak di pelukannya.Dengan ragu, tangan Saka naik perlahan untuk membalas pelukan Arum. Saka memejamkan matanya, mengusap lembut puncak kepala Arum agar perempuan itu merasa sedikit lebih baik."Udah, jangan nangis..." Suara Saka terkesan kaku, namun ada kehangatan yang tersembunyi di balik kata-kata itu.Saka melepask
Budi melangkah masuk ke kantor SkyLine Group dengan langkah lunglai, merasa bingung dan putus asa dengan apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Belum selesai soal data kantor yang tiba-tiba rusak, ditambah harus kalah tender dengan menantunya sendiri, Saka Rama Sadewa. Untuk yang kesekian kalinya, ia menghela napas panjang sebagai efek dari isi kepalanya yang berkecamuk.Begitu kaki kanan dan kirinya melangkah memasuki area lobi, entah mengapa suasana terasa berbeda baginya. Ada sesuatu yang terasa aneh. Beberapa karyawan yang biasa menyapanya dengan ramah malah terlihat berbisik-bisik sesaat setelah matanya bertemu dengan mereka. Budi merasakan ada sesuatu yang tidak beres, namun ia mencoba untuk menahan diri, berusaha fokus pada pekerjaan yang harus segera ia selesaikan.Namun, semakin ia melangkah menuju ruang kerjanya, semakin terasa ada yang ganjil. Beberapa karyawan bahkan meliriknya dengan tatapan yang sulit ia artikan. Mereka berbicara satu sama lain, lalu segera diam ketik
Arum yang tengah sibuk membereskan dapur menoleh ketika mendengar suara tawa kecil Saka dari arah belakangnya.“Saya ga nyangka, keluarga kamu emang se mata duitan itu, ya?” ejek Saka. “Maksudnya?” Tanya Arum tak mengerti. “Kamu ga tau, atau pura-pura ga tau? Adanya kamu di sini kan juga karena uang, mereka butuh uang buat manjain adik kamu yang manja itu.” Saka tersenyum puas melihat wajah Arum yang mulai kesal. “Orang tua kamu tadi nemuin saya, mereka minta uang. Menurut kamu, saya kasih ga?” Saka maju beberapa langkah mendekati Arum, ingin perempuan itu menebak. “Kalau memang menurut tuan itu ga penting, ga usah dikasih.” Arum melenggang melewati Saka, namun lelaki itu mencengkeram lengannya, membuat keduanya kini bertatapan. “Kalau aja waktu itu mereka tau, yang akan dinikahkan dengan putri mereka adalah saya, saya yakin mereka akan memberikan Sarah untuk jadi pengantin saya. Makanya saya sengaja mengatakan kalau perjodohan itu untuk istri kedua papah saya. Dan lihat, kamu dibu
Saka berlari dengan napas terengah-engah, matanya kini penuh kekhawatiran. Nico yang berada di sampingnya, juga tak kalah panik, menggenggam ponsel di tangan dan masih mencoba untuk menghubungi Arum. Keduanya sudah berputar-putar di taman yang gelap, mencari-cari keberadaan Arum yang kini terasa hilang."Kok bisa dia dateng ke tempat yang sepi begini! Cari masalah aja bisanya!" Omel Saka di tengah langkahnya."Tenang, Sa! Kita Arum pelan-pelan, jangan panik dulu!" Ucap Nico, ada rasa cemas dari nada bicaranya.Mereka terus berlari, menyusuri jalan setapak yang hampir tak terlihat, hanya diterangi lampu jalan yang remang. Suara dedaunan yang bergesekan dengan angin semakin terdengar menakutkan. Di kejauhan, mereka mendengar suara teriakan."Itu... Arum!" Ucap Nico, membuat Saka mengangguk setuju. Tak menunggu lama, keduanya kembali berlari dan mempercepat laju lari mereka.Di sisi lain, Arum yang masih berlari sesekali menengok ke belakang, melihat sosok gelap yang terus mengejarnya. T
Pagi ini, langit tampak begitu cerah, suasana pagi terasa begitu sejuk menenangkan hati. Namun, berbeda dengan perasaan Arum yang kini justru sedang mendung. Suasana hatinya masih tak kunjung membaik sejak kejadian Saka dan Sarah.Arum keluar dari gudang setelah selesai bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Namun sebelum berangkat, ia melangkahkan kakinya terlebih dahulu ke dapur untuk meminum segelas air. Matanya melirik ke arah Saka yang berlari ke arah dapur dengan panik, dengan setelan kantornya yang sedikit berantakan."Kamu ga masak?" Tanya Saka setelah sampai di hadapan Arum. Lelaki itu tengah berusaha mengatur deru napasnya sedikit terengah-engah.".. Engga," balas Arum masih saja ketus."Susu? Bahkan kamu ga bikinin saya susu?" Tanya Saka dengan keningnya yang mengerut, ada sedikit rasa kesal yang mulai terasa.Melihat Arum menggelengkan kepalanya, Saka menghela napas kesal lalu mengetuk-ngetuk meja dapur. "Yaudah air mana air? Cepet ambilin saya air!" Saka sedikit memelototi
"Hai, Nico!" Sapa Arum pada Nico yang sudah menunggunya di depan mobil, seperti biasa."Hai! Gimana hari ini? Ngebul ga kepalanya? Haha!" Ledek Nico yang mengetahui jika hari ini Arum mendapat kuis pada salah satu mata kuliah."Ngebul! Bisa ajak aku makan sesuatu yang manis, ga?" Mendengar itu Nico menatap Langit, berpikir sejenak."Hmm... Cokelat, brownies, donat, puding, ice cream, kue tart, macaron?" Tanya Nico berusaha menyebutkan semua makanan manis yang ia ketahui."Brownies sama es krim!" Sahut Arum dengan senyum yang mengembang."Oke, kita beli di toko kue langganan Saka aja, di sana juga ada jual ice cream, nanti aku ajak muter-muter dulu deh sebelum pulang, biar fresh lagi," tutur Nico seraya tersenyum, senang rasanya melihat Arum tersenyum seperti itu.Setelah mendapatkan anggukan persetujuan dari Arum, keduanya masuk ke dalam mobil dan segera melaju menuju toko kue yang selalu menjadi pilihan jika Saka sedang ingin makan brownies, camilan favoritnya.Mobil sampai di depan
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments