“Ga ada apa-apa kok, omah. Cuma ada sedikit salah paham aja,” balas Arum, namun tetap tak menghilangkan khawatir dari raut wajah Risma.
“Beneran ga papa? Kamu sampai nangis begini... Mana Saka? Biar omah marahi dia!” ucap Risma seraya mengintip ke dalam kamar.“Jangan omah, Arum beneran ga papa kok, omah.” Setelah penjelasan yang Arum berikan dapat diterima oleh Risma, akhirnya Arum menutup pintu kamar ketika Risma sudah tak lagi di sana.Ketika pagi hari tiba, Arum menghampiri Saka yang berada di depan lemari, lelaki itu nampak kesal dan kebingungan. “Kenapa, mas?” tanya Arum.“Nyari dasi! Dasi merah!” sahut Saka ketus. Sorot mata Arum mencari ke beberapa arah, dan menemukan apa yang Saka cari. Ia meraih dasi itu dan menunjukkannya pada Saka.“Mau dipasangin?” Saka meraih dasi itu dengan kasar dan melangkah mendekati cermin.“Ga usah, saya bisa sendiri!” Mendengar itu, Arum berbalik dan keluar dari kamar. Saka hanya bisa mendengus kesal melihatnya.Setelah selesai bersiap, Saka keluar dari kamar, mencari sosok omah untuk berpamitan. Langkahnya berhenti di dapur, karena sosok yang ia cari ada di sana. “Omah, aku berangkat dulu.” Pamit Saka seraya mencium punggung tangan Risma.“Kebetulan, bekal buatan istri kamu juga baru selesai nih. Ayo cium dulu Arum sebelum berangkat.” Risma menepuk-nepuk bahu Saka lalu menarik Saka agar lebih dekat dengan Arum.“O-omah..” Saka memalingkan wajahnya, ia menggenggam tangan Risma seraya tersenyum canggung.“Kalau malu ya pipi aja, ga papa kok. Anggap aja omah ga ada, ya?” Risma melepaskan tangannya dari Saka dan mundur beberapa langkah, memberikan kebebasan untuk cucu-cucunya.“Ini.. Bekalnya,” ucap Arum seraya memberikan tas kecil berisi makanan.Saka diam selama beberapa saat, lalu perlahan mendekati Arum. Saka menempelkan pipinya pada pipi Arum, tangannya naik menyentuh kepala Arum, perlahan tangannya menjambak rambut panjang yang terurai itu. “Makasih... Sayang.”Saka kembali berdiri tegak, menatap perempuan di hadapannya selama beberapa detik dengan tatapan dingin lalu berbalik pada Risma. Setelah berpamitan, ia keluar dari rumah dan berangkat menuju kantor.Setelah menyelesaikan meeting, Saka berjalan menuju ruangannya dengan langkah lunglai. Entah mengapa sejak siang ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya, kepalanya kini mulai terasa pusing.“Bapak ga papa?” tanya asisten Saka yang sedari tadi berjalan di sampingnya.Saka menatap perempuan itu lalu tersenyum, “Kepala saya pusing, bisa bantu saya masuk ke ruangan?” Perempuan itu mengangguk lalu memegangi lengan Saka, memastikan lelaki itu tak jatuh.Sesampainya di ruangan, Nadine membiarkan Saka duduk di sofa lalu kembali berdiri. “Mau ke mana? Ga mau nemenin dulu di sini? Kayaknya aku sakit, deh,” rengek Saka seraya memijat pelipisnya.“Aduh, gimana ya.. Aku mau-mau aja sih, tapi aku udah ada janji sama temen. Maaf banget ya, sayang.. Kamu istirahat aja di sini, paling tidur sebentar juga sembuh. Ya? Ga papa ya aku tinggal?” Mendengar itu, Saka hanya bisa menghembuskan napas lelah lalu mengangguk, membiarkan perempuan itu keluar dari ruangan.Saka menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dan lagi-lagi menghembuskan napas panjang, ia memejamkan matanya berharap sakit di kepalanya bisa segera hilang, atau paling tidak bisa berkurang.“Masuk,” ucapnya ketika pintu diketuk. Matanya sedikit terbuka, memastikan siapa yang mengganggu waktu istirahatnya yang berharga.Saka menegakkan posisi duduknya dan berdecak kesal ketika tamu itu mendekatinya. “Ngapain ke sini?” tanyanya ketus.