Hari berganti menjadi malam, pesta pernikahan yang melelahkan telah usai. Saka membawa perempuan yang kini baru saja menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi.
Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, tuan?” tanya Arum takut-takut. “Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini. “Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, membuat perempuan itu terhuyung dan hampir terjatuh. Mematuhi perkataan Saka, Arum segera mengambil sprei dan bedcover baru lalu mengganti yang lama dengan yang baru. “Bagus. Sekarang kamu keluar, terserah mau tidur di mana. Ah, tapi... Saya ga mau kamu tidur di kamar tamu, atau di sofa, karena saya ga mau tamu saya gatel-gatel nanti. Kamu paham, kan?” Arum diam dengan kepalanya yang menunduk, membuat Saka geram dan menoyor kepalanya. “Kamu punya kuping ga, sih? Ngerti, ga?!” tanya Saka sekali lagi. Arum mengangkat kepalanya lalu mengangguk. “Bagus. Keluar sana!” Tanpa mengatakan apapun, Arum berbalik dan keluar dari kamar utama. “Kalau ga boleh tidur di sofa, terus di mana?? Di lantai?” gerutu Arum dengan langkah kakinya yang berat. Karena sudah lelah dan malas untuk memikirkan tempat untuk tidur, Arum merebahkan tubuhnya di karpet yang ada di ruang keluarga. Besok ia akan pikirkan lagi tempat yang lebih nyaman. Matanya perlahan terpejam lalu tertidur. Waktu berlalu dengan cepat, matahari mulai naik menandakan hari berganti menjadi pagi. Mata Arum perlahan terbuka ketika merasakan sesuatu mengenai kakinya, rupanya itu adalah kaki Saka yang menendang-nendangnya. “Heh, bangun!” “Bisa cepet, ga?!” bentak Saka membuat Arum segera berdiri dan berhadapan dengannya. “Dasar pemalas! Udah jam setengah enam dan kamu masih tidur dengan nyenyak? Perempuan macam apa kamu?” omel Saka seraya berjalan menuju dapur, Arum dengan wajah cemberutnya mengekor di belakang Saka. “Memangnya tuan sudah kerja? Ga ada cuti nikah?” tanya Arum. “Kerja! Buat apa juga saya di rumah sama kamu?” balas Saka segera, membuat Arum semakin heran dan bertanya, apakah selama ini sifat suaminya memang kasar. “Yasudah aku buatin sarapan dulu, sebentar ya.” Arum berjalan cepat mendului Saka, ingin segera melihat isi kulkas. “Ga perlu! Saya ga mau makan masakan kamu. Saya cuma mau ngambil air,” cegah Saka membuat Arum menghentikan langkahnya dan menatap laki-laki itu bingung. Setelah mengambil segelas air putih, Saka kembali masuk ke kamarnya dan keluar saat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh untuk berangkat ke kantor. Suasana ini benar-benar membuat Arum bingung, ada apa sebenarnya, kenapa Saka terlihat membencinya. Membuang semua pikiran itu, Arum menutup pintu depan dan bersiap untuk berangkat kuliah. Setibanya di kelas dan memulai pelajaran, Arum kehilangan fokusnya karena bayang-bayang Saka yang terus terlintas di pikirannya, berulang kali ia mencoba untuk tidak memikirkannya, namun sia-sia, Saka selalu saja mengganggu pikirannya. Dan itu sangat mengganggu dirinya. Tanpa terasa, waktu telah menunjukkan jam pulang, dan semua kegiatan panjang di kampus hari ini selesai. Arum mengeluarkan ponselnya dan segera memesan ojek online, untuk mengantarnya pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Arum berjalan lesu menuju pintu masuk, tenaganya terkuras cukup banyak hari ini. Ketika hendak pergi ke dapur, langkah Arum terhenti ketika menyadari ada seseorang di ruang keluarga, ia menoleh dan mendapati sosok Saka yang sedang duduk santai di sofa, bersama seorang wanita yang tengah merangkul lengan lelaki tampan itu. “Akhirnya datang juga, sini!” panggil Saka membuat Arum yang masih tertegun berjalan perlahan mendekatinya. “Beliin saya makanan, saya mau ayam sama burger. Kamu mau apa, sayang?” tanya Saka pada perempuan di pelukannya, membuat Arum membelalakkan matanya, merasa ada yang janggal. “Pizza!” sahut perempuan di samping Saka dengan senang. “Kamu dengar, kan? Jangan lupa beli pizza. Ayo cepet beli, kasihan pacar saya udah lapar,” titah Saka, kali ini entah mengapa air mata jatuh begitu saja dari pelupuk mata Arum. “Malah nangis... Ayo cepet berangkat!” bentak Saka membuat Arum segera berbalik dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Arum mengeluarkan ponselnya dan memesan apa yang Saka perintahkan tadi, supaya ia tidak perlu jauh-jauh pergi ke restoran. Ia akan menunggu di depan rumah. Belum sempat meraih pegangan pintu, Arum tersentak ketika seseorang mengetuk pintu. Setelah menghapus air