“Waktu usia Saka masih 6 tahun, dia kehilangan ibu kandungnya dengan cara yang ga wajar,” ucap Risma membuat Arum sempat loading, bukankah Rosa adalah ibu Saka? Apa maksudnya kehilangan.
“Kamu pasti bingung... Keluarga kita ini bukan keluarga sempurna seperti yang orang-orang bicarakan, kita juga pernah berada di bawah dan terpuruk. Jadi sebenarnya, Rosa itu ibu tirinya Saka, dulu Dewa menikah lagi setelah satu tahun kepergian ibu Saka, dan satu tahun kemudian lahirlah Kala.” Risma menjeda ceritanya, menyeruput secangkir teh hangat lalu menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan cerita.“Dulu, ada yang menuduh Dewa melakukan korupsi, sehingga banyak harta keluarga yang disita, bahan Dewa sempat ditahan untuk waktu yang cukup lama. Di saat itu, hal buruk juga terjadi pada kakak Saka, namanya Raka, anak itu diculik ketika sedang bermain bersama Saka di taman. Saka yang masih kecil saat itu tidak bisa melakukan banyak hal, dia dipukuli saat berusaha menyelamatkan kakaknya.”“Karena banyaknya masalah yang terjadi, ibu Saka putus asa, dan akhirnya mengakhiri hidupnya. Saat itu, omah dan Saka yang baru pulang dari sekolah, melihat sosok ibunya yang sudah tidak bernyawa. Mungkin karena berbagai masalah itu, Saka menjadi sosok yang sekarang.”Risma meraih jemari Arum, menatap cucu mantunya dengan tatapan sayu. “Tapi karena omah adalah orang yang paling dekat sama dia, omah tau, dia sebenarnya punya sisi lembut juga kok. Mungkin sekarang dia belum menunjukkan itu sama kamu, tapi lambat laun kamu pasti akan tau sifat dia yang sebenarnya.”“Omah...” tegur seorang laki-laki yang menyembulkan kepalanya di pintu.“Saka! Cucu omah! Sini sayang!” panggil omah, membuat Saka melangkah menghampiri Risma.“Aku denger lho cerita omah dari balik pintu situ, omah ngapain sih cerita-cerita hal kayak gitu sama Arum?” omel Saka, laki-laki itu melirik Arum dengan tatapan kesal.“Arum kan keluarga kita juga, menurut omah dia berhak untuk tau. Udah sana duduk dulu sama Arum, omah mau ke dapur dulu.” Risma menepuk-nepuk bahu Saka lalu melenggang keluar dari ruang keluarga.Saka memutar mata malas lalu menatap Arum dengan tatapan kesal. “Apa kamu liat-liat? Ga usah natap saya kayak gitu!” pekik Saka ketika Arum menatapnya dengan tatapan sedih.Arum mengangguk, lalu bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Saka. “Jasnya mau dilepas?” tanya Arum takut-takut, tangannya menyentuh punggung tangan Saka dengan maksud untuk mencium punggung tangan itu, namun dengan cepat Saka menarik tangannya dan menjauh dari Arum.“Ga usah pegang-pegang! Saya bisa urus diri saya sendiri!” bentak Saka yang seperti biasa membuat Arum tersentak.“Saka!” Kali ini Saka yang dibuat tersentak, laki-laki itu menoleh ketika Risma menegurnya.“Kamu apa-apaan sih?! Kenapa kasar begitu sama Arum? Kamu ga boleh begitu dong!” Risma menghampiri keduanya, lalu mengusap-usap punggung Arum.“Engga, omah... Itu, tadi-““Mau alasan apa? Omah denger, kok. Udah, pokoknya omah mau kalian berdua nginep di sini dulu selama beberapa hari, omah ga mau cucu mantu omah kenapa-napa! Ayo sayang ikut omah.” Saka menatap Risma yang membawa Arum keluar dari ruangan dengan tatapan tak percaya.“Padahal kan baru ketemu, tapi kok bisa langsung lengket, sih?! Tadi katanya ke dapur...” celoteh Saka, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan kesal seraya menghembuskan napas kesal.Arum menutup gorden kamar setelah hari menjadi gelap, kini sudah saatnya untuk tidur. Ia menoleh ketika pintu terbuka diikuti sosok Saka yang memasuki kamar, tak lupa dengan tatapan sinisnya pada Arum.“Ga usah ngeliatin saya! Kenapa? Kamu jadi kasihan sama saya karena cerita omah tadi? Dasar, ngapain sih cerita hal ga penting sama kamu. Ini juga, kenapa berantakan gini? Kamu tiduran di sini, ya?!” omel Saka yang sedang merapikan tempat tidur karena sedikit berkerut.