Langkah Saka berhenti sekitar 100 meter di depan Arum. Mata tajam itu kini menatap para pegawai yang sedari tadi membantu Arum mengenakan gaun pengantinnya. "Bisa tinggalkan saya berdua dengan calon istri saya?" Mengangguk paham, semua pegawai di ruangan itu keluar, meninggalkan Saka dan Arum di ruangan dalam hening.
Arum berbalik ke arah cermin, tak siap rasanya menatap mata tajam lelaki itu. Saka melangkah perlahan mendekati Arum, matanya tajam memandang gadis itu dengan sedikit senyum nakal. “Jadi, akhirnya... Ini yang jadi pilihannya? Dress yang bikin saya semakin yakin kalau pernikahan ini bukan sekedar formalitas," bisik Saka tepat di telinga Arum, suaranya terkesan santai namun penuh makna. Arum sedikit bergeser, tak nyaman dengan apa yang Saka lakukan barusan. Ia menatap lelaki itu melalui kaca dengan perasaan sedikit tegang. “Kenapa... Kenapa tuan ada di sini? Apa tuan ga sibuk?” Tanya Arum gugup. Mendengar itu, Saka tersenyum simpul. "Kamu udah ngerti sendiri rupanya, harus seperti apa kamu memanggil saya," Arum menoleh, menatap wajah menyebalkan Saka. Arum kembali menatap cermin dan memerhatikan wajah lelaki itu dari sana. Lelaki itu kini tersenyum tipis padanya. “Lagipula, pernikahan kita... Bukan cuma soal dress, kan? Bukan cuma tentang perayaan, tapi tentang peraturan yang harus saya jalani. Jadi, ya, saya harus pastikan semuanya berjalan lancar. Termasuk kamu.” Mata lelaki itu menatap Arum dengan tajam, seolah ada beban di balik kata-kata yang baru saja ia lontarkan. Mulai merasa tak nyaman, Arum menundukkan kepalanya menatap dinginnya ubin marmer di bawahnya. “Tuan ga perlu terlalu memerhatikan saya. Semua ini demi keluarga kita, kan? Lagian, kita kan cuma dijodohin…” Arum memainkan jemarinya, merasa benar-benar tak nyaman dengan situasi saat ini. Saka sedikit membungkukkan tubuhnya, dengan suara sedikit lebih rendah dan tajam ia membalas perkataan calon istrinya. "Cuma dijodohin, ya? Kalau itu yang kamu bilang, berarti kamu belum mengerti maksud saya. Jangan kamu kira ini cuma masalah orang tua kita, Arum. Saya punya alasan sendiri. Dan kamu akan tahu itu nanti,” balas Saka. Senyumnya berubah jadi lebih misterius. Arum menghela napas panjang, lalu mencoba menjaga jarak dengan Saka yang berdiri tepat di belakangnya. "Kalau begitu, kenapa aku yang jadi pilihannya? Kenapa dari sekian banyaknya perempuan, tuan harus pilih saya? Kalau memang harus dari keluarga saya, ada Sarah yang lebih baik dan cantik dari saya!" Tanya Arum terdengar sedikit melawan. Saka diam sejenak, menatap Arum dengan ekspresi datar. “Kamu akan mengerti... Ketika waktunya tiba.” --- Pagi hari menjelang, Arum bangun dan termenung dengan perasaan campur aduk. Beberapa kenangan dari masa lalu mulai muncul, bayang-bayang Sekala dan senyum manis lelaki itu mulai memenuhi kepala Arum. Bahkan hingga saat ini, lelaki itu tak mengetahui kabar pernikahannya, Kala sedang sibuk dengan pertukaran mahasiswa dan baru akan kembali beberapa Minggu lagi. Ada rasa tak ingin, namun Arum sudah terjebak dalam pernikahan ini. Tak ingin terlambat, ia turun dari kasur dengan malas lalu segera menuju kamar mandi. Di suatu ruangan, Saka yang sedang bersiap dibantu oleh para pelayannya terkesan tenang, matanya tak bisa menyembunyikan perasaan dalam hatinya. Dia juga tahu bahwa pernikahan ini bukan