“Papah minta aku anterin dokumen ini, katanya penting,” ucap Arum seraya memberikan sebuah map pada Saka.“Ck, taruh aja di meja!” Saka kembali menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan memejamkan matanya.“Mas sakit?” Saka menanggapi dengan deheman. Untuk memastikan, tangan Arum bergerak dan menyentuh kening Saka, suhu panas yang tak wajar membuat Arum yakin jika Saka sedang demam.“Ah, apasih?! Ga usah pegang-pegang!” ucap Saka seraya menyingkirkan tangan Arum darinya dengan kasar.“Sudah makan belum?”“.. Belum.”Arum bangkit dari sofa dan berjalan mendekati meja kerja Saka, di sana ada bekal yang tadi pagi ia siapkan. Ia mengambil bekal itu dan kembali duduk di samping Saka. “Makan dulu ya, habis itu minum obat.”Saka membuka matanya dan melirik Arum yang sedang mempersiapkan alat makan, “Saya ga mau makan masakan kamu!”Arum menatap masakan yang tadi pagi ia masak, lalu kembali menatap Saka. “Ini masakan omah kok, bukan aku,” balas Arum membuat Saka terlihat tertarik, laki-laki itu melirik isi kotak bekal yang Arum pegang, terlebih ketika perut laki-laki itu berbunyi, membuatnya mau tak mau menerima makanan itu.“Yaudah, kalau itu masakan omah, sini!” Arum memberikan kotak makan itu dan membiarkan Saka memakannya. Namun setelah memperhatikan sebentar, Arum kembali mengambil kotak makan itu, membuat Saka menatapnya tak santai.“Kenapa diambil?!” pekik Saka kesal, padahal ia sudah mulai menikmati makanan itu.“Tangan mas gemetaran gitu, kalau tumpah gimana? Biar saya suapin aja, ayo buka mulutnya,” ucap Arum yang sudah siap memasukkan sendok berisi nasi ke dalam mulut Saka.“Ga mau!”“Buka mulutnya! Cepet!” paksa Arum.“Kalau saya bilang engga, ya engga! Saya bisa makan sendiri!” balas Saka tak mau kalah.“Buka mulutnya atau saya cium!” ancam Arum membuat Saka mengerjapkan matanya beberapa kali. Tak ingin itu terjadi, terpaksa ia membuka mulutnya.“Bagus,” ucap Arum, Saka membalasnya dengan tatapan sinis.Setelah selesai makan, Arum mengeluarkan obat demam dari dalam tasnya. “Minum obat dulu ya?”“.. Obat apa itu?” tanya Saka dengan tatapan penuh kecurigaan.“Kalau demam biasanya aku minum ini, obatnya aman kok.” Arum menunjukkan pil obat di tangannya pada Saka.“Ga mau! Saya maunya obat dari dokter pribadi saya,” tolak Saka membuat Arum kesal.“Mas.. Minum ini ya? Ini aman kok, cuma beda merek aja sama obat yang biasa mas minum.”“Aduuuh nanti kalau makin parah gara-gara minum itu gimana?!” Tak ingin berdebat lagi, langsung saja Arum memasukkan obat itu ke mulut Saka, lalu memberinya air untuk minum.“Puah.. Kurang ajar kamu ya! Mulai berani kamu sama saya!” omel Saka.“Iya! Mau sembuh ga? Ya minum obat!” balas Arum, membuat Saka cemberut menatap dirinya. Merasa tak ada tenaga untuk menanggapi Arum, Saka diam lalu kembali memejamkan matanya, perlahan laki-laki itu terlelap dalam tidurnya.Waktu berlalu, mata Saka terbuka perlahan dan menyadari hari sudah berganti menjadi sore. Beruntungnya lagi, sakit di kepalanya sudah tak ia rasa alias hilang. Ia menoleh dan menatap Arum yang juga tertidur di sampingnya.“Dasar, malah tidur juga..” Saka menatap tangannya yang bertautan dengan jemari Arum, entah mengapa ia merasa nyaman dengan keadaan tersebut. Tidurnya terasa begitu nyenyak, tak seperti biasanya. Namun, segera setelah benar-benar sadar dari rasa kantuk, Saka menarik tangannya dan menghempaskan tangan Arum, membuat tangan itu kini mendarat di perut pemiliknya.Saka meraih ponsel yang ada di saku celananya setelah merasakan sebuah getaran, sepertinya ada sebuah pesan yang masuk. Ia tersenyum simpul ketika melihat pesan tersebut.Sarah :“Mas Saka, kok hari ini ga ada hubungin aku? Aku telepon juga ga diangkat, sibuk ya? Kapan kita jalan-jalan lagi, mas?”