“Engga kok..” sahut Arum seraya melangkah mendekati Saka.“Berhenti di situ. Mau ngapain kamu? Sana di sofa!” pekik Saka seraya bergeser dan menjauh.“Mau ambil hp,” sahut Arum seraya melanjutkan melangkah. Arum tersentak ketika ia tersandung oleh kakinya sendiri, ia akan jatuh jika saja lengan Saka tidak melingkar di perutnya dan menahannya.“Makasih mas,” ucap Arum ketika sudah kembali berdiri tegak.“Dasar, kamu nyari kesempatan? Udah sana ke sofa!” pekik Saka kesal, laki-laki itu naik ke kasur dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.Menatap Saka yang sudah dalam posisi nyaman untuk tidur selama beberapa detik, Arum berbalik dan masuk ke toilet yang ada di dalam kamar. Setelah menyelesaikan urusannya dan kembali dari toilet, Arum kembali menatap Saka yang kini sudah tertidur. Namun setelah memperhatikan cukup lama, Arum menyadari jika lelaki itu sepertinya sedang bermimpi buruk. Ingin memastikan, Arum mendekat dan berdiri di samping Saka. Lelaki itu mengernyitkan keningnya, jemarinya mengepal kuat, membuat Arum tak tega dan membangun Saka.Ketika matanya terbuka perlahan dan melihat Arum, Saka segera duduk dan memeluk Arum erat, membuat perempuan itu tersentak. Namun selang beberapa detik, Saka tersadar dan mendorong Arum menjauh darinya. “Ngapain, sih?!” bentak Saka yang masih mengatur deru napasnya.“Mas Saka kenapa? Mimpi buruk?” Mendengar pertanyaan itu, Saka mengacak rambutnya karena kesal lalu melempar bantal pada Arum.“Ga usah banyak tanya. Sana tidur!” usir Saka seraya memalingkan wajahnya, enggan menatap wajah Arum.Arum diam selama beberapa saat, mempersiapkan kata yang akan segera ia ucapkan, pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya. “Mas, kenapa sih mas keliatan ga suka banget sama aku? Kenapa rasanya mas membenci aku? Pacar mas yang kemarin itu, beneran mas?” tanya Arum membuat Saka meliriknya dengan tatapan tajam.“Ga usah banyak tanya, sana tidur” titah Saka, laki-laki itu sudah bersiap untuk kembali tidur.“Apa aku ga boleh tau alasannya mas? Kenapa mas selalu marah dan kesal kalau liat aku? Kalau.. Mas memang ga suka aku, kenapa mas mau dijodohkan sama aku?” cecar Arum masih merasa tak puas dan penasaran.“Saya udah bilang ga usah banyak tanya! Kamu ngerti ga sih?! Sana tidur!” bentak Saka membuat Arum akhirnya pasrah dan mengiyakan. Menurut, ia berbalik dan merebahkan tubuhnya di sofa.Ketika pagi menjelang, Arum bergegas keluar dari kamar ketika melihat Saka sudah tak lagi di tempat tidurnya. Arum menghentikan langkahnya ketika tiba di dapur, ia melihat sosok Saka yang sepertinya sedang membuat susu. Segera, Arum menghampiri sosok laki-laki yang rambutnya masih berantakan itu.“Mas ngapain?” tanya Arum membuat Saka terkejut, sepertinya laki-laki itu tak menyadari kehadiran Arum.“Punya mata ga? Kamu ga liat saya lagi bikin apa?” balas Saka ketus.“Kenapa ga minta dibikin aja mas? Maaf aku telat bangun,” ucap Arum seraya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima pagi.“Biar saya aja mas, ah-“ Arum meringis ketika Saka menumpahkan air panas pada tangannya yang hendak meraih gelas.“Saya ga minta kamu buat bikinin susu, kan?” ucap Saka acuh, tak peduli dengan Arum yang sedang meniup-niupi tangannya, Saka kembali membuat susu.“Ngapain masih di sini? Sana!” usir Saka membuat Arum segera berbalik dan kembali ke kamar. Fokusnya kini tertuju pada ponsel miliknya yang bergetar, segera ia meraih ponsel itu dan mengangkat panggilan yang masuk.“Kamu ada simpanan uang?” tanya Rani, seperti biasa dengan nada bicaranya yang menyebalkan.“Untuk apa, bu?” Mendengar pertanyaan itu, Rani yang jauh di sana mengernyitkan dahinya.“Kenapa kamu nanya gitu? Kamu pikir uangnya mau ibu pakai untuk apa?!” Tanya Rani sewot.“Arum kan cuma tanya bu..” timpal Arum.