sekedar tentang cinta, tetapi tentang balas dendam yang menjadi tujuan utamanya. Ia merasa terjebak dalam situasi yang penuh kebohongan, namun ia tetap harus melangkah maju demi tujuannya. Ketika Arum berjalan menuju altar, ketegangan di udara sontak dirasakan. Saka berdiri dengan wajah dingin dan serius, menunggu Arum untuk sampai padanya. Semua orang melihat ke arah mereka, dan meskipun tidak ada senyum dari Arum atau Saka, mereka tahu hari ini adalah hari yang penuh makna, meski penuh dengan kepalsuan. Arum merasa terpojok, tetapi ia mencoba untuk menahan emosinya. Ketika sampai di hadapan Saka, Arum sedikit menundukkan kepalanya, matanya berbinar dengan ketegangan. Melihat ekspresi Arum yang tertekan, Saka menyeringai menikmati momen itu. "Apakah kamu, Saka, bersedia untuk menerima Arum sebagai istri yang sah, dalam suka dan duka, dengan segala kejujuran dan tanggung jawab?" Ucap pendeta. Saka melirik pada Arum dan menatap tajam perempuan itu. "Ya, saya bersedia." Kini, pendeta beralih pada Arum. "Dan apakah kamu, Arum, bersedia menerima Saka sebagai suami, dengan segala kebaikan dan kekurangannya?" Arum menghela napas dalam-dalam lalu kembali menatap pendeta. "Ya, saya bersedia..." Setelahnya, pendeta meminta keduanya untuk saling menatap satu sama lain dan mengucapkan janji suci. Saka memandang Arum dengan tatapan keras, seakan ingin menunjukkan kontrol padanya. "Saya akan menjaga pernikahan ini. Mungkin bukan dengan cinta, tapi dengan kewajiban yang harus dipenuhi." Arum mengarahkan pandangannya pada sembarang arah, menghindari tatapan Saka. Merasa tertekan dengan kata-kata itu, namun ia tetap berusaha mengendalikan perasaannya. Di luar upacara, perayaan pernikahan berlangsung dengan megah. Ketika sesi tarian dan pemotongan kue, Saka menarik pinggang ramping Arum dengan sedikit paksaan, seolah menuntut untuk memperlihatkan hubungan mereka yang tampak sempurna. "Akhirnya, kita resmi menjadi sepasang suami istri sekarang. Selamat datang di dunia baru, Arum," bisik Saka seraya mengelus puncak kepala Arum. "Sudah selesai, Arum. Pesta, semuanya... Sekarang kita bisa mulai menjalani hidup ini dengan aturan yang sudah jelas. Dengan aturan yang sudah saya buat," lanjutnya.Hari berganti menjadi malam, pesta pernikahan yang melelahkan telah usai. Saka membawa perempuan yang kini baru saja menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, tuan?” tanya Arum takut-takut. “Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini. “Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, mem
Saka keluar dari kamar ketika mendengar dentingan piring dan sendok yang beradu, wajahnya tertekuk ketika membayangkan dirinya dilupakan dan yang di dapur sana seenaknya makan sendiri, bahkan ketika sedang berada di rumah orang lain. Belum sampai di dapur, Saka menghentikan langkahnya ketika melihat Arum sedang berjalan ke arahnya dengan membawa sepiring makanan serta segelas susu di tangannya. “Mau makan bareng di meja makan?” tanya Arum ragu-ragu. Bukannya menjawab pertanyaan Arum, Saka justru balik bertanya. “Mau ke mana kamu?” “Tadinya mau nganterin tuan makan, tapi kalau mau makan bareng di meja makan, ayo,” balas Arum. “Yaudah ayo cepet, saya lapar.” Saka meraih gelas yang ada di tangan kanan Arum dan meminumnya sambil berjalan. “Hm, ini enak. Bikinin buat saya tiap pagi sama malam,” ucap Saka yang sudah berjalan lebih dulu di depan Arum. Sesampainya di meja makan, Arum mengambilkan makanan baru dan meletakkannya di depan Saka yang sudah duduk dan siap untuk makan. “Ngomong-
