Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya.
“Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu. Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?” “Tadinya mau nganterin tuan makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum. “Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang sudah berjalan lebih dulu di depan Arum. Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap untuk makan. “Ngomong-ngomong, papah sama mamah ada apa ke sini?” tanya Saka. “Tadi papah sama mamah habis jalan-jalan, terus karena dekat sama rumah kamu, jadi mampir dulu sebentar." Saka mengangguk paham lalu tak menanggapi lagi. Tangannya yang sedang menyendok nasi berhenti ketika ponsel di saku celananya bergetar, segera ia meraih ponsel itu dan melihatnya. Begitu nama penelepon terlihat, senyum kecil terukir di wajah lelaki itu. Saka bangkit dari duduknya, meninggalkan makanannya dan mengangkat panggilan yang masuk itu. "Ya, halo?" Sapa Saka pada seseorang di ujung sana. "Halo, tuan. Saya mau melaporkan kalau sekarang saya sudah resmi menjadi sekretaris Budi, dan besok sudah mulai masuk kantor." Saka menyeringai ketika mendengar laporan tersebut, sesuai dengan yang ia harapkan. "Bagus, Diana. Lakukan tugas kamu, dan hancurkan keluarganya," titah Saka yang dengan segera Diana iyakan. Tak ada pembicaraan lebih lanjut, Saka menutup panggilan tersebut dan beralih menelepon seseorang yang merupakan tangan kanannya sekaligus sahabat dekatnya sejak kecil, Nico. "Ya, Saka?" Sahut Nico. "Koordinasi sama sekretaris saya dan siapkan dokumen yang diperlukan untuk tender bersama pak Broto. Saya tunggu besok di kantor," titah Saka sebelum mematikan telepon beberapa detik setelahnya. Ia tersenyum simpul lalu kembali bergabung di meja makan. --- Dengan langkah ringan dan penuh percaya diri, Diana melangkah di trotoar pagi yang sepi, menatap gedung tinggi di hadapannya. Pakaian yang dia kenakan sempurna, blazer hitam yang pas di badan, dan rok pensil yang menonjolkan lekuk tubuhnya, membuatnya terlihat seperti seorang profesional yang siap menaklukkan dunia. Rambut panjangnya yang tergerai di atas bahu, dihiasi dengan sedikit gelombang, berkilau di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah gedung. Setiap gerakan tubuhnya dipenuhi dengan pesona yang sulit untuk diabaikan. Namun, dibalik senyuman manis yang selalu ia tunjukkan, ada niat licik yang tersembunyi. Matanya yang tajam melirik ke arah pintu utama gedung kantor SkyLine Group, tempat Budi, ayah Arum bekerja. Ini adalah hari yang sangat dia nantikan, saat dia akan mulai mendekati Budi sesuai dengan perintah tuan Saka. Diana tahu betul bagaimana caranya menarik perhatian orang yang gila perempuan dan harta seperti ayah Arum. Sudah cukup lama Diana mempelajari segala hal tentang keluarga Arum, dan sudah merencanakan ini dengan cermat. Dengan pesonanya yang tidak bisa ditolak, dia yakin bisa menyusup ke dalam kehidupan pria hidung belang itu, menciptakan ketertarikan yang perlahan-lahan akan mengarah pada kedekatan dan berujung pada rusaknya keluarga yang sangat Saka benci itu. Sekali lagi, senyum manis terulas di wajahnya saat pintu kantor terbuka dan ia melangkah masuk, menyadari bahwa dunia ini hanya akan memutar ke arah yang dia tentukan. Diana masuk ke dalam ruangan besar yang dipenuhi dengan aroma kopi panas dan suara laptop yang bekerja. Di depan meja besar, nampak sosok Budi yang sedang sibuk memeriksa laporan proyek terbaru. Diana melangkah perlahan menuju meja, senyum manis di wajahnya memancarkan aura yang memikat. Dengan suara lembut, Diana berjalan perlahan sambil mendekati meja kerja Budi. "Selamat pagi, pak Budi. Maaf mengganggu waktu bapak. Ada beberapa dokumen yang perlu bapak tanda tangani." Diana menyelipkan map berisi dokumen penting di atas meja Budi, lalu berdiri dengan posisi lebih dekat dari biasanya. Budi mengangkat pandangannya dan menatap Diana sejenak. Ada sedikit kelelahan di wajah lelaki itu. "Oh, oke Diana. Bisa kamu kasih dokumen itu ke saya?" Diana semakin menggeser posisinya agar menjadi lebih dekat dengan Budi, suaranya yang halus rasanya sangat menyejukkan begitu masuk ke telinga Budi. Tangan