mata di pipinya, Arum segera membuka pintu dan mendapati sosok Bima dan Dewi berdiri di depan pintu. “Malam Arum, maaf ya papah sama mamah datang malam-malam. Boleh papah masuk?” Bima melenggang masuk ketika Arum menganggukkan kepalanya. “Arum, kamu nangis? Kenapa? Kamu diapain sama Saka?” Arum menoleh dengan cepat ketika Dewi menyentuh lengannya, ia menggeleng tak ingin mertuanya tahu apa yang terjadi. Seketika Arum teringat pada Saka yang ada di ruang keluarga, bagaimana jika papah melihatnya sedang bersama dengan seorang perempuan. Arum menggandeng lengan Dewi dan berjalan menuju ruang keluarga dengan perasaan gelisah. Dan benar saja, Saka dan kekasihnya yang masih sibuk bermesraan terkejut bukan main ketika Bima tiba-tiba memasuki ruangan. Keduanya dengan cepat duduk dengan tegak dan berjauhan. Tak lama, keduanya berdiri dan berjalan menghampiri Bima. “Ada apa, pah? Tumben malam-malam ke rumah,” tanya Saka lalu menyengir, jujur saja saat ini jantungnya berdegup dengan kencang, takut dengan ekspresi Bima yang sedang menatapnya dengan curiga. “Kalian abis ngapain? Kenapa panik gitu papah ke sini?” tanya Bima curiga. “Panik? Hahaha, siapa yang panik pah? Aku cuma kaget aja papah tiba-tiba masuk. Biasalah, aku lagi bahas kerjaan sama sekretaris aku. Ya kan, Clar?” Saka berbalik dan menatap Clara, setelah saling bertukar pandang, Clara menatap Bima lalu mengangguk setuju. “Ngapain sampai datang ke rumah? Ga bisa dibahas besok saja di kantor? Ini juga sudah malam,” cecar Bima. “Ga bisa pah, ini penting buat meeting besok,” sahut Saka. Mata laki-laki itu naik menatap Arum yang baru saja memasuki ruangan dengan kesal. “Saka, siapa yang kamu lihat dengan tatapan seperti itu? Kamu ga boleh seperti itu,” tegur Bima membuat Saka memutar mata malas dan menatap lantai. “Clara, saya rasa kamu bisa pulang, hari sudah semakin malam, berbahaya kalau terlalu larut.” Mendengar ucapan Bima, Clara mengangguk lalu berpamitan pada yang ada di ruangan, perempuan itu melenggang keluar dari rumah. Arum yang sedang membuatkan minuman merintih kesakitan ketika Saka tiba-tiba datang dan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. “Kenapa kamu ga cepet-cepet nyamperin saya waktu papah datang? Sengaja biar saya ketahuan sama papah? Iya?” bisik Saka. Cengkeramannya pada kedua tangan Arum menguat, membuat perempuan itu kembali merintih kesakitan. Fokus Arum kini bukan pada Saka, melainkan pada orang tua Saka yang sedang berjalan menuju dapur. Tak ingin mertuanya berpikir macam-macam, Arum memutar otak dan berpikir, bagaimana caranya agar mertuanya berpikir ini adalah pernikahan yang harmonis. Arum berjinjit dan mengecup bibir Saka, membuat laki-laki itu membelalak dan menatapnya tak santai. “Maaf... Ada papah sama mamah,” bisik Arum membuat Saka segera menoleh, menatap orang tuanya yang tersipu malu melihat keduanya. Keheningan yang ada di ruangan itu berakhir ketika seseorang tiba-tiba menekan bel, membuat semua menoleh ke arah pintu depan. “Biar papah yang buka,” ucap Bima seraya melangkah untuk membukakan pintu. Tak lama, papah kembali dengan makanan yang Arum pesan tadi. “Kalian pesan makanan?” tanya Bima seraya meletakkan makanan di meja makan. “Ah, iya... Itu, Arum ga sempet masak, terus Arum lagi kepengen banget makan ayam katanya. Karena aku ga bisa masak, jadi kita pesen,” sahut Saka membuat Bima dan Dewi saling menatap sebentar, lalu kembali menatap Saka dan Arum. “Jangan-jangan.. Arum udah isi?? Wah, cepet banget! Kamu langsung gaspoll? Kasian Arum nya, Ka,” celetuk Bima membuat Saka menaikkan satu alisnya. “Dulu mamah ngidam waktu hamil tua sih, kamu langsung ngidam ya, hihi,” tambah Dewi seraya tertawa kecil. “Engga, engga... Bukan begitu.” Saka mengangkat kedua tangannya di depan dada, tidak ingin orang tuanya salah paham. “Ah, jangan malu-malu! Kabar baik itu harus segera diberitahukan,” sahut papah. “Tapi memang engga, pah! Hentikan. Lagian nikah juga belum tiga hari.” Saka melenggang melewati orang tuanya dan masuk ke kamar, enggan mendengar apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Bima dan Dewi.Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya. “Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu. Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?” “Tadinya mau nganterin tuan makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum. “Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang sudah berjalan lebih dulu di depan Arum. Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap untuk makan. “Ngomong-
Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani. Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jema
Saka yang sudah berada di cafe itu sejak dua jam yang lalu kembali menyeruput kopi susu yang kini sudah mulai mendingin. Matanya kini terfokus pada sosok perempuan muda yang duduk sendirian tak jauh dari mejanya. Saka menyeringai pelan setelah melihat perempuan itu nampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dengan langkah mantap, Saka berdiri dan berjalan menuju meja Sarah. Begitu tiba, ia berhenti sejenak, menatap Sarah yang sedang memejamkan matanya. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa Saka, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. Ia segera menegakkan duduknya dan merapikan rambut yang dirasa kurang rapi. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka. "Sendirian aja? Udah pesan makan?" Tanya Saka seraya meraih buku menu dan membukanya. Sarah tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Mba!" Panggil Saka pada sala
Saka yang sudah rapi dengan setelan jas katornya melangkah menuruni anak tangga. Langkahnya sempat terhenti sesaat, dengan ekspresi datar, matanya menilai setiap sudut ruang tamu yang terlihat rapi. Namun, pandangannya terhenti pada Arum yang baru saja memasuk rumah. Ia mengenakan baju yang terlihat lebih sederhana dari biasanya, kaos polos dan celana jeans panjang yang sedikit pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi sekarang hanya diikat seadanya.Saka melangkah mendekati Arum lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Saka menghela napas, tak habis pikir dengan sosok Arum yang saat ini berdiri di hadapannya. “Dari mana kamu?" Tanya Saka dengan nada sedikit meninggi."Saya... Dari supermarket depan, tuan," jawab Arum takut-takut."Terus apa maksud kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Saka menunjuk apa yang sedang Arum kenakan dengan dagunya.Arum menunduk, memperhatikan setiap bagian dari pakaian yang ia kenakan. "Memangnya kenapa, tuan?" Tanya Arum bingung."K
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
Suara ricuh seketika memenuhi ruang kelas ketika jam kuliah berakhir, diikuti dosen yang meninggalkan ruangan. Masing-masing sibuk merapikan barang mereka untuk kemudian meninggalkan lingkungan kampus. Sama halnya dengan seorang gadis berusia 20 tahun yang duduk di kursi depan, sembari sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, dengan terburu-buru ia memasukkan peralatan tulisnya ke dalam tas, yang tanpa disengaja membuat salah satu pulpennya terjatuh ke lantai. Belum sempat tangannya meraih pulpen hitam yang tergeletak di lantai, sebuah tangan yang lebih besar darinya meraih pulpen itu dan meletakkannya di atas meja. "Buru-buru banget, santai aja dulu" Ucap Sekala, laki-laki berwajah teduh dengan mata coklat dan rambut comma hair nya. "Ga bisa, Kal! Rapatnya jam 3 dan sekarang udah jam 14.50... Aku duluan ya" Pamit Arum yang sudah selesai merapikan barang-barangnya. "Bentar..." Panggil Sekala dengan suara lembut, tangannya meraih pergelangan tanga
Arum berjalan menyusuri lorong fakultasnya dengan perasaan yang masih kacau. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang perjodohan yang dibicarakan dengan ayah kemarin. Di tengah rasa kalut itu, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya sedang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya. Jantung Arum berdegup dengan kencang, sakit sekali jika memikirkan bahwa mustahil untuk bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pasalnya, kali ini pun ia tak akan bisa menolak perintah dari ayahnya. Arum mengusap air mata yang tanpa disadari mengalir tanpa izin menuruni pipinya, lalu berbalik dan segera pergi dari sana, tak ingin jika harus menatap wajah Sekala dan bicara dengan lelaki itu. Sesampainya di kelas, Arum duduk di kursinya dan menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Kata-kata ayahnya terus berputar-putar di kepala, memantul tanpa henti. Hatinya berdegup cepat, seolah dunia yang selama