“Udah cepet, ada ga uangnya? Sarah perlu uang!” pinta Rani.Arum diam sebentar, kemudian menjawab, “Ga ada bu.” balasan tersebut tentu membuat Rani kesal.“Oh... Kamu ga mau kasih? Yaudah, ibu minta sama suami kamu aja!” tantang Rani kemudian memutuskan sambungan telepon.“Bu!” cegah Arum, namun ia tahu, ia tak mungkin bisa menghentikan wanita itu. Ia hanya bisa menghembuskan napas pasrah dan berharap tidak diomeli oleh Saka.***“Mandi sana, habis itu makan bareng,” titah Kala seraya mengusap kepala Arum lembut, lelaki itu akhirnya kembali tersenyum manis setelah cukup lama murung.Setelah menginap selama beberapa hari di kediaman Dewa alias mertuanya, Arum mulai merasa nyaman dan betah, setidaknya ia tidak merasa kesepian. Orang-orang di rumah itu juga memperlakukannya dengan baik. Ia menutup pintu kamar, bersiap untuk segera tidur. Namun sebelum tidur, ia berdiri dan tersenyum menatap pemandangan langit malam yang indah melalui jendela kamar.Arum menoleh ketika mendengar suara pintu yang dibuka, diiringi suara Saka yang tertawa kecil setelahnya. “Saya ga nyangka, keluarga kamu emang se mata duitan itu, ya?” ejek Saka.“Maksudnya?” Tanya Arum tak mengerti.“Kamu ga tau, atau pura-pura ga tau? Adanya kamu di sini kan juga karena uang, mereka butuh uang buat manjain adik kamu yang manja itu.” Saka tersenyum puas melihat wajah kesal Arum.“Orang tua kamu tadi nemuin saya, mereka minta uang. Menurut kamu, saya
“Ga ada apa-apa kok, omah. Cuma ada sedikit salah paham aja,” balas Arum, namun tetap tak menghilangkan khawatir dari raut wajah Risma.“Beneran ga papa? Kamu sampai nangis begini... Mana Saka? Biar omah marahi dia!” ucap Risma seraya mengintip ke dalam kamar.“Jangan omah, Arum beneran ga papa kok, omah.” Setelah penjelasan yang Arum berikan dapat diterima oleh Risma, akhirnya Arum menutup pintu kamar ketika Risma sudah tak lagi di sana.Ketika pagi hari tiba, Arum menghampiri Saka yang berada di depan lemari, lelaki itu nampak kesal dan kebingungan. “Kenapa, mas?” tanya Arum.“Nyari dasi! Dasi merah!” sahut Saka ketus. Sorot mata Arum mencari ke beberapa arah, dan menemukan apa yang Saka cari. Ia meraih dasi itu dan menunjukkannya pada Saka.“Mau dipasangin?” Saka meraih dasi itu dengan kasar dan melangkah mendekati cermin.“Ga usah, saya bisa sendiri!” Mendengar itu, Arum berbalik dan keluar dari kamar. Saka hanya bisa mendengus kesal melihatnya.Setelah selesai bersiap, Saka kelua
“Ga mau, pah. Udah berapa kali aku bilang, aku ga mau! Aku mau menikah sama orang yang aku cintai!” tegas Kala, bersikukuh menolak tawaran perjodohan dari papah.“Kala, papah kan sudah jelaskan tadi, rasa cinta akan timbul seiring berjalannya waktu,” sahut Dewa, lelaki berusia 58 tahun yang Kala panggil dengan sebutan papah.“Engga! Aku sudah punya orang yang mau aku nikahi, dan aku sangat mencintai dia! Aku akan kenalkan sama papah secepatnya!” bantah Kala membuat Dewa menggelengkan kepala lelah.“Kenapa sih ribut pagi-pagi??” Kala dan kedua orang tuanya menoleh pada sumber suara, suara milik seorang pria dengan perawakan tinggi yang baru memasuki ruang keluarga.“Putri sulung keluarga Wicaksono?” tanya Saka memastikan, setelah mendengar penjelasan dari Dewa. “Biar aku yang menikah dengan perempuan itu!” ucap Saka dengan tegas, membuat semua orang yang berada di ruangan tercengang mendengar ucapannya. ***Lelaki dingin yang baru saja pulang dari luar negeri itu kembali, hanya untuk
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya.“Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu.Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?”“Tadinya mau nganterin mas makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum.“Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang terus berjalan di depan Arum.Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap makan. “Ngomong-ngomong, papah sama ma