Diana bergerak, mengelus lembut bahu lelaki paruh baya itu. "Tentu, pak. Tapi saya khawatir kalau bapak terlalu banyak bekerja. Jangan terlalu dipaksakan, pak." Budi tersenyum sejenak, namun sedikit terkejut dengan perhatian yang lebih pribadi dari Diana. "Hm, saya bisa mengurus semuanya. Ini memang pekerjaan yang harus saya selesaikan." Budi menegakkan posisi duduknya, lelaki itu terlihat sedikit enggan untuk menerima perhatian yang Diana berikan. "Saya mengerti, pak. Tapi... Mungkin bapak perlu sedikit istirahat. Bapak sudah banyak bekerja keras, saya hanya ingin melihat bapak lebih santai sedikit." "Terkadang, bukan hanya fisik yang lelah, tapi pikiran kita juga butuh waktu untuk sejenak berhenti." Diana sedikit mencondongkan tubuhnya ke meja, memberi kesan lebih dekat, tapi masih terlihat sopan. Budi tersentak, merasa sedikit canggung, namun ada kehangatan dari perhatian yang diberikan Diana. Lelaki itu memandangi Diana, tampak sedikit terperangah. "Sepertinya... Kamu benar juga." Diana mendekatkan wajahnya sedikit lagi, tersenyum lembut namun penuh arti, matanya menatap dalam ke arah Budi. "Pak, bapak terlalu keras pada diri sendiri. Saya selalu ada di sini untuk membantu bapak. Saya... Ingin melihat bapak baik-baik saja." Senyum Diana semakin manis, seolah menyiratkan kepedulian yang lebih dalam, namun jelas ada niat tersembunyi di baliknya. "Baiklah, Diana. Terima kasih. Mungkin saya akan istirahat sebentar. Kamu memang selalu perhatian." Budi tersenyum, sedikit canggung, namun ada sesuatu yang mulai menarik perhatiannya dari Diana setelah satu minggu perempuan itu bekerja sebagai sekretaris pribadinya. Diana menyeringai sedikit, tahu bahwa dia sudah mulai berhasil menanamkan benih manipulasi dalam pikiran Budi. "Saya senang bisa membantu, pak. Jangan ragu untuk bilang kalau bapak membutuhkan sesuatu lagi. Saya di sini, selalu siap membantu bapak." Budi mengangguk pelan, kemudian kembali melirik Diana yang mulai berjalan menuju pintu. Ada rasa ketertarikan yang tiba-tiba muncul, namun ia mencoba menepisnya. "Terima kasih, Diana." Setelah Diana keluar, Budi duduk sejenak di sofa, memikirkan percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah perhatian biasa dari seorang sekretaris, tapi ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuatnya ingin lebih dekat dengan Diana. Namun, ia berusaha menahannya, tidak ingin terlalu tergoda oleh hal itu. --- "Selamat siang, tuan Saka," sapa Diana pada atasannya, Saka. "Hm. Gimana?" Tanya Saka terdengar acuh. "Saya sudah berhasil membuat celah, dan saya pastikan target akan segera masuk ke dalam perangkap," lapor Diana, membuat senyum lawan bicaranya mengembang seketika.Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani. Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jema
Saka yang sudah berada di cafe itu sejak dua jam yang lalu kembali menyeruput kopi susu yang kini sudah mulai mendingin. Matanya kini terfokus pada sosok perempuan muda yang duduk sendirian tak jauh dari mejanya. Saka menyeringai pelan setelah melihat perempuan itu nampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dengan langkah mantap, Saka berdiri dan berjalan menuju meja Sarah. Begitu tiba, ia berhenti sejenak, menatap Sarah yang sedang memejamkan matanya. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa Saka, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. Ia segera menegakkan duduknya dan merapikan rambut yang dirasa kurang rapi. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka. "Sendirian aja? Udah pesan makan?" Tanya Saka seraya meraih buku menu dan membukanya. Sarah tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Mba!" Panggil Saka pada sala