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Saka yang sudah rapi dengan setelan jas katornya melangkah menuruni anak tangga. Langkahnya sempat terhenti sesaat, dengan ekspresi datar, matanya menilai setiap sudut ruang tamu yang terlihat rapi. Namun, pandangannya terhenti pada Arum yang baru saja memasuk rumah. Ia mengenakan baju yang terlihat lebih sederhana dari biasanya, kaos polos dan celana jeans panjang yang sedikit pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi sekarang hanya diikat seadanya.Saka melangkah mendekati Arum lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Saka menghela napas, tak habis pikir dengan sosok Arum yang saat ini berdiri di hadapannya. “Dari mana kamu?" Tanya Saka dengan nada sedikit meninggi."Saya... Dari supermarket depan, tuan," jawab Arum takut-takut."Terus apa maksud kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Saka menunjuk apa yang sedang Arum kenakan dengan dagunya.Arum menunduk, memperhatikan setiap bagian dari pakaian yang ia kenakan. "Memangnya kenapa, tuan?" Tanya Arum bingung."K
Saka yang sudah berada di cafe itu sejak dua jam yang lalu kembali menyeruput kopi susu yang kini sudah mulai mendingin. Matanya kini terfokus pada sosok perempuan muda yang duduk sendirian tak jauh dari mejanya. Saka menyeringai pelan setelah melihat perempuan itu nampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dengan langkah mantap, Saka berdiri dan berjalan menuju meja Sarah. Begitu tiba, ia berhenti sejenak, menatap Sarah yang sedang memejamkan matanya. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa Saka, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. Ia segera menegakkan duduknya dan merapikan rambut yang dirasa kurang rapi. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka. "Sendirian aja? Udah pesan makan?" Tanya Saka seraya meraih buku menu dan membukanya. Sarah tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Mba!" Panggil Saka pada sala
Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani. Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jema
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya. “Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu. Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?” “Tadinya mau nganterin tuan makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum. “Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang sudah berjalan lebih dulu di depan Arum. Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap untuk makan. “Ngomong-
Hari berganti menjadi malam, pesta pernikahan yang melelahkan telah usai. Saka membawa perempuan yang kini baru saja menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, tuan?” tanya Arum takut-takut. “Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini. “Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, mem
Langkah Saka berhenti sekitar 100 meter di depan Arum. Mata tajam itu kini menatap para pegawai yang sedari tadi membantu Arum mengenakan gaun pengantinnya. "Bisa tinggalkan saya berdua dengan calon istri saya?" Mengangguk paham, semua pegawai di ruangan itu keluar, meninggalkan Saka dan Arum di ruangan dalam hening. Arum berbalik ke arah cermin, tak siap rasanya menatap mata tajam lelaki itu. Saka melangkah perlahan mendekati Arum, matanya tajam memandang gadis itu dengan sedikit senyum nakal. “Jadi, akhirnya... Ini yang jadi pilihannya? Dress yang bikin saya semakin yakin kalau pernikahan ini bukan sekedar formalitas," bisik Saka tepat di telinga Arum, suaranya terkesan santai namun penuh makna. Arum sedikit bergeser, tak nyaman dengan apa yang Saka lakukan barusan. Ia menatap lelaki itu melalui kaca dengan perasaan sedikit tegang. “Kenapa... Kenapa tuan ada di sini? Apa tuan ga sibuk?” Tanya Arum gugup. Mendengar itu, Saka tersenyum simpul. "Kamu udah ngerti sendiri rupanya, har
Arum berjalan menyusuri lorong fakultasnya dengan perasaan yang masih kacau. Ia tidak bisa berhenti memikirkan tentang perjodohan yang dibicarakan dengan ayah kemarin. Di tengah rasa kalut itu, langkahnya terhenti ketika melihat sosok lelaki yang selama ini telah mengisi hatinya sedang berdiri tak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya. Jantung Arum berdegup dengan kencang, sakit sekali jika memikirkan bahwa mustahil untuk bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pasalnya, kali ini pun ia tak akan bisa menolak perintah dari ayahnya. Arum mengusap air mata yang tanpa disadari mengalir tanpa izin menuruni pipinya, lalu berbalik dan segera pergi dari sana, tak ingin jika harus menatap wajah Sekala dan bicara dengan lelaki itu. Sesampainya di kelas, Arum duduk di kursinya dan menatap papan tulis dengan tatapan kosong. Kata-kata ayahnya terus berputar-putar di kepala, memantul tanpa henti. Hatinya berdegup cepat, seolah dunia yang selama