“Ga mau, pah. Udah berapa kali aku bilang, aku ga mau! Aku mau menikah sama orang yang aku cintai!” tegas Kala, bersikukuh menolak tawaran perjodohan dari papah.“Kala, papah kan sudah jelaskan tadi, rasa cinta akan timbul seiring berjalannya waktu,” sahut Dewa, lelaki berusia 58 tahun yang Kala panggil dengan sebutan papah.“Engga! Aku sudah punya orang yang mau aku nikahi, dan aku sangat mencintai dia! Aku akan kenalkan sama papah secepatnya!” bantah Kala membuat Dewa menggelengkan kepala lelah.“Kenapa sih ribut pagi-pagi??” Kala dan kedua orang tuanya menoleh pada sumber suara, suara milik seorang pria dengan perawakan tinggi yang baru memasuki ruang keluarga.“Putri sulung keluarga Wicaksono?” tanya Saka memastikan, setelah mendengar penjelasan dari Dewa. “Biar aku yang menikah dengan perempuan itu!” ucap Saka dengan tegas, membuat semua orang yang berada di ruangan tercengang mendengar ucapannya. ***Lelaki dingin yang baru saja pulang dari luar negeri itu kembali, hanya untuk
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya.“Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu.Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?”“Tadinya mau nganterin mas makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum.“Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang terus berjalan di depan Arum.Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap makan. “Ngomong-ngomong, papah sama ma
“Waktu usia Saka masih 6 tahun, dia kehilangan ibu kandungnya dengan cara yang ga wajar,” ucap Risma membuat Arum sempat loading, bukankah Rosa adalah ibu Saka? Apa maksudnya kehilangan.“Kamu pasti bingung... Keluarga kita ini bukan keluarga sempurna seperti yang orang-orang bicarakan, kita juga pernah berada di bawah dan terpuruk. Jadi sebenarnya, Rosa itu ibu tirinya Saka, dulu Dewa menikah lagi setelah satu tahun kepergian ibu Saka, dan satu tahun kemudian lahirlah Kala.” Risma menjeda ceritanya, menyeruput secangkir teh hangat lalu menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan cerita.“Dulu, ada yang menuduh Dewa melakukan korupsi, sehingga banyak harta keluarga yang disita, bahan Dewa sempat ditahan untuk waktu yang cukup lama. Di saat itu, hal buruk juga terjadi pada kakak Saka, namanya Raka, anak itu diculik ketika sedang bermain bersama Saka di taman. Saka yang masih kecil saat itu tidak bisa melakukan banyak hal, dia dipukuli saat berusaha menyelamatkan kakaknya.”
“Mandi sana, habis itu makan bareng,” titah Kala seraya mengusap kepala Arum lembut, lelaki itu akhirnya kembali tersenyum manis setelah cukup lama murung.Setelah menginap selama beberapa hari di kediaman Dewa alias mertuanya, Arum mulai merasa nyaman dan betah, setidaknya ia tidak merasa kesepian. Orang-orang di rumah itu juga memperlakukannya dengan baik. Ia menutup pintu kamar, bersiap untuk segera tidur. Namun sebelum tidur, ia berdiri dan tersenyum menatap pemandangan langit malam yang indah melalui jendela kamar.Arum menoleh ketika mendengar suara pintu yang dibuka, diiringi suara Saka yang tertawa kecil setelahnya. “Saya ga nyangka, keluarga kamu emang se mata duitan itu, ya?” ejek Saka.“Maksudnya?” Tanya Arum tak mengerti.“Kamu ga tau, atau pura-pura ga tau? Adanya kamu di sini kan juga karena uang, mereka butuh uang buat manjain adik kamu yang manja itu.” Saka tersenyum puas melihat wajah kesal Arum.“Orang tua kamu tadi nemuin saya, mereka minta uang. Menurut kamu, saya