Saka yang sudah rapi dengan setelan jas katornya melangkah menuruni anak tangga. Langkahnya sempat terhenti sesaat, dengan ekspresi datar, matanya menilai setiap sudut ruang tamu yang terlihat rapi. Namun, pandangannya terhenti pada Arum yang baru saja memasuk rumah. Ia mengenakan baju yang terlihat lebih sederhana dari biasanya, kaos polos dan celana jeans panjang yang sedikit pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi sekarang hanya diikat seadanya.Saka melangkah mendekati Arum lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Saka menghela napas, tak habis pikir dengan sosok Arum yang saat ini berdiri di hadapannya. “Dari mana kamu?" Tanya Saka dengan nada sedikit meninggi."Saya... Dari supermarket depan, tuan," jawab Arum takut-takut."Terus apa maksud kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Saka menunjuk apa yang sedang Arum kenakan dengan dagunya.Arum menunduk, memperhatikan setiap bagian dari pakaian yang ia kenakan. "Memangnya kenapa, tuan?" Tanya Arum bingung."K
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
Suara ricuh seketika memenuhi ruang kelas ketika jam kuliah berakhir, diikuti dosen yang meninggalkan ruangan. Masing-masing sibuk merapikan barang mereka untuk kemudian meninggalkan lingkungan kampus. Sama halnya dengan seorang gadis berusia 20 tahun yang duduk di kursi depan, sembari sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, dengan terburu-buru ia memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas, yang tanpa disengaja membuat salah satu pulpennya terjatuh ke lantai. Belum sempat tangannya meraih pulpen hitam yang tergeletak di lantai, sebuah tangan yang lebih besar darinya meraih pulpen itu dan meletakkannya di atas meja. "Buru-buru banget, santai aja dulu" Ucap Sekala, laki-laki berwajah teduh dengan mata coklat dan rambut comma hair nya. "Ga bisa, Kal! Rapatnya jam 3 dan sekarang udah jam 14.50... Aku duluan ya" Pamit Arum yang sudah selesai merapikan barang-barangnya. "Bentar..." Panggil Sekala dengan suara lembut, tangannya meraih pergelangan tanga
Arum berjalan menyusuri lorong fakultasnya dengan perasaan yang masih kacau. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang perjodohan yang dibicarakan dengan ayah kemarin. Di tengah rasa kalut itu, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya sedang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya. Jantung Arum berdegup dengan kencang, sakit sekali jika memikirkan bahwa mustahil untuk bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pasalnya, kali ini pun ia tak akan bisa menolak perintah dari ayahnya. Arum mengusap air mata yang tanpa disadari mengalir tanpa izin menuruni pipinya, lalu berbalik dan segera pergi dari sana, tak ingin jika harus menatap wajah Sekala dan bicara dengan lelaki itu. Sesampainya di kelas, Arum duduk di kursinya dan menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Kata-kata ayahnya terus berputar-putar di kepala, memantul tanpa henti. Hatinya berdegup cepat, seolah dunia yang selama
Langkah Saka berhenti sekitar 100 meter di depan Arum. Mata tajam itu kini menatap para pegawai yang sedari tadi membantu Arum mengenakan gaun pengantinnya. "Bisa tinggalkan saya berdua dengan calon istri saya?" Mengangguk paham, semua pegawai di ruangan itu keluar, meninggalkan Saka dan Arum di ruangan dalam hening. Arum berbalik ke arah cermin, tak siap rasanya menatap mata tajam lelaki itu. Saka melangkah perlahan mendekati Arum, matanya tajam memandang gadis itu dengan sedikit senyum nakal. “Jadi, akhirnya... Ini yang jadi pilihannya? Dress yang bikin saya semakin yakin kalau pernikahan ini bukan sekedar formalitas," bisik Saka tepat di telinga Arum, suaranya terkesan santai namun penuh makna. Arum sedikit bergeser, tak nyaman dengan apa yang Saka lakukan barusan. Ia menatap lelaki itu melalui kaca dengan perasaan sedikit tegang. “Kenapa... Kenapa tuan ada di sini? Apa tuan ga sibuk?” Tanya Arum gugup. Mendengar itu, Saka tersenyum simpul. "Kamu udah ngerti sendiri rupanya, har
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Saka yang sudah rapi dengan setelan jas katornya melangkah menuruni anak tangga. Langkahnya sempat terhenti sesaat, dengan ekspresi datar, matanya menilai setiap sudut ruang tamu yang terlihat rapi. Namun, pandangannya terhenti pada Arum yang baru saja memasuk rumah. Ia mengenakan baju yang terlihat lebih sederhana dari biasanya, kaos polos dan celana jeans panjang yang sedikit pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi sekarang hanya diikat seadanya.Saka melangkah mendekati Arum lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Saka menghela napas, tak habis pikir dengan sosok Arum yang saat ini berdiri di hadapannya. “Dari mana kamu?" Tanya Saka dengan nada sedikit meninggi."Saya... Dari supermarket depan, tuan," jawab Arum takut-takut."Terus apa maksud kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Saka menunjuk apa yang sedang Arum kenakan dengan dagunya.Arum menunduk, memperhatikan setiap bagian dari pakaian yang ia kenakan. "Memangnya kenapa, tuan?" Tanya Arum bingung."K