Di Selasa pagi, Budi tengah sibuk mengerjakan beberapa dokumen penting di ruang kerjanya. Sekretaris barunya, Diana, yang biasanya hanya menemaninya bekerja di kantor, akhir-akhir ini datang ke rumah Budi untuk membawakan beberapa dokumen penting untuk Budi tandatangani. Sesampainya di depan pintu kerja Budi, dengan perlahan Diana memutar kenop pintu dan masuk ke dalamnya. Kaki jenjangnya perlahan melangkah dan sampai di depan meja Budi dengan senyum ramahnya. "Pak Budi, ini dokumennya ya. Seperti biasa saya bawa langsung ke rumah supaya nggak perlu repot-repot ke kantor." Budi yang tengah sibuk berhenti sejenak dan melihat berkas yang Diana bawa. Tak lupa ia pun membalas senyuman manis Diana. "Ah, terima kasih, Diana. Kamu selalu siap siaga ya, haha. Bener-bener nggak nyangka kerja sama kamu bisa semudah ini." Diana yang merasa puas dengan pujian itu, tersenyum lebih lebar dan sedikit mendekatkan dirinya pada Budi. Jemarinya bergerak perlahan dan mengelus tangan Budi dengan jema
Saka yang sudah berada di cafe itu sejak dua jam yang lalu kembali menyeruput kopi susu yang kini sudah mulai mendingin. Matanya kini terfokus pada sosok perempuan muda yang duduk sendirian tak jauh dari mejanya. Saka menyeringai pelan setelah melihat perempuan itu nampak seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dengan langkah mantap, Saka berdiri dan berjalan menuju meja Sarah. Begitu tiba, ia berhenti sejenak, menatap Sarah yang sedang memejamkan matanya. ".. Hai? Sarah, ya?" Sapa Saka, membuat Sarah membuka matanya dan menatap sosok itu. "O-oh... Kak Saka? Kok ada di sini?" Tanya Sarah antusias. Ia segera menegakkan duduknya dan merapikan rambut yang dirasa kurang rapi. "Habis ada meeting nih. Boleh saya duduk di sini?" Tak mungkin menolak, Sarah mengangguk mengiyakan perkataan Saka. "Sendirian aja? Udah pesan makan?" Tanya Saka seraya meraih buku menu dan membukanya. Sarah tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Mba!" Panggil Saka pada sala
Saka yang sudah rapi dengan setelan jas katornya melangkah menuruni anak tangga. Langkahnya sempat terhenti sesaat, dengan ekspresi datar, matanya menilai setiap sudut ruang tamu yang terlihat rapi. Namun, pandangannya terhenti pada Arum yang baru saja memasuk rumah. Ia mengenakan baju yang terlihat lebih sederhana dari biasanya, kaos polos dan celana jeans panjang yang sedikit pudar warnanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi sekarang hanya diikat seadanya.Saka melangkah mendekati Arum lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Saka menghela napas, tak habis pikir dengan sosok Arum yang saat ini berdiri di hadapannya. “Dari mana kamu?" Tanya Saka dengan nada sedikit meninggi."Saya... Dari supermarket depan, tuan," jawab Arum takut-takut."Terus apa maksud kamu keluar dengan pakaian seperti ini?" Saka menunjuk apa yang sedang Arum kenakan dengan dagunya.Arum menunduk, memperhatikan setiap bagian dari pakaian yang ia kenakan. "Memangnya kenapa, tuan?" Tanya Arum bingung."K
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
"Hai, Nico!" Sapa Arum pada Nico yang sudah menunggunya di depan mobil, seperti biasa."Hai! Gimana hari ini? Ngebul ga kepalanya? Haha!" Ledek Nico yang mengetahui jika hari ini Arum mendapat kuis pada salah satu mata kuliah."Ngebul! Bisa ajak aku makan sesuatu yang manis, ga?" Mendengar itu Nico menatap Langit, berpikir sejenak."Hmm... Cokelat, brownies, donat, puding, ice cream, kue tart, macaron?" Tanya Nico berusaha menyebutkan semua makanan manis yang ia ketahui."Brownies sama es krim!" Sahut Arum dengan senyum yang mengembang."Oke, kita beli di toko kue langganan Saka aja, di sana juga ada jual ice cream, nanti aku ajak muter-muter dulu deh sebelum pulang, biar fresh lagi," tutur Nico seraya tersenyum, senang rasanya melihat Arum tersenyum seperti itu.Setelah mendapatkan anggukan persetujuan dari Arum, keduanya masuk ke dalam mobil dan segera melaju menuju toko kue yang selalu menjadi pilihan jika Saka sedang ingin makan brownies, camilan favoritnya.Mobil sampai di depan
Saka menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum simpul, tak habis pikir dengan tingkah Sarah yang jauh berbeda dengan kakaknya, Arum. Sudah beberapa hari ini, Sarah terus-menerus mengirim pesan padanya, berharap bisa bertemu lagi, berharap bisa melanjutkan apa yang sudah mereka mulai. Senyum itu perlahan memudar, tergantikan tatapan datar yang saat ini tengah menatap layar ponsel. Perasaannya mulai lelah dengan permainan ini. Di layar itu, tertera nama Sarah yang tercatat di daftar kontaknya. Dengan mantap, jari-jarinya bergerak, dengan sekali ketukan ia memblokir nomor Sarah.Ponsel di tangannya kini terasa lebih ringan, seolah sebuah beban telah hilang begitu saja. Saka menghela napas, menatap layar ponselnya yang gelap. Tidak ada lagi pesan masuk dari Sarah yang mengganggu. Pandangan Saka kini tertuju pada Arum yang terbangun, perempuan itu mengucek matanya lalu menguap dengan tangan yang menutupi mulutnya. Matanya yang masih setengah terbuka melirik ke arah Saka dan terseny
"Tuan..." Rengek Arum, suaranya bergetar bercampur dengan isak tangis. Ia maju perlahan dan kembali memeluk Saka.Ketika kembali memeluk Saka, Arum mengeratkan pelukannya dan menangis lebih keras, menumpahkan semuanya di pelukan yang terasa hangat itu. Tak seperti sebelumnya, Saka kini benar-benar diam membatu. Merasa canggung dengan situasi saat ini, namun ia tak tahu harus bereaksi seperti apa pada Arum yang terlihat sangat rapuh malam ini. Dalam diam, Saka berusaha menenangkan dirinya, meski sebenarnya hatinya pun tengah bergejolak. Ada perasaan bersalah yang entah mengapa tiba-tiba muncul. Ia benci untuk mengakui jika hatinya mulai terasa sesak saat melihat Arum terisak di pelukannya.Dengan ragu, tangan Saka naik perlahan untuk membalas pelukan Arum. Saka memejamkan matanya, mengusap lembut puncak kepala Arum agar perempuan itu merasa sedikit lebih baik."Udah, jangan nangis..." Suara Saka terkesan kaku, namun ada kehangatan yang tersembunyi di balik kata-kata itu.Saka melepask