Saka yang sudah berada di cafe itu sejak dua jam yang lalu kembali menyeruput kopi susu yang kini sudah mulai mendingin. Matanya kini terfokus pada sosok perempuan muda yang duduk sendirian tak jauh dari mejanya. Saka menyeringai pelan setelah melihat perempuan itu nampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dengan langkah mantap, Saka berdiri dan berjalan menuju meja Sarah. Begitu tiba, ia berhenti sejenak, menatap Sarah yang sedang memejamkan matanya. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa Saka, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. Ia segera menegakkan duduknya dan merapikan rambut yang dirasa kurang rapi. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka. "Sendirian aja? Udah pesan makan?" Tanya Saka seraya meraih buku menu dan membukanya. Sarah tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Mba!" Panggil Saka pada sala
Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani. Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jema
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya. “Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu. Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?” “Tadinya mau nganterin tuan makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum. “Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang sudah berjalan lebih dulu di depan Arum. Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap untuk makan. “Ngomong-
Hari berganti menjadi malam, pesta pernikahan yang melelahkan telah usai. Saka membawa perempuan yang kini baru saja menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, tuan?” tanya Arum takut-takut. “Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini. “Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, mem
Langkah Saka berhenti sekitar 100 meter di depan Arum. Mata tajam itu kini menatap para pegawai yang sedari tadi membantu Arum mengenakan gaun pengantinnya. "Bisa tinggalkan saya berdua dengan calon istri saya?" Mengangguk paham, semua pegawai di ruangan itu keluar, meninggalkan Saka dan Arum di ruangan dalam hening. Arum berbalik ke arah cermin, tak siap rasanya menatap mata tajam lelaki itu. Saka melangkah perlahan mendekati Arum, matanya tajam memandang gadis itu dengan sedikit senyum nakal. “Jadi, akhirnya... Ini yang jadi pilihannya? Dress yang bikin saya semakin yakin kalau pernikahan ini bukan sekedar formalitas," bisik Saka tepat di telinga Arum, suaranya terkesan santai namun penuh makna. Arum sedikit bergeser, tak nyaman dengan apa yang Saka lakukan barusan. Ia menatap lelaki itu melalui kaca dengan perasaan sedikit tegang. “Kenapa... Kenapa tuan ada di sini? Apa tuan ga sibuk?” Tanya Arum gugup. Mendengar itu, Saka tersenyum simpul. "Kamu udah ngerti sendiri rupanya, har
Arum berjalan menyusuri lorong fakultasnya dengan perasaan yang masih kacau. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang perjodohan yang dibicarakan dengan ayah kemarin. Di tengah rasa kalut itu, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya sedang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya. Jantung Arum berdegup dengan kencang, sakit sekali jika memikirkan bahwa mustahil untuk bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pasalnya, kali ini pun ia tak akan bisa menolak perintah dari ayahnya. Arum mengusap air mata yang tanpa disadari mengalir tanpa izin menuruni pipinya, lalu berbalik dan segera pergi dari sana, tak ingin jika harus menatap wajah Sekala dan bicara dengan lelaki itu. Sesampainya di kelas, Arum duduk di kursinya dan menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Kata-kata ayahnya terus berputar-putar di kepala, memantul tanpa henti. Hatinya berdegup cepat, seolah dunia yang selama