Budi melangkah masuk ke kantor SkyLine Group dengan langkah lunglai, merasa bingung dan putus asa dengan apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Belum selesai soal data kantor yang tiba-tiba rusak, ditambah harus kalah tender dengan menantunya sendiri, Saka Rama Sadewa. Untuk yang kesekian kalinya, ia menghela napas panjang sebagai efek dari isi kepalanya yang berkecamuk.Begitu kaki kanan dan kirinya melangkah memasuki area lobi, entah mengapa suasana terasa berbeda baginya. Ada sesuatu yang terasa aneh. Beberapa karyawan yang biasa menyapanya dengan ramah malah terlihat berbisik-bisik sesaat setelah matanya bertemu dengan mereka. Budi merasakan ada sesuatu yang tidak beres, namun ia mencoba untuk menahan diri, berusaha fokus pada pekerjaan yang harus segera ia selesaikan.Namun, semakin ia melangkah menuju ruang kerjanya, semakin terasa ada yang ganjil. Beberapa karyawan bahkan meliriknya dengan tatapan yang sulit ia artikan. Mereka berbicara satu sama lain, lalu segera diam ketik
Arum yang tengah sibuk membereskan dapur menoleh ketika mendengar suara tawa kecil Saka dari arah belakangnya.“Saya ga nyangka, keluarga kamu emang se mata duitan itu, ya?” ejek Saka. “Maksudnya?” Tanya Arum tak mengerti. “Kamu ga tau, atau pura-pura ga tau? Adanya kamu di sini kan juga karena uang, mereka butuh uang buat manjain adik kamu yang manja itu.” Saka tersenyum puas melihat wajah Arum yang mulai kesal. “Orang tua kamu tadi nemuin saya, mereka minta uang. Menurut kamu, saya kasih ga?” Saka maju beberapa langkah mendekati Arum, ingin perempuan itu menebak. “Kalau memang menurut tuan itu ga penting, ga usah dikasih.” Arum melenggang melewati Saka, namun lelaki itu mencengkeram lengannya, membuat keduanya kini bertatapan. “Kalau aja waktu itu mereka tau, yang akan dinikahkan dengan putri mereka adalah saya, saya yakin mereka akan memberikan Sarah untuk jadi pengantin saya. Makanya saya sengaja mengatakan kalau perjodohan itu untuk istri kedua papah saya. Dan lihat, kamu dibu
Saka berlari dengan napas terengah-engah, matanya kini penuh kekhawatiran. Nico yang berada di sampingnya, juga tak kalah panik, menggenggam ponsel di tangan dan masih mencoba untuk menghubungi Arum. Keduanya sudah berputar-putar di taman yang gelap, mencari-cari keberadaan Arum yang kini terasa hilang."Kok bisa dia dateng ke tempat yang sepi begini! Cari masalah aja bisanya!" Omel Saka di tengah langkahnya."Tenang, Sa! Kita Arum pelan-pelan, jangan panik dulu!" Ucap Nico, ada rasa cemas dari nada bicaranya.Mereka terus berlari, menyusuri jalan setapak yang hampir tak terlihat, hanya diterangi lampu jalan yang remang. Suara dedaunan yang bergesekan dengan angin semakin terdengar menakutkan. Di kejauhan, mereka mendengar suara teriakan."Itu... Arum!" Ucap Nico, membuat Saka mengangguk setuju. Tak menunggu lama, keduanya kembali berlari dan mempercepat laju lari mereka.Di sisi lain, Arum yang masih berlari sesekali menengok ke belakang, melihat sosok gelap yang terus mengejarnya. T
Pagi ini, langit tampak begitu cerah, suasana pagi terasa begitu sejuk menenangkan hati. Namun, berbeda dengan perasaan Arum yang kini justru sedang mendung. Suasana hatinya masih tak kunjung membaik sejak kejadian Saka dan Sarah.Arum keluar dari gudang setelah selesai bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Namun sebelum berangkat, ia melangkahkan kakinya terlebih dahulu ke dapur untuk meminum segelas air. Matanya melirik ke arah Saka yang berlari ke arah dapur dengan panik, dengan setelan kantornya yang sedikit berantakan."Kamu ga masak?" Tanya Saka setelah sampai di hadapan Arum. Lelaki itu tengah berusaha mengatur deru napasnya sedikit terengah-engah.".. Engga," balas Arum masih saja ketus."Susu? Bahkan kamu ga bikinin saya susu?" Tanya Saka dengan keningnya yang mengerut, ada sedikit rasa kesal yang mulai terasa.Melihat Arum menggelengkan kepalanya, Saka menghela napas kesal lalu mengetuk-ngetuk meja dapur. "Yaudah air mana air? Cepet ambilin saya air!" Saka sedikit memelototi
"Hai, Nico!" Sapa Arum pada Nico yang sudah menunggunya di depan mobil, seperti biasa."Hai! Gimana hari ini? Ngebul ga kepalanya? Haha!" Ledek Nico yang mengetahui jika hari ini Arum mendapat kuis pada salah satu mata kuliah."Ngebul! Bisa ajak aku makan sesuatu yang manis, ga?" Mendengar itu Nico menatap Langit, berpikir sejenak."Hmm... Cokelat, brownies, donat, puding, ice cream, kue tart, macaron?" Tanya Nico berusaha menyebutkan semua makanan manis yang ia ketahui."Brownies sama es krim!" Sahut Arum dengan senyum yang mengembang."Oke, kita beli di toko kue langganan Saka aja, di sana juga ada jual ice cream, nanti aku ajak muter-muter dulu deh sebelum pulang, biar fresh lagi," tutur Nico seraya tersenyum, senang rasanya melihat Arum tersenyum seperti itu.Setelah mendapatkan anggukan persetujuan dari Arum, keduanya masuk ke dalam mobil dan segera melaju menuju toko kue yang selalu menjadi pilihan jika Saka sedang ingin makan brownies, camilan favoritnya.Mobil sampai di depan
Arum sempat terkejut mendengar ajakan tak terduga dari Saka itu, dengan cemas ia menjawab dengan sedikit berbisik. "Tapi tuan, saya ga bisa dansa." Saka menatapnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya, sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan. "Ga masalah, kamu tinggal ikutin saya," jawabnya namun masih dengan nada dingin khas milik lelaki itu. Mereka berdua berjalan ke lantai dansa, di tengah kerumunan yang sedang menonton. Saka memegang tangan Arum dengan agak kuat, namun seiring berjalannya waktu, langkahnya semakin lembut. Arum yang semula canggung mulai merasa nyaman, walaupun masih terlihat sedikit kikuk. ".. Tuan, kenapa tuan mengajak saya berdansa?" Tanya Arum yang sedari tadi penasaran, membuat Saka kini meliriknya tak santai. "Ga usah kegeeran kamu. Saya ngajak kamu dansa, supaya orang-orang liat dan percaya kalau kita menikah bukan untuk tujuan lain," balas Saka ketus. "Tujuan... Lain?" Saka memutar mata malas setelah Arum membeo ucapannya. "Kenapa sih
Keesokan harinya, Arum yang sedang memasak di dapur berhenti sejenak ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka, ia mencuci tangannya lalu berjalan dengan cepat untuk melihat siapa yang datang. Langkahnya sempat terhenti sesaat ketika melihat sosok Saka yang datang bersama beberapa orang yang sepertinya adalah staf butik, mereka membawa beberapa kotak besar yang sepertinya berisi beberapa pasang pakaian. Arum melanjutkan langkahnya perlahan dan berdiri di belakang Saka. "Tuan..." Panggilnya dengan pelan, membuat lelaki tinggi di hadapannya menoleh menatapnya tanpa menjawab apapun. "Ini... Untuk apa, tuan?" Tanya Arum setelah lama diam. Matanya melirik kotak-kotak yang baru saja diletakkan di ruang tamu. "Kamu ga punya mata apa? Jelas-jelas itu baju, dan perempuan satu-satunya di rumah ini cuma kamu, ya ini buat kamu lah!" Celoteh Saka dengan nada sedikit dingin. "Semua baju ini... Buat saya??" Tanya Arum dengan mata berbinar, masih tak percaya rasanya. "